• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

6.1 AnanlisiS Univariat

6.2.3 Hubungan Status Imunisasi Anak Balita dengan Status Gizi Anak

Berdasarkan Status Imunisasi di Desa Kolam Kecamatan Percut sei Tuan Tahun 2010.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak yang status imunisasinya tidak lengkap yaitu 61,1% dibanding dengan status gizi kurang pada anak yang status imunisasi lengkap yaitu 41,3%. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak yang imunisasi lengkap yaitu 58,6% dibanding dengan status gizi baik pada anak yang status imunisasi tidak lengkap yaitu 38,9%. Ratio Prevalens = 1,477 (95% CI : 0,946- 2,305). Status imunisasi bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian status gizi kurang pada anak balita.

Dapat diasumsikan bahwa status gizi baik cenderung dialami oleh anak balita dengan status imunisasi lengkap dibanding dengan yang tidak lengkap, demikian sebaliknya.

Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,125, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara status imunisasi dengan status gizi anak balita.

Hal ini berbeda dengan penelitian Simbolon, M (2008) di Kelurahan Sicanang Kecamatan Medan Belawan dengan menggunakan desain cross sectional yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara status imunisasi dengan status gizi anak balita dengan nilai p=0,007.41

6.2.4 Hubungan Status ASI Eksklusif dengan Status Gizi Anak Balita.

Gambar 6.17 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Status ASI Eksklusif di Desa Kolam Kecamatan Percut sei Tuan Tahun 2010.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang relatif sama pada anak yang tidak ASI eksklusif dengan anak yang ASI eksklusif yaitu 44,6% dan 45,0%. Demikian juga prevalens rate status gizi baik relatif sama pada anak yang tidak ASI ekslusif dengan anak yang ASI eksklusif yaitu 55,4% dan

55,0%. Ratio Prevalens = 0,991 (95% CI : 0,641-1,534). Status ASI eksklusif bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian status gizi kurang pada anak balita.

Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,969, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara status ASI eksklusif dengan status gizi anak balita.

ASI merupakan hal yang sangat penting bagi kesehatan dan kelangsungan hidup anak. Di Indonesia, pemberian ASI secara eksklusif sangat dianjurkan bagi bayi berusia dibawah enam bulan. Sedangkan pemberian makanan pendamping dapat diberikan setelah berusia di atas 6 bulan.17

Hal ini sejalan dengan penelitian Simbolon, M (2002) di Kelurahan Sicanang Kecamatan Medan Belawan dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status ASI eksklusif dengan status gizi anak balita.41

6.2.5 Hubungan Pemberian Kolostrum dengan Status Gizi Anak Balita.

Gambar 6.18 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pemberian Kolostrum di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang pada anak yang tidak diberi kolostrum lebih tinggi yaiyu 69,1% dibanding status gizi kurang pada anak yang diberi kolostrum yaitu 18,0%. Sedangkan prevalens rate status gizi baik pada anak yang diberi kolstrum lebih tinggi yaitu 82,0% dibanding status gizi baik pada anak yang tidak diberi kolostrum yaitu 30,9%. Ratio Prevalens = 3,838 (95% CI : 2,070-7,117). Anak yang tidak diberikan kolostrum merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.

Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,000, artinya ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pemberian kolostrum dengan status gizi anak balita.

Kolostrum merupakan ASI yang keluar pada hari pertama dan berwarna kekuning-kuningan, mengandung tinggi karotin, banyak mengandung protein serta

sedikit mengandung karbohidrat dan lemak. Kolostrum ini juga mengandung zat-zat kekebalan yang sangat tinggi serta dapat merangsang pertumbuhan bakteri yang berguna dalam usus bayi sehingga bayi tidak mudah mendapat infeksi.17

Dalam penelitian ini sebagian besar ibu tidak mengerti kolostrum. Namun mereka mengenali ciri-ciri kolostrum setelah diberi penjelasan tentang kolostrum. Selain itu ada yang menganggap bahwa kolostrum adalah susu yang sudah rusak dan tidak baik diberikan kepada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan dan menganggap bahwa kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi.

Hal ini sejalan dengan penelitian Hermansyah (2002) di Kota Sawahlunto dengan desain cross sectional yang mendapatkan bahwa ada perbedaan proporsi KEP antara anak yang tidak diberi kolostrum dibanding anak yang diberi kolostrum. (p=0,000). Anak yang tidak diberi kolostrum lebih banyak mengalami KEP dibandingkan anak yang diberi kolostrum.23

Hasil penelitian Edmond et al dalam Afifah (2007) menunjukkan bahwa 16% kematian bayi baru lahir seharusnya dapat diselamatkan dengan pemberian ASI pada hari pertama dan menigkat 22% jika menyusui dimulai pada 1 jam pertama setelah melahirkan.44

6.2.6 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita

Gambar 6.19 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pendidikan Ibu di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010.

Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan pendidikan ibu rendah yaitu 48,8% dibanding status gizi kurang pada anak dengan pendidikan ibu tinggi yaitu 32,0%. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan pendidikan ibu tinggi yaitu 68,0% dibanding status gizi baik pada anak dengan pendidikan ibu rendah yaitu 51,2%. Ratio Prevalens = 1,523 (95% CI : 0,824-2,815). Pendidikan ibu bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.

Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,142, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi anak balita.

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan faktor tidak langsung yang berhubungan dengan status gizi anak balita.13

Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Taruna, J (2002) di Kabupaten Kampar Riau dengan desain cross sectional didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan terjadinya gizi buruk pada balita dengan nilai p=0,0005. Semakin tinggi pendidikan ibu maka proporsi balitanya untuk mendapat gizi buruk semakin kecil.45

6.2.7 Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita.

Gambar 6.20 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pengetahuan Ibu di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan pengetahuan ibu kurang yaitu 46,5% dibanding dengan status gizi kurang pada anak dengan pengetahuan ibu baik yaitu 41,2%. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan pengetahuan ibu baik yaitu 58,8% dibanding status gizi baik pada anak dengan pengetahuan ibu kurang

yaitu 53,5%. Ratio Prevalens = 1,129 (95% CI : 0,703-1,811). Pengetahuan ibu bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.

Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=0,609, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita.

Hasil ini berbeda dengan penelitain Taruna, J (2002) di Kabupaten Kampar Riau dengan desain cross sectional didapatkan hasil bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan gizi ibu dengan terjadinya gizi buruk pada anak balita dengan nilai p=0,001.45

6.2.8 Hubungan Pekerjaan Ibu dengan Status Gizi Anak Balita.

Gambar 6.21 Diagram Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Pekerjaan Ibu di Desa Kolam Kecamatan Percut Sei Tuan Tahun 2010.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada anak dengan ibu yang bekerja yaitu 50,0% dibanding status gizi kurang pada anak dengan ibu yang tidak bekerja yaitu 44,3%. Sedangkan prevalens rate

status gizi baik lebih tinggi pada anak dengan ibu yang tidak bekerja yaitu 55,7% dibanding status gizi baik pada anak dengan ibu yang bekerja yaitu 50,0%. Ratio Prevalens = 1,128 (95% CI : 0,545-2,336). Pekerjaan ibu bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.

Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=7,57, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak balita.

Hal ini kemungkinan disebabkan karena pengetahuan dan praktek gizi ibu masih rendah (67,6%) sehingga mempengaruhi cara penyediaan makanan. Ini secara tidak disadari dapat membuat anak balita beresiko terkena diare, sehingga walaupun ibu tidak bekerja (92,4%), anaknya belum tentu berstatus gizi baik. Pada penelitian ini dapat dilihat dari pemberian makanan yang tidak baik pada balita seperti tidak menyusui anak hingga umur 6 bulan (61,9%), membuang kolostrum (52,4%).

Hasil ini sejalan dengan penelitian Azrimaidaliza (2003) di Daerah Kumuh Perkotaan Jakarta dengan menggunakan desain cross sectional yang mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pekerjaan ibu dengan status gizi anak dengan nilai p=0,404. Ada kecenderungan ibu yang tidak bekerja berpeluang untuk mempunyai anak gizi kurang lebih banyak dibanding ibu yang bekerja karena ibu yang bekerja mempunyai peluang lebih besar untuk memnuhi kebutuhan anaknya/membeli MP-ASI dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik dibanding ibu yang tidak bekerja.43

6.2.9 Hubungan Jumlah Anak dengan Status Gizi Anak Balita.

Gambar 6.22 Diagram Bar Prevalens Rate Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Jumlah Anak di Desa Kolam Kecamatan Percut sei Tuan Tahun 2010.

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa prevalens rate status gizi kurang lebih tinggi pada jumlah anak dalam keluarga 1-2 orang yaitu 45,2% dibanding status gizi kurang pada jumlah anak dalam keluarga ≥3 orang yaitu 43,8%. Sedangkan prevalens rate status gizi baik lebih tinggi pada jumlah anak ≥3 orang yaitu 56,2% dibanding status gizi baik pada jumlah anak 1-2 orang yaitu 54,8%.

Ratio Prevalens = 0,968 (95% CI : 0,607-1,544). Jumlah anak bukan merupakan faktor resiko terhadap kejadian gizi kurang pada anak balita.

Hasil analisa statistik diperoleh nilai p=890, artinya tidak ada hubungan asosiasi yang signifikan antara jumlah anak dalam keluarga dengan status gizi anak balita.

Hal ini menunjukkan bahwa di Desa Kolam jumlah anak bukan merupakan faktor yang berperan dalam menentukan status gizi anak balita. Dapat dilihat dari status gizi kurang pada anak balita lebih tinggi pada keluarga yang mempunyai jumlah anak 1-2 orang.

Hasil ini berbeda dengan penelitian Rosmana, D (2003) di Kabupaten Serang Banten dengan menggunakan desain cross sectional yang mendapatkan hasil bahwa ada hubungan bermakna antara jumlah anak dengan status gizi anak dengan nilai p=0,011.33

Dokumen terkait