• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih

BAB VI PEMBAHASAN

6.6 Hubungan Antara Total Asupan Energi Dengan Status Gizi Lebih

Energi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan, perkembangan, aktivitas otot, fungsi metabolik lainnya (menjaga suhu tubuh, menyimpan lemak tubuh), dan untuk memperbaiki kerusakan jaringan dan tulang yang disebabkan karena sakit dan cedera. Sumber energi makanan berasal dari karbohidrat, protein dan lemak. Energi yang diperlukan oleh seorang remaja tergantung dari BMR (Basal Metabolic Rate) individu masing-masing, tingkat pertumbuhan, dan tingkat aktivitas fisik (Suandi dalam Soetdjiningasih, 2004).

Berdasarkan hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara total asupan energi dengan kejadian gizi lebih dengan nilai (P value = 0,728). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2002) dan Prihatina (2007) menyatakan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara asupan energi dengan status gizi dengan nilai (P value = 0,555 dan P value = 0,204). Namun hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2007), Hapsari (2007), dan Christina (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara total asupan energi dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,001, P value = 0,003, dan P value = 0,041).

Hal ini disebabkan karena kelemahan dari metode recall 2×24 jam yang tidak dapat menggambarkan asupan makanan sehari-hari, karena metode ini dilakukan sebanyak 2 (dua) kali. Selain itu, terjadinya the flat slope syndrome, dimana ada kecenderungan bagi responden yang kurus untuk melaporkan konsumsi yang lebih banyak (overestimate) dan bagi responden yang gemuk cenderung melaporkan konsumsi yang lebih sedikit (underestimate) (Supariasa, 2002).

6.7 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Karbohidrat Dengan Status Gizi Lebih Karbohidrat merupakan sumber energi utama bagi manusia yang harganya relatif murah. Semua karbohidrat berasal dari tumbuh-tumbuhan. Karbohidrat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) golongan yaitu karbohidrat sederhana dan karbohidrat kompleks. Karbohidrat sederhana terdiri dari monosakarida,

disakarida, gula, alkohol, dan ologosakarida. Karbohidrat kompleks memiliki lebih dari dua unit gula sederhana. Karbohidrat kompleks terdiri dari polisakarida dan serat (Almatsier, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa status gizi lebih banyak terjadi pada polisi yang mengkonsumsi karbohidrat > 60% dari total konsumsi energi yaitu sebesar 54,3%. Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara statistik antara tingkat konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih (P value = 0,015) dengan (OR = 3,325) yang berarti bahwa responden yang memiliki tingkat konsumsi karbohidrat > 60% dari total konsumsi energi memiliki peluang sebesar 3,325 kali untuk mengalami status gizi lebih daripada responden dengan tingkat konsumsi energi < 60% dari total konsumsi energi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurfatimah (2007), Hapsari (2007), dan Christina (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi karobohidrat dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,001, P value = 0,022, dan P value 0,038).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Jenkins et al (2004) dalam Christina (2008) yang menyatakan bahwa turunan karbohidrat berhubungan dengan penyakit kronis seperti diabetes, kanker usus, dan CVD. Fruktosa sebagai bagian dari karbohidrat dapat meningkatkan konsentrasi serum triasilgliserol dan kolesterol LDL dan dapat menurunkan HDL. Meskipun hubungan yang kuat antara asupan sukrosa dan fruktosa dengan penyakit jantung atau diabetes tidak diketahui tetapi jelas bahwa obesitas disebabkan dengan peningkatan konsumsi

gula atau karbohidrat. Terdapatnya hubungan antara konsumsi karbohidrat dengan obesitas dalam penelitian ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan penduduk Indonesia dimana sebagian besar atau sekitar 70% sumber energi penduduk Indonesia berasal dari sumber karbohidrat, maka karbohidrat memiliki peran yang sangat penting dalam menimbulkan kejadian obesitas.

Konsumsi karbohidrat yang berlebih akan disimpan oleh tubuh sebagai cadangan energi dalam bentuk trigliserida di jaringan adipose (Sediaoetama, 2006). Dalam penelitian ini, sebanyak 33 orang polisi mengkonsumsi karbohidrat lebih dari angka kecukupan. Hal ini bila berlangsung secara terus menerus maka cadangan energi di jaringan adipose akan meningkat sehingga banyak polisi yang akan mengalami kegemukan. Apalagi di tambah konsumsi lemak yang tinggi dan aktifitas fisik yang rendah tentu akan mempercepat proses kegemukan.

Sedangkan menurut Basha (2006) dalam Rembulan (2007) bahwa karbohidrat merupakan salah satu faktor risiko terjadinya obesitas. Konsumsi karbohidrat yang berlebih dapat memicu produksi hormon insulin yang berlebihan sehingga dapat meningkatkan pembentuk lemak yang akhirnya berujung pada overweight dan obesitas.

Hasil penelitian pada penderita obesitas tingkat berat yang diberikan diet rendah karbohidrat dengan rendah lemak, menunjukkan bahwa pada penderita obesitas yang diberi rendah karbohidrat berat badannya lebih banyak turun dalam waktu 6 bulan dibandingkan dengan yang diberi diet rendah lemak dan kalori dibatasi (Suryantan, 2003).

Namun penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2002) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi karbohidrat dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,117). Beberapa hasil penelitian yang dikumpulkan oleh FAO/WHO (2004) dalam Christina (2008) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara konsumsi tinggi gula dengan peningkatan IMT (Indeks Massa Tubuh).

6.8 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Protein Dengan Status Gizi Lebih Protein merupakan bahan utama dalam pembentukan sel jaringan, baik jaringan tubuh tumbuh-tumbuhan maupun tubuh manusia dan hewan. Oleh karena itu, protein disebut unsur pembangun (Moehyi, 2007). Dan sebaiknya energi yang diperlukan tubuh hendaknya didapat dari 10%-15% protein (Almatsier, 2003 dan Sayogo, 2006). Berat badan sangat menentukan banyak sedikitnya protein yang diperlukan. Oleh sebab itu, seseorang yang memiliki berat badan lebih tinggi memerlukan protein lebih banyak daripada seseorang yang memiliki berat badan lebih ringan (Suhardjo, 1989).

Hasil uji Chi Square menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,737). Namun hasil penelitian memperoleh bahwa polisi yang mengkonsumsi protein > 15% dari total konsumsi energi sebesar 42,3% mengalami gizi lebih. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Christina (2008) dan Sebastian (2008) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan status gizi lebih dengan nilai (P value =

0,543 dan P value = 0,544). Akan tetapi penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani (2002), Nurfatimah (2007), dan Roselly (2008) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi protein dengan status gizi lebih dengan nilai (P value = 0,1 P value = 0,012 dan P value = 0,000).

Pada penelitian ini tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi protein dengan kejadian gizi lebih diasumsikan karena adanya faktor berat badan, umur, jenis kelamin, mutu protein dan pertumbuhan yang dapat mempengaruhi kebutuhan protein (Suhardjo, 1989). Selain itu sebagian besar polisi yang memiliki status gizi lebih maupun status gizi tidak lebih banyak mengkonsumsi makanan tinggi energi seperti es teh manis dengan gula yang cukup banyak atau jus dengan menggunakan gula dan susu. Sehingga asupan protein sedikit yang terserap oleh tubuh. Sedangkan protein dalam tubuh berfungsi sebagai penyedia energi apabila kebutuhan energi tidak tercukupi dari konsumsi karbohidrat dan lemak (Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003). Menurut Jebb (2006) dalam Christina (2008) studi yang mempelajari hubungan antara protein dan jenis-jenis protein dengan kejadian obesitas menunjukkan hasil yang tidak konsisten.

6.9 Hubungan Antara Tingkat Konsumsi Lemak Dengan Status Gizi Lebih

Dokumen terkait