• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Acara Menghendaki Perdamaian

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 67-72)

BAB III. STUDI KASUS

B. Hukum Acara Menghendaki Perdamaian

Sebenarnya sejak semula pasal 130 HIR maupun pasal 154 Rbg mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai.50 Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi : Jika pada hari yang ditentukan itu kedua belah pihak dating, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan memperdamaikan mereka.

Selanjutnya ayat (2) mengatakan : Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai , maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan

dijalankan sebagai putusan yang biasa.51 Dari bunyi pasal diatas dapat

disimpulkan bahwa hukum acara perdata menghendaki penyelesaian perkara dengan perdamaian daripada proses putusan biasa.

Prosedur mediasi melalui beberapa tahap yaitu pra mediasi dan mediasi, yang meliputi :

a. Tahap Pra Mediasi :

1. Kewajiban Hakim Pemeriksa Perkara dan Kuasa Hukum

a) Pada hari sidang yang telah ditentukan yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi, pasal 130 ayat (1) HIR. 52

b) Ketidakhadiran pihak turut tergugat tidak menghalangi pelaksanaan mediasi.

c) Hakim, melalui kuasa hukum atau langsung kepada para pihak, mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

d) Kuasa hukum para pihak berkewajiban mendorong para pihak sendiri berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.

                                                                                                                         

50  Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,( Yogyakarta: Liberty,2006), hal 12.

   

51  R. Soesilo,RIB/HIR dengan penjelasan, (Bogor: Politea,1985), hal 88.  

52   Sutantio Retnowulan, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan

e) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara untuk memberikan kesempatan kepada para pihak menempuh proses mediasi.

f) Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam Perma ini kepada para pihak yang bersengketa.

2. Hak Para Pihak Memilih Mediator

Para pihak berhak memilih mediator di antara pilihan-pilihan berikut:

a) Hakim bukan pemeriksa perkara pada pengadilan yang bersangkutan;

b) Advokat atau akademisi hukum;

c) Profesi bukan hukum yang dianggap para pihak menguasai atau berpengalaman dalam pokok sengketa;

d) Hakim majelis pemeriksa perkara;

e) Gabungan antara mediator yang disebut dalam butir a dan d, atau gabungan butir b dan d, atau gabungan butir c dan d. Jika dalam sebuah proses mediasi terdapat lebih dari satu orang mediator, pembagian tugas mediator ditentukan dan disepakati oleh para mediator sendiri.

3. Batas Waktu Pemilihan Mediator

a) Setelah para pihak hadir pada hari sidang pertama, hakim mewajibkan para pihak pada hari itu juga atau paling lama 2 (dua) hari kerja berikutnya untuk berunding guna memilih mediator termasuk biaya yang mungkin timbul akibat pilihan penggunaan mediator bukan hakim.

b) Para pihak segera menyampaikan mediator pilihan mereka kepada ketua majelis hakim.

c) Ketua majelis hakim segera memberitahu mediator terpilih untuk melaksanakan tugas.

d) Jika setelah jangka waktu maksimal sebagaimana dimaksud ayat (1) terpenuhi, para pihak tidak dapat bersepakat memilih

mediator yang dikehendaki, maka para pihak wajib menyampaikan kegagalan mereka memilih mediator kepada ketua majelis hakim.

e) Setelah menerima pemberitahuan para pihak tentang kegagalan memilih mediator, ketua majelis hakim segera menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator.

f) Jika pada pengadilan yang sama tidak terdapat hakim bukan pemeriksa perkara yang bersertifikat, maka hakim pemeriksa pokok perkara dengan atau tanpa sertifikat yang ditunjuk oleh ketua majelis hakim wajib menjalankan fungsi mediator. B. Tahap Mediasi

1. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.

2. Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah para pihak gagal memilih mediator, masing-masing pihak dapat menyerahkan resume perkara kepada hakim mediator yang ditunjuk.

3. Proses mediasi berlangsung paling lama 40 (empat puluh) hari kerja sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim.

4. Atas dasar kesepakatan para pihak, jangka waktu mediasi dapat diperpanjang paling lama14 (empat belas) hari kerja sejak berakhir masa 40 (empat puluh) hari

5. Jangka waktu proses mediasi tidak termasuk jangka waktu pemeriksaan perkara.

Jika mediasi menghasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak dan mediator. Apabila

dalam proses mediasi para pihak diwakili oleh kuasa hukum, para pihak wajib menyatakan secara tertulis persetujuan atas kesepakatan yang dicapai. Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator memeriksa materi kesepakatan perdamaian untuk menghindari ada kesepakatan yang bertentangan dengan hukum atau yang tidak dapat dilaksanakan atau yang memuat iktikad tidak baik. Para pihak wajib menghadap kembali kepada hakim pada hari sidang yang telah ditentukan untuk memberitahukan kesepakatan perdamaian. Para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian. Jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan perkara telah selesai.

Jika setelah batas waktu maksimal 40 (empat puluh) hari kerja para pihak tidak mampu menghasilkan kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku. Pada tiap tahapan pemeriksaan perkara, hakim pemeriksa perkara tetap berwenang untuk mendorong atau mengusahakan perdamaian hingga sebelum pengucapan putusan. Upaya perdamaian berlangsung paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak hari para pihak menyampaikan keinginan berdamai kepada hakim pemeriksa perkara yang bersangkutan.

Kekuatan hukum penetapan akta perdamaian kekuatannya sama dengan putusan hakim. Ditegaskan pada pasal 130 ayat (2) HIR bahwa putusan akta perdamaian memiliki kekuatan sama seperti putusan yang telah berkekkuatan tetap.53 Sifat kekuatan yang demikian merupakan penyimpangan dari ketentuan konvensional. Secara umum putusan baru memiliki kekuatan hukum tetap apabila terhadapnya sudah tertutup upaya hukum. Biasanya agar suatu putusan memiliki kekuatan yang demikian,                                                                                                                          

53Yahya Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan dan eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta:Gramedia,1995) hal. 279.

apabila telah menempuh upaya banding dan kasasi. Namun terhadap putusan akta perdamaian, UU sendiri yang melekatkan kekuatan itu secara langsung kepadanya. Segera setelah putusan diucapkan, langsung secara inheren pada dirinya berkekuatan hukum tetap, sehingga akta perdamaian itu mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Penetapan akta perdamaian mempunyai kekuatan eksekutorial yang ditegaskan pada kalimat terakhir pasal 130 (2) HIR yakni Berkekuatan sebagai putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan Juga berkekuatan eksekutorial sebagaimana halnya putusan pengadilan yang telah berkekutan hukum tetap.

Sesaat setelah putusan dijatuhkan langsung melekat kekuatan eksekutorial padanya. Apabila salah satu pihak tidak menaati atau melaksanakan pemenuhan yang ditentukan dalam perjanjian sukarela :

ü Dapat diminta eksekusi pada PN,

ü Atas permintaan KPN menjalankan eksekusi sesuai dengan ketentuan Pasal 195 HIR.

Hal itu sejalan dengan amar putusan akta perdamaian yang menghukum para pihak untuk mentaati perjanjian perdamaian yang mereka sepakati. Putusan akta perdamaian tidak dapat disbanding, hal ini ditegaskan dalam Pasal 130 ayat (3) HIR. Putusan akata perdamaian, tidak dapat di banding. Dengan kata lain, terhadap putusan tersebut tertutup upaya hukum banding dan kasasi. Larangan itu sejalan dengan ketentuan yang mempersamakan kekuatannya sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Memperhatikan kekuatan yang langsung melekat pada putusan akta perdamaian, penyelesaian perkara melalui system ini sangat efektif dan efesien. Segala upaya hukum tertutup, sehingga dapat langsung diminta eksekusi apabila salah satu pihak ingkar memenuhi perjanjian secara sukarela.

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 67-72)

Dokumen terkait