• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

REKOMENDASI DAN PUTUSAN MAJELIS PENGAWAS

BERSIFAT KOLEGIAL (STUDI KASUS : PUTUSAN MAJELIS

PUSAT NOMOR : 05/B/MJ.PPN/XI/2010 DAN AKTA

PERDAMAIAN NOMOR 89/PDT/G/2010/PN.Jkt.Ut

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan

SONIA ALINI ASMARANI 0906583106

FAKULTAS HUKUM PROGRAM KENOTARIATAN

JAKARTA JULI 2012

(2)
(3)
(4)

iv

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., MH. selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran di tengah kesibukan beliau untuk mengarahkan penulis dalam menyusun tesis ini. Selanjutnya penulis menyampaikan terima kasih kepada para penguji lainnya yaitu Bapak Akhmad Budi Cahyono S.H, MH dan Bapak Pieter Latumeten S.H, MH, atas berbagai masukan berharga yang telah diberikan dalam penyempurnaan tesis ini.

Dalam kesempatan ini pula Penulis mengucapkan terima kasih, kepada: (1) Para Dosen Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama menjalankan studi di Magister kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

(2) Seluruh Staf Akademik dan Administrasi pada Program Magister Kenotariatan yang telah banyak membantu dalam memberikan informasi maupun bantuan tenaga

(3) Orang tua penulis yang telah memberikan doa dan kasih sayang yang tanpa batas selama penulis menyelesaikan studi ini.

(4) Suami serta putri penulis yang telah bersabar memberikan kelonggaran waktu dan selalu memberikan dukungan juga kasih sayang kepada penulis. (5) Sahabat-sahabat Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas

(5)

v

Akhirnya penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum, terutama praktek Notaris untuk masa yang akan datang. Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini mungkin masih terdapat kekurangan-kekurangan, kekhilafan maupun kekeliruan, untuk itu semua penulis mohon dimaafkan dan dengan senang hati mengharapkan masukan yang berguna bagi penyempurnaan tesis ini.

Depok, 16 Juli 2011 Sonia Alini Asmarani S.H.

(6)
(7)

Judul : Rekomendasi Dan Putusan Majelis Pengawas Merupakan Tanggung Jawab Kolegial (Studi Kasus : Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor : 05/B/Mj. PPN/XI/2010 dan Akta Perdamaian Nomor 89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut)

Kewenangan Majelis Pengawas Notaris tidak hanya melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, tetapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatan Notaris, jika putusan Majelis Pengawas tidak memuaskan notaris yang bersangkutan. Notaris dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan negeri Sebelum dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara. Akta perdamaian dibuat karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan. Berdasarkan hal-hal tersebut maka permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah : Apakah dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas yang bersifat kolegial dan Mengapa akta perdamaian yang dibuat di pengadilan dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa. Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Normatif yaitu Penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa 1 ) Dalam suatu kewenangan Majelis Pengawas terdapat asas kolegial dimana masing masing anggota Majelis bertanggung jawab tanggung menanggung atas tindakan Ketua atau Wakil Ketua dalam hal terjadi Perbuatan Melawan Hukum; 2) Akta perdamaian memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak yang bersengketa dalam rangka mencapai win-win solution.

Kata Kunci :

Majelis Pengawas Notaris, Akta Perdamaian                      

(8)

Study Program : Master of Notary

Title : Recommendation and Decision of the Supervisory Board is Collegial Responsibilities (Case Study: The verdict of the Council Supervisory Center Number: 05/B/Mj. PPN/XI/2010 and Deed Regulation

No.89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut)

Notary Supervisory Authority of the Assembly not only do the supervision and examination of the notary, but also the authority to impose certain sanctions against the notary who has been convicted of breach of duty Notary office, if the decision of the Supervisory Board does not satisfy the notary in question. Notaries may file a civil lawsuit in state court lawsuit before the implementation of basic examination by the presiding judge, the judge must first reconcile the litigants. Deed of peace was made as desired by the parties concerned to ensure the rights and obligations of the parties and legal protection for interested parties. Based on these two issues to be examined in this study is: What is the impact arising from the exercise of the Supervisory Board that is collegial and Why deed made peace at the court to accommodate the interests of the parties to the dispute. The research method is Normative Juridical, which refers to the legal norms contained in the legislation and court decisions and legal norms that exist in society. The study concluded that 1) the authority of the Board of Trustees have a collegial principle where each Council member is responsible to bear the responsibility for the actions of the Chairman or Vice Chairman in the event of any act against the law, 2) Deed of peace to guarantee legal certainty for the parties to the dispute in order achieve a win-win solution.

Key Word :

Notary Supervision Board, Deed Regulation.  

(9)

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ... iv

ABSTRAK DAFTAR ISI BAB I. PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Perumusan Masalah ... 8 C. Tujuan Penelitian ... 9 D. Metode Penelitian ... 9 E. Sistematika Penulisan ... 10

BAB II. PENGATURAN PENGAWASAN NOTARIS DALAM MENJALANKAN JABATANNYA ... 12

A. Sejarah dan Perkembangan Majelis Pengawas Notaris ... 12

B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris ... 13

C. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan Tata Usaha Negara dan Jabatan Tata Usaha Negara ... 25

D. Mekanisme Pengawasan, Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi Terhadap Notaris ... 29

E. Upaya Hukum Notaris Yang Dijatuhi Sanksi ... 37

BAB III. STUDI KASUS ... 49

A. Tinjauan Mengenai Perdamaian ... 49

B. Hukum Acara Menghendaki Perdamaian ... 57

C. Analisa Putusan ... 62

1. Kasus Posisi ... 62

2. Analisa Hukum ... 64

D. Dampak Yang Timbul Dari Pelaksanaan Kewenangan Majelis Pengawas Yang Bersifat Kolegial ... 66

(10)

Yang Bersengketa ... 68 BAB IV PENUTUP ... 71 KESIMPULAN ... 71 SARAN ... 72 DAFTAR PUSTAKA  

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum dimana prinsip negara hukum adalah menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal ini tentunya menuntut bahwa di dalam lalu lintas hukum diperlukan adanya alat bukti dalam menentukan hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Di Indonesia sendiri munculnya lembaga notaris dilandasi kebutuhan akan suatu alat bukti yang mengikat selain alat bukti saksi, hal ini dapat dilihat dari keberadaan notaris yang berfungsi untuk membuat akta otentik sebagai alat bukti mengenai hubungan hukum antara individu dengan individu lainnya.

Secara kebahasaan notaris berasal dari kata notarius untuk tunggal dan notarii untuk jamak. Notarius merupakan istilah yang digunakan oleh masyarakat Romawi untuk menamai mereka yang melakukan pekerjaan menulis. Namun fungsi notarius pada zaman tersebut berbeda dengan fungsi notaris pada saat ini. Terdapat pendapat lain mengatakan bahwa nama notarius aslinya berasal dari nota literia yang artinya menyatakan suatu perkataan.1 Nusantara sebagai bagian dari tanah jajahan Nederlands sebelum dilakukan pengaturan melalui perundang-undangan yang mengatur tentang notariat ternyata telah ada apa yang disebut notaris. Pada permulaan abad ketujuh belas notaris telah dibawa oleh orang-orang Belanda dan seiring dengan didirikannya VOC (Vereenigde Oostindiche Compagnie) atau Persatuan Maskapai-Maskapai Dagang Belanda, yatitu pada tanggal 20 Maret 1602. Tercatat sebagai orang yang pertama kali diangkat sebagai notaris (pada waktu itu disebut Nederlandsch Oost Indie), yakni tanggal 27 Agustus 1620, adalah Melchior Kerchem yang merupakan sekretaris College Van Schepenen. Melchior diangkat untuk menjadi notaris di Jacatra (sekarang Jakarta) oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Artinya pengangkatan tersebut hanya beberapa bulan sejak didirikannya Jacatra                                                                                                                          

(12)

sevagai kota perdagangan, yang menurut surat perintah dari penguasa negeri Belanda (Heren Zeventien) pada waktu itu tertanggal 4 Maret 1621 diberi nama Batavia (Betawi).2

Bahwa pada tahun 1860 pemerintah Belanda melakukan penyesuaian regulasi mengenai jabatan notaris di Nusantara dengan mengeluarkan Stb. No. 3 yang mulai diberlakukan pada tanggal 1 Juli 1860. Dengan diundangkannya Notaris Reglement tersebut maka telah diletakkanlah fudamen sebagai landasan perlembagaan notaris di Indonesia3 Sejak lama

telah terdapat perarturan perundang-undangan yang menyangkut ketentuan-ketentuan tentang pengawasan terhadap notaris seperti Notaris seperti Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia (LN 1847 No. 23 jo 1848 No. 57), Rechtsreglement buitengewesten (LN 1927 No. 227), Peraturan Jabatan Notaris (LN 1860 No. 3) dan sejak pada tanggal 6 Oktober 2004, maka diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Tahun 2004 diundangkan Undang- Undang nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau disebut UUJN pada tanggal 6 Oktober 2004.

Undang – Undang Jabatan Notaris merupakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang – undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Salah satu contoh pembaharuan yang dilakukan yaitu tidak lagi memberikan atribut (sebutan) kepada Notaris sebagai satu – satunya Pejabat Umum yang berwenang membuat akta otentik (Pasal 1 ayat(1) UUJN).. Hal ini berbeda dengan Pasal 1 PJN yang menegaskan bahwa Notaris adalah satu – satunya Pejabat Umum yang berwenang (uitslui bevoedg) membuat akta otentik.4

Pembaharuan lainnya yang juga dilakukan yaitu mengenai sanksi terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya jika melanggar pasal                                                                                                                          

2  Ibid,  10.  

3  Ibid,  11.  

4  Habib  Adjie,  Sanksi  Perdata  dan  Administratif  terhadap  Notaris  Sebagai  Pejabat  Publik   (Bandung:PT  Refika  Aditama,2008),  hal  6.  

(13)

– pasal tertentu dalam UUJN dan Pengawasa terhadap Notaris yang dilakukan oleh suatu Majelis Pengawas yang terdiri dari unsur Notaris, Pemerintah (dari Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia) dan Akademisi (dari Fakultas Hukum).

Dalam UUJN, ada 2 (dua) bentuk sanksi, yaitu :5

1. Sebagaimana yang tersebut dalam Pasal 84 UUJN, yaitu jika Notaris melanggar (tidak melakukan) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, k, Pasal 41, Pasal 44, pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, pasal 51, Pasal 52.

Jika ketentuan sebagaimana dalam pasal tersebut di atas tidak dipenuhi maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau akta menjadi batal demi hukum, dan hal tersebut dapat dijadikan alasan bagi para pihak (para penghadap) yang tercantum dalam akta yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris. Sanksi untuk memberikan ganti rugi, biaya dan bunga seperti dalam pasal 84 UUJN dapat dikategorikan sebagai Sanksi Perdata.

2. Sebagaimana yang tersebut dalam pasal 85 UUJN, yaitu jika Notaris melanggar ketentuan Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a sampai dengan k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63 maka Notaris akan dijatuhi sanksi berupa :

a. Teguran Lisan; b. Teguran Tertulis;

c. Pemberhentian sementara; d. Pemberhentian dengan hormat; e. Pemberhentian tidak hormat;

Sanksi yang terdapat dalam Pasal 85 UUJN dapat dikategorikan sebagai Sanksi Administratif. Sanksi Administratif yang tercantum dalam Pasal 85 UUJN dapat dilaksanakan jika notaris melanggar pasal-pasal yang                                                                                                                          

(14)

tersebut dalam Pasal 85 UUJN. Sanksi – sanksi tersebut merupakan sanksi yang dapat dijatuhkan oleh Majelis Pengawas, jika Notaris melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam pasal 85 UUJN.6

Pejabat atau instansi yang diberi wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pasal 67 ayat (1) UUJN). Dalam pelaksanaan pengawasan tersebut Menteri membentuk Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat (2) UUJN). Berdasarkan Pasal 68 UUJN Majelis Pengawas terdiri dari :7

a. Majelis Pengawas Daerah; b. Majelis Pengawas Wilayah; c. Majelis Pengawas Pusat.

Tiap Majelis tersebut mempunyai tempat kedudukan yang berbeda untuk Majelis Pengawas Daerah (MPD) berkedudukan di Kabupaten atau Kota (Pasal 69 ayat (1) UUJN), Majelis Pengawas Wilayah (MPW) berkedudukan di ibukota Propinsi (Pasal 72 ayat(1) UUJN) dan Majelis Pengawas Pusat (MPP) berkedudukan di ibukota negara (Pasal 76 ayat 1) UUJN). Majelis Pengawas Notaris secara umum mempunyai ruang lingkup atau berwenang menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris (Pasal 70 huruf a, Pasal 73 ayat(1) huruf a dan b, Pasal 77 huruf a dan b UUJN). Dibentuknya Majelis Pengawas Notaris di tiap kota atau kabupaten dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum bagi masyarakat pengguna jasa Notaris. Karena pada faktanya terjadi penyimpangan-penyimpangan yang banyak dilakukan oleh Notaris dalam melaksanakan kewenangan dan jabatannya mulai dari penyimpangan yang bersifat administratif maupun penyimpangan-penyimpangan yang mengakibatkan kerugian materiil pada masyarakat pengguna jasa Notaris.

                                                                                                                          6  Ibid,  hal  11.  

(15)

Adapun fungsi pengawasan yang diemban oleh Majelis Pengawas Pusat Notaris meliputi :8

1. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;

2. Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;

3. Menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara;

4. Mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Majelis Pengawas Notaris dapat membentuk Majelis Pemeriksa dengan kewenangan untuk memeriksa menerima laporan yang diterima dari masyarakat atau sesama Notaris. Dalam pasal 31 ayat (1) dan (2) Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 02.PR.08.10 Tahun 2004 ditemukan pengaturan bahwa Majelis Pemeriksa Notaris (Wilayah dan Pusat) yang dibentuk oleh Majelis Pengawas Notaris ((Wilayah dan Pusat), jika dalam melakukan pemeriksaan Notaris terbukti bahwa yang bersangkutan melanggar pelaksanaan tugas jabatan Notaris dan Kode Etik Notaris, maka Majelis Pemeriksa Wilayah atau Pusat dapat menjatuhkan sanksi, berupa :9

a. Teguran lisan; b. Teguran tertulis;

c. Pemberhentian sementara;

d. Pemberhentian dengan hormat, dan; e. Pemberhentian dengan tidak hormat.

Kewenangan untuk menjatuhkan sanksi tertentu hanya ada pada MPW dan MPP berdasarkan UUJN, tapi di sisi lain Majelis Pemeriksa (Wilayah dan Pusat) berwenang pula untuk menjatuhkan sanksi administratif sebagaimana tersebut di atas. Menurut Pasal 33 Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun                                                                                                                          

8  Habib  Adjie,Majelis  Pengawas  Notaris  Sebagai  Pejabat  Tata  Usaha  Negara  (Bandung:PT.  Refika  

Aditama,  2011),  hal  14.  

(16)

2004, bahwa notaris yang dijatuhi sanksi oleh Majelis Pemeriksa Wilayah dapat melakukan banding ke MPP, dan putusan Majelis Pemeriksa Pusat final dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kecuali putusan tentang pengusulan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri (Pasal 35 ayat (2)) Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).10 Putusan Majelis Pemeriksa Pusat tersebut dilaporkan kepada MPP

untuk diteruskan kepada Menteri (Pasal 35 ayat (3) dan (4) Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004).

Di dalam melaksanakan fungsi pengawasannya dan wewenangnya menjatuhkan sanksi administratif, Majelis Pengawas Pusat pada faktanya menghadapi berbagai macam kendala yang disebabkan disinkronisasi pengaturan sanksi administratif yang tercantum dalam UUJN dengan Perarturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tersebut dari segi kewenangan dan pengawasan. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris tidak hanya melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap Notaris, tetapi juga berwenang untuk menjatuhkan sanksi tertentu terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan pelanggaran dalam menjalankan tugas jabatan Notaris, sanksi yang dijatuhkan oleh Majelis Pengawas tersebut, Notaris diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan kepada Majelis Pengawas yang menjatuhkan sanksi kepadanya , jika tidak puas dapat mengajukan banding kepada instansi Majelis Pengawas yang lebih tinggi, dan gugatan pengadilan tata usaha negara, jika putusan Majelis Pengawas tetap tidak memuaskan notaris yang bersangkutan.

Notaris dapat mengajukan gugatan secara perdata ke pengadilan negeri jika dirasa oleh notaris adanya perbuatan melawan hukum dalam proses pemeriksaan dalam pelanggaran jabatan notaris oleh Majelis Pengawas Notaris, akan tetapi dalam sidang perkara perdata, sebelum

                                                                                                                          10  Ibid,  hal  52.  

(17)

dilaksanakannya pemeriksaan pokok gugatan oleh majelis hakim, pertama-tama hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara.

Upaya tersebut dilakukan oleh hakim sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No : 1 Tahun 2002 sebagai berikut :

1. Agar semua hakim yang menyidangkan suatu perkara dengan sungguh – sungguh mengusahakan perdamaian dengan menerapkan ketentuan 1 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, LN No. 8 Pasal 130 HIR/RBg, tidak hanya sekedar formalitas menganjurkan perdamaian.

2. Hakim yang ditunjuk dapat sebagai fasilitator yang membantu para pihak baik dari segi waktu, tempat dan pengumpulan data serta argumentasi para pihak dalam rangka ke arah perdamaian.

3. Pada tahap selanjutnya apabila di kehendaki para pihak yang berperkara, hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat bertindak sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang disengketakan, dan berdasarkan informasi yang diperoleh serta keinginan masing-masing pihak dalam rangka perdamaian, mencoba menyusun proposal perdamaian yang kemudian di konsultasikan dengan para pihak untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan.

4. Hakim yang ditunjuk sebagai fasilitator atau mediator oleh para pihak tidak dapat menjadi hakim majelis pada perkara yang bersangkutan, untuk menjaga obyektifitas.

5. Untuk pelaksanaan tugas sebagai fasilitator maupun mediator kepada hakim yang bersangkutan diberikan waktu paling lama 3 ( tiga ) bulan, dan dapat diberikan perpanjangan apabila ada alasan untuk itu dengan persetujuan Ketua Pengadilan Negeri, dan waktu tersebut tidak termasuk waktu penyelesaian perkara sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 6 Tahun1992.

6. Persetujuan para pihak dituangkan dalam persetujuan tertulis dan di tanda tangani, kemudian dibuatkan akta perdamaian atau dading,

(18)

agar dengan akta perdamaian itu para pihak menepati apa yang telah disepakati tersebut.

7. Keberhasilan penyelesaian perkara melalui perdamaian, dapat dijadikan penilaian bagi hakim yang menjadi fasilitator.

8. Apabila usaha–usaha yang dilakukan oleh hakim tersebut tidak berhasil, hakim yang bersangkutan melaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan oleh majelis hakim dengan tidak menutup peluang bagi para pihak, untuk berdamai selama proses pemeriksaan berlangsung.

9. Hakim yang menjadi fasilitator atau mediator wajib membuat laporan kepada Ketua Pengadilan secara teratur.

10.Apabila terjadi proses perdamaian, maka proses perdamaian tersebut dapat dijadikan sebagai alasan penyelesaian perkara melebihi ketentuan 6 bulan.11

Untuk mengetahui lebih dalam mengenai kedudukan serta tanggung jawab kolegial dari Majelis Pengawas Notaris menjadi alasan yang kuat dan mendorong penulis untuk melakukan penulisan tesis dengan judul : “Rekomendasi Dan Putusan Majelis Pengawas Merupakan Tanggung Jawab Kolegial (Studi Kasus : Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor

: 05/B/Mj. PPN/XI/2010 dan Akta Perdamaian Nomor

89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut)”

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan diangkat adalah “Rekomendasi Dan Putusan Majelis Pengawas Merupakan Tanggung Jawab Kolegial (Studi Kasus : Putusan Majelis Pengawas Pusat Nomor : 05/B/Mj. PPN/XI/2010 dan Akta Perdamaian Nomor 89/Pdt/G/2010/PN.Jkt.Ut)” Secara lebih terperinci, penulis akan mengemukakan perumusan masalah sebagai berikut :

                                                                                                                         

11  Puslitbang Hukum dan Peradilan, Naskah Akademis Mengenai Court Dispute Resolution,

(19)

1. Apakah dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas yang bersifat kolegial ?

2. Mengapa akta perdamaian yang dibuat di pengadilan dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan para pihak yang bersengketa ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ialah untuk mengetahui :

1. Untuk mengetahui dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan Majelis Pengawas yang bersifat kolegial.

2. Untuk mengetahui suatu akta perdamaian yang dibuat di pengadilan mampu mengakomodir kepentingan para pihak yang bersengketa.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan yang bersifat yuridis normatif, yaitu penelitian hukum yang mempergunakan data sekunder yang dimulai dengan analisis terhadap permasalahan hukum baik yang berasal dari literatur maupun peraturan perundang-undangan khususnya UU Jabatan Notaris dan peraturan pelaksanannya dan ketentuan hukum yang terkait. Setelah itu dilanjutkan dengan menggunakan data primer yang bertujuan untuk menemukan korelasi antara beberapa gejala yang ditelaah.12 Metode penelitian tersebut digunakan dengan mengingat bahwa permasalahan yang diteliti berkisar pada peraturan perundang-undangan, yaitu hubungan antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lainnya serta kaitannya dengan penerapannya dalam praktek.

Tipe penelitian yang dipergunakan adalah tipe penelitian explanatoris, khususnya peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan yang menyangkut dengan kedudukan dari Majelis Pengawas Pusat .

                                                                                                                         

12  Soeryono soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. (Jakarta:

(20)

Jenis data yang digunakan adalah data sekunder melalui studi dokumen-dokumen, untuk memperoleh data yang diambil dari bahan kepustakaan. Jenis Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan Bahan Hukum Primer, Bahan Hukum Sekunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer yaitu berupa bahan hukum yang mengikat, yaitu peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder ini antara lain mencakup hasil penelitian, rancangan undang-undang, hasil karya dari kalangan hukum dan literatur-literatur. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kamus, ensiklopedia, dan sebagainya.13

Metode Analisis Data yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis data kualitatif, yaitu penelitian yang menekankan pada data-data yang diperoleh penulis dari buku-buku, artikel, penulis juga menekankan pada peraturan perundang-undangan.

Bentuk Hasil Penelitian yang penulis lakukan adalah bentuk normatif kualitatif. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak pada penelitian terhadap peraturan perundang-undangan serta pandangan hukum para ahli. Kualitatif karena analisa data berasal dari perilaku sikap dan pandangan dalam praktek dalam rangka menerapkan peraturan perundang-undangan.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mencapai tujuan penelitian, maka penulisan tesis ini disusun secara sistematis terbagi atas tiga bab. Pembagian ini dibuat agar dalam pengembangannya dapat lebih sistematis dan terarah pada apa yang menjadi pokok permasalahan serta dapat dihindarinya penyimpangan dari yang sudah digariskan. Secara garis besar sistematika penulisan tesis ini sebagai berikut:

                                                                                                                         

13  Soerjono Soekanto, dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta :

(21)

Bab 1 berisi pendahuluan yang memuat dibagi menjadi lima sub bab. Pertama, yaitu Latar Belakang dimana akan menceritakan uraian peristiwa yang menyebabkan penulis memilih topik penelitian dan mengapa hal itu dipersolakan oleh penulis. Kedua, adalah Perumusan Masalah yang berisikan permasalahan hukum apa saja yang menjadi titik tolak penelitian. Ketiga, adalah Tujuan Penelitian, yang merupakan jawaban dari permasalahan yang dikemukakan dalam perumusan masalah. Keempat, adalah Metode Penelitian dan terakhir adalah sub bab Kelima berisikan Sistematika Penulisan.

Bab 2 berisi tinjauan secara yuridis tentang putusan yaitu uraian sistematis yang dikumpulkan dari bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan judul dan perumusan masalah untuk mencapai tujuan penelitian. Tinjauan pustaka terdiri dari lima sub bab, yakni Sejarah dan Perkembangan Majelis Pengawas Notaris, Kewenangan Majelis Pengawas Notaris, Majelis Pengawas Notaris Sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara, Mekanisme Pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris serta Upya hukum Notaris yang dijatuhi sanksi.

Bab 3 berisi tentang Studi Kasus terdiri dari empat sub bab yaitu Tinjauan mengenai perdamaian,hukum acara menghendaki perdamaian, analisa putusan terhadap kasus dengan 2 (dua) pin yaitu Kasus Posisi dan Analisa Hukum,Dampak yang timbul dari pelaksanaan kewenangan majelis pengawas yang bersifat kolegial, dan sub bab terakhir ialah akta perdamaian yang dibuat dihadapan pengadilan mampu mengakomidir kepentingan para pihak yang bersengketa.

Bab 4 berisi tentang Kesimpulan dan saran atas permasalahan yang terjadi.

(22)

BAB II

PENGATURAN PENGAWASAN NOTARIS DALAM MENJALANKAN JABATANNYA

A. Sejarah Dan Perkembangan Majelis Pengawas Notaris

Sebelum berlakunya UUJN, pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi terhadap Notaris dilakukan badan peradilan yang ada pada waktu itu, sebagaimana pernah diatur dalam Pasal 140 Reglement op de Rechtlijke Organisatie en Het Der Justitie (Stbl. 1847 No. 23) Pasal 96 Reglement Buitengewesten, Pasal 3 Ordonantie Buitengerechtelijke Verrichtingen – Lembaran Negara 1946 Nomor 135, dan Pasal 50 Perarturan Jabatan Notaris. Kemudian Pengawasan terhadap Notaris dilakukan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut dalam Pasal 32dan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1965 Tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung. Kemudian dibuat pula Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1984 tentang Cara Pengawasan Terhadap Notaris, Keputusan Bersama Ketua mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman Nomor KNA/006/SKB/VII/1987 tentang Tata Cara Pengawasan, Penindakan dan Pembelaan Diri Notaris, dan terakhir dalam Pasal 54 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004.14

Dalam kaitan tersebut di atas, meskipun Notaris diangkat oleh pemerintah (Dahulu oleh Menteri Kehakiman, sekarang oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) mengenai pengawasannya dilakukan oleh badan peradilan, hal ini dapat dipahami pada waktu itu kekuasaan kehakiman ada pada Departemen Kehakiman.

Tahun 1999 sampai dengan tahun 2001 dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, dengan amandemen tersebut telah pula merubah Kekuasaan Kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam                                                                                                                          

(23)

lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Sebagai tindak lanjut dari perubahan tersebut dibuat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, ditegaskan bahwa Mahkamah Agung sebagai pelaku salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.15

Mahkamah Agung berdasarkan aturan hukum tersebut hanya mempunyai kewenangan dalam bidang peradilan saja, sedangkan dari segi organisasi, administrasi, dan finansial menjadi kewenangan Departemen Kehakiman

Pada tahun 2004 dibuat Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 dalam pasal 5 ayat 1 ditegaskan bahwa pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sejak pengalihan kewenangan tersebut, notaris yang diangkat oleh Pemerintah (menteri) tidak tepat lagi jika pengawasannya dilakukan oleh instansi lain dalam hal ini Badan Peradilan, karena Menteri sudah tidak mempunyai kewenangan apapun terhadap badan peradilan. Kemudian tentang pengawasan terhadap notaris yang diatur dalam pasal 54 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 dicabut oleh pasal 91 Undang Undang Jabatan Notaris.

Setelah berlakunya Undang Undang Jabatan Notaris, badan peradilan tidak lagi melakukan pengawasan pemeriksaan, dan penjatuhan terhadap sangsi notaris, tugas tersebut dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM dengan membentuk Majelis Pengawas Notaris.

B. Kewenangan Majelis Pengawas Notaris

Majelis pengawas Notaris sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melakukan pengawasan pemeriksaaan, dan menjatuhkan sanksi

                                                                                                                          15

(24)

terhadap notaris, tiap jenjang majelis pengawas (MPD MPW dan MPP) mempunyai wewenang masing-masing sebagai berikut :16

1. Majelis Pengawas Daerah (MPD)

Wewenang MPD diatur dalam UUJN, Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10. Tahun 2004. Dalam Pasal 66 UUJN diatur mengenai wewenang MPD yang berkaitan dengan :

i. Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan MPD berwenang: a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang

dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris.

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

ii. Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat berita acara penyerahan MPD dapat tidak menyetujui penyidik, penuntut umum atau hakim untuk :

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam Penyimpanan Notaris

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.

Sepanjang tata cara dan prosedur pembuatan akta telah dipenuhi oleh Notaris yang bersangkutan, meskipun hal ini tidak diatur dalam UUJN.

Ketentuan Pasal 66 UUJN ini mutlak kewenangan MPD yang tidak dipunyai oleh MPW maupun MPP. Substansi Pasal 66 UUJN                                                                                                                          

(25)

imperatif dilakukan oleh penyidik, penuntut umum atau hakim. Dengan batasan sepanjang berkaitan dengan tugas jabatan Notaris dan sesuai dengan kewenangan Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 15 UUJN. Ketentuan tersebut berlaku hanya dalam perkara pidana, karena dalam pasal tersebut berkaitan dengan tugas penyidik dan penuntut umum dalam ruang lingkup perkara pidana. Jika seorang Notaris digugat perdata maka izin dari MPD tidak diperlukan, karena hak setiap orang mengajukan gugatan jika ada hak haknya terlanggar oleh suatu akta Notaris.

Dalam kaitan ini MPD harus objektif ketika melakukan pemeriksaan atau meminta keterangan dari Notaris untuk memenuhi permintaan peradilan, penyidik atau penuntut umum atau hakim artinya MPD harus akta Notaris sebagai objek pemeriksaan yang berisi pernyataan atau keterangan para pihak, bukan objek pemeriksaan sehingga tata cara prosedur pembuatan akta harus dijadikan ukuran dalam pemeriksaan tersebut.

Dengan demikian diperlukan anggota MPD, baik dari unsur Notaris, pemerintahan dan akademis yang memahami akta Notaris, baik dari prosedur maupun subtansinya. Tanpa ada izin dari MPD , penyidik,penuntut umum dan hakim tidak dapat memanggil atau memeinta Notaris dalam suatu perkara pidana.

Pasal 70 Undang Undang Jabatan Notaris mengatur wewenang Majelis Pengawas Daerah yang berkaitan dengan :

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan notaris.

b. Melakukan pemeriksaan terhadap protokol notaris secara berkala satu kali dalam satu tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu.

c. Memberikan ijin cuti untuk sampai dengan 6 (enam) bulan d. Menetapkan notaris penggaanti dengan memperhatikan

(26)

e. Menentukan tempat penyimpanan protokol notaris yang pada saaat serah terima protokol notaris telah berumur 25 tahun atau lebih.

f. Menunjuk notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara protokol notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat 4. g. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya

dugaan pelanggaran kode etik notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang undang ini.

h. Membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d dan g kepada Majelis Pengawas Wilayah.

Kemudian Pasal 71 UUJN mengatur wewenang MPD yang berkaitan dengan :17

a. Mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir

b. Membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris dan Majelis Pengawas Pusat

c. Merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan

d. Menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya.

e. Menerima laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat dan Organisasi Notaris

                                                                                                                         

(27)

f. Menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.

Wewenang MPD juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik IndonesiaNomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 seperti dalam Pasal 13 ayat 1 dan 2 yang menegaskan bahwa kewenangan MPD yang bersifat administratif dilaksanakan oleh ketua,wakil ketua atau salah satu anggota yang diberi wewenang berdasarkan keputusan rapat MPD yaitu mengenai :

a. Memberikan izin cuti untuk jangka waktu sampai dengan 6(enam) bulan.

b. Menetapkan Notaris pengganti.

c. Menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih.

d. Menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam undang-undang.

e. Memberi paraf dan menandatangani daftar akta, daftar surat dibawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan dan daftar surat lain yang diwajibkan secara undang-undang.

f. Menerima penyampaian secara tertulis salinan dari daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, dan daftar surat dibawah tangan yang dibukukan yang telah disahkannya yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lambat 15 (lima belas) hari kalender pada bulan berikutnya, yang memuat sekurang-kurangnya nomor, tanggal dan judul akta.

Wewenang MPD dalam Pasal 16 Peraturan Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10

(28)

Tahun 2004 mengatur mengenai pemeriksaan terhadap Notaris yang dilakukan oleh sebuah Tim Pemeriksa, yaitu :

a. Pemeriksaan secara berkala dilakukan oleh Tim Pemeriksa yang terdiri atas 3 (tiga) orang anggota dari masing-masing unsur yang dibentuk oleh Majelis Pengawas daerah yang dibantu oleh 1(satu) orang sekretaris.

b. Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menolak untuk memeriksa Notaris yang mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis lurus ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris.

c. Dalam hal Tim Pemeriksa mempunyai hubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Ketua Majelis Pengawas Daerah menunjuk penggantinya.

Hasil pemeriksaan Tim pemeriksa sebagaimana tersebut diatas wajib dibuat Berita Acara dan dilaporkan kepada MPW,pengurus organisasi jabatan Notaris dan MPW, hal ini berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, yaitu :

a. Hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 dituangkan dalan berita acara pemeriksaan yang ditanda tangani oleh Ketua Tim pemeriksa dan Notaris yang diperiksa

b. Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan, Pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Majelis Pengawas Pusat.

Wewenang MPD juga diatur dalam Keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor

(29)

M.39-PW.07.10 Tahun 2004 seperti tersebut dalam angka 1 butir 2 mengenai Tugas Majelis Pengawas Notaris, yaitu melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 70,71 UUJN,Pasal 12 ayat (2), Pasal 14,15,16 dan 17 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan kewenangan lain, yaitu :

a. Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah tanggapan Majelis Pengawas Daerah berkenaan dengan keberatan atas putusan penolakan cuti.

b. Memberitahukan kepada Majelis Pengawas Wilayah adanya dugaan unsur pidana yang ditemukan oleh Majelis Pemeriksa Daerah atas laporan yang disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah.

c. Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti. d. Menandatangani dan memberi paraf Buku Daftar Akta

dan Buku Khusus yang dipergunakan untuk mengesahkan tanda tangan surat di bawah tangan dan untuk membukukan surat dibawah tangan.

e. Menerima dan menatausahakan Berita Acara Penyerahan Protokol

f. Menyampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah:

i. Laporan berkala setiap 6(enam) bulan sekali atau pada bulan Juli dan januari

ii. Laporan insidentil setiap 15 (lima belas) hari setelah pemberian izin cuti.

2. Majelis Pengawas Wilayah (MPW)

Wewenang MPW di samping diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam pasal 73 ayat 1 Undang Undang Jabatan Notaris diatur

(30)

mengenai wewenang Majelis Pengawas Wilayah yang berkaitan dengan :18

a. Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah.

b. Memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

c. Memberikan ijin cuti lebih dari enam bulan sampai satu tahun

d. Memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang memberikan sangsi berupa teguran lisan atau tertulis

e. Mengusulkan pemberikan sanksi terhadap notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa :

(1) Pemberhentian sementara tiga bulan sampai dengan enam bulan

(2) Pemberhentian dengan tidak hormat

f. Membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sangsi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f. Menurut Pasal 73 ayat (2) UUJN,Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final dan terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara (Pasal 73 ayat (3) UUJN).

Wewenang MPW menurut Pasal 26 Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh MPW yaitu :

1) Majelis Pemeriksa Wilayah memeriksa dan memutus hasil pemeriksaan Majelis Pemeriksa Daerah.

                                                                                                                          18  Ibid,  hal  12.  

(31)

2) Majelis Pemeriksa Wilayah mulai melakukan pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan Majelis Pengawas daerah dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.

3) Majelis Pemeriksa Wilayah berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk didengar keterangannya. 4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30

(tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.

Dalam angka 2 butir 1 Keputusan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004 mengenai Tugas Majelis Pengawas menegaskan bahwa Majelis Pengawas Wilayah berwenang untuk menjatuhkan sanksi yang tersebut dalam Pasal 73,85 Undang Undang Jabatan Notaris dan Pasal 26 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004, kemudian angka 2 butir 2 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 tahun 2004 mengatur pula mengenai kewenangan Majelis Pengawas Wilayah, yaitu :

1) Mengusulkan kepada Majelis Pengawas Pusat pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat.

2) Memeriksa dan memutus keberatan atas putusan penolakan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah.

3) Mencatat izin cuti yang diberikan dalam sertifikat cuti. 4) Melaporkan kepada instansi yang berwenang adanya

dugaan unsur pidana yang diberitahukan oleh Majelis Pengawas Daerah. Atas laporan tersebut, setelah dilakukan pemeriksaan oleh Majelis Pemeriksa Wilayah hasilnya disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat. 5) Menyampaikan laporan kepada Majelis Pengawas Pusat,

yaitu:

a. Laporan berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dalam bulan Agustus dan Pebruari.

(32)

b. Laporan insidentil paling lambat 15 (lima belas) hari setelah putusan Majelis Pemeriksa.

3. Majelis Pengawas Pusat (MPP)

Wewenang Majelis Pengawas Pusat di samping diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris, juga diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 tahun 2004 dan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.39-PW.07.10 Tahun 2004. Dalam pasal 77 Undang Undang Jabatan Notaris diatur mengenai wewenang Majelis Pengawas Pusaat yang berkaitan dengan :19

a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sangsi dan penolakan cuti.

b. memanggil notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a

c. menjatuhkan sangsi pemberhentian sementara

d. mengusulkan pemberhentian sangsi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada menteri.

Selanjutnya wewenang Majelis Pengawas Pusat diatur juga dalam Pasal 29 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 yang berkaitan dengan pemeriksaan lebih lanjut yang diterima dari Majelis Pengawas Wilayah, yaitu :

1) Majelis Pemeriksa Pusat memeriksa permohonan banding atas putusan Majelis Pemeriksa Wilayah.

2) Majelis Pemeriksa Pusat mulai melakukan pemeriksaan terhadap berkas permohonan banding dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kalender sejak berkas diterima.

                                                                                                                          19  Ibid,  hal  14.  

(33)

3) Majelis Pemeriksa Pusat berwenang memanggil Pelapor dan Terlapor untuk dilakukan pemeriksaan guna didengar keterangannya.

4) Putusan diucapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender sejak berkas diterima.

5) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup, yang dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan.

6) Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh Ketua, Anggota dan Sekretaris Majelis Pemeriksa Pusat.

7) Putusan Majelis Pemeriksa Pusat disampaikan kepada Menteri dan salinanya disampaikan kepada Pelapor, Terlapor, Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pegawas Wilayah dan Pengurus Pusat lkatan Notaris Indonesia, dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak putusan diucapkan.

Dalam angka 3 butir 1 Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 39-PW.07.10 Tahun 2004 mengenai Tugas Majelis Pengawas,bahwa Majelis Pengawas Pusat berwenang untuk melaksanakan ketentuan yang tersebut dalam Pasal 77 , 84 Undang Undang Jabatan Notaris dan 85 Undang Undang Jabatan Notaris dan kewenangan lain, yaitu :

1) Memberikan izin cuti lebih dari 1 (satu) tahun dan mencatat izin cuti dalam sertifikat cuti.

2) Mengusulkan kepada Menteri pemberhentian sanksi pemberhentian sementara.

3) Mengusulkan kepada Menteri pemberian sanksi pemberhentian dengan hormat.

4) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap

(34)

penjatuhan sanksi, kecuali sanksi berupa teguran lisan dan tertulis.

5) Menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil putusan dalam tingkat banding terhadap penolakan cuti dan putusan tersebut bersifat final.

Majelis Pengawas merupakan suatu badan (Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004) dengan parameter seperti ini dikaitkan denganPasal 1 angka 24 KUHAP bahwa yang dapat menjadi Pelapor adalah subjek hukum berupa orang, bukan majelis atau badan, dan berkaitan dengan Keputusan Menteri Kehakiman nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1982 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 1 dan Pasal 7 ayat(1) disebutkan bahwa, Penyelidik dan Penyidik karena kewajibannya mempunyai wewenang menerima laopran atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. Sybstansi pasal ini menegaskan bahwa Penyelidik atau penyidik hanya menerima pengaduan atau laporan dari orang. Dengan demikian tidak tepat Majelis Pengawas bertindak sebagai Pelapor tindak pidana, karena Majelis Pengawas bukan subjek hukum berupa orang.

Pasal 1 angka 24 KUHAP menentukan bahwa hak atau kewajiban melaporkan suatu tindak pidana harus berdasarkan undang-undang, maka dengan demikian Majelis Pengawas tidak mempunyai hak dan kewajiban sebagai Pelapor berdasarkan undang undang. Pelapor harus subjek hukum-orang atau perorangan, bukan badan,majelis atau lembaga. Dengan demikian telah ada ketidaksinkronan secara vertikal Pasal 1 angka 24 KUHAP dengan Pasal 32 ayat(1) dan(2) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tidak berlaku. Wewenang MPW seperti tersebut di atas tidak diatur dalam Undang Undang Jabatan, tapi diatur atau

(35)

disebutkan dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004.

Dengan demikian berdasarkan uraian diatas Majelis Pengawas Notaris berwenang dalam melakukan :

1. Pengawasan 2. Pemeriksaan

3. Menjatuhkan sanksi

C. Majelis Pengawas Notaris Sebagai Pejabat Tata Usaha Negara

Pada dasarnya yang mempunyai wewenang20 yang melakukan pengawasan dan pemeriksaan terhadap notaris adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dalam pelaksanaannya menteri membentuk Majelis Pengawas Notaris. Menteri sebagai kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia mempunyai tugas membantu presiden dalam menyelenggarakan sebagian urusan pemerintah dibidang hukum dan hak asasi manusia.21 Dengan demikian kewenangan pengawasan terhadap notaris ada pada pemerintah, sehingga berkaitan dengan cara pemerintah memperoleh wewenang pengawasan tersebut.

Ada dua cara utama untuk memperoleh wewenang pemerintah yaitu atribut dan delegasi.22 Mandat juga ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang, namun apabila dikaitkan dengan gugatan ke pengadilan tata usaha negara, mandat tidak ditempatkan secara tersendiri karena penerima mandat tidak bisa menjadi tergugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

                                                                                                                         

20  Dalam tesis ini dengan mengambil pendapat Philipus M. Hadjon, bahwa istilah wewenang atau kewenangan yang disejajarkan dengan istilah bevoegdheid dalam konsep hukum publik. Sebagai suatu konsep hukum publik, wewenang atas (sekurang-kurangnya) tiga komponen, yaitu: (1) pengaruh bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku subjek hukum; (2) dasar hukum, bahwa wewenang itu selalu harus dapat ditunjuk dasar hukumnya; dan (3) konformitas hukum, bahwa mengandung makna adanya standar wewenang, yaitu standar umum (semua jenis wewenang),dan standar khusus (untuk jenis wewenang tertentu), Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang Pemerintahan (Bestuursbevoegdheid) Pro Justitia Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, (Bandung :Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, 1998), hlm. 2.  

21  Pasal 35 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia  

(36)

Atribusi merupakan pembentukan wewenang tertentu dan pemberiannya kepada organ tertentu23 atau juga dirumuskan pada atribusi terjadi pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.24 Atribusi pembentukan atau pemberian wewenang pemerintahan didasarkan aturan hukum yang dapat dibedakan dari asalnya yakni yang asalnya dari pemerintah ditingkat pusat bersumber dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Undang Undang Dasar (UUD) atau Undang-Undang dan yang asalnya dari Pemerintah Daerah bersumber dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) atau Peraturan Daerah (PERDA).25 Atribusi wewenang dibentuk atau dibuat atau diciptakan oleh aturan hukum yang bersangkutan atau atribusi ditentukan aturan hukum yang menyebutkan di dalamnya.

Delegasi merupakan pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh Badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya. Dalam rumusan lain bahwa delegasi sebagai penyeraahan wewenang oleh pejabat pemerintahan (pejabat tata usaha negara) kepada pihak lain dan wewenang menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut.26 Pendapat yang pertama bahwa delegasi itu harus dari badan atau jabatan tata usaha negara kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya artinya baik delegator maupun delegans harus sama-sama badan atau jabatan tata usaha negara Pendapat yang kedua bahwa delegasi dapat terjadi dari badan atau pejabat tata usaha negara kepada pihak lain yang belum tentu badan atau jabatan tata usaha negara. Dengan ada kemungkinan bahwa Badan atau Jabatan Tata usaha negara dapat mendelegasikan wewenangnya (delegans) kepada Badan atau Jabatan yang bukan Tata usaha Negara (delegataris). Suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Badan atau Jabatan Tata usaha negara yang tidak                                                                                                                          

23  Ibid  

24  Indroharto,Usaha  Memahami  Undang-­‐Undang  Tentang  Peradilan  Tata  Usaha  Negara,Buku  I,   Beberapa  Pengertian  Dasar  Hukum  Tata  Usaha  Negara,(Jakarta:Pustaka  Sinar  Harapan,1996)  hal  

68.  

25  Habib  Adjie,  loc.cit.   26  Op.Cit,hal  132.  

(37)

mempunyai atribusi wewenang tidak dapat mendelegasikan wewenangnya kepada pihak lain. Delegasi harus memenuhi syarat-syarat :

a. Delegasi harus definitip artinya delegans tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan.

b. Delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika ada ketentuan untuk itu dalam peraturan perundang-undangan.

c. Delegasi tidak kepada bawahan artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya delegasi.

d. Kewajiban memberi keterangan (penjelasan) artinya delegans berwanang untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut.

e. Peraturan kebijakan (beleid sregel) artinya delegans memberikan instruksi atau petunjuk tentang penggunaan wewenang tersebut.27 Berdasarkan pengertian wewenang tersebut bahwa wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap notaris secara atributip ada pada menteri sendiri, yang dibuat, diciptakan, dan diperintahkan dalam undang-undang sebagaimana tersebut dalam pasal 67 ayat 1 undang undang jabatan notaris.

Kedudukan Menteri selaku Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara yang melakukan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku membawa konsekuensi terhadap Majelis Pengawas yaitu Majelis Pengawas berkedudukan pula sebagai Badan atau Jabatan tata Usaha negara karena menerima delegasi dari Badan atau Jabatan yang berkedudukan sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Dengan demikian secara kolegial Majelis Pengawas sebagai :

1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara 2) Melaksanakan urusan pemerintahan

3) Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku, yaitu melakukan pengawasan terhadap Notaris sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris.

                                                                                                                          27

(38)

Dalam melakukan pengawasan, pemeriksaan dan penjatuhan sanksi Majelis Pengawas harus berdasar kewenangan yang telah ditentukan UUJN sebagai acuan untuk mengambil keputusan, hal ini perlu dipahami karena anggota Majelis Pengawas tidak semua berasal dari Notaris, sehingga tidnakan atau keputusan dari Majelis Pengawas harus mencerminkan tindakan suatu Majelis Pengawas sebagai suatu badan, bukan tindakan anggota Majelis Pengawas yang dianggap sebagai tindakan Majelis Pengawas.

Kedudukan Menteri sebagai eksekutif (pemerintah) yang menjalankan kekuasaan pemerintah dalam kualifikasi sebagai Badan atau Jabatan Tata Usaha Negara. Berdasarkan Pasal 67 ayat (2) UUJN Menteri mendelegasikan wewenang pengawasan tersebut kepada suatu badan dengan nama Majelis Pengawas. Majelis Pengawas menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 tahun 2004, adalah suatu badan yang memounyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap Notaris. Dengan demikian Menteri selaku delegans dan Majelis Pengawas sebagai delegataris. Majelis Pengawas sebagai delegataris mempunyai wewnang untuk megawasi sepenuhnya, tanpa perlu untuk mengembalikan wewenangnya kepada delegans.

Majelis Pengawas dalam kedudukan sebagai Badan atau Jabatan tata Usaha Negara mempunyai kewenangan untuk membuat atau mengeluarkan Surat Keputusan atau Ketetapan28 yang berkaitan dengan hasil pengawasan, pemeriksaan atau penjatuhan sanksi yang ditujukan kepada Notaris yang bersangkutan. Dengan memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dalam kedudukan seperti itu Surat keoutusan atau Ketetapan Majelis Pengawas dapat dijadikan objek gugatan oleh Notaris ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai sengketa tata usaha negara. Dalam Pasal 1                                                                                                                          

28  Elemen  dari  Keputusan  Tata  Usaha  Negara  (KTUN)  terdapat  dalam  Pasal  1.3  Undang  Undang  

Nomor  5  Tahun  1986,  tentang  Peradilan  Tata  Usaha  Negara,  lihat  S.F  Marbun  dan  Moh.  Mahfud   MD,  Pokok-­‐Pokok  Hukum  Administrasi  Negara,  (Yogyakarta  :  Liberty,2000),  hlm  72-­‐82.  

(39)

ayat (4) Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Sengketa Tata Usaha Negara :

adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika Notaris merasa bahwa keputusan dari Majelis Pengawas tidak tepat atau memberatkan Notaris yang bersangkutan atau tidak dilakukan yang transparan dan berimbang dalam pemeriksaan. Peluang untuk mengajukan ke PTUN tetap terbuka setelah semua upaya administrasi yang disediakan baik keberatan administratif maupun banding administrasi, telah ditempuh, meskipun dalam aturan hukum yang bersangkutan telah menentukan bahwa putusan dari badan atau Jabatan TUN tersebut telah menyatakan final dan tidak dapat ditempuh upaya hukum lain karena pada dasarnya bahwa penggunaan upaya administratif dalam sengketa tata usaha negara bermula dari sikap tidak puas terhadap perbuatan tata usaha negara.

Terhadap keputusan Majelis Pengawas Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 66 UUJN, jika Notaris yang bersangkutan merasa dirugikan, atas putusan tersebut tidak ada upaya keberatan adminsitratif atau keberatan administrasif atau keberatan administrasif tapi Notaris yang bersangkutan dapat langsung menggugat. Majelis Pengawas Daerah ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

D. Mekanisme Pengawasan, Pemeriksaan Dan Penjatuhan Sanksi

Terhadap Notaris

1. Pengawasan Notaris

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M.02.PR.08.10 Tahun 2004 menegaskan yang dimaksud dengan Pengawasan adalah kegiatan yang bersifat preventif dan kuratif termasuk kegiatan pembinaan yang

(40)

dilakukan oleh Majelis Pengawas terhadap Notaris. Dengan demikian ada 3 (tiga) tugas yang dilakukan oleh Majelis Pengawas, yaitu :29

a. Pengawasan Preventif b. Pengawasan Kuratif c. Pembinaan

Pengawasan yang dilakukan oleh Majelis tidak hanya pelaksanaan tugas jabatan Notaris agar sesuai dengan ketentuan Undang Undang Jabatan Notaris, tapi juga Kode Etik Notaris dan tidnak tanduk atau perilaku kehidupan Notaris yang dapat mencederai keluhuran martabat jabatan Notaris dalam pengawasan Majelis Pengawas (Pasal 67 ayat 5 UUJN), hal ini menunjukkan sangat luas lingkup pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Pengawas.

Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jabatan Notaris dengan ukuran yang pastii ada UUJN dengan maksud agar semua ketentuan UUJN yang mengatur pelaksanaan tugas jabatan Notaris dipatuhi oleh Notaris dan jika terjadi pelanggaran, maka Majelis Pengawas dapat menjatuhkan snaksi kepada Notaris yang bersangkutan.30

Majelis Pengawas juga diberi wewenang untuk menyelenggarakan sidang adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris (Pasal 70 huruf a UUJN). Pemberian wewenang seperti itu telah memberikan wewenang yang sangat besar kepada Majelis Pengawas. Bahwa Kode Etik Notaris merupakan pengaturan yang berlaku untuk anggota organisasi Notaris, jika terjadi pelanggaran atas Kode Etik Notaris, maka organisasi Notaris melalui Dewan Kehormatan Notaris (Daerah,Wilayah dan Pusat) berkewajiban untuk memeriksa Notaris dan menyelenggarakan sidang pemeriksaan atas pelanggaran tersebut, dan jika terbukti Dewan Kehormtan Notaris dapat memberikan sanksi atas kenaggotaan yang bersangkutan pada organisasi jabatan Notaris. Adanya pemberian wewenang seperti itu

                                                                                                                         

29  Habib  Adjie,  Sanksi  Perdata  dan  Admisnistratif  ...,  op.cit,  hal  144.   30  Ibid,  hal  145.  

Referensi

Dokumen terkait

Adapun permasalahan khusus dalam penelitian ini sebagai berikut: (1) Bagaimana kemampuan guru merancang pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi untuk meningkatkan

Hal serupa terjadi pada Furniture Jepara Putri bergerak dalam penjualan Furniture di Bekasi, proses transaksi di Furniture Jepara Putri masih menggunakan

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah optimization metaheuristics ( genetic algorithm dan Particle Swarm Optimization (PSO)) dan teknik Bagging untuk

Selain itu, dapat dilakukan verifikasi tanda tangan dengan menggunakan metode reduksi dimensi transformasi wavelet dan algoritme klasifikasi VFI5 dan

E-modul interaktif berbasis Android yang dikembangkan ini telah divalidasi dan memenuhi kriteria media pembelajaran yang baik dan layak untuk digunakan dalam

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1 program pembentukan karakter peduli lingkungan meliputi kebijakan sekolah berwawasan lingkungan, program pembinaan dan ekstrakurikuler,

Grafik pengaruh waktu penyinaran sinar uv dengan kemampuan fotodegradasi kain terlapisi komposit nanosized chitosan /TiO 2 terhadap Rhodamine. Fotodegradasi Kain

Hasil penelitian ekstraksi mikroalga laut Tetraselmis chuii dengan dua faktor yaitu rasio aquades:etanol dan rasio bahan:pelarut didapatkan hasil analisis sidik