• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEKUATAN HUKUM JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM ADAT

B. Hukum Adat Dalam UUPA

Seperti telah disebut sebelumnya bahwa pada hakekatnya hukum adat adalah dasar daripada Hukum Agraria Indonesia, hal ini secara jelas disebutkan dalam Pasal 5 UUPA. Namun perlu kita perhatikan dan pelajari secara seksama hukum adat yang bagaimana yang dimaksudkan oleh Pasal 5 ini. Perlu kita kaji bagaimana posisi hukum adat sebagai dasar Hukum Agraria Nasional atau dengan kata lain bagaimana kedudukan hukum adat sebenarnya dalam sistem Hukum Agraria nasional.

Kita kembali memperhatikan redaksi Pasal 5 UUPA yang menyatakan sebagai berikut :

“Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indoensia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatunya dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”.

Dari ketentuan Pasal 5 dapat disimpulkan bahwa hukum adat yang merupakan dasar Hukum Agraria itu haruslah hukum adat yang :

a. Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa.

b. Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia

c. Tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya.

d. Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.

Tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa Bahwa ketentuan hukum adat mengenai agraria tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara sudahlah

semestinya, kepentingan nasional dan negara haruslah ditempatkan diatas kepentingan golongan dan daerah serta kepentingan perorangan.

Contoh lain dari pada ketentuan hukum adat yang bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan persatuan bangsa terdapat dalam memori perjelasan angka II/3 dalam hubungannya dengan hak ulayat, dimana jika berdasarkan hak ulayat yang telah diakui dalam UUPA, masyarakat hukum pemegang hak ulayat tersebut mengahalang-halangi pembangunan untuk kepentingan nasional dan negara maka hal ini tidak dapat dibenarkan.

Tidak bertentangan dengan sosialisme Indonesia. Pembuatan UUPA telah memberikan penegasan bahwa hukum adat yang diwariskan oleh sistem hukum acapkali dipengaruhi oleh politik dan masyarakat kolonial, dimana masyarakat kolonial adalah masyarakat kapitalis dengan sistem ekonominya didasarkan atas liberalisme dan kapitalisme.

Disini inisiatif partikelir yang dikedepankan dan hendak dikembangkan. Peraturan ini juga merupakan reaksi terhadap sistem campur tangan penguasa dalam pertanian dengan cultuur stelselnya yang terkenal dengan keburukan-keburukannya. Pihak pengusaha swasta telah berhasil dalam perjuangan mereka untuk membuka perusahaan-perusahaan perkebunan besar dinegeri ini, dalam pada itu teranglah bahwa paham liberalisme dan kapitalisme yang disajikan pegangan dari pengusaha dalam pembuatan peraturan-peraturan dilapangan agraria.

Hukum Agraria kita yaitu UUPA No. 5 tahun 1960 sebagai salah satu alat untuk mencapai tujuan perjuangan yaitu masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila atau didalam UUPA disebut masyarakat sosialis Indonesia, dengan demikian dengan sendirinya tidak boleh memuat ketentuan yang bertentangan dengan sosialisme Indonesia, yang artinya sesuai dengan alam Indonesia, dengan rakyat Indonesia dan adat istiadat Indonesia. Akan tetapi dalam menghadapi hal-hal yang konkrit, masih timbul keragu-raguan tentang masih berlaku atau tidak berlakunya lagi suatu kaedah hukum adat, yang dianggap bertentangan dengan sosialisme Indonesia, selama pembentuk Undang-Undang belum memberikan jawaban penjelasannya maka

dalam menghadapi hal-hal yang konkrit, kiranya kesadaran hukum masyarakatlah yang menjadi pedoman.

Tidak bertentangan dengan UUPA dan peraturan perundang-undangan lainnya. Berlakunya hukum adat tidak dapat bertentangan dengan asas-asas yang tertera dalam UUPA, ketentuan UUPA ini harus dipandang sebagai yang lebih tinggi dan yang harus diutamakan, karena UUPA merupakan peraturan dasar dari pada Hukum Agraria, dengan demikian tidak boleh ada peraturan Agraria baik yang tertulis maupun yang tidak yang bertentangan dengan ketentuan UUPA. Sebagai contoh disebutkan dalam Pasal 9 ayat 2 UUPA bahwa didalam hal pemilikan tanah tidak diadakan perbedaan antara laki-laki dan wanita, sedangkan hukum adat disementara daerah tidak memungkinkan seorang wanita untuk mempunyai hak atas tanah. Ketentuan hukum adat semacam ini jelas bertentangan dengan ketentuan UUPA tersebut yaitu Pasal 9 ayat 2 UUPA.

Mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Telah di syaratkan bahwa hukum adat yang berlaku untuk hak-hak agraria yang baru ini tidak boleh bertentangan dengan unsur-unsur hukum agama, ini harus diindahkan oleh hukum adat yang berlaku untuk hak-hak agraria baru ini. Dengan demikian unsur- unsur hukum agama yang mengatur soal agraria yang telah diresipiir oleh hukum adat sudah menjadi hukum adat dan unsur-unsur itu tidak boleh dikesampingkan, sebaliknya unsur-unsur yang tidak diresipiir buakn merupakan hukum adat dan dengan demikian harus dikesampingkan, namun pembuat UUPA tidak ada menjelaskan atau memberi contoh apa yang dimaksud dengan ketentuan hukum adat dibidang agraria yang bertentangan dengan unsur-unsur agama.

Sebagaimana dimaklumi bahwa hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas dari pengaruh politik masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feodal. Untuk itu bagian-bagian hukum adat yang berkenaan dengan hak atas tanah, tetapi tidak sesuai kepentingan negara yang modern tidak dapat dipandang berlaku.

Sehubungan dengan itu para konseptor UUPA juga mengemukakan pandangannya tentang hukum adat sebagai berikut :

1. Sadjarwo, SH

Beliau dalam kedudukannya sebagai Menteri Agraria dalam pidato pengantarnya didepan sidang Pleno Paripurna DPR-GR tanggal 12 Semptember 1960 mengatakan sebagai berikut :

“... hukum adat mengenai tanah yang kita kenal sekarang sebenarnya adalah hasil perkembangan yang tidak sedikit dipengaruhi oleh politik kolonial, sehingga dalam kenyataannya ada beberapa segi hukum adat itu yang secara diam-diam menguntungkan golongan kecil tertentu saja dalam masyarakat hukum adat itu sendiri dan menghidupkan pertentangan antara kita dengan kita yang tidak sesuai dengan asas tujuan perjuangan bangsa Indonesia”.67

2. Boedi Harsono,SH

mengatakan dalam bukunya sebagai berikut :

“... Hukum Agraria adatpun mengandung cacat pula . hukum adat sebagai hukum yang tidak luput dari pengaruh masyarakat lingkungan tempat berlakunya dan bertumbuhnya hukum yaitu masyarakat jajahan liberal individualistis dan masyarakat feodal. Jadi biarpun Hukum Agraria adat pada umumnya dan pada dasarnya sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yaitu gotong royong dan kekeluargaan, namun tidak lagi seluruhnya memenuhi syarat sebagai sarana untuk membentuk masyarakat Pancasila. Hukum Agraria adatpun perlu dibersihkan dari cacatnya yang tidak asli”.68

Dengan dasar pemikiran sebagaimana yang diungkapan diatas maka diperlukan usaha untuk menyaring dan membersihkan hukum adat dari cacatnya.

Dari itu lahirlah istilah dari para sarjana mengenai hukum adat yang dimaksud tersebut seperti misalnya : Boedi Harsono mengatakan “Hukum Adat yang sudah disaneer”, Sudargo Gautama menyebut “Hukum Adat yang sudah disempurnakan”,

67

Abdurrahman, Kedudukan Hukum Adat Dalam Perundang-undangan Agraria Indonesia, Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta, 1984 hlm 45 - 46

68

Boedi Harsono, Agraria, Sejarah, Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Bagian Pertama Jilid Kedua, Penerbit Jambatan hlm 168

Saleh Adiwinata memberi sebutan “Hukum Adat baru” dan “Hukum Adat yang telah di up grade” atau “hukum adat yang sudah modern”, sedangkan Prof. DR. A.P. Parlindungan, SH menyebutkan Hukum Agraria yang berlandaskan Hukum Adat sama saja dengan proses kelangsungan hidupnya hukum adat. Dengan demikian hukum adat yang dimaksudkan UUPA jelas bukan merupakan hukum adat sebagai mana yang dikemukakan oleh para peneliti hukum adat bangsa Belanda seperti Van Vollenhoven dan Ter Haar.

Berkembangannya hukum adat adalah sejalan dengan perkembangan zaman dan perkembangan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk faktor politik kekuasaan pemerintah dan perundang-undangan, hukum adat disini adalah hukum adat yang sudah dimodernisir karena sudah ditingkatkan kedudukannya, namun hukum adat yang sudah dimodernisir ini adalah tidak lain dari pada keseluruhan asas hukum yang ditarik dari pada hukum adat yang berlaku diseluruh Indonesia, yang telah diolah dan dirumuskan dalam sistem UUPA. Perubahan ini adalah berupa usaha untuk menyerasikan asas hukum tersebut dengan prinsip dasar yang terkandung didalam UUPA, tidak semua hukum adat dipakai menjadi dasar Hukum Agraria nasional hanya hukum adat yang selaras dengan prinsip hukum dasar UUPA saja yang dipakai.

Jadi apabila hukum adat itu tidak sesuai apa yang telah ditentukan dalam UUPA maka hukum adat itu tidak dapat digunakan, oleh karena itu dapat dikatakan UUPA itu merupakan lex specialist dari hukum adat yang merupakan lex generalis.