• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN JUAL BELI TANAH DI KECAMATAN JUHAR

C. Jual Beli Tanah Menurut Hukum Adat

Dalam KUHPerdata, jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk pembayaran harga yang telah dijanjikan.53

Lain halnya dengan Hukum Adat yang mengartikan bahwa jual beli adalah suatu penyerahan barang oleh si penjual kepada si pembeli dengan maksud memindahkan hak milik atas barang itu dengan syarat pembayaran harga tertentu, berupa uang oleh si pembeli kepada si penjual, jadi kalau permufakatan belaka antara kedua belah pihak maka belumlah ada jual beli.54

Titik persamaan antara Hukum Adat dengan Hukum Perdata dalam perihal jual beli ialah bahwa jual beli mengandung tujuan perekonomian yang tertentu yaitu memindahkan hak milik atas sesuatu barang dari seseorang tertentu kepada orang lain.

Dalam hukum perdata jual beli merupakan persetujuan belaka antara penjual dan pembeli untuk penyerahan barang oleh si penjual untuk pembayaran harga oleh si pembeli. Maka dalam hukum adat kalau terjadi jual beli, kepemilikan atas tanah sudah beralih.

53

Lihat Pasal 1457 KUHPerdata 54

Dalam hal-hal tertentu, berdasarkan Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ditetapkan bahwa PPAT menolak untuk membuatkan akta jika a) Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; b) Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar kepadanya tidak disampaikan

sebagai berikut:

1. Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa tanah yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dan;

2. Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari Kantor Pertanahan surat keterangan dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa objek dari perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dalam hal ini adalah jual beli tanah. Objek tanah dapat berupa tanah yang sudah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat, misalnya tanah hak milik adat yang belum dimohonkan konversi oleh pemegang haknya menjadi hak milik menurut Pasal 20 ayat (1) UUPA.

Di dalam tata cara jual beli tanah sebagai salah satu bentuk peralihan hak atas tanah, haruslah dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT, baik notaris sebagai PPAT maupun Camat sebagai PPAT Sementara, dengan suatu akta otentik berupa akta jual beli tanah. Untuk mendapatkan bukti yang kuat dan lebih luas daya pembuktiannya, jual beli tanah tersebut haruslah didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

Dalam hukum adat, pada dasarnya setiap perbuatan hukum yang mengakibatkan terjadinya pemindahan suatu hak atas tanah seperti jual beli tanah hanya akan mendapat perlindungan hukum jika perbuatan hukum dilakukan secara sah.

Untuk menjamin bahwa suatu jual beli itu sah, maka harus dilakukan secara terang. Suatu perbuatan hukum jual beli dilakukan secara terang, jika dilaksanakan dengan sepengetahuan pimpinan persekutuan/Kepala Desa yang sekaligus bertindak sebagai saksi dan menjamin sahnya perbuatan hukum jual beli tersebut.

Menurut Hilman Hadikusuma :

”Bagi masyarakat adat dalam tata cara jual beli tanah, bukan unsur subjektif atau objektif tetapi terlaksana dan terjadinya perjanjian itu didasarkan pada kesepakatan (bulat mufakat) tunai dan tidak tercela. Yang dimaksud tidak tercela yaitu masyarakat lingkungannya tidak ada yang mempersoalkannya, tidak ada yang merasakan terjadinya perjanjian itu tidak baik. Sebaliknya walaupun perjanjian itu dibuat di hadapan Kepala Desa jika masyarakat mempersoalkannya, menganggap hal itu tidak baik, maka perjanjian itu sebenarnya tidak sah”.55

Sebelum jual beli dilakukan antara pemilik tanah dan calon pembeli, tentunya sudah dicapai kata sepakat mengenai akan dilakukannya jual beli itu, tanah mana yang akan dijual dan harganya, bilamana jual belinya akan dilakukan. Kata sepakat itu menimbulkan perjanjian, yang kiranya dapat disebut perjanjian akan (melakukan) jual beli. Menurut hukum adat, untuk mengikatnya perjanjian, disyaratkan adanya apa yang disebut “ Panjer “ berupa uang atau benda yang oleh calon pembeli diserahkan kepada pemilik tanahnya.

55

Selanjutnya, berdasarkan kata sepakat itu kemudian diikuti dengan pernyataan (ijab Kabul) berupa penyerahan uang (harga) dan tanah oleh pembeli dan penjual di hadapan para saksi. Pada saat itu barulah bisa dikatakan jual beli itu terjadi secara sah dan masyarakat setempat menerimanya.

Dalam hukum adat tidak dikenal adanya pendaftaran tanah. Berkaitan dengan ini, Boedi Harsono mengatakan :

”Lembaga Pendaftaran tidak dikenal dalam hukum adat, karena semua memang tidak diperlukan untuk lingkungan pedesaan, yang lingkup teritorial maupun personalnya terbatas. Dalam lingkungan pedesaan, demikian itu para warganya saling mengenal dan mengetahui siapa mempunyai tanah, yang mana dan siapa melakukan perbuatan-perbuatan hukum mengenai tanah miliknya”.56

Hal yang sama juga dikatakan oleh AP. Parlindungan :

”Pembuktian hak-hak atas tanah di Indonesia sangatlah kompleks sekali, karena tiada ada tradisi ataupun peraturan yang menyebutkan keharusan pendaftaran tanah tersebut. Banyak hak-hak atas tanah tidak mempunyai bukti tertulis atau hanya berdasarkan keadaan tertentu diakui sebagai hak-hak seseorang berdasarkan kepada hak-hak adat dan diakui oleh yang empunya sempadan tanah tersebut”.57

Berdasarkan sistem dan tata cara jual beli menurut hukum adat dan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat sahnya suatu perbuatan hukum jual beli tanah menurut hukum adat yaitu adanya objek daripada jual beli berupa tanah dan uang/harga, adanya kata sepakat para pihak (penjual dan pembeli) dan adanya saksi-saksi yang menyaksikan perbuatan hukum jual beli. Pada umumnya saksi-saksi terdiri dari persekutuan/Kepala desa, pemilik tanah yang berbatasan, dan para ahli

56

Boedi Harsono, Op. cit, hal. 127

57

waris dari pihak penjual serta orang lain yang sengaja diminta untuk menyaksikan perbuatan hukum jual beli tersebut.

Setelah berlakunya UUPA maka dalam Hukum Agraria berkenaan dengan jual beli tanah, tentunya sistem yang dipakai terhadap perbuatan hukum tersebut adalah sistem yang tercermin dalam UUPA. Jika dilihat ketentuan yang tercantum dalam pasal 5 UUPA, maka telah disebut bahwa hukum adatlah yang diberlakukan untuk hukum agraria yang baru. Demikian juga dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa hukum adat yang berlaku adalah hukum adat yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dan negara modern.

Dengan demikian, jual beli tanah sebagai bentuk perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah mengacu pada sistem hukum adat yang bersifat kontan/tunai dan terang. Sehingga syarat sahnya suatu jual beli tanah menurut hukum adat juga berlaku dalam hukum agraria.

Dalam rangka memperoleh alat bukti yang otentik terhadap jual beli tanah dan mewujudkan tertib hukum administrasi pertanahan serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada pembeli sebagai pemilik yang baru atas tanah, maka tata caranya sebagaimana yang dikenal dalam hukum adat diubah dan disempurnakan. Untuk itu, pasal 36 ayat (1) UUPA menetapkan “Jual beli, pertukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian hak milik serta pengawasannya diatur oleh pemerintah “.

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut, pasal 37 ayat (1) PP No. 24 tahun 1997 antara lain menetapkan, peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan adanya ketentuan tersebut diatas maka dapat dijelaskan bahwa akta jual beli yang dibuat oleh PPAT hanyalah merupakan syarat untuk dapat dilakukan pendaftaran jual beli tanah tersebut, tanpa adanya akta PPAT, Kepala Kantor Pertanahan akan menolak permohonan pendaftaran jual beli tanah yang diajukan oleh pihak pembeli.

Selanjutnya untuk pembuatan akta PPAT diperlukan persyaratan, baik terhadap subjek maupun objek dari jual beli tersebut. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 29 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997, dimana syarat yang harus dipenuhi oleh objek jual beli adalah penjual haruslah orang yang berhak dan berwenang melakukan perbuatan hukum atas tanah tersebut dan pembeli harus memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah, demikian juga terhadap saksi-saksi haruslah orang yang memenuhi syarat untuk bertindak demikian.

Sedangkan syarat sebagai objeknya adalah tanah tersebut tidak berada dalam keadaan sengketa dan harus jelas status hukumnya serta mempunyai bukti-bukti pemilikan. Bagi bidang tanah yang sudah terdaftar berupa sertifikat asli hak atas tanah yang bersangkutan dan terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan, surat keterangan dari Badan Pertanahan yang

menyatakan tanah tersebut belum bersertifikat atau dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.

Dengan dipenuhinya syarat-syarat tersebut diatas, barulah PPAT dapat membuat akte jual beli atas tanah tersebut dan dengan dilakukannya jual beli tanah dihadapan PPAT, dipenuhi syarat terang dan akta yang ditandatangani para pihak menunjukkan secara nyata perbuatan hukum jual beli yang dilakukan. Pada waktu itu pulalah hak atas tanahnya beralih kepada pembeli sebagai penerima hak yang sah secara hukum atas tanah yang diperolehnya melalui jual beli.