• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Hukum Penguasaan Wilayah Pesisir

2. Hukum Adat

Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum, oleh karena bersifat otonom, yang kemudian disebut otonomi desa; artinya masyarakat hukum tersebut menyelenggarakan perbuatan hukum, misalnya mengambil keputusan yang mengikat warga masyarakat, menyelenggarakan peradilan, mengatur penggunaan tanah, mewarisi dan sebagainya.25

25 Soerjono Soekonto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; Rajawali Pres, 2012, hlm. 3.

Kemudian menurut Ter Haar, masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing-masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.26

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dari hukum adat akan muncul konsepsi tentang hak adat. Pada dasarnya hak adat dapat dikatakan sebagai hak masyarakat adat untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya. Dalam konsep hak tenurial adat, subyek hukum yang berhak mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber alam hanyalah anggota masyarakat adat setempat, yang bukan anggota masyarakat adat setempat tidak memiliki hak apapun, kecuali atas izin masyarakat adat yang bersangkutan, sebab inti dari hak adat adalah kedaulatan masyarakat adat setempat atas wilayah mereka.

Identifikasi tentang masyarakat adat bukan saja berkaitan pada konsep-konsep yuridis tentang apa yang disebut sebagai masyarakat adat dan dimanakah kedudukannya, tetapi pada dasarnya juga mengarah pada

26 Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta; Penerbit Granit, 2004 hlm.

7.

suatu tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai masyarakat adat. Tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka berpegang pada dua hal yaitu:27

1. Kedudukannya sebagai komunitas masyarakat adat;

2. Berakar pada susunan asli dan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.

Pengakuan atas eksistensi atau keberadaan masyarakat adat sangat beragam satu dengan lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat adat oleh pemerintah daerah yang berbeda. Selain kebijakan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat, terdapat pula kesepakatan-kesepakatan internasional yang sebagian telah diratifikasi ke dalam kebijakan-kebijakan perundang-undangan Republik Indonesia dan juga wacana-wacana masyarakat di tingkat nasional misalnya antara lain tentang sistem penguasaan tanah.28

Hukum adat sebenarnya mengakui bahwa penguasaan suatu wilayah petuanan negeri ditandai dengan aktivitas atau kegiatan-kegiatan dari warga atau anak negeri tersebut, misalnya dengan kegiatan berkebun, berburu untuk mencari hasil hutan dan sebagainya29. Ini merupakan bukti

27 Jantje Tjiptabudy, op.cit. Sumber; http://fhukum.unpatti.ac.id/lingkungan-hidup- pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/261-aspek-hukum-pengelolaan-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-terhadap-eksistensi-masyarakat-adat, Diakses tanggal 30 November 2016

28 Ibid.

29 Adi Rianto, op.cit, hlm. 7-8.

bahwa warga atau anak negeri dari negeri tersebut telah berulang kali mengusahakan tempat atau wilayah tersebut, sehingga secara nyata (de facto) mereka menguasai wilayah tersebut. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah apakah secara hukum (de jure) hal itu dapat diterima.

Berkaitan dengan masalah hukum ini sebenarnya harus diikuti dengan pengakuan baik lisan maupun tertulis bahwa wilayah tersebut memang milik warga atau milik negeri tersebut. Hal itu dapat kita lihat dari kesepakatan-kesepakatan antar warga atau negeri-negeri tertentu, yang ditaati oleh mereka baik secara individu (pribadi) maupun warga masyarakat negeri secara keseluruhan.30

Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perairan pada pulau-pulau kecil, maka hukum adat dan hukum kebiasaan yang ada di dalam masyarakat yang memukimi pesisir dan pulau-pulau kecil, merupakan salah satu akses yang diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber-sumber daya alam setempat, dan juga untuk melindungi sumber daya tersebut terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi berupa degradasi, atau eksploitasi berlebihan. Negara seringkali tidak dapat melakukan pengawasan jauh sampai ke dalam lingkup dimana usaha-usaha berskala kecil, menengah maupun besar beroperasi di wilayah pesisir dan laut atau pulau-pulau kecil yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan. Sebaliknya,

30 Jantje Tjiptabudy, op.cit. Sumber; http://fhukum.unpatti.ac.id/lingkungan-hidup- pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/261-aspek-hukum-pengelolaan-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-terhadap-eksistensi-masyarakat-adat, Diakses tanggal 30 November 2016

tempat-tempat usaha tersebut banyak berada disekitar bahkan ditengah-tengah masyarakat yang memukimi pesisir maupun pulau-pulau kecil.

Terlepas dari hukum yang telah diatur dalam beberapa ketentuan diatas, sesungguhnya di masyarakat kita juga mengenal beberapa tipe kepemilikan (penguasaan) sumber daya. Bromley dan Cernea, mengelompokkan 4 tipe kepemilikan sumber daya alam31, yakni:

1. Tanpa pemilik (open access)

2. Milik masyarakat tertenu (common property) 3. Milik pemerintah (state property)

4. Milik swasta atau pribadi

Sedangkan McKean mengelompokkan pemilikan sumber daya alam tersebut dalam 6 (enam) bagian32, yaitu:

1. Tanpa pemilik (unknown property)

2. Milik masyarakat tertentu (common property)

3. Milik pemerintah yang tidak boleh orang lain secara sembarangan memasukinya, seperti Pangkalan Angkatan Laut (state property)

4. Milik pemerintah yang bias dimasuki kelompok umum (public property)

5. Milik swasta atau perusahaan yang lebih dari satu orang; dan 6. Milik pribadi (private property)

31 Secilia A. Barrung, op.cit, hlm. 47-48.

32 Ibid, hlm. 48.

Kedua klasifikasi tersebut diatas memiliki persamaan dan perbedaan yang khas, menurut Mc Kean, membagi milik pemerintah menjadi dua bagian, dan mamisahkan hak milik pribadi dengan milik swasta yang lebih dari satu orang. Namun dari perbedaan tersebut, kedua tipe milik pemerintah masih dapat dikelompokkan sebagai milik pribadi/swasta, demikian juga untuk pemilikan swasta dan pribadi keduanya mempunyai kesamaan, dimana hanya para pemilik yang boleh menikmati manfaat atas sumber daya alam.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut kepemilikan sumber daya laut terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) tanpa pemilik (open acces); (2) milik masyarakat tertentu (common property); (3) milik pemerintah (public property) dan (4) milik pribadi (private property), dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Tanpa pemilik (open acces) adalah milik semua orang atau tidak jelas status kepemilikannya. Tidak ada seorangpun yang berhak mempertahankan sumber daya tersebut untuk tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Tidak ada peraturan yang melarang orang lain untuk mengeksploitasi sumber daya laut tersebut. Sumber daya laut ini biasanya terdapat di perairan laut lepas (high seas) atau di luar laut territorial (12 mil dari garis pantai). Hak akses (Acces right) hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.33

33 Satria Arif, Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat, Bogor; IBP Pres, 2009, hlm. 4.

2. Milik masyarakat atau communal (common property) merupakan milik sekelompok masyarakat yang telah melembaga, dengan ikatan norma-norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya laut tersebut dan melarang pihak lain untuk mengeksploitasinya. Kelompok masyarakat tersebut bervariasi dari segi bentuk, jumlah anggota dan ukuran anggotanya memiliki identitas yang khas, dan memiliki ikatan dan rasa kekerabatan terhadap kelompoknya (spirit de corps). Individu kelompok ini tidak dapat menjual atau mengalihkan haknya kepada orang lain, kecuali dengan cara diwariskan kepada keturunannya, biasanya dalam konsep pemilikan dan penguasaan sumber daya laut tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan di darat dan di laut, sepanjang masyarakat tersebut berdomisili di daerah pesisir (inseperable right for both terrestrial and marine resources).

Pemegang hak biasanya mempunyai hak ulayat atas tanah pertanian di pesisir dan hak akses untuk memanfaatkan sumber daya laut di laut di pesisir.

3. Milik pemerintah (state property) merupakan pemilikan sumber daya alam yang berada di bawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku Pasal 4 Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam di perairan Indonesia di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. pemerintah memiliki hak dan tanggung jawab mengontrol pemanfaatan sumber daya laut tersebut. Individu maupun kelompok

masyarakat dapat saja memanfaatkan sumber daya laut tersebut atas izin, persetujuan, lisensi atau hak pengelolaan yang diberikan oleh pemerintah.

4. Milik pribadi/swasta (private/quasi private property) adalah sumber daya alam yang dimiliki atas perorangan atau kelompok orang secara sah yang ditunjukkan oleh bukti-bukti kepemilikan seperti sertifikat hak milik atas tanah. Pemilik sumber daya laut tersebut dijamin secara hukum dan sosial untuk menguasai dan memanfaatkan bagi kepentingan pemiliknya dan dapat melarang pihak lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Pemiliknya dapat menjual, membagi, mengalihkan dan mewariskan ke keturunannya atau menyewakan ke pihak pihak lain. Pada umumnya hak milik di lahan pesisir tersebut sekaligus mempunyai hak dan akses untuk memanfaatkan sumber daya laut di sekitarnya. Dalam hal sumber daya milik pemerintah tetapi investor diberi hak dan kewenangan untuk mengeksploitasinya selama kurun waktu tertentu, maka pemegang hak dapat dianggap sebagai kuasa swasta.

Tipe-tipe kepemilikan sumber daya alam tersebut di atas tentu mempengaruhi persepsi dan orientasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam, terutama yang tergolong common property dan private property. Meskipun dalam perundang-undangan, seperti dalam UUPA, kepemilikan atas tanah dan sumber daya alam tersebut tidaklah bersifat mutlak karena segala bumi, air dan kekayaan alam tersebut pada dasarnya

berfungsi sosial. Artinya kepentingan umum lebih didahulukan daripada kepentingan individu. Dalam hal ini, Negara sebagai penguasa mempunyai wewenang mengatur pemanfaatan dan hubungan-hubungan hukum pihak-pihak yang memanfaatkan, termasuk membatasi kepemilikan atas sumber daya alam guna terselenggaranya pendistribusian yang adil dan merata.34

Namun selama ini orang lebih banyak mengenal dan memahami kepemilikan privat dan publik. Padahal common property justru merupakan wilayah yang sangat rawan konflik, karena terdiri dari keberadaan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki atau dikelola secara bersama oleh masyarakat sekitar dan masyarakat lainnya. Secara praktek, common property bias kontroversial bahkan kompleks karena baik kelompok maupun individu meyakini hal yang berbeda dalam hal pengelolaan sumber daya yang sama. Wilayah pesisir dan laut biasanya masuk ke dalam rejim akses publik (terbuka maupun terbatas), karena termasuk dalam kategori sumber daya komunal. Namun yang kerap terjadi adalah intervensi Negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir dan laut termasuk pulau-pulau kecil sebagai objek kepemilikan Negara sehingga pengaturannya diurus oleh Negara.35

Dokumen terkait