• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 OLEH: M. AZWARDIN MARZUKI B111 11 403 SKRIPSI TINJAUAN HUKUM TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN PESISIR UNTUK KEGIATAN USAHA DI KOTA MAKASSAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2018 OLEH: M. AZWARDIN MARZUKI B111 11 403 SKRIPSI TINJAUAN HUKUM TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN PESISIR UNTUK KEGIATAN USAHA DI KOTA MAKASSAR"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN PESISIR UNTUK KEGIATAN USAHA

DI KOTA MAKASSAR

OLEH:

M. AZWARDIN MARZUKI B111 11 403

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

HALAMAN JUDUL

TINJAUAN HUKUM TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN PESISIR UNTUK KEGIATAN USAHA

DI KOTA MAKASSAR

SKRIPSI

Diajukan sebagai Tugas Akhir dalam rangka penyelesaian Studi Sarjana Pada Departemen Hukum Keperdataan

Program Studi Ilmu Hukum

disusun dan diajukan oleh:

M. AZWARDIN MARZUKI B 111 11 403

kepada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2018

(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

M Azwardin Marzuki (B 111 11 403) “Tinjauan Hukum Terhadap Pemanfaatan Pesisir Untuk Kegiatan Usaha Di Kota Makassar” di bawah bimbingan Farida Patittingi sebagai pembimbing I dan Ilham Ari Saputra sebagai pembimbing II.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan perairan pesisir untuk kegiatan usaha serta mengetahui sistem pengawasan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan perairan pesisir untuk kegiatan usaha di kota Makassar.

Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Makassar, dengan pertimbangan bahwa di Kota Makassar khususnya di Pantai Losari terdapat beberapa kegiatan usaha yang memanfaatkan perairan pesisir untuk melangsungkan usahanya. Selain itu penulis juga akan melakukan wawancara dengan pejabat instansi terkait antara lain Walikota Makassar, pelaku usaha, pihak pengelola terkait antara lain Dinas Kelautan dan Perikanan, Pertanian, dan Peternakan kota Makassar serta Dinas Pariwisata kota Makassar.

Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) Kebijakan Pemerintah daerah ditunjukkan dengan pemberian izin pengelolaan terhadap perairan pesisir pantai Losari oleh Pemerintah Provinsi dan izin usaha oleh Pemerintah Kota kepada masyarakat pesisir untuk melakukan kegiatan usaha di wilayah perairan pesisir Pantai Losari. Selain itu, pemerintah daerah mengubah fungsi awal bangunan yang sebelumnya didirikan untuk pasar terapung menjadi restoran terapung sebagai bagian dari pemanfaatan ruang di wilayah perairan kota Makassar dan pemberian bantuan berupa perahu wisata sebagai bagian dari program dinas perikanan kota Makassar untuk memajukan ekonomi masyarakat pesisir. 2) Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Makassar sebagai pemberi izin usaha kepada pelaku usaha yang berada di wilayah perairan pesisir Pantai Losari ditunjukkan dengan adanya evaluasi tentang perkembangan yang dihasilkan dan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha tersebut.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat, rahmat, dan hidayah serta kesempatan dan kesehatan yang diberikan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar dengan judul

“TINJAUAN HUKUM TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN PESISIR UNTUK KEGIATAN USAHA DI KOTA MAKASSAR”

Secara sadar penulis haturkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ibunda Mudia dan Ayahanda Marzuki Rahim tercinta berkat doa tulusnya yang selama ini, serta banyak berkorban lahir dan batin dalam melahirkan, mendidik, membina dan membesarkan penulis dalam menimba ilmu pengetahuan sampai kepada penyelesaian studi pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, kiranya amanah yang dipercayakan kepada anakda tidak disia-siakan. Tak terlupakan kepada kakak penulis M Awal Mardi dan adik-adik penulis Muh. Sabilal Muhtadin, St. Mardayanti, dan Wirdayanti serta seluruh keluarga yang tak dapat disebutkan satu-persatu yang telah banyak memberi bantuan moril dan materil, dorongan dan semangat selama ini.

Sesungguhnya skripsi ini terselesaikan bukan semata-mata hasil kerja penulis namun semua itu tidak terlepas dari doa dan dukungan orang- orang tercinta serta bantuan dari banyak pihak, maka dengan setulus hati penulis mempersembahkan rasa terimakasih yang tak terkira kepada:

(8)

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA. Selaku Rektor Universitas Hasanuddin dan para pembantu Rektor beserta seluruh jajarannya.

2. Prof. Dr. Farida Patittinggi, S.H. M.Hum, Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, serta Wakil Dekan I Bapak Prof. Dr.

Ahmadi Miru, S.H.,M.H. Wakil Dekan II Bapak Dr. Syamsuddin Muchtar, S.H., M.H. Wakil Dekan III Bapak Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H. beserta staf dan jajaran Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

3. Prof. Dr. Farida Patittinggi, S.H. M.Hum dan Bapak Dr. Muh, Ilham Ari Saputra, S.H., M.Kn. Selaku Pembimbing atas bimbingan, arahan dan waktu yang diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.

4. Ibu Dr. Sri Susyanti Nur, S.H., M.H, Bapak Dr. Kahar Lahae, S.H., M.Hum. dan Bapak Dr. Zulkifli Aspan, S.H., M.H. selaku tim penguji atas masukan dan saran-saran yang diberikan kepada penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat lebih baik dari sebelumnya.

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah memberikan pelajaran berharga tidak hanya hukum dan disiplin ilmu lainnya tapi juga nilai-nilai, etika dan pengalaman hidup sebagai sosok pengganti orang tua di kampus.

6. Seluruh staf karyawan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah membantu pengurusan administrasi selama kuliah hingga tahap penyelesaian skripsi ini.

7. Kepala Bagian Pengawasan dan Sumber Daya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, Staf Dinas Perikanan dan Pertanian kota Makassar serta Dinas Pariwisata Kota Makassar

(9)

yang telah menerima dan membantu penulis selama melakukan penelitian di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi.

8. Seluruh responden selama penulis melakukan penelitian di kawasan Pantai Losari Makassar.

9. Sahabat-sahabat yang selalu mendukung dan menemani dari awal hingga akhir perkuliahan penulis. Ahmad Akbar, S.H. Ahmad Fadhlullah, S.H. Andi Batari Anindhita S.H., M.H. Andi Nur Oktaria, S.H. Dwi Arianto Rukmana, S.H. I Gde Liananda, S.H. Muh. Azhar Pratama S.H. Zulfikram Nur S.H. dan Muhammad Al-Qadh.

10. Keluarga besar MEDIASI Angkatan 2011 Fakultas Hukun Universitas Hasanuddin.

11. Serta seluruh pihak yang telah mendukung dan mendoakan penulis, namun mungkin tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan yang telah diberikan dengan penuh rahmat dan hidayah-Nya. Penulis sadar bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini sangat penulis harapkan. Terima Kasih.

Wassalamualaikum Wr.Wb.

Makassar, Januari 2018

M. Azwardin Marzuki

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ………..………. i

PENGESAHAN SKRIPSI ………. ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. iii

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI …..………... iv

ABSTRAK ……….. v

KATA PENGANTAR ……… vi

DAFTAR ISI ……… ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ……….……… 7

C. Tujuan Penelitiaan ………. 7

D. Manfaat Penelitian ……….… 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Perairan Pesisir ………... 9

B. Hukum Penguasaan Wilayah Pesisir...……… 11

1. Hukum Nasional ……….. 13

2. Hukum Adat ………. 19

C. Kewenangan Daerah di Wilayah Pesisir...………….. 27

D. Pemanfaatan Wilayah Pesisir……… 30

E. Pengawasan Pemerintah Dalam Pemanfaatan Wilayah Pesisir……… 34

BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ……… 37

B. Sumber Data ……….. 37

C. Jenis dam Teknik Pengumpulan Data ………... 38

D. Analisis Data ……….. 38

(11)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ……….. 39 B. Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap

Pemanfaatan Perairan Pesisir Untuk Kegiatan

Usaha di Kota Makassar ………. 40 C. Sistem Pengawasan Pemerintah Daerah Terhadap

Pemanfaatan Perairan Pesisir Untuk Kegiatan

Usaha di Kota Makassar ………. 52

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………. 64 B. Saran ……… 65

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Laut dan pesisir merupakan wilayah yang sangat luas bahkan membentuk ¾ (tiga perempat) dari permukaan bumi dengan kandungan sumber daya yang sangat besar dan tak terhingga nilainya. Wilayah laut dan pesisir menjadi sumber penghidupan bagi banyak makhluk hidup mulai dari biota laut, terumbu karang, hingga jutaan jenis ikan dan hewan-hewan laut lainnya, bahkan makhluk hidup yang tidak melangsungkan kehidupannya di dalam laut pun memanfaatkan sumber daya yang terkandung di dalamnya seperti burung-burung pencari ikan hingga manusia.

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menggariskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sebagai suatu norma dan kewenangan (bevoegdheidsnorm), Pasal 33 ayat (3) tersebut telah mengatribusikan kewenangan kepada subjek hukum, dalam hal ini Negara, untuk melakukan perbuatan hukum terhadap sumber daya alam (bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya).1

1 Urip Santoso, Hukum Agraria; Kajian Komperhensif, Jakarta; Kencana Prenada Media Group, 2012, hlm. 153-154.

(13)

Jika berbicara tentang laut maka satu hal yang tidak dapat dipisahkan adalah pesisir. Pesisir merupakan wilayah yang unik, karena wilayah pesisir merupakan tempat bertemu antara darat dan laut. Lebih jauh lagi, pesisir merupakan wilayah yang penting ditinjau dari sudut pandang perencanaan dan pengelolaan2. Departemen Kelautan dan Perikanan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (selanjutnya disebut Undang-Undang Pesisir) pasal 1 ayat (2) mendefinisikan bahwa wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.

Transisi antara daratan dan lautan di wilayah pesisir telah membentuk ekosistem yang beragam, sangat produktif dan memberikan nilai ekonomi yang luar biasa terhadap manusia. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi maka wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, oleh Karena itu hendaknya wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara berkelanjutan3.

Melihat keterbatasan sumber daya alam dan wilayah darat, pada akhirnya manusia melirik dan memanfaatkan potensi sumber daya laut. Di dalam laut terkandung sumber pangan yang sangat besar seperti ikan dan

2 Lukita Purnamasari, Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu Dan Berkelanjutan Yang Berbasis Masyarakat, 2009. Sumber; https://uwityangyoyo.wordpress.com, Diakses tanggal 1 November 2016.

3 Y. Nurmalasari, Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisir Berbasis Masyarakat, Makalah Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan, Bandung; STMIK Indonesia Mandiri, 2002, hlm. 1. Sumber; www.stmik- am.ac.id/userfiles/jurna%20yessi.pdf, Diakses tanggal 1 November 2016.

(14)

rumput laut serta sumber daya lainnya yang tak terbarukan seperti bahan tambang lepas pantai yang berperan penting untuk menyuplai energi, serta sumber daya hayati dan non hayati lainnya sehingga peranan sumber daya pesisir dan laut semakin penting untuk memicu pertumbuhan ekonomi dan kebutuhan masyarakat.

Wilayah pesisir memiliki peranan yang penting dalam pertumbuhan ekonomi nasional, yakni sebagai jembatan yang menghubungkan antara wilayah darat dengan wilayah perairan. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi, nilai wilayah pesisir terus bertambah. Konsekuensi dari tekanan terhadap pesisir ini adalah masalah pengelolaan yang timbul karena konflik pemanfaatan akibat berbagai kepentingan yang ada di wilayah pesisir.4

Indonesia merupakan negara kepulauan, yang artinya laut adalah bagian yang tidak terpisahkan dari wilayahnya mulai dari Sabang sampai ke Merauke. Dua pertiga dari luas wilayah Indonesia terdiri dari laut, sehingga laut mempunyai arti dan fungsi strategis bagi bangsa dan negara Indonesia, tidak hanya sebagai penghubung antar pulau-pulau yang menyatukan Indonesia tetapi laut bahkan menjadi sumber devisa terhadap hasil laut Indonesia.

Saat ini Indonesia memasuki era baru dalam hal pengelolaan pemerintahan, yaitu era desentralisasi atau lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah di mana masing-masing daerah (region) memiliki

4 Rahardjo Adisasmita, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2006, hlm. 145.

(15)

wewenang (otoritas) dan tanggung jawab dalam hal pemberdayaan dan pemanfaatan kekayaan sumberdaya alam yang dimilikinya. Konsep desentralisasi ini tidak hanya terfokus pada urusan pemerintahan semata, namun juga sampai pada sistem dan tata cara atau pengelolaan sumberdaya alam yang dimiliki oleh wilayah pemerintahan daerah (regional). Lahirnya otonomi daerah di wilayah pesisir melalui Undang- undang Otonomi Daerah sebagaimana di sebutkan pada pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,5 maka penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyangkut aspek pengelolaan sumberdaya alam kini di desentralisasikan kepada tingkat regional atau daerah yang mana sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah pusat atau lebih bersifat sentralistis.

Dengan perubahan Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Otonomi Daerah menjadi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Pemda telah memberi kewenangan bagi Pemerintah Provinsi untuk mengelola dan mengkoordinasikan pemanfaatan sumberdaya pesisir sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut.

Namun sayangnya konsep desentralisasi atau otonomi daerah yang digulirkan selama ini selalu dipahami sebagai otonomi darat semata, sehingga sebagian besar dari kebijakan-kebijakan pengelolaan yang dikeluarkan oleh institusi pemerintahan difokuskan hanya pada

5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah yang sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah (selanjutnya di sebut Undang-Undang Pemda).

(16)

pengelolaan sumberdaya daratan, padahal untuk Provinsi, Kabupaten dan Kota tertentu khususnya yang memiliki wilayah pesisir dan laut, esensi otonomi ekonomi juga berada di wilayah laut. Otonomi dalam konteks ini bukan hanya mengkavling darat adalah sebagai bagian utama pembangunan, tetapi juga menyertakan wilayah laut dalam memetakan lokasi aktivitas eksplorasi dan eksploitasi baik di dalam perut bumi, dasar laut, laut dalam dan permukaan laut.6

Sangat wajar ketika pemerintah mengatasnamakan negara berjuang mati-matian untuk memberikan kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir. Melalui Undang-Undang Pemda Pasal 27 ayat (2) menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah: Eksploitasi, eksplorasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, Pengaturan kepentingan administratif, Pengaturan tata ruang, Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah, dan Bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara. Undang-undang ini dengan jelas memberikan kewenangan terhadap pemanfaatan sebesar-besarnya wilayah pesisir dengan tetap memerhatikan keseimbangan di daerah tersebut. Oleh karena itu, pemanfaatan di wilayah perairan patut dikembangkan agar lebih produktif dengan tetap memerhatikan eksistensi dan hak-hak masyarakat pesisir dalam pemanfaatan sumber daya pesisir sebagai masyarakat yang tumbuh dan berkembang di wilayah tersebut.

6 Neni Nurani, Pemanfaatan Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2008. Sumber;

http://rangkuman-materi-kuliah-ku.blogspot.co.id/2012/06/pemanfaatan-pengelolaan- wilayah-pesisir.html Diakses tanggal 1 November 2016.

(17)

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memberikan kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mengelola kawasan pesisir. Mengingat kewenangan daerah untuk melakukan pengelolaan bidang kelautan yang termasuk juga daerah pesisir masih merupakan kewenangan baru bagi daerah, maka pemanfaatan potensi daerah pesisir ini belum sepenuhnya dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten atau Kota yang berada di pesisir.

Pemanfaatan potensi wilayah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir. Sebagai contoh, di Kota Makassar terdapat sebuah restoran terapung yang berada sekitar 200 meter dari Anjungan Pantai Losari. Restoran terapung yang dikelola oleh Dinas Perikanan dan Pertanian, dan Peternakan (saat ini menjadi Dinas Perikanan dan Pertanian kota Makassar) menjadi salah satu contoh pemanfaatan potensi wilayah pesisir untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Makassar.

Selain itu, dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, maka instrument pemanfaatan perairan pesisir yang semula dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) juga diganti menjadi Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan wilayah pesisir, untuk melakukan kegiatan pemanfaatan perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi dan izin pengelolaan. Izin Lokasi dimaksudkan untuk memberikan izin untuk memanfaatkan ruang dari

(18)

sebagian perairan pesisir, sedangkan izin pengelolaan dimaksudkan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir tersebut.7 Kota Makassar sebagai wilayah yang memiliki perairan pesisir juga terdapat beberapa pemanfaatan kegiatan restoran dan wisata bahari, untuk itu perlu diketahui kebijakan pemerintah daerah dalam pemanfaatan perairan pesisir tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti hal-hal mengenai pemanfaatan periaran pesisir, dengan judul

“TINJAUAN HUKUM TERHADAP PEMANFAATAN PERAIRAN PESISIR UNTUK KEGIATAN USAHA DI KOTA MAKASSAR”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah di uraikan di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahan dalam penelitian skripsi ini adalah:

1. Bagaimana kebijakan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan perairan pesisir untuk kegiatan usaha di wilayah perairan pesisir kota Makassar?

2. Bagaimanakah sistem pengawasan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan wilayah perairan pesisir untuk kegiatan usaha?

C. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:

7 Nur Abrianto, Pengelolaan Wilayah Pesisir : Perubahan UU No. 27 tahun 2007 ke UU No.1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Pulau Kecil, 2015.

Sumber; http://abrianto05.blogspot.co.id/2015/02/pengelolaan-wilayah-pesisir- perubahan_20.html, Diakses tanggal 1 November 2016.

(19)

1. Untuk mengetahui kebijakan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan perairan pesisir untuk kegiatan usaha di wilayah perairan pesisir kota Makassar.

2. Untuk mengetahui sistem pengawasan pemerintah daerah terhadap pemanfaatan wilayah perairan pesisir untuk kegiatan usaha.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan antara lain sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan, memberikan tambahan wacara, dan serta untuk menjadikan referensi dalam pengembangan lingkup ilmu pengetahuan secara umum dan Ilmu hukum secara khusus.

2. Kegunaan Praktis.

a. Mengembangkan penalaran, menumbuhkan analisis kritis, membentuk pola pikir sistematis dan pola pikir dinamis, serta sekaligus mengetahui sejauh mana kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh selama menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

b. Sebagai tambahan wawasan pengetahuan mengenai pemanfaatan perairan pesisir untuk kegiatan usaha.

c. Melengkapi syarat akademis guna mendapatkan gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

(20)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Perairan Pesisir

Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat berupa alami ataupun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun (sea grass), pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta.

Sedangkan ekosistem daratan antara lain berupa: tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan permukiman8.

Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan sumber daya alam yang tidak dapat pulih. Sumber daya alam yang dapat pulih antara lain meliputi: sumber daya perikanan (plankton, benthos, ikan, moluska, krustacea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang.

Sedangkan sumber daya alam yang tidak dapat pulih, antara lain

8 Pepen Mahale, Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Berbasis Daya Dukung, 2013.

Sumber; http://pepenm87.blogspot.co.id/2013/06/pengelolaan-pesisir-secara- terpadu.html, Diakses tanggal 15 September 2016.

(21)

mencakup: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.9

Secara normatif, kekayaan sumber daya alam pesisir tersebut dikuasai oleh Negara untuk dikelola sedemikian rupa guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat serta memberikan manfaat bagi generasi sekarang tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memanfaatkannya.10 Kesejahteraan masyarakat yang dimaksudkan sesuai dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Pantai adalah sebuah bentuk geografis yang terdiri dari pasir, dan terdapat di wilayah pesisir laut. Daerah pantai menjadi batas antara daratan dan perairan laut. Panjang garis pantai ini diukur mengeliling seluruh pantai yang merupakan daerah teritorial suatu negara.11 Pengertian pantai menurut Rahardjo Adisasmita adalah merupakan daerah yang produktif secara biologi tetapi mudah mengalami degradasi karena dampak ulah manusia atau karena peristiwa alamiah.12

Sedangkan pengertian wilayah pesisir menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan ekosistem laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut.

9 Secilia A. Barrung, Eksistensi Hak-Hak Masyarakat Pesisir Dalam Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Laut, Skripsi, Makassar; Fakultas Hukum Universitas hasanuddin, 2011, hlm. 17.

10 Sutia Budi, Naskah Akademik Pengelolaan Terumbu Karang Sulawesi Selatan, 2008.

Sumber; http://sutia-budi.blogspot.co.id/2008/06/naskah-akademik-pengelolaan- terumbu.html, Diakses tanggal 15 September 2016.

11 Wikipedia, Pantai, 2016. Sumber; https://id.wikipedia.org/wiki/Pantai 15 September 2016

12 Rahardjo Adisasmita, op.cit, hlm. 50.

(22)

Pengertian wilayah pesisir menurut Rahardjo Adisasmita adalah

“Ruang daratan yang terkait erat dengan ruang lautan.”13 Selanjutnya pengertian wilayah pesisir menurut Sugiarto adalah:

Daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh prosesproses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.14

Defenisi wilayah pesisir seperti di atas memberikan suatu pengertian bahwa suatu ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain mempunyai potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak merugikan ekosistem pesisir.

B. Hukum Penguasaan Wilayah Pesisir

Penguasaan berasal dari kata Kuasa yang artinya kemampuan atau kesanggupan (untuk berbuat sesuatu), sedangkan penguasaan adalah proses, cara perbuatan menguasai; pemilikan atas sesuatu, pemahaman untuk menggunakan kepandaian atau pengetahuan dan sebagainya.15

13 Ibid.

14 Rokhmin Dahuri dkk, Pengelolaan Sumber Daya Pesisir Dan Laut Secara Terpadu, , Jakarta; Pradnya Paramita, 2004, hlm. 24.

15 Departemen Penddikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 457.

(23)

Sedangkan pengertian kuasa itu sendiri adalah kesanggupan untuk melakukan sesuatu, kemampuan untuk berbuat, kekuatan, wewenang atas sesuatu atau untuk menentukan pemerintah.16

Menurut Boedi Harsono17 penguasaan adalah “penguasaan” dan

“menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik juga dalam arti yuridis beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya jika tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik. Atau tanah tersebut dikuasai oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridis, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersnagkutan secara fisik kepadanya.

Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” di atas dipakai dalam aspek perdata. Dalam Undang-undang 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria pengertian “dikuasai” dan “menguasai” dipakai dalam aspek publik, seperti yang dirumuskan dalam pasal 2 Undang-undang Pokok Agraria. Jadi penguasaan perairan laut adalah proses atau cara perbuatan untuk menguasai laut secara perorangan.

16 Ibid, hlm. 322.

17 Boedi Harsono, Teknik Analisa Pembangunan dan Pesisir, Jakarta; Penerbit Djambatan, 2005, hlm. 23.

(24)

Hukum penguasaan pesisir dapat ditinjau dari 2 bentuk hukum, yaitu:

1. Hukum Nasional

Indonesia sebagai Negara hukum (Negara hukum modern).

Konsepsi Negara hukum modern secara konstitusional dapat dirujuk pada rumusan tujuan Negara yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial.

Normalisasi tujuan Negara tersebut, khususnya memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial antara lain termuat dalam Pasal 33 UUD 1945.18

Keterkaitan hak penguasaan Negara dengan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat menurut Bagir Manan19 akan mewujudkan kewajiban Negara:

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang di dapat (kekayaan alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat;

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan secara langsung atau dinikmati oleh rakyat;

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam menikmati kekayaan alam.

Dalam konsep Negara kesejahteraan menurut Friedman, Negara dituntut untuk memperluas tanggung jawabnya kepada masalah-masalah

18 Jantje Tjiptabudi, Aspek Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Eksistensi Masyarakat Adat, Ambon, 2013, Sumber;

http://fhukum.unpatti.ac.id/lingkungan-hidup-pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak- hak-adat/261-aspek-hukum-pengelolaan-wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil- terhadap-eksistensi-masyarakat-adat, Diakses tanggal 15 September 2016

19 Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, Yogyakarta; UII Press, 2004, hlm. 17.

(25)

sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi “negara interversionis” abad ke-20. Negara justru perlu dan bahkan harus melakukan intervensi dalam berbagai masalah social dan ekonomi untuk menjamin terciptanya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Fungsi Negara juga meliputi kegiatan-kegiatan yang sebelumnya berada di luar jangkauan fungsi Negara, seperti memperluas ketentuan pelayanan social kepada individu dan keluarga dalam hal-hal khusus, seperti social security, kesehatan, kesejahteraan social, pendidikan dan pelatihan, serta perumahan.20

Apabila konsep Negara kesejahteraan dan fungsi Negara menurut W. Friedman dikaitkan dengan konsepsi hak penguasaan Negara untuk kondisi Indonesia dapat diterima dengan beberapa kajian kritis sebagai berikut:21

1. Hak penguasaan Negara yang dinyatakan dalam pasal 33 UUD 1945 memposisikan Negara sebagai pengatur dan penjamin kesejahteraan rakyat. Fungsi Negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumberdaya alam kepada koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan pengawasan yang bersifat khusus.

Karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh Negara.

2. Hak penguasaan Negara dalam pasal 33 UUD 1945, membenarkan Negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan dengan public utilities dan public service atas dasar pertimbangan:

filosofis (semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan), strategis (kepentingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoly yang merugikan perekonomian Negara), ekonomi (efisien dan efektifitas) dan demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

20 Lihat pendapat Jimly Asshiddiqie, dalam Muhammad Ilham Arisaputra, Reforma Agraria di Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika, 2015, hlm. 249.

21 Lihat pendapat Tri Hayati dkk, dalam Ibid, hlm. 112.

(26)

Khusus berkaitan dengan kebijakan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya laut maka dapat dijelaskan bahwa paling sedikit terdapat tiga ciri dari kebijakan pengelolaan sumberdaya laut yang dipraktekkan selama ini, yakni (1) sentralistik, (2) didasarkan pada doktrin common property dan (3) mengabaikan pluralism hukum.22

Sentralistik kebijakan menyangkut substansi sekaligus proses pembuatannya. Substansi kebijakan yang sentralistik tercermin pada kewenangan pengelolaan sumberdaya laut, setidak-tidaknya hak itu terjadi di sektor perikanan. Di sektor ini, proses perizinan maupun pejabat yang berwenang memberikan hampir seluruhnya berada di tangan pemerintah pusat. Kalaupun ada pendelegasian kewenangan kepada gubernur, hal itu semata-mata dalam kedudukannya selaku wakil pemerintah pusat di daerah. Demikian pula proses penetapan kebijakannya, hampir semuanya melibatkan pemerintah pusat. Indikasinya, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam laut pada umumnya dikemas dalam bentuk undang- undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden yang dalam proses penetapannya semata-mata melibatkan aparat pemerintah pusat.23

Kebijakan pengelolaan sumberdaya laut yang diasarkan pada common property sebagai ciri kedua juga mengandung sejumlah kelemahan. Dengan mendasarkan kebijakan pada doktrin common property, maka laut diposisikan sebagai sumberdaya milik bersama.

22 Jantje Tjiptabudy, op.cit. Sumber; http://fhukum.unpatti.ac.id/lingkungan-hidup- pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/261-aspek-hukum-pengelolaan- wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-terhadap-eksistensi-masyarakat-adat, Diakses tanggal 30 November 2016

23 Ibid.

(27)

Konsekuensinya, laut diperlakukan laksana harta tak betuan dimana setiap orang leluasa melakkukan okupasi dan eksploitasi (open access).

Karakteristik seperti ini sangat jelas dalam Undang-Undang Perikanan dan kebijakan lainnya. Ini pula yang antara lain melatar belakangi munculnya berbagai konflik dalam penggunaan sumberdaya terutama antara nelayan tradisonal dengan perusahaan penangkapan ikan.24

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan perairan pulau-pulau kecil adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Di dalam UUPA diatur mengenai hak menguasai oleh Negara atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu juga diatur hak ulayat, hak-hak atas tanah, dan hak atas air.

2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil.

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah yang sebelumnya adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah.

24 Ibid.

(28)

Di dalam Undang-Undang Pesisir dan Undang-Undang Pemda diatur mengenai kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya pesisir. Wewenang menguasai oleh Negara dapat dikuasakan kepada daerah-daerah sesuai asas otonomi yang dianut dalam sistem pemerintahan. Selain itu, pengelolaan sumber daya alam ditujukan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, Negara melimpahkan hak pemanfaatan atas sumber daya alam kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua hal tersebut termaktub dalam Pasal 2 ayat (3) dan (4) UUPA yang menyatakan:

Ayat (3)

Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2) pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar- besarnya kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Ayat (4)

Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dilaksanakan pada daerah-daerah Swantantra dan masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah.

Seiring dengan otonomi daerah maka wewenang pengelolaan sumber daya alam tersebut diarahkan kepada daerah propinsi dan kabupaten. Khusus pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan ditegaskan dalam pasal 27 ayat (1), (3), (4) dan (5) Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang menyatakan:

(29)

Ayat (1)

Daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya diwilayah laut.

Ayat (3)

Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut;

b. Pengaturan administratif;

c. Pengaturan tata ruang;

d. penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;

e. ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan f. ikut serta dalam pertahanan kedaulatan Negara.

Ayat (4)

Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut dikur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota.

Ayat (5)

Kewenangan daerah untuk mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut dikur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan propinsi untuk kabupaten/kota.

Pengelolaan wilayah pesisir, memerlukan pengaturan secara tepadu agar potensi sumber daya alam yang ada dapat dikembangkan dan dimanfaatkan bagi pembangunan daerah dan nasional secara berkelanjutan. Pembangunan tersebut tidak boleh mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan sumber daya pesisir generasi saat ini, yang diyakini bangsa Indonesisa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa.

(30)

Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut Pasal 1 ketentuan umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah:

Suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkankesejahteraan masyarakat.

Lebih lanjut dalam ketentuan umum Undang-undang No. 1 Tahun 2014 huruf a dinyatakan bahwa:

Perencanaan dilakukan melalui pendekatan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terpadu (Integrated Coastal Management) yang mengintegrasikan berbagai perencanaan yang disusun oleh sektor dan daerah sehingga terjadi keharmonisan dan saling penguatan pemanfaatannya. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terpadu merupakan pendekatan yang memberikan arah bagi pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dengan mengintegrasikan berbagai perencanaan pembangunan dari berbagai tingkat pemerintah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir.

2. Hukum Adat

Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat hukum adat merupakan subjek hukum, oleh karena bersifat otonom, yang kemudian disebut otonomi desa; artinya masyarakat hukum tersebut menyelenggarakan perbuatan hukum, misalnya mengambil keputusan yang mengikat warga masyarakat, menyelenggarakan peradilan, mengatur penggunaan tanah, mewarisi dan sebagainya.25

25 Soerjono Soekonto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta; Rajawali Pres, 2012, hlm. 3.

(31)

Kemudian menurut Ter Haar, masyarakat hukum adat adalah kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa dan mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan itu masing- masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam, dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membukakan ikatan yang telah tumbuh itu, atau meninggalkannya, dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya.26

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dari hukum adat akan muncul konsepsi tentang hak adat. Pada dasarnya hak adat dapat dikatakan sebagai hak masyarakat adat untuk menguasai, memiliki, memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya. Dalam konsep hak tenurial adat, subyek hukum yang berhak mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber alam hanyalah anggota masyarakat adat setempat, yang bukan anggota masyarakat adat setempat tidak memiliki hak apapun, kecuali atas izin masyarakat adat yang bersangkutan, sebab inti dari hak adat adalah kedaulatan masyarakat adat setempat atas wilayah mereka.

Identifikasi tentang masyarakat adat bukan saja berkaitan pada konsep-konsep yuridis tentang apa yang disebut sebagai masyarakat adat dan dimanakah kedudukannya, tetapi pada dasarnya juga mengarah pada

26 Adi Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta; Penerbit Granit, 2004 hlm.

7.

(32)

suatu tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka yang berhubungan dengan kedudukannya sebagai masyarakat adat. Tuntutan pengakuan dari masyarakat adat atas hak-hak mereka berpegang pada dua hal yaitu:27

1. Kedudukannya sebagai komunitas masyarakat adat;

2. Berakar pada susunan asli dan pertumbuhan masyarakat itu sendiri.

Pengakuan atas eksistensi atau keberadaan masyarakat adat sangat beragam satu dengan lainnya. Demikian pula bentuk pengakuan terhadap eksistensi atau keberadaan masyarakat adat oleh pemerintah daerah yang berbeda. Selain kebijakan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat, terdapat pula kesepakatan-kesepakatan internasional yang sebagian telah diratifikasi ke dalam kebijakan-kebijakan perundang-undangan Republik Indonesia dan juga wacana-wacana masyarakat di tingkat nasional misalnya antara lain tentang sistem penguasaan tanah.28

Hukum adat sebenarnya mengakui bahwa penguasaan suatu wilayah petuanan negeri ditandai dengan aktivitas atau kegiatan-kegiatan dari warga atau anak negeri tersebut, misalnya dengan kegiatan berkebun, berburu untuk mencari hasil hutan dan sebagainya29. Ini merupakan bukti

27 Jantje Tjiptabudy, op.cit. Sumber; http://fhukum.unpatti.ac.id/lingkungan-hidup- pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/261-aspek-hukum-pengelolaan- wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-terhadap-eksistensi-masyarakat-adat, Diakses tanggal 30 November 2016

28 Ibid.

29 Adi Rianto, op.cit, hlm. 7-8.

(33)

bahwa warga atau anak negeri dari negeri tersebut telah berulang kali mengusahakan tempat atau wilayah tersebut, sehingga secara nyata (de facto) mereka menguasai wilayah tersebut. Selanjutnya yang menjadi permasalahan adalah apakah secara hukum (de jure) hal itu dapat diterima.

Berkaitan dengan masalah hukum ini sebenarnya harus diikuti dengan pengakuan baik lisan maupun tertulis bahwa wilayah tersebut memang milik warga atau milik negeri tersebut. Hal itu dapat kita lihat dari kesepakatan- kesepakatan antar warga atau negeri-negeri tertentu, yang ditaati oleh mereka baik secara individu (pribadi) maupun warga masyarakat negeri secara keseluruhan.30

Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan perairan pada pulau- pulau kecil, maka hukum adat dan hukum kebiasaan yang ada di dalam masyarakat yang memukimi pesisir dan pulau-pulau kecil, merupakan salah satu akses yang diperlukan untuk menjamin ketersediaan sumber-sumber daya alam setempat, dan juga untuk melindungi sumber daya tersebut terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi berupa degradasi, atau eksploitasi berlebihan. Negara seringkali tidak dapat melakukan pengawasan jauh sampai ke dalam lingkup dimana usaha-usaha berskala kecil, menengah maupun besar beroperasi di wilayah pesisir dan laut atau pulau-pulau kecil yang jauh dari pusat-pusat pemerintahan. Sebaliknya,

30 Jantje Tjiptabudy, op.cit. Sumber; http://fhukum.unpatti.ac.id/lingkungan-hidup- pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/261-aspek-hukum-pengelolaan- wilayah-pesisir-dan-pulau-pulau-kecil-terhadap-eksistensi-masyarakat-adat, Diakses tanggal 30 November 2016

(34)

tempat-tempat usaha tersebut banyak berada disekitar bahkan ditengah- tengah masyarakat yang memukimi pesisir maupun pulau-pulau kecil.

Terlepas dari hukum yang telah diatur dalam beberapa ketentuan diatas, sesungguhnya di masyarakat kita juga mengenal beberapa tipe kepemilikan (penguasaan) sumber daya. Bromley dan Cernea, mengelompokkan 4 tipe kepemilikan sumber daya alam31, yakni:

1. Tanpa pemilik (open access)

2. Milik masyarakat tertenu (common property) 3. Milik pemerintah (state property)

4. Milik swasta atau pribadi

Sedangkan McKean mengelompokkan pemilikan sumber daya alam tersebut dalam 6 (enam) bagian32, yaitu:

1. Tanpa pemilik (unknown property)

2. Milik masyarakat tertentu (common property)

3. Milik pemerintah yang tidak boleh orang lain secara sembarangan memasukinya, seperti Pangkalan Angkatan Laut (state property)

4. Milik pemerintah yang bias dimasuki kelompok umum (public property)

5. Milik swasta atau perusahaan yang lebih dari satu orang; dan 6. Milik pribadi (private property)

31 Secilia A. Barrung, op.cit, hlm. 47-48.

32 Ibid, hlm. 48.

(35)

Kedua klasifikasi tersebut diatas memiliki persamaan dan perbedaan yang khas, menurut Mc Kean, membagi milik pemerintah menjadi dua bagian, dan mamisahkan hak milik pribadi dengan milik swasta yang lebih dari satu orang. Namun dari perbedaan tersebut, kedua tipe milik pemerintah masih dapat dikelompokkan sebagai milik pribadi/swasta, demikian juga untuk pemilikan swasta dan pribadi keduanya mempunyai kesamaan, dimana hanya para pemilik yang boleh menikmati manfaat atas sumber daya alam.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut kepemilikan sumber daya laut terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu: (1) tanpa pemilik (open acces); (2) milik masyarakat tertentu (common property); (3) milik pemerintah (public property) dan (4) milik pribadi (private property), dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Tanpa pemilik (open acces) adalah milik semua orang atau tidak jelas status kepemilikannya. Tidak ada seorangpun yang berhak mempertahankan sumber daya tersebut untuk tidak dimanfaatkan oleh orang lain. Tidak ada peraturan yang melarang orang lain untuk mengeksploitasi sumber daya laut tersebut. Sumber daya laut ini biasanya terdapat di perairan laut lepas (high seas) atau di luar laut territorial (12 mil dari garis pantai). Hak akses (Acces right) hak untuk masuk ke wilayah sumber daya yang memiliki batas-batas yang jelas dan untuk menikmati manfaat non-ekstraktif.33

33 Satria Arif, Pesisir Dan Laut Untuk Rakyat, Bogor; IBP Pres, 2009, hlm. 4.

(36)

2. Milik masyarakat atau communal (common property) merupakan milik sekelompok masyarakat yang telah melembaga, dengan ikatan norma-norma atau hukum adat yang mengatur pemanfaatan sumber daya laut tersebut dan melarang pihak lain untuk mengeksploitasinya. Kelompok masyarakat tersebut bervariasi dari segi bentuk, jumlah anggota dan ukuran anggotanya memiliki identitas yang khas, dan memiliki ikatan dan rasa kekerabatan terhadap kelompoknya (spirit de corps). Individu kelompok ini tidak dapat menjual atau mengalihkan haknya kepada orang lain, kecuali dengan cara diwariskan kepada keturunannya, biasanya dalam konsep pemilikan dan penguasaan sumber daya laut tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan di darat dan di laut, sepanjang masyarakat tersebut berdomisili di daerah pesisir (inseperable right for both terrestrial and marine resources).

Pemegang hak biasanya mempunyai hak ulayat atas tanah pertanian di pesisir dan hak akses untuk memanfaatkan sumber daya laut di laut di pesisir.

3. Milik pemerintah (state property) merupakan pemilikan sumber daya alam yang berada di bawah kewenangan pemerintah sesuai dengan peraturan yang berlaku Pasal 4 Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam di perairan Indonesia di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia. pemerintah memiliki hak dan tanggung jawab mengontrol pemanfaatan sumber daya laut tersebut. Individu maupun kelompok

(37)

masyarakat dapat saja memanfaatkan sumber daya laut tersebut atas izin, persetujuan, lisensi atau hak pengelolaan yang diberikan oleh pemerintah.

4. Milik pribadi/swasta (private/quasi private property) adalah sumber daya alam yang dimiliki atas perorangan atau kelompok orang secara sah yang ditunjukkan oleh bukti-bukti kepemilikan seperti sertifikat hak milik atas tanah. Pemilik sumber daya laut tersebut dijamin secara hukum dan sosial untuk menguasai dan memanfaatkan bagi kepentingan pemiliknya dan dapat melarang pihak lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Pemiliknya dapat menjual, membagi, mengalihkan dan mewariskan ke keturunannya atau menyewakan ke pihak pihak lain. Pada umumnya hak milik di lahan pesisir tersebut sekaligus mempunyai hak dan akses untuk memanfaatkan sumber daya laut di sekitarnya. Dalam hal sumber daya milik pemerintah tetapi investor diberi hak dan kewenangan untuk mengeksploitasinya selama kurun waktu tertentu, maka pemegang hak dapat dianggap sebagai kuasa swasta.

Tipe-tipe kepemilikan sumber daya alam tersebut di atas tentu mempengaruhi persepsi dan orientasi masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya alam, terutama yang tergolong common property dan private property. Meskipun dalam perundang-undangan, seperti dalam UUPA, kepemilikan atas tanah dan sumber daya alam tersebut tidaklah bersifat mutlak karena segala bumi, air dan kekayaan alam tersebut pada dasarnya

(38)

berfungsi sosial. Artinya kepentingan umum lebih didahulukan daripada kepentingan individu. Dalam hal ini, Negara sebagai penguasa mempunyai wewenang mengatur pemanfaatan dan hubungan-hubungan hukum pihak- pihak yang memanfaatkan, termasuk membatasi kepemilikan atas sumber daya alam guna terselenggaranya pendistribusian yang adil dan merata.34

Namun selama ini orang lebih banyak mengenal dan memahami kepemilikan privat dan publik. Padahal common property justru merupakan wilayah yang sangat rawan konflik, karena terdiri dari keberadaan pemanfaatan sumber daya yang dimiliki atau dikelola secara bersama oleh masyarakat sekitar dan masyarakat lainnya. Secara praktek, common property bias kontroversial bahkan kompleks karena baik kelompok maupun individu meyakini hal yang berbeda dalam hal pengelolaan sumber daya yang sama. Wilayah pesisir dan laut biasanya masuk ke dalam rejim akses publik (terbuka maupun terbatas), karena termasuk dalam kategori sumber daya komunal. Namun yang kerap terjadi adalah intervensi Negara yang menjadikan seluruh wilayah pesisir dan laut termasuk pulau-pulau kecil sebagai objek kepemilikan Negara sehingga pengaturannya diurus oleh Negara.35

C. Kewenangan Daerah di Wilayah Pesisir

Luas wilayah pesisir Indonesia dua per tiga dari luas daratan dan garis pantainya 95.161 kilometer atau terpanjang kedua di dunia.36 Pada

34 Secilia A. Barrung, op.cit, hlm. 51.

35 Ibid.

36 Lukita Purnamasari, op.cit. Sumber;

https://uwityangyoyo.wordpress.com/2009/11/12/pengelolaan-wilayah -pesisir-secara-

(39)

masa sekarang, pengaturan wilayah pesisir dan laut dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Pasal 7 ayat (2) dimana dinyatakan bahwa Negara memberikan kewenangan penyelenggaraan penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 menyatakan kewenangan daerah di wilayah laut adalah:

1. Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/ kota;

2. Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota; dan

3. Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.

Undang-undang Pemda mengatur otonomi terhadap pengelolaan wilayah perairan. Pada Pasal 14 ayat (6) UU Pemda menyebutkan bahwa 12 mil wilayah perairan dari garis pantai adalah milik provinsi dan sepertiganya atau 4 mil milik daerah Kabupaten/Kota. Dengan digulirkannya Undang-undang Otonomi daerah, maka penjabaran pasal 33 yang menyangkut aspek pengelolaan, diserahkan kepada pemerintah pada tingkat regional. Dengan kata lain, pengelolaan sumber daya alam

“didesentralisasikan” kepada daerah. Desentralisasi sendiri menurut World Resource Institute mengandung pengertian seperangkat program dan kebijakan yang dirancang untuk menciptakan keseimbangan atas kewenangan (otoritas) dan tanggung jawab terhadap pengelolaan sumber

terpadu-dan-berkelanjutan-yang-berbasis-masyarakat/, Diakses tanggal 1 November 2016.

(40)

daya alam.37 Undang-Undang Pemda Pasal 27 ayat (3) memberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah kewenangan propinsi untuk Kabupaten/Kota. Ini dapat ditafsirkan sebagai bentuk penguasaan laut/pesisir yang ternyata kemudian mendatangkan penafsiran lain yang bermacam-macam. Termasuk di dalamnya penafsiran bahwa otonomi daerah adalah kewenangan dalam hal pengelolaan sumber daya yang ada termasuk sumber daya perikanan dan kelautan.

Pasal 14 ayat (1) UU Pemda menyebutkan bahwa Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan bidang kehutanaan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi.

Dalam Pasal 14 ayat (5) disebutkan Daerah Kabupaten/Kota penghasil dan bukan penghasil mendapatkan bagi hasil dari penyelenggaraan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan pada ayat (5) selajutnya diatur penentuan Daerah Kabupaten/Kota penghasil untuk penghitungan bagi hasil kelautan adalah hasil kelautan yang berada dalam batas wilayah 4 (empat) mil diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.38

37 Akhmad, Fauzi, Kebijakan Perikanan dan Kelautan, Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 51.

38 Hadi Supratikta, Pengkajian Hukum Tentang Pembagian Kewenangan Pusat dan Daerah Dalam Pengelolaan Laut, Jakarta, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015, hlm. 2.

(41)

UU Pemda hanya mengatur wilayah pengelolaan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (3) di mana kewenangan pengelolaan laut Daerah Provinsi diatur paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Dalam hal pembagian urusan bidang antara Pemerintah Pusat, Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terkhusus pada sektor kelautan dan perikanan yang diatur oleh undang-undang tidak terdapat pemberian kewenangan pengelolaan kepada Daerah Kabupaten/Kota yang diambil alih oleh Pemerintah Pusat dan Daerah Provinsi. Terdapat anggapan bahwa pemberian kewenangan hanya kepada Pemerintah Daerah Provinsi tidak sesuai dengan maksud diberikannya otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah yang diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat.

Terlebih substansi penting dari otonomi daerah adalah pelimpahan kewenangan dari Pusat ke Daerah secara politik dan ekonomi agar pembangunan dan pertumbuhan ekonomi berlangsung secara adil dan merata di daerah.39

D. Pemanfaatan Wilayah Pesisir

Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya. Namun

39 Ibid, hlm 3.

(42)

karakteristik laut tersebut belum sepenuhnya dipahami dan diintegrasikan secara terpadu. Kebijakan pemerintah sektoral akhirnya menjadikan laut sebagai kolam sampah raksasa.40 Dari sisi sosial ekonomi, pemanfaatan kekayaan laut masih terbatas pada kelompok pengusaha besar dan pengusaha asing. Nelayan sebagai jumlah terbesar merupakan kelompok profesi paling miskin di Indonesia.41

Secara alamiah potensi pesisir di daerah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan tersebut yang pada umumnya terdiri dari nelayan. Nelayan di pesisir memanfaatkan kekayaan laut mulai dari ikan, rumput laut, terumbu karang dan sebagainya untuk memenuhi kebutukan hidupnya. Pada umumnya potensi pesisir dan kelautan yang di manfaatkan oleh nelayan terbatas pada upaya pemenuhan kebutuhan hidup.

Pemanfaatan potensi daerah pesisir secara besar-besaran untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomis dalam rangka peningkatan pertumbuhan perekonomian rakyat belum banyak dilakukan. Pemanfaatan pesisir untuk usaha ekonomi dalam skala besar baru dilakukan pada sebagian Kabupaten dan Kota yang berada di daerah pesisir.

Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah berupaya untuk memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Disamping itu Pemerintah

40 Rhaning Dias, Pemberdayaan Masyarakat Pesisir, Makalah, hlm. 1

41 Secilia A. Barrung, op.cit, hlm. 40

(43)

Daerah juga memanfaatkan potensi daerah pesisir ini untuk meningkatkan pertumbuhan dan perekonomian masyarakat di daerah.42

Pemberian kewenangan kepada daerah dalam pengelolaan wilayah laut cenderung ditafsirkan oleh Pemerintah Daerah untuk membuat peraturan daerah berdasarkan kepentingannya dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pengaturan demikian cenderung melahirkan ketidakpastian hukum bagi semua kalangan yang berkaitan dan berkepentingan dengan wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan hasil kajian terhadap perundang-undangan dan konvensi yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir maka dijumpai 3 (tiga) permasalahan krusial, yaitu: (1) Konflik antar Undang-Undang; (2) Konflik antara Undang-undang dengan hukum adat;

dan (3) kekosongan hukum, dengan penjelasan sebagai berikut:43

1. Konflik antar UU terjadi pada bidang pengaturan tata ruang wilayah pesisir dan laut. Di dalam UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang ditentukan bahwa penataan ruang diatur secara terpusat dengan UU (Pasal 9). Sebaliknya, di dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintah Daerah ditentukan bahwa penataan ruang wilayah laut sejauh 12 mil merupakan kewenangan propinsi dan sepertiganya kewenangan kabupaten/kota.

42 Basuki dan Djunaedi, Perencanaan Pengembangan Kawasan Pesisir, Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 3, No 3, 2002, hlm. 225.

43 Secilia A. Barrung, op.cit, hlm. 54.

(44)

2. Konflik antara Undang-undang dan hukum adat terjadi pada status kepemilikan sumber daya alam di perairan pesisir. Di dalam pasal 4 Undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, status sumber daya pesisir secara substansial merupakan milik Negara (state property). Sebaliknya masyarakat adat mengklaim sumber daya pesisir tersebut dianggap sebagai hak ulayat (common property) berdasarkan hukum adat yang telah ada jauh sebelum berdirinya Negara Indonesia. Hak ulayat berlaku terhadap tanah, hutan, perairan, tanam-tanaman dan binatang. Untuk perairan, yang dikuasai hak ulayat adalah sungai dan jalur laut sepanjang pantai.44 Hak ulayat laut adalah seperangkat aturan atau praktek pengelolaan atau manajemen wilayah laut dan sumberdaya yang terkandung di dalamnya. Perangkat aturan atau hak ulayat laut ini menyangkut siapa yang memiliki hak atas suatu wilayah, jenis sumber daya yang boleh ditangkap dan teknik mengeksploitasi sumber daya yang diperbolehkan yang ada di suatu wilayah laut.45

3. Kekosongan hukum yang terjadi pada bidang pengusahaan/pemilikan wilayah perairan pesisir dan pulau-pulau kecil. Di dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria hanya diatur sebatas pemilikan dan penguasaan tanah sampai pada garis pantai. Memang ada

44 Jurnal Hukum Amanna Gappa Vol.14 No.3, Naskah Prof.Dr.Ir.Abrar Saleng S.H.,M.H.

2006.

45 Ary Wahyono dkk, Hak Ulayat Laut di Kawasan Timur Indonesia, Yogyakarta;

Yogyakarta Media Presindo, 2000, hlm. 5.

(45)

ketentuan tentang hak pemeliharaan dan penangkapan ikan di dalam Undang-undang ini, tetapi baru sekedar disebutkan saja tanpa ada rincian pengaturannya.

E. Pengawasan Pemerintah Dalam Pemanfaatan Wilayah Pesisir Izin usaha merupakan suatu bentuk persetujuan atau pemberian izin dari pihak berwenang atas penyelenggaraan suatu kegiatan usaha oleh seorang pengusaha atau suatu perusahaan. Izin mendirikan usaha harus dimiliki untuk memulai suatu usaha secara professional. Surat izin mendirikan usaha memiliki fungsi sebagai bukti pengesahan dari usaha yang didirikan. Surat izin dari pemerintah dibutuhkan oleh pelaku usaha perseorangan maupun pelaku usaha yang telah berbadan hukum. Tidak hanya jenis usaha yang berskala besar saja yang membutuhkan izin mendirikan usaha, usaha kecil pun membutuhkan adanya surat izin usaha perdagangan agar usaha yang dijalankan mendapatkan pengakuan dan pengesahan dari pemerintah. Sehingga di kemudian hari tidak terjadi masalah yang dapat mengganggu perkembangan usaha. Objek sasaran dari surat izin usaha adalah seluruh usaha perdagangan baik kecil, menengah, dan besar sedangkan subjeknya adalah setiap perusahaan atau perorangan yang melakukan usaha perdagangan baik usaha kecil, usaha menengah, maupun usaha besar.46

Konsepsi yang menjadi dasar filosofis dari pemberian izin adalah sebagai instrumen pengawasan terhadap perilaku masyarakat. Pemberian

46 Pudyamoko Sri, Perizinan, Jakarta; Grasindo, 2009, hlm. 7.

(46)

izin juga dapat diartikan dengan pembatasan terhadap potensi-potensi yang jumlahnya terbatas. Secara umum, izin diasumsikan sebagai keputusan yang bersifat menguntungkan, sehingga tidak dapat begitu saja ditarik kembali atau diubah atas kerugian yang berkepentingan.47

Perizinan tidak lahir dengan sendirinya secara serta merta, namun mestinya ditopang oleh “wewenang” yang telah diberikan kepada pejabat publik (pemerintah sebagai pelaksana undang-undang). Pada akhirnya pemberian Izin oleh pemerintah kepada orang/ individu dan badan hukum dilaksanakan melalui surat keputusan atau ketetapan yang selanjutnya menjadi ranah hukum administrasi negara.

Perizinan dapat diartikan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Bentuk perizinan antara lain: pendaftaran, rekomenadasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan sesuatu usaha yang biasanya harus memiliki atau diperoleh suatu organisasi perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melaksanakan suatu kegiatan atau tindakan. Dengan memberi izin, pengusaha memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya pengawasan.48

47 Ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Surabaya; Universitas Airlangga, 1992, hlm. 9.

48 Andrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Jakarta; Sinar Grafika, 2010, hlm. 168.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan tabel 1.3 diatas dapat dilihat bahwa kandungan gizi tepung daun kelor lebih banyak dibandingkan penggunanan daun kelor segar, hal ini dapat membawa angin

Tentunya salah satu faktor penting yaitu pengembangan dan peningkatan kualitas penyuluh pertanian melalui Pendidikan dan Pelatihan (Diklat). Selain itu penerapan

Suatu kenyataan bahwa di dalam pergaulan hidup manusia, individu maupun kelompok, sering terdapat adanya penyimpangan- penyimpangan terhadap norma-norma pergaulan hidupnya,

89 Pasal 17 Pasal 1 Ayat (6) Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2014 Tentang Tata Cara Pengelolaan Benda Sitaan Negara Dan

Untuk mengetahui efektifitas umpan pada pancing gurita dilihat dari jumlah hasil tangkapan pada masing-masing umpan, berdasarkan hasil penelitian umpan tiruan B

Pandangan hukum Islam tentang tinjauan hukum Islam terhadap kredit haji dan Umrah pada FIFGROUP cabang Makassar, tidak bertentangan dengan hukum Islam adapun

Pada perlakuan waktu pemberian biourine plus pagi dan dosis pupuk urea 250 kg ha - 1 dan waktu pemberian biourine plus pagi dan dosis urea 300 kg ha - 1

Galur-galur yang diuji memiliki perbedaan pada semua karakter kuantitatif yang diuji, meliputi karakter tinggi tanaman, tinggi dikotomus, diameter batang, lebar