BAB III METODE PENELITIAN
D. Analisis Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini dianalisis dengan teknik analisa data kualitatif. Informasi serta data-data yang diperoleh dari lapangan dikelompokkan dan disederhanakan secara sistematis untuk membuat deskripsi yang jelas dalam menguraikan, menjelaskan dan menggambarkan bagaimana tinjauan hukum terhadap pemanfaatan perairan pesisir untuk kegiatan usaha.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Ujung Pandang merupakan salah satu dari 14 kecamatan di Kota Makassar. Kecamatan Ujung Pandang berada di pesisir bagian barat Kota Makassar yang memiliki potensi di bidang perdagangan dan jasa maupun di bidan pariwisata. Secara administrasi kawasan Pantai Losari berada di Kecamatan Ujung Pandang, di kelurahan Losari.
Kecamatan Ujung Pandang memiliki 10 Kelurahan yaitu Kelurahan Lae-Lae, Kelurahan Losari, Kelurahan Mangkura, Kelurahan Pisang Selatan, Kelurahan Lajangiru, Kelurahan Sawerigading, Kelurahan Maloku, Kelurahan Bulogading, Kelurahan Baru, dan Kelurahan Pisang Utara.
Kecamatan Ujung Pandang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kecamatan Wajo Sebelah Selatan : Kecamatan Mariso
Sebelah Timur : Kecamatan Makassar dan Gowa Sebelah Barat : Selat Makassar
Terkait dengan ini, pantai Losari berada di kecamatan Ujung Pandang, tepatnya kelurahan Losari. Pantai Losari merupakan salah satu lokasi “wisata bahari” yang terdapat di Kota Makassar, selain dapat menikmati keindahan alamnya terdapat berbagai jenis wahana air dan restoran yang memanfaatkan perairan wilayah pantai ini. Kawasan Pantai Losari dimanfaatkan oleh masarakat sebagai ruang interaksi sosial, dan
wisata pantai baik pagi, sore maupun pada malam hari. Perencanaan dan pengembangan Kawasan Pantai Losari tidak terlepas dari citra Losari yang sudah menjadi memori pada masyarakat Kota Makassar, selain itu letak Pantai Losari yang berada di sisi barat Kota Makassar memiliki potensi wisata dan panorama matahari terbenam yang sangat menarik. Pantai Losari ibarat jendela Kota Makassar dimana masyarakat kota dapat melepaskan pandangannya sejauh mungkin ke laut, dan juga sebagai pintu gerbang Kota Makassar, para pendatang yang berlabuh di Makassar akan langsung melihat wajah Kota Makassar secara utuh di Pantai Losari.
Sebagai salah satu penggalan lahan di Kota Makassar, Pantai Losari dapat menjadi representasi karakter Kota Makassar.
Perairan pesisir adalah laut yang berbatasan dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai. Lokasi penelitian penulis adalah wilayah perairan pesisir pantai Losari yang terletak di sebelah barat Kota Makassar. Adapun yang menjadi objek penelitian penulis adalah kegiatan usaha yang memanfaatkan perairan pantai Losari, yaitu restoran terapung, perahu wisata dan sepeda air.
B. Kebijakan Pemerintah Daerah Terhadap Pemanfaatan Perairan Pesisir Untuk Kegiatan Usaha di Kota Makassar
Kebijakan pemerintah pada prinsipnya dibuat atas dasar kebijakan yang bersifat luas. Menurut Werf (1997) yang dimaksud dengan kebijakan adalah usaha mencapai tujuan tertentu dengan sasaran tertentu dan dalam urutan tertentu. Sedangkan kebijakan pemerintah mempunyai pengertian
baku yaitu suatu keputusan yang dibuat secara sistematik oleh pemerintah dengan maksud dan tujuan tertentu yang menyangkut kepentingan umum.49 Pengertian kebijakan pemerintah sama dengan kebijaksanaan berbagai bentuk seperti misalnya jika dilakukan oleh Pemerintah Pusat berupa Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Menteri (KepMen) dan lain lain. Sedangkan jika kebijakan pemerintah tersebut dibuat oleh pemerintah daerah akan melahirkan Surat keputusan (SK) atau peraturan daerah (Perda).
Pada dasarnya untuk melakukan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia mengacu kepada penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Makna pada Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 secara tersirat bahwa masyarakat memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya alam tersebut yang dikelola oleh negara dan masyarakat sendiri. Namun, dalam pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), oleh karena itu maka adanya campur tangan pemerintah agar dapat memaksimalkan hasil dari sumber daya alam yang dimilikinya.
Dikarenakan luas Negara Indonesia sangat luas maka perlu adanya pengaturan berdasarkan pada Pasal 18 UUD NRI 1945, Negara Kesatuan
49 Josuhua Ignatius, Kebijakan Pemerintah, 2013.
Sumber: https://joshuaig.wordpress.com/2013/05/09/kebijakan-pemerintah/
Republik Indonesia atas provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah. Kemudian berdasarkan pada Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 dikatakan bahwa pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten/kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah. Dengan frasa tersebut bahwa pemerintah daerah tersebut memiliki kewenangan untuk menjalankan urusan di daerahnya masing-masing dalam hal membuat kebijakannya hingga melaksanakan kebijakan tersebut dengan mengacu kepada peraturan perundang-undangan.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Pasal 1 angka 1 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Keci menyatakan Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu pengoordinasian perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, antar sektor, antar ekosistem darat dan laut, serta Antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam hal penyelenggaraan urusan pemerintahan dibuat suatu peraturan yang terkait dengan pemerintah daerah berdasarkan pada Pasal 14 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Pemerintah daerah (kabupaten/kota) tidak dapat memiliki kewenangan terhadap pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
seutuhnya yang berdasarkan pada otonomi seluas-luasnya yang sebelumnya dimiliki oleh kabupaten/kota ketika rezim Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 masih berlaku dan menjadi landasan dalam pembentukan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pulau-Pulau Kecil terkait dengan urusan pemerinthan daerah pada sektor wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Sebelumnya pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 secara garis besar memiliki tiga bagian lingkup pengaturan yaitu perencanaan, pengelolaan, serta pengawasan dan pengendalian. Perencanaan yang dimaksud adalah Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan agar dapat mengharmonisasikan kepentingan pembangunan ekonomi dengan pelestarian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta memperhatikan karakteristik dan keunikan wilayah tersebut. Perencanaan terpadu itu merupakan suatu upaya bertahap dan terprogram untuk memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara optimal agar dapat menghasilkan keuntungan ekonomi secara berkelanjutan untuk kemakmuran masyarakat. Rencana bertahap tersebut disertai dengan upaya pengendalian dampak pembangunan sektoral yang mungkin timbul dan mempertahankan kelestarian sumber dayanya.
Perencanaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil dibagi ke dalam empat tahapan: (i) rencana strategis; (ii) rencana zonasi; (iii) rencana pengelolaan;
dan (iv) rencana aksi. Pengelolaan yang dimaksud adalah Pemanfaatan dan pengusahaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil dilaksanakan melalui pemberian izin pemanfaatan dan Hak Pengusahaan Perairan
Pesisir (HP-3). Izin pemanfaatan diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing-masing instansi terkait.
Selanjutnya pengawasan dan pengendalian dilakukan untuk Mendorong agar pemanfaatan sumber daya di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sesuai dengan rencana pengelolaan wilayah pesisir.
Selanjutnya secara umum Undnag-Undang Nomor 1 Tahun 2014 mencakup pengaturan mengenai:
1. Pemberian hak kepada masyarakat untuk mengusulkan penyusunan Rencana Strategis, Rencana Zonasi, Rencana Pengelolaan, serta Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; Di dalam Pasal 14 diatur bahwa penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan oleh Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan dunia usaha. Kemudian mekanisme yang ada harus melibatkan masyarakat. Pemerintah Daerah yang melakukan penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K pun diwajibkan untuk menyebarluaskan konsep RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-RZWP-3-K, dan RAPWP-3-K-nya untuk mendapatkan masukan, tanggapan, dan saran perbaikan dari publik.50
2. Pengaturan mengenai Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan kepada setiap orang dan masyarakat hukum adat, masyarakat lokal, dan
50 Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
masyarakat tradisional yang melakukan pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
Izin Lokasi adalah izin yang diberikan untuk memanfaatkan ruang dari sebagian Perairan Pesisir yang mencakup permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu dan/atau untuk memanfaatkan sebagian pulau-pulau kecil.51 Sementara itu, Izin Pengelolaan adalah izin yang diberikan untuk melakukan kegiatan pemanfaatan sumber daya Perairan Pesisir dan perairan pulau-pulau kecil.52
Dengan demikian Izin Lokasi dibutuhkan apabila seseorang ingin menggunakan ruang dari pulau ataupun dari perairan di sekitarnya. Sementara jika penggunaan ruang tersebut diikuti dengan pemanfaatan sumber daya (penambangan, penangkapan ikan, dll), Izin Lokasi tersebut harus diikuti dengan Izin Pengelolaan.
Izin Lokasi merupakan syarat mutlak bagi Izin Pengelolaan apabila seseorang ingin melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil.60 Namun kewajiban untuk mempunyai Izin Lokasi ini dikecualikan dari Masyarakat Hukum Adat. Artinya suatu kelompok Masyarakat Hukum Adat dapat melakukan pemanfaatan dan pengelolaan atas
51 Pasal 1 Angka 18 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
52 Pasal 1 Angka 18A Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
suatu wilayah pesisir atau pulau-pulau kecil tertentu tanpa perlu melapor atau mendapat izin dari Pemerintah Daerah.
3. Pengaturan pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitar;
Pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitar selain harus memperhatikan kesatuan ekologis dan ekonomis secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di sekitarnya, juga harus diprioritaskan untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang mencakup: konservasi, pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian organik, peternakan, serta pertahanan dan keamanan negara.53
4. Pemberian kewenangan kepada Menteri, gubernur dan bupati/walikota dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Pemerintah Daerah yaitu gubernur dan bupati/walikota memiliki kewenangan untuk mengeluarkan dan mencabut Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan atas pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Sementara itu Menteri berwenang untuk menerbitkan dan mencabut izin pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya yang menimbulkan Dampak Penting dan Cakupan yang Luas serta Bernilai Strategis
53 Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
terhadap perubahan lingkungan serta menetapkan perubahan status zona inti pada Kawasan Konservasi Nasional.54
Pemerintah provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan masing-masing. Pemerintah provinsi berwenang mengurusi sepanjang bersifat lintas kabupaten/kota.
Kewenangan pemerintah daerah dalam urusan PWP&PPK mencakup perencanaan, pemanfaatan (termasuk pemberian izin), konservasi dan perlindungan, monitoring dan evaluasi, penelitian dan pengembangan, dan pemberdayaan masyarakat.
Pada dasarnya dalam hal kewenangan yang menjadi tanggung jawab pemerintah subnasional pada hal ini adalah pemerintah kabupaten/kota yang di dapatkan berdasarkan pada asas desentralisasi merupakan suatu konsep pendekatan pada peningkatan mutu terhadap daerah tersebut. Berangkat dari tatanan konsep secara otonomi daerah maka daerah otonom yang berada pada Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, serta memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi.
Wilayah pantai Losari merupakan wilayah administratif dari pemerintah daerah provinsi Sulawesi Selatan artinya pemerintah daerah Sulawesi Selatan memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan urusan
54 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
pemerintahan baik dari segi kebijakan, pengelolaan hingga pengawasan di wilayah pantai Losari sebagai bagian dari pariwisata kota Makassar, sesuai dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah kota Makassar Nomor 4 tahun 2015 pasal 62 ayat (3) huruf a menyatakan bahwa kawasan pariwisata alam merupakan kawasan wisata pantai dan laut ditetapkan di kawasan wisata pantai Losari dan sekitarnya dibagian wilayah kecamatan Ujung Pandang. Pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Daerah Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir (selanjutnya disebut Perda Pengelolaan Wilayah Pesisir) menyatakan bahwa penyelenggaraan kewenangan provinsi yang berimplikasi pada kewenangan otonomi Kabupaten/Kota adalah bersifat koordinasi, pembinaan dan fasilitasi. Kemudian pada pasal 46 ayat (1) Perda Pengelolaan Wilayah Pesisir mengatur system dan mekanisme perizinan kegiatan pemanfaatan wilayah pesisir harus disesuaikan dengan rencana zonasi dan rencana pengelolaan. Sebelumnya, Pemerintah Kota Makassar mengatur dalam Draft Akhir Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Kota Makassar tahun 2006 (kemudian digunakan sebagai salah satu rujukan pembuatan Rencana Zonasi Provinsi Sulawesi Selatan) menyatakan bahwa pantai Losari merupakan kawasan wisata ekologi. Dalam RZWP-3-K Kota Makassar mengatur bahwa Kawasan Pantai Losari memiliki sasaran pengelolaan untuk menjadi daerah kunjungan wisata dan peningkatan kualitas lingkungan untuk kenyamanan pengunjung. Kepala bidang pengawasan dan Sumber Daya Kelautan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan bahwa
tugas DKP Provinsi Sulawesi Selatan dalam perancangan RZWP-3-K provinsi adalah mengumpulkan seluruh Rencana Zonasi yang sudah disusun oleh Kabupaten/Kota di wilayah Sulawesi Selatan menjadi bagian Perda Provinsi karena Kabupaten/Kota lebih mengetahui peruntukan wilayahnya masing-masing.
Wisata Ekologi merupakan suatu bentuk wisata yang sangat erat kaitannya dengan prinsip konservasi, di Indonesia tujuan wisata ekologi adalah menciptakan pengembangan pariwisata melalui penyelenggaraan yang mendukung upaya pelestarian lingkungan.55 Sebagai bagian dari wisata ekologi, pantai Losari diharapkan tetap utuh dan lestari bahkan diharapkan dapat berkembang menjadi lebih bersih dan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya tetap terjaga.
Pemanfaatan sumber daya pesisir (termasuk di dalamnya permukaan air) untuk kegiatan usaha diwajibkan memiliki izin sebagaimana diatur pada pasal 25 Peraturan Daerah Sulawesi Selatan Nomor 6 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir yang dapat diberikan kepada orang atau badan hukum. Kegiatan usaha yang memanfaatkan sumber daya pesisir pantai Losari sangat erat kaitannya dengan kegiatan usaha di bidang pariwisata yaitu restoran terapung dan perahu wisata. Di Kota Makassar terdapat sebuah restoran terapung yang berada sekitar 200 meter dari Anjungan Pantai Losari. Restoran terapung yang dibina oleh Dinas Perikanan dan Pertanian, dan Peternakan (saat ini menjadi Dinas
55 Haslizen Hoesin, Wisata Ekologi, 2016.
Sumber; https://lizenhs.wordpress.com/2016/11/16/wisata-ekologi-apa-ituuu-u/
Perikanan dan Pertanian Kota Makassar) adalah salah satu contoh pemanfaatan sumber daya pesisir untuk kegiatan usaha.
Dari hasil wawancara penulis dengan salah satu pengelola Restoran terapung yang terdapat di perairan pantai Losari, Rio pada tanggal 23 Maret 2017 mengatakan bahwa pada tahun 2014 awalnya fisik bangunan restoran ini merupakan bantuan dari kementrian Kelautan dan Perikanan kepada pemerintah kota Makassar untuk mendirikan pasar terapung, tetapi melalui sertifikasi pengadaan jasa untuk pelaksana kegiatan usaha oleh pemerintah kota Makassar, tidak ada yang menyanggupi untuk mengelola pasar terapung, sehingga kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kota adalah mendirikan restoran terapung yang kemudian dikelola oleh swasta dengan syarat diwajibkan mengembangkan kegiatan usahanya dalam jangka waktu tertentu. Jenis izin yang diberikan adalah wisata bahari (restoran/rumah makan) dengan jangka waktu yang diberikan kepada pihak pengelola selama 5 tahun dengan syarat setiap tahunnya harus ada perkembangan yang jelas terhadap usahanya.
Pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2016 Pasal 3 ayat (1) mengatur bahwa jenis bantuan pemerintah di kementrian meliputi: pemberian penghargaan; pemberian beasiswa;
bantuan operasional; bantuan sarana/prasarana; bantuan rehabilitasi/pembangunan gedung/bangunan; bantuan pembayaran premi asuransi jiwa, asuransi perikanan, dan asuransi pergaraman; dan bantuan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan dan konservasi.
Selanjutnya pada Pasal 8 ayat (2) menyatakan bahwa bantuan
rehabilitasi/pembangunan gedung/bangunan diberikan kepada: lembaga nonpemerintah; dan kelompok masyarakat hukum adat.
Kegiatan usaha lain yang memanfaatkan perairan pesisir pantai losari adalah perahu wisata. Penulis melakukan wawancara kepada salah satu pelaku usaha perahu wisata dan sepeda air yang berada di pantai Losari, Pak Nawir tanggal 16 Agustus 2017, pak Nawir adalah salah seorang masyarakat pesisir pantai Losari yang melangsungkan kehidupannya di pantai Losari mengatakan bahwa pada awalnya pak Nawir adalah seorang petugas kebersihan perairan pantai Losari yang kemudian diberikan bantuan Bantuan Langsung Masyarakat oleh Dinas Perikanan dan Pertanian kota Makassar berupa perahu wisata.
Selanjutnya penulis melakukan wawancara terhadap pihak Dinas Perikanan dan Pertanian (DP2) kota Makassar selaku pembina dari Kafé Terapung dan perahu wisata pada tanggal 17 April 2017, menyatakan bahwa pada awalnya tujuan didirikan bangunan itu adalah untuk membuat pasar terapung, tetapi pihak yang diberikan kuasa untuk mengelola pasar terapung tidak memanfaatkan, sehingga pemerintah kota mendapat teguran dari pusat (kementrian kelautan dan perikanan) bahwa bangunan akan dipindahkan ke tempat lain jika tidak dimanfaatkan, maka pemerintah kota mengambil kebijakan mengubah fungsi bangunan yang awalnya pasar terapung menjadi restoran terapung. Proses pemberian izin tidak berubah yaitu untuk kegiatan usaha, umumnya dilakukan sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Walikota (Perwali) Makassar Nomor 20 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pada Pemerintah Kota Makassar, sedangkan untuk perahu wisata pemberian izin diberikan bersamaan dengan pemberian
bantuan berupa perahu wisata sebagai bentuk program dari dinas Perikanan kota Makassar untuk membantu memajukan ekonomi masyarakat pesisir.
Dari hasil wawancara yang telah dipaparkan, penulis berpendapat bahwa Pemerintah Kota mengubah fungsi awal bangunan dari sebelumnya untuk pasar terapung menjadi restoran terapung tidak mempengaruhi terhadap alih fungsi lahan karena fungsi lahan adalah untuk kegiatan usaha sehingga izin yang diberikan oleh Pemerintah Kota Makassar tidak berubah yaitu untuk kegiatan usaha. Kemudian izin yang diberikan kepada pihak pengelola dan pelaku usaha agar dapat memanfaatkan ruang perairan pesisir pantai Losari adalah izin lokasi dan izin pengelolaan.
C. Sistem Pengawasan Pemerintah Terhadap Pemanfaatan Wilayah Pesisir Untuk Kegiatan Usaha di Kota Makassar
Kata “Pengawasan” berasal dari kata “awas” berarti “penjagaan”.
Istilah pengawasan dikenal dalam ilmu manajemen dengan ilmu administrasi yaitu sebagai salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan.
George R. Terry berpendapat bahwa istilah “control” sebagaimana dikutip Muchsan, artinya: “control is to determine what is accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure result in keeping with the plan “ (Pengawasan adalah menentukan apa yang telah dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu memastikan sesuai dengan rencana).56 Muchsan berpendapat bahwa pengawasan
56 Muchsan, Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta; Sinar Grafika, 2005, hlm.
97.
adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokkan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya.57
Bagir Manan memandang control sebagai sebuah fungsi sekaligus hak, sehingga lazim disebut sebagai fungsi kontrol atau pengendalian.58 Dalam pelaksanaan tugas pengawasan tahapan-tahapan pada fungsi manajemen memiliki keterkaitan satu sama lain. Keterpaduan fungsi-fungsi tersebut, memerlukan adanya koordinasi dari fungsi-fungsi tersebut dan tuntutan profesi atas kualitas hasil pengawasan menghendaki juga adanya sistem dan program pengendalian mutu dari proses pelaksanaan tugas pengawasan.
Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai sejauh mana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat mendeteksi sejauh mana kebijakan
57 Ibid, hlm. 38.
58 Bagir Manan, Peningkatan Fungsi Kontrol Masyarakat Terhadap Lembaga Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, Makalah, hlm. 1-2.
pimpinan dijalankan dan sampai sejauh mana penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut.59
Di Indonesia dikenal bermacam-macam pengawasan yang secara teoretis dibedakan atas pengawasan langsung dan tidak langsung, pengawasan preventif dan represif, pengawasan internal dan eksternal.
Bentuk pengawasan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengawasan Langsung dan Tidak Langsung
Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi oleh pemimpin atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri secara on the spot di tempat pekerjaan, dan menerima laporan-laporan secara langsung dari pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi.60 Sedangkan pengawasan tidak langsung diadakan dengan mempelajari laporan-laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tulisan, mempelajari pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa on the spot.
2. Pengawasan Preventif dan Represif
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang bersifat mencegah. Mencegah artinya menjaga jangan sampai suatu kegiatan itu jangan sampai terjerumus pada kesalahan.
Pengawasan preventif adalah pengawasan yang bersifat
59 Asep Ruli, Sistem Pengawasan Pemerintahan, 2009 Sumber;
http://asepruli.blogspot.co.id/2009/03/sistem-pengawasan-pemerintahan.html
60 Viktor Situmorang, Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Jakarta; Rineka Cipta, 1998, hlm. 28.
mencegah agar pemerintah daerah tidak mengambil kebijakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengawasan represif adalah pengawasan yang berupa penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan yang telah ditetapkan daerah baik berupa Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, Keputusan DPRD maupun Keputusan Pimpinan DPRD dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Pengawasan represif berupa penangguhan atau pembatalan terhadap kebijakan daerah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundangundangan yang lainnya.
3. Pengawasan Internal dan Eksternal
Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam organisasi itu sendiri. Pengawasan intern lebih dikenal dengan pengawasan fungsional. Pengawasan fungsional adalah pengawasan terhadap pemerintah daerah, yang dilakukan secara fungsional oleh lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan pengawasan fungsional, yang kedudukannya merupakan bagian dari lembaga yang diawasi seperti Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi, Inspektorat Kabupaten/Kota.
Sementara pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dari luar organisasi itu sendiri seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).61
61 Ibid.
Pengawasan adalah segala kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya tentang pelaksanaan tugas dan kegiatan, apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak.62 Berdasarkan pengertian tersebut dapat diuraikan bila tidak sesuai dengan semestinya atau standar yang berlaku bagi kegiatan yang dilakukan maka telah terjadi penyimpangan.
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 untuk:
a. Provinsi, dilaksanakan oleh:
1. Menteri, untuk pengawasan umum; dan
2. Menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, untuk pengawasan teknis;
b. Kabupaten/kota, dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pengawasan umum dan teknis.
Pengawasan umum sebagaimana dimaksud meliputi:
a. Pembagian urusan pemerintahan;
b. Kelembagaan daerah;
c. Kepegawaian pada Perangkat Daerah;
d. Keuangan daerah;
e. Pembangunan daerah;
f. Pelayanan publik di daerah;
g. Kerja sama daerah;
62 Sujanto, Beberapa Pengertian di Bidang Pengawasan, Jakarta; Ghalia Indonesia, 1986, hlm. 63.
h. Kebijakan daerah;
i. Kepala daerah dan DPRD; dan
j. Bentuk pengawasan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dilakukan terhadap teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah provinsi, dan pengawasan teknis sebagaimana dimaksud dilakukan terhadap teknis pelaksanaan substansi urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah kabupaten/kota. Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud meliputi:
a. Capaian standar pelayanan minimal atas pelayanan dasar;
b. Ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk ketaatan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria, yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren;
c. Dampak pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah; dan
d. Akuntabilitas pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja negara dalam pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren di daerah.
Pada dasarnya, pengawasan secara tidak langsung dapat dicermati dari batasan pengertian pengawasan tersebut, yakni suatu upaya melakukan perbaikan-perbaikan terhadap pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan guna mencapai tujuan yang