• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4.1. Hukum Digambarkan Sebagai ”Barang Dagangan”

Pelanggaran hukum yang terjadi di Indonesia pada masa sekarang ini sudah melampaui batas. Bobroknya penegakan hukum di negeri ini dilatarbelakangi oleh banyaknya aparat penegak hukum yang harusnya menegakkan hukum justru melakukan pelanggaran. KPK dan polisi yang merupakan aparat negara harusnya menjadi penegak hukum di negeri ini justru banyak membuat ulah. Banyak contoh kasus yang menguatkan hal ini, misalnya saja kasus Antasari Azhar yang dulu menjabat ketua KPK, lalu kasus Gayus Tambunan yang sampai saat ini menyita perhatian publik ternyata banyak menyeret petinggi polri di negeri ini.

Kasus Gayus adalah contoh kecil korupsi yang dilakukan secara sistemik. Pelaku korupsi dalam kasus Gayus berjumlah banyak, dilakukan secara bersama oleh orang-orang yang punya pengaruh besar di negeri tercinta ini. Maka tidak mengherankan jika penanganannya terkesan tidak sungguh-sungguh, bahkan terbukti Gayus mendapat keleluasaan berpelesir ke Bali dan mancanegara.

70

seperti barang dagangan yang dapat dibeli dan diutak-atik. Ini sangat berbahaya karena hal ini menunjukkan bahwa negara pun akhirnya turut terlibat dalam tindak korupsi dengan peraturan dan kebijakan yang dapat dimanipulasi.

Hukum di Indonesia sudah tidak mampu lagi dipakai untuk menghukum para koruptor, serta penjahat kelas kakap lainnya karena aparat hukum di Indonesia sudah begitu kotor dan korup. Aparat hukum, baik polisi, jaksa, dan hakim, hanya berorientasi pada uang. Bukan menegakkan keadilan. Siapa yang kuat membayar, merekalah yang akan menang. Hukum sudah seperti barang dagangan yang diperjual-belikan oleh para polisi, jaksa, dan hakim. Biasanya, para pengacara yang akan jadi perantara antara terdakwa dengan para aparat hukum tersebut. Pengacara inilah yang akan membagi-bagikan uang dari terdakwa kepada para polisi, jaksa, dan hakim. Demikian pula di tingkat banding atau pun kasasi di MA.

Pada beberapa kondisi, ada pengacara yang bilang bahwa tarifnya adalah Rp 20 juta untuk sidang di PN. Adapun untuk membayar hakim, perlu uang Rp 30 juta agar bebas. Ini adalah praktek yang sudah jadi rahasia umum. Oleh karena itu, media massa dan juga para praktisi hukum di LBH menyebutnya sebagai mafia peradilan. Sementara di masyarakat umum dikenal istilah “KUHP” yang dianekdotkan dengan “KASIH UANG HABIS PERKARA,” serta “UUD” yang dianekdotkan jadi “UJUNG-UJUNGNYA DUIT.”

Dengan membayar lebih banyak, seseorang bisa memenangkan perkara meskipun orang tersebut salah dan membuat lawannya dipenjara, meski lawannya

adalah orang yang benar. Para hakim, jaksa, dan polisi akan berpihak kepada orang tersebut. Sebagai contoh, ketika wartawan Tempo diserang dan dipukul oleh preman Tommy Winata, justru wartawan Tempo lah yang dihukum. Kaburnya para pelaku korupsi trilyunan rupiah seperti Eddy Tansil, Hendra Rahardja, serta direktur Bank Global merupakan bukti para aparat polisi telah disuap oleh para penjahat tersebut.

Beberapa kasus penting lainnya yang juga menggambarkan bahwa hukum di Indonesia sudah seperti barang dagangan yang bisa diperjual belikan dengan uang adalah kasus korupsi atau pun pencemaran lingkungan seperti kasus Buyat oleh PT NMR, ketika polisi/jaksa memeriksa, itu bukan karena mereka ingin menegakkan hukum. Tapi karena mereka melihat itu adalah peluang untuk mendapatkan uang. Jika tidak diberi uang, mereka akan memproses secara hukum. Tapi jika diberi, maka kasus tersebut akan mereka hentikan begitu saja. Tak heran banyak kasus korupsi BLBI yang merugikan negara puluhan trilyun .rupiah di-SP3-kan (dihentikan) oleh Jaksa Agung. Sebagai contoh, Adrian Waworuntu diberitakan memberi suap Rp 10 milyar kepada Kapolri, sehingga akhirnya para polisi dan jaksa berpura-pura bodoh dengan tidak menemukan bukti, sehingga dalam 4 bulan, akhirnya Adrian bebas dan kabur ke luar negeri. Diberitakan juga Adrian ketika menginap di Mabes Polri mendapat fasilitas kamar AC dan TV serta makanan yang mewah yang juga dinikmati para polisi di situ. Demikian juga dengan kasus korupsi puluhan milyar rupiah oleh anggota DPRD mau pun bupati banten. Polisi dan Jaksa hanya ingin mendapat bagian dari hasil korupsi tersebut.

72

Istilah Mafia Peradilan sudah berkembang lama sejak tahun 1970 tanpa ada satu pun orang yang mampu membersihkannya. Isu adanya aparat hukum yang bersih, seperti Jaksa Agung Baharuddin Lopa, belum tentu benar, sebab ternyata dia tidak mampu membersihkan Kejaksaan menjadi lembaga yang bersih. Entah karena dia sendiri, atau memang juga tidak punya kemauan/kemampuan untuk membersihkannya.

Hukum di Indonesia digambarkan seperti barang dagangan. Para aparat hukum memperjual-belikan hukum, karena memang sistem hukum di Indonesia sudah sedemikian korup. Sebagai contoh, untuk masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), para polisi harus membayar antara Rp 35 juta hingga Rp 40 juta. Karena gaji mereka kecil, tentu mereka harus menerima suap/memeras agar bisa membayar biaya kuliahnya yang mungkin berasal dari hutang. Ada juga bos judi yang membiayai polisi tersebut hingga jadi perwira dan jadi beking bos judi tersebut. Para aparat hukum juga harus menyetor sejumlah uang ke atasannya. Anggota polsek ditargetkan untuk menyetor ke Kapolsek. Para Kapolsek pun ditargetkan untuk menyetor uang ke Kapolres, hingga akhirnya sampai ke Kapolri. Pernah diberitakan bahwa jabatan Polri diperjual-belikan. Namun begitu dibantah oleh Kapolri Da’i Bakhtiar, isyu tersebut lenyap. Begitu pula isyu yang menyebutkan bahwa ada perwira Polri yang menawar jabatan polri sebesar Rp 10 milyar.

Dengan dalih supremasi hukum, seperti halnya barang dagangan, para aparat hukum dengan sewenang-wenang memperjual-belikan hukum tanpa ada

uang untuk menyuap. Hukum mereka gunakan untuk memeras terdakwa yang tidak bersalah guna memperkaya diri mereka. Berbagai lembaga pengawas aparat hukum seperti DPR, Ombudsman, Komisi Hukum, dan lain-lain, tidak mampu mengontrol dan membersihkan aparat hukum tersebut, karena tidak mempunyai kemampuan/wewenang yang cukup untuk membersihkan aparat hukum. Sebagai contoh, Komisi Hukum, hanya terdiri dari 6 orang saja. Ada pun Ketuanya adalah JE Sahetapy yang sudah jompo (berumur 70 tahun lebih) serta merangkap berbagai jabatan, sehingga hampir tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya bisa melapor ke presiden. Itu saja. Sementara presiden yang menerima laporan, akan kembali menyerahkannya ke aparat hukum tersebut, yaitu Kapolri, Jaksa Agung, mau pun Ketua MA, yang notabene membela bawahannya. Oleh karena itu, tidak ada yang bisa membersihkan aparat hukum di Indonesia. Demikianlah. Para aparat hukum kita, meski gajinya kecil, dengan pangkat AKP saja, mereka sudah mampu punya mobil dan rumah sendiri. Semua itu mereka lakukan dengan memperjual-belikan hukum seperti barang dagangan.

4.4.2. Penegakan Hukum di Indonesia

Penegakan hukum yang terjadi di Indonesia saat ini sangat sulit untuk diperbaiki karena sudah mendarah daging dalam sejarah suram perpolitikan Indonesia. Pelanggaran hukum yang terjadi di Indonesia sudah menyeret berbagai kalangan masyarakat baik itu dari pejabat tinggi sampai staf terendah.

Hukum sering ditampilkan sebagai sosok yang garang, tak kenal ampun. Apalagi kalau menempatkan hukum sebagai sebuah perintah (law as command),

74

demikian tampil begitu garang, akan menghukum siapa saja yang melanggar hukum. Atas nama kepastian hukum, pihak yang memiliki otoritas menggunakan hukum untuk menciptakan ketertiban (sosial).

Namun yang terjadi di Indonesia adalah suatu hal yang sangat memalukan dimana, lembaga penegak hukum yang harusnya dipercaya oleh publik justru sebagai pelaku korup yang memperjualbelikan pasal-pasal hukum, dan mengkompromikan proses hukum bagi mereka yang mampu memuaskan keinginan dan kerakusan ekonomi penegak hukum. Sistem penegakan hukum sudah seperti pasar dimana terjadi tawar menawar antara pembeli dan penjual hukum.

Pasar penegakan hukum menjadikan hukum menjadi komoditas atau sarana perdagangan. Bahkan di dalam pasar penegakan hukum juga terdapat para preman-preman hukum yang mengutip setiap hasil transaksi yang dilakukan. Preman hukum ini mungkin tidak terorganisasi, tetapi mereka berjejaring dengan aparat penegak hukum yang berprofesi ganda sebagai penjual hukum. Berbeda halnya apabila yang menjadi preman hukum sekaligus penjual hukum maka mereka terorganisir dan mempunyai kemampuan untuk membentuk kartel. Kartel inilah yang sering disebut atau dikenal dengan sebutan mafia hukum. Preman hukum yang tidak terorganisir bergerak secara independen mengikuti alur pihak-pihak berperkara yang membutuhkan ‘jasa hukum’nya. Sedangkan yang terorganisir, berjejaring untuk saling bisa mengkondisikan komoditas (hukum) yang bisa ditawarkan dengan mengacu prinsip penawaran dan permintaan.

Tugas aparat penegak hukum adalah menegakkan hukum tetapi yang terjadi adalah komodifikasi hukum untuk memuaskan keinginan serta kerakusan ekonomi. Hukum baik dalam struktur, substansi dan budayanya menjadi hipokrit tidak lagi mengejar hakekat hukum, tetapi kepentingan pengemban hukum. Pengemban hukum membentuk hukum menjadi komoditas untuk diperjualbelikan.

Hukum dengan pasal-pasalnya, hukum dengan aparat penegak hukumnya, hukum dengan kemuliaan tujuannya didistorsikan sekedar menjadi ‘barang dagangan’. Hukum yang hakekatnya harus adil menjadi hukum yang melayani kepentingan para pihak yang melakukan transaksi. Hukum tidak lagi tampil dengan watak yang supreme, melainkan mengalami kemerosotan derajat menjadi pelayan.

Dengan situasi demikian maka masyarakat harus lebih bijak dan kritis dalam menyikapi kondisi yang terjadi di Indonesia khususnya menyangkut penegakan hukum. Untuk mencapai tujuan mulia “membersihkan” hukum di Indonesia dari pengaruh buruk para mafia peradilan maka, masyarakat diharapkan memberikan dukungan dan solidaritas atas kejujuran dari para aparat penegak hukum yang masih setia menjalankan tugasnya sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan jalan tidak ikut melakukan praktek suap jika sedang berurusan dengan hukum serta menginformasikan kepada aparat jika menemui dugaan adanya praktek mafia peradilan disekitarnya.

76

BAB V

Dokumen terkait