• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TRANSPLANTASI ORGAN

C. Hukum Transplantasi Organ Tubuh

2. Hukum Islam Di Indonesia

Bidang kedokteran secara umum termasuk salah satu bidang keilmuan yang mendapat perhatian cukup besar dari para ulama sejak masa nabi hingga dewasa ini, termasuk yang terkait dengan perkembangan teknologinya dari sisi etika dan hukum Islam. Dalam menentukan hukum, haram-halalnya suatu temuan ilmiah termasuk dalam bidang kedokteran.

pada masa Nabi, seluruhnya dapat diselesaikan oleh Nabi. Sedang pada masa berikutnya jika tidak dapat ditemukan dalam sumber ajaran Islam, al-Quran dan hadis, maka dilakukan ijtihad. Dewasa ini para ulama dihadapkan pada masalah lebih rumit, karena banyak masalah-masalah kedokteram yang tidak ada penegasan dalam nash, Alquran dan Hadis, juga tidak ditemukan keterangannya dalam literatur fikih karena hal yang serupa belum diformulasikan oleh para pakar fikih (fuqaha)

terdahulu, belum terjadi saat itu atau bahkan belum terpikirkan akan adanya. Di samping itu, juga mulai terkuaknya masalah lain yang terkait yang harus pula dipertimbangkan dalam menentukan hukumnya.16

Di sisi lain, sekarang hampir tidak ada lagi orang yang mempunyai otoritas berijtihad secara mandiri karena orang yang memenuhi prasyarat akademis dan moral yang diperlukan nyaris tidak dapat dijumpai lagi. Maka yang dilakukan adalah berijtihad secara kolektif (ijtihad jama'i) melalui lembaga atau organisasi keulamaan. Padahal secara normatif teoritis, ada interaksi antara perubahan dan perkembangan teknologi kedokteran dengan perubahan hukum Islam. 17

Setiap peristiwa yang terjadi pasti ada hukum yang mengikatnya, ada dalil yang menunjukkan atas hukumnya, jika tidak ditemukan secara jelas dalam nash maka dalil dicari dengan cara berijtihad. Dengan ijtihad, maka sesulit dan serumit apa pun persoalan yang dihadapi manusia, maka di situ ada ketentuan hukumnya.

Hukum Islam senantiasa dinamis dan sesuai dengan tuntutan masa dan tempat, intinya menarik yang bermanfaat serta menghindari yang mafsadat (Rahmān, 1983). Tujuan akhir ditetapkannya hukum Islam adalah menjadi rahmat bagi manusia, mewujudkan kemaslahatan yang

16

Zuhroni, Fatwa Ulama Indonesia Terhadap Isu-isu Kedokteran Kontemporer, artikel diakses pada 10 April 2010 dari

http://www.ptiq.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=40&Itemid=34

17

hakiki, baik di dunia maupun di akhirat (Zahrat, 1995). Ukuran dan sarana kemaslahatan itu tidak baku dan tidak tak terbatas, ia berubah seiring dengan perkembangan zaman (Rahmān, 1983).18

Secara metodologis, ulama menetapkan hukum Islam berdasarkan sumber primer syariat Islam, Alquran dan Hadis, dua sumber komplementer yang merupakan sub-ordinat (ijmak dan qiyas), kaidah-kaidah suplementer, meliputi Istihsān (preferensi juristik), Amalan Penduduk Madinah, al-Mashālih al-Mursalat (kemaslahatan umum), Istishhāb (aturan kesesuaian), Syar‟ man Qablanā, Madzhab Shahābi, Sadd al-Dzarī'at (menutup jalan yang dapat menghantarkan terjadinya kemaksiatan), dan „urf (Khin, 1984; „Umran, 1992). Abd al-Rahim „Umran menambahkan empat prinsip (kaidah) umum, yaitu: "Watak dasar segala hal adalah halal kecuali apabila dilarang oleh suatu nash, tidak memudaratkan dan tidak dimudaratkan, darurat membolehkan yang dilarang, dan memilih kemudaratan yang lebih kecil (Umran, 1992).19

Hampir seluruh isu kedokteran dan kesehatan yang berkembang dewasa ini telah mendapatkan fatwa dari Ulama Indonesia. Dilihat dari segi jumlah topik kedokteran yang telah difatwakan, Bahtsul Masail tercatat yang terbanyak, diikuti MPKS, MUI, Dewan Hisbah, dan Majlis Tarjih. Ada dua isu (inseminasi buatan dan transplantasi) direspons oleh

18

Ibid.

19

seluruh lembaga fatwa, selebihnya kadang hanya oleh sebagian saja, bahkan ada yang hanya oleh satu lembaga saja.20

Zuhroni, alumnus PTIQ yang sekarang menjadi dosen di universitas YARSI menjelaskan bagaimana Penetapan fatwa terhadap tema kedokteran yang ditetapkan oleh lima lembaga fatwa dari segi metode atau dasar dalilnya, secara umum dapat digolongkan dalam tiga tipologi,yaitu:

a. Merujuk pada ketentuan dalam kitab-kitab fikih (kutub mu‟tabarat), dengan cara tahbīq atau Ilhāq (analogi), dilakukan oleh Bahtsul Masail.

b. Dengan slogan „kembali kepada Alquran dan Hadis‟ oleh Majlis Tarjih dan Dewan Hisbah, secara teoritis segala persoalan termasuk isu-isu modern dapat dijawab dengan kedua sumber tersebut. Namun, ketika dihadapkan pada realita ternyata tidak terdapat dalam dua sumber tersebut, maka digunakan metode yang dirumuskan oleh para mujtahid, seperti istihsān, mashlahat mursalat, sadd al-dzarī'at, dan sebagainya, termasuk karya-karya fikih masa lalu, namun tidak dinyatakan secara tegas.

20

c. MUI secara umum dapat dianggap sebagai perpaduan plus antara dua tipologi di atas, bersifat fleksibel dan dinamis, menggunakan sumber primer dan suplementer dan dinyatakan secara jelas.21

Secara metodologis, meski tidak berarti meninggalkan sumber-sumber hukum atau metode pendukung lain yang menguatkannya, terlepas dari adanya kelaziman menyebutkan metode tersebut atau tidak tetapi secara aplikatif dapat ditentukan, ada satu metode atau lebih penetapan hukum yang kuat dan menonjol dijadikan sebagai dasar, yaitu sebagai berikut:

a. Melalui sumber primer, Alquran dan Sunnah, atau dengan mengkiyaskannya. Fatwa tentang larangan operasi ganti kelamin digunakan dalil dengan nash tentang larangan merubah ciptaan Allah dan menyerupakan diri dengan lain jenis. Proses pemasangan alat kontrasepsi dalam rahim/vagina atau penanaman zigot dengan batasan menutup aurat dan larangan melihat aurat, agar „memejamkan pandangan‟. Keharaman menggunakan jenazah untuk transplantasi dengan larangan menyakiti jenazah, atau secara spesifik larangan untuk tidak mematahkan tulang mayit. Transplantasi organ dan operasi perbaikan kelamin dengan anjuran berobat. Berobat dengan bahan dari unsur babi atau transplantasi dengan organ babi tercakup dalam larangan makan babi.

21

b. Melalui kaidah-kaidah suplementer, di antaranya:

1) Istihsan atau konsep darurat, seperti terhadap isu tentang donor organ, transplantasi dengan organ orang mati, bedah mayat untuk pendidikan kedokteran dan pengadilan, penggunaan obat beralkohol dan organ babi, aborsi karena alasan medis, darurat. 2) Sadd al-Dzarī‟at digunakan untuk menetapkan haramnya

penggunaan sperma donor, sewa rahim, transplantasi dengan sesama muslim, aborsi akibat perkosaan yang berakibat depresi berat.

3) Mashlahat Mursalat, dijadikan sebagai argumen halalnya inseminasi buatan/bayi tabung, bedah mayat, transplantasi organ, dan KB.

4) Istishhāb digunakan karena tidak ada larangan dan perintah dalam nash maka difahami sebagai bentuk pembolehan, seperti fatwa tentang isu inseminasi buatan.

5) Melalui kitab-kitab fikih dengan cara men-tathbīq-kannya atau meng-ilhāq-kannya, seperti haramnya suntik mayat dan bedah mayat dianalogikan dengan haramnya khitan mayat, bolehnya bedah mayat untuk pendidikan atau pengadilan, donor dan

transplantasi organ manusia dianalogikan dengan bolehnya mengeluarkan benda berharga atau bayi dari perut mayat.22 Fatwa tentang transplantasi organ pada prinsipnya seluruh lembaga fatwa di Indonesia mengharamkan transplantasi organ manusia. Majlis Tarjih, MUI, dan Dewan Hisbah menambahkan kecuali darurat, juga termasuk untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pendidikan kedokteran.23

Fatwa Bahtsul Masail mengalami pergeseran, awalnya mereka mengharamkannya secara mutlak namun kemudian direvisi yang selanjutnya difatwakan dengan dua pandangan, haram secara mutlak dan jaiz karena darurat.

Dewan Hisbah dan Bahtsul Masail mempersyaratkan menggunakan organ muslim. Bedanya, Dewan Hisbah sebatas menyarankan sedangkan Bahtsul Masail mengharuskannya.

Bahtsul Masail dan Dewan Hisbah secara khusus telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan transplantasi menggunakan organ babi, kecuali tidak ada pilihan lain. Namun jika ada organ pengganti, maka Bahtsul Masail mengharamkannya secara mutlak penggunaan organ babi.24

22 Ibid. 23 Ibid. 24 Ibid.

Ada beberapa pandangan hukum islam mengenai halal-haramnya transplantasi organ, oleh agama dijawab dengan merujuk pada sumber tekstual utama (Qur'an dan hadis) maupun kitab-kitab hukum fikih dengan mempertimbangkan upaya mempertahankan martabat manusia.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Isra‟ ayat 70







































Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.

Allah SWT mengingatkan umat manusia akan nikmat dan karunia khusus yang telah diberikan kepada mereka bahwa mereka dimuliakan dan diberi kelebihan atas makhluk lain. Manusia dikaruniai Allah SWT sarana pengankutan darat,laut, mereka dilaaruniai rizki, makanan dan pakaian.25

Setelah menggambarkan anugerah-Nya ketika berada di laut dan di darat. Baik terhadap yang taat maupun yang durhaka, ayat ini menjelaskan sebab anugerah itu , yakni karena manusia adalah makhluk

25

Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsier , PT. Bina Ilmu Surabaya. jilid 5, h. 252

unik yang memiliki kehormatan dalam kedudukannya sebagai manusia, baik dia taat maupun tidak.26

Kami lebihkan mereka dari hewan dengan akal dan daya cipta sehingga menjadi makhluk bertanggung jawab. Kami lebihkan yang taat dari mereka atas malaikat karena ketaatan manusia melalui perjuangan melawan setan dan nafsu, sedangkan ketaatan malaikat tanpa tantangan.

Anugerah Allah SWT itu untuk semua manusia, inilah yang menjadikan Nabi Muhammad SAW berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi. Ketika itu sahabat-sahabat rasul saw menanyakan sikap beliau itu. Nabi saw menjawab “ Bukankah yang mati itu juga manusia?”27

Dari satu sisi kita dapat berkata bahwa jika Allah melebihkan manusia atas banyak makhluk hidup berakal, maka lebih-lebih lagi makhluk hidup tidak berakal. Di tempat lain Al-Qur‟an menegaskan bahwa alam raya dan seluruh isinya telah ditundukkan Allah untuk manusia.



































Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya

26

Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Lentera Hati: Jakarta 2002. Volume 7 h. 521

27

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir (Q.S. Al- Jatsiyah :13)

Disisi lain kita juga dapat berkata bahwa paling tidak ada dua makhluk berakal yang diperkenalkan Al-Qur‟an yaitu malaikat dan jin. Ini berarti manusia berpotensi untuk mempunyai kelebihan disbanding dengan banyak – bukan semua – jin dan malaikat. Yang penulis (Quraish Shihab) maksud dengan manusia adalah tentu saja manusia-manusia yang taat, karena manusia yang durhaka dinyatakan-Nya bahwa

































Mereka tidak lain kecuali bagaikan binatang ternak, bahkan lebih buruk (Q.S. Al-Furqan :44)

Sebagaimana dipahami anugerah Allah SWT dari kata karramnā/kami memuliakan dan dengan demikian anugerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan hak-hak Allah dan harus selalu berada dalam koridor tuntunan agama-Nya.28

Pada tafsir lain menyatakan Kemuliaan Allah SWT menjelaskan bahwa Allah telah memuliakan Adam dengan raut muka yang indah, potongan yang serasi dan diberi akal agar dapat menerima petunjuk untuk berbudaya dan berfikir guna mencari keperluan hidupnya, mengelola

28

kekayaan alam serta menciptaka alat pengangkut di darat, dilaut dan di udara. Allah juga memberi anak adam kelebihan dan kesempurnaan yang tidak dimiliki makhluk lain yang diciptakan-Nya.

Dengan demikian seharusnyalah mereka itu tidak mengadakan Tuhan-tuhan lain yang mereka persekutukan dengan Allah, akan tetapi hendaknya beribadah hanya kepada Allah SWT.29

29

Al-Qur‟an dan tafsirnya. Proyek penngadaan kitab suci Al-Qur‟an Departeman Agama Republik Indonesia 1983/1984. Jilid V h. 627

30 A. Sejarah Nahdlatul Ulama

1. Latar Belakang Berdirinya

Berbicara tentang Nahdlatul Ulama (NU), gambaran kita langsung tertuju ke santri kolot, pakai sarung, orang desa,ekslusif dan ungkapan stereotype lain.30 Tetapi kita tidak membicarakan hal tersebut. Terlepas dari itu semua, salah satu faktor yang mendasari lahirnya Nahdlatul Ulama adalah Keterbelakangan bangsa indonesia.

Keterbelakangan ini adalah akibat dari penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi. Melihat keadaan Bangsa Indonesia yang mengenaskan, maka bangkitlah semangat kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui pendidikan dan organisasi.

Embrio yang menggugah kesadaran kaum terpelajar ini muncul pada tahun 1908 yang dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan nasional terus menyebar ke berbagai daerah setelah rakyat menyadari penderitaan dan ketertinggalan bangsa ini dengan bangsa lain yang kemudian banyak muncul berbagai organisasi yang serupa dengan Kebangkitan Nasional.

30

M. Sholaekhan Al-Jalily, Tradisi Bahtsul Masail NU: Harus Mampu Menjawab Problem Kemanusiaan. Jurnal Justisia, edisi 24 tahun XI 2003 h. 69

Di kalangan pesantren, muncul organisasi nahdlatul wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916 sebagai wadah gerakan melawan kolonialisme. Pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau yang dikenal dengan Nahdlatul Fikr (Kebangkitan Pemikiran) sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum santri. Kemudian lahirlah pergerakan atau kebangkitan kaum saudagar yang akrab dengan sebutan Nahdlatul-Tujjar. Gerakan itu bertujuan untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan demikian, taswirul afkar selain menjadi kelompok studi, juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang pesat di bebrapa kota.31

Ketika Di Saudi Arabiah muncul gerakan wahabi dan Raja Ibnu Saud hendak menerapkan mazhab Wahabi sebagai satu-satunya mazhab yang berlaku di kota Makkah, beliau juga hendak menghancurkan peninggalan-peninggalan islam maupun pra islam yang banyak di ziarahi karena dianggap bid‟ah. Gagasan tersebut disambut hangat oleh kaum modernis Indonesia seperti Muhammadiyah dan PSII. Sebaliknya, kalangan pesantren menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan sejarah tersebut.32

Akibat sikap yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota kongres Al-Islam Yogyakarta 1925, sehingga kalangan pesantren

31

Artikel diakses pada 17 agustus 2008 dari http://manu.buntetpesantren.org/tentang-nu/sejarah-nu/

32

tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu‟tamar „Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.

Didorong oleh keinginan kuat untuk mendukung kebebasan bermazhab serta peduli dengan warisan budaya, maka kalangan pesantren mengutus delegasi yang bernama Komite Hijaz dengan diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah juru bicara kaum tradisionalis paling vokal pada Kongres Al-Islam, mendorong para Kiai terkemuka di Jawa Timur agar mengirimkan utusan sendiri ke Mekkah untuk membicarakan madzhab dengan raja Ibnu Sa‟ud.33

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.34

Komite Hijas dan beberapa organisasi yang dibentuk oleh kaum pesantren adalah embrio dari sebuah organisasi yang lebih mencakup dan sitematis untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka pada tanggal 31 Januari 1926 atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H organisai “Nahdlatoel

33

Ibid

34

Oelama” didirikan. Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy‟ari sebagai Rais Akbar.35

KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai prinsip dasar Organisasi. Kedua kitab tersebut di jelaskan maksudnya dalam Khittah Nahdlatul Ulama yang kemudian dijadikan dasar dan rujukan warga Nahdlatul Ulama dalam berfikir dan bertindak dalam bidang keagamaan, sosial dan politik.

Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Jawa Timur merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan islam terbesar di Indonesia. Sebagian besar massa organisasi ini berada di daerah pedesaan pulau jawa dan madura. Basis massa yang demikian in sering memposisiskan Nahdlatul Ulama menjadi kelompok marginal yang kurang diperhitungkan dalam wacana pemikiran islam di Indonesia. Namun sebagai organisasi keagamaan yang berada di bawah kepemimpinan kiyai-ulama, Nahdlatu Ulama berusaha mempertahankan tradisi keagamaan yang telah ada dan berkembang di kalangan grass root tanpa mengurangi nilai2 keislaman.36

35

Artikel diakses pada 17 agustus 2008 dari http://manu.buntetpesantren.org/tentang-nu/sejarah-nu/

36

Pada awal berdirinya, Nahdlatul Ulama hanya memperjuangkan kepentingan tradisionalis yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam anggaran dasarnya yang pertama, tujuan Nahdlatul Ulama didirikan adalah untuk memegang teguh salah satu mazhab empat dan mengerjakan apa saja yang menjadi kemaslahatan bangsa.37 Seiring dengan era pada saat itu, pada tahun 1950-an Nahdlatul Ulama Tearlibat dalam politik praktis. Seorang tokoh muda NU, Fajrul Falah mengelompokkan tiga alasan berdirinya Nahdlatul Ulama :

a. Aksi kultural untuk bangsa, yakni menggunakan strategi akulturasi dengan budaya setempat, dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat.

b. Aktivitas yang mencerminkan dinamika berpikir kaum muda,

c. Usaha membela keprihatinan keagamaan internasional, yakni munculnya gerakan Wahabiyah yang berusaha menghilangkan segala khurafat yang ada di kota suci.38

Salah seorang peniliti senior Indonesia menyatakan bahwa berdirinya Nahdlatul Ulama merupakan respon atas faham reformis pada awal abad ke-20 yang dikembangkan oleh Faqih Hasyim di Minangkabau.39

37 Hasyim Asy‟ari, Qann Asasi Nahdlatul Ulama. Menara Kudus : Kudus, 1973 h. 2

38

Fajru Falah, Jamiyyah NU lampau kini dan datang, dalam Gus Dur NU dan Masyarakat sipil. LkiS: Yogyakarta 1994 h. 170

39

Munculnya kelompok studi “Tashwirul Afkar” di awal abad 20 yang dipelopori oleh Abdul Wahab Hasbullah dan rekannya Ahmad Dahlan (kemudian menjadi pimpinan Muhammadiyah), mendorong munculnya jamiyyah NU. Di samping itu terbentuknya “Nahdlat al Tujjar” suatu lembaga yang mewadahi aspirasi kelompok pedagang muslim, serta munculnya komite Hijaz merupakan embrio berdirinya Nahdlatul Ulama.

Sejak berdiri hingga sekarang ini, NU mengalami perjalanan sejarah sesuai dengan situasi dan transformasi masyarakat. Pengamat NU dari Australia, Greg Barton dan Greg Fealy mengklarifikasi sejarah perjalanan NU dalam tiga periode. Pertama, periode awal sebagai organisasi keagamaan, sebagaimana organisasi keagamaan lainnya seperti Muhammadiyah, Persis dan Perti. NU didirikan sebagai jam‟iyyah diniyah (organisasi keagamaan) yang mempunyai misi mengembangkan kegiatan-kegiatan keagamaan, pendidikan, ekonomi dan sosial. Periode pertengahan, yakni ketika NU sebagai organisasi keagamaan, berubah fungsi menjadi sebuah partai politik atau menjadi unsur formal dalam sebuah partai. Era ini dimulai sejak tahun 1930, yakni ketika NU bersama ormas lain mengadakan demo atas represi yang dilakukan oleh pemerintahan kolonial. Setelah Indonesia merdeka, NU beraliansi dengan Masyumi menjadi partai politik sebagai wahana artikulasi politik umat Islam. Karena itu NU keluar dari Masyumi dan berdiri sendiri sebagai partai politik sampai pada akhirnya tahun 1971 menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Di PPP pun, NU tidak dapat berbuat banyak bagi

kepentingan bangsa dan negara. Sebagai akumulasi dari kehampaan dalam dunia politik, NU kembali ke khittah 1926.40

Nahdlatul Ulama ada karena sesuatu yang lain, yaitu mewujudkan tradisinya sendiri, mencapai cita-citanya sendiri. Ia ditakdirkan bernasib harus memperjuangkan faham Ahlus Sunnah wal Jamaah menurut versinya sendiri Berfaham Ahlus Sunnah wal Jamaah menurut versi sendiri itu tidak berarti harus bertentangan dengan orang lain.41

Dokumen terkait