• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TENTANG KETENAGAKERJAAN

C. Hukum Ketenagakerjaan di Provinsi Aceh

Acehadalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dipimpin oleh seorang Gubernur.113

Sementara itu,Pemerintahan Acehadalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.114 Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah (pemerintah pusat).115

113

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 1 ayat 2.

114

Ibid. ayat 4. 115

Untuk pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota diatur dengan Qanun Aceh.116 Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.117. Dalam menjalankan urusan pemerintahan dikenal urusan wajib dan urusan pilihan yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang secara mutlak harus dilaksanakan oleh Pemerintahan Aceh sedangkan urusan Pemerintahan Aceh yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan Aceh.118 Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan urusan dalam skala Aceh meliputi:119

1. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; 2. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat; 4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

5. Penanganan bidang kesehatan;

6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial; 7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;

8. Pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;

116

Ibid, Pasal 13 ayat 1. 117

Ibid, Pasal 1 ayat 21. 118

Ibid, Pasal 16 ayat 3. 119

9. Fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;

10. Pengendalian lingkungan hidup;

11. Pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; 12. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

13. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

14. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; dan

15. Penyelenggaraan pelayanan dasar lain yang belum dapat dilaksanakan oleh pemerintahan kabupaten/kota.

Sementara itu, urusan wajib lainnya yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh yang antara lain meliputi:120 1. Penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at

Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antar umat beragama;

2. Penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam;

3. Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam;

4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan

5. Penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perundangundangan.

120

Kewenangan yang diberikan kepada Pemerintah Aceh terutama terkait keistimewaan Aceh tersebut tidak terlepas dari sejarah panjang aceh yang sejak masa kerajaan-kerajaan islam Aceh terutama Kerajaan Aceh Darussalam yang merupakan kerajaan besar yang pernah ada di Aceh mengambil Islam menjadi dasar negara, sehingga segala hukum yang berlaku didalamnya tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam.121 Sumber hukum yang digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan pada masa itu terdiri dari Al Quran, Al Hadis, Idjma'Ulama Ahlussunnah Wal Dajama'ah, dan Qias.122 Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai keislaman telah sejak lama dijadikan dasar hukum sehingga antara kehidupan dan budaya masyarakat Aceh seperti telah menjadi satu kesatuan dengan ajaran islam.123

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas, urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan urusan dalam skala Aceh salah satunya adalah pelayanan bidang penyediaan lapangan kerja dan ketenagakerjaan. Sebagai salah satu provinsi yang berada di dalam wilayah hukum Indonesia Provinsi Aceh tunduk pada berbagai peraturan hukum Ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Nilai-nilai islam yang telah sejak lama berlaku dalam kehidupan masyarakat Aceh secara tidak langsung mempengaruhi hukum ketenagakerjaan di Provinsi Aceh. Apabila dilihat pelaksanaannya di masyarakat akan tampak bahwa disamping menjalankan peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah, pemerintah Aceh juga menjalankan

121

Ali Hasjmy, Op. Cit, hlm. 67 122

Ibid, hlm. 69 123

Tgk. Affan Jamuda, Tueng Pusaka Acheh, (Banda Aceh: Angkasa Muda, 2003), hlm. 17.

peraturan yang tidak diatur di dalam produk hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, peraturan-peraturan tersebut berasal dari kebiasaan-kebiasaan yang telah sejak lama dianut di wilayah Aceh bahkan beberapa kebiasaan tersebut kini telah diatur di dalam Qanun Aceh.

Peraturan-peraturan ketenagakerjaan yang selama ini berlaku di wilayah Provinsi Aceh yang tidak terdapat di dalam produk hukum ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat ialah:

1. Peraturan terkait zakat penghasilan.

Zakat penghasilan adalah zakat yang dibayarkan atas penghasilan/pendapatan karena melakukan sesuatu pekerjaan atau keuntungan yang diperoleh dari suatu kegiatan usaha.124 Kewajiban mengeluarkan zakat penghasilan/profesi di Aceh saat ini telah menjadi hukum positif dengan diaturnya hal tersebut di dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007. Sebelumnya juga telah dikuatkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada 16 Juli 1978 dengan mengeluarkan fatwa bahwa: Pertama, yang dimaksud dengan jasa adalah hasil yang diperoleh sebagai imbalan dari guna/manfaat sesuatu (seperti gaji, upah, sewa, hasil profesi dan lain sebagainya); Kedua, jasa diwajibkan zakat berdasarkan ketentuan Q.S. Al –Baqarah ayat 267; Ketiga, nisab dan qadar zakatnya dipersamakan dengan nisab dan qadar zakat emas.

Selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan fatwa tentang perhitungan nisab zakat harta pada 26 Juni

124

Fuadi, Zakat Dalam Sistem Hukum Pemerintahan Aceh, (Yogyakarta:Deepublish, 2016), hlm. 163.

1998 yang terdiri dari: Pertama, penghasilan dari sektor jasa wajib dizakati apabila jumlahnya dalam setahun sudah senilai dengan harga 94 gram emas murni dan pembayaran/ pemungutannya dilakukan pada setiap kali memperoleh penghasilan; Kedua, dasar perhitungan harga emas murni pergram adalah pada waktu pembayaran atau pemungutan. Zakat penghasilan diambil/dipungut dari PNS/pejabat/karyawan berasal dari jenis penghasilan berupa gaji dan penghasilan lainnya termasuk tunjangan beras, tunjangan jabatan, serta penghasilan pimpinan dan anggota DPRA, termasuk juga Tunjangan Prestasi Kerja (TPK).125

Tata cara pemotongan zakat penghasilan ditentukan pada saat pembayaran gaji/honorarium bulanan seorang pegawai/pejabat/karyawan, apabila jumlah penghasilannnya belum mencapai nishab zakat yaitu sebesar Rp.2.200.000,-/bulan maka yang bersangkutan dibebaskan dari kewajiban rnembayar zakat, sebaliknya apabila penghasilannya diatas Rp.2.200.000,/bu lan maka akan langsung dipotong zakatnya 2,5% sebelum dipotong pajak penghasilan (PPh).126 Hal ini sesuai dengan ketentuan yang di atur pada Pasal 9 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Ke empat atas UU.No.7/1983 tentang Pajak Pengahsilan. Zakat dari TPK dan tunjangan jabatan dipotong 2,5% dari jumlah pembayaran

125

Surat Kepala Baitul Mal Aceh No. 451.12/935 tanggal 15 September 2008. 126

Pedoman Pemungutan Zakat Penghasilan/Profesi dan Arah Penggunaan Zakat" yang

diterbitkan oleh Baitul Mal Aceh Tahu n 2009, Bab N. Pedoman dan Tata Cara Perhitungan

yang tercantum dalam daftar pembayaran sebelum dikurangi pajak penghasilan 15% karena zakat bukan merupakan objek pajak.

Nominal uang dari 2,5% penghasilan tersebut akan diserahkan kepada bendahara atau tim yang khusus ditunjuk untuk itu guna menghimpun zakat penghasilan seluruh pegawai/karyawan/pejabat yang berada di instansi atau perusahaan yang bersangkutan untuk selanjutnya diserahkan kepada Baitul Mal di wilayah instansi/perusahaan tersebut berada.127 Baitul Mal adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang diberi kewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan umat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yatim piatu dan/atau hartanya serta pengelolaan terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan Syariat Islam.128 Setiap orang Islam, badan atau perusahaan yang berada di wilayah Aceh namun tidak menjalankan kewajiban membayar zakat maka Baitul Mal akan memberi peringatan sebanyak 3 (tiga) kali,129 jika yang bersangkutan masih belum juga mengeluarkan zakat maka akan dikenakan denda paling sedikit 1 (satu) kali nilai zakat yang wajib dibayarkan, paling banyak 2 (dua) kali nilai zakat yang wajib dibayarkan.130

127

Hasil wawancara dengan Tgk. Ramli Raden selaku responden yang berkedudukan sebagai Wakil Kepala Baitul Mal Kota Langsa.

128

Republik Indonesia, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Baitul Mal, Pasal 1 angka 11.

129

Hasil wawancara dengan Tgk. Ramli Raden selaku responden yang berkedudukan sebagai Wakil Kepala Baitul Mal Kota Langsa.

130

2. Peraturan terkait pakaian bagi perempuan

Sebagai salah satu wujud pelaksanaan syariat Islam di Aceh adalah lahirnya Qanun No.11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam Bidang Ibadah, Aqidah dan Syiar Islam yang bertujuan untuk dan memelihara keimanan dan ketakwaan individu dan masyarakat dari pengaruh ajaran yang menyesatkan, meningkatkan pemahaman dan pengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya, serta menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan guna menciptakan suasana lingkungan yang Islami. Salah satu yang diatur di dalam Qanun tersebut adalah kewajiban berbusana islami kepada masyarakat Aceh.131 Bahkan khusus kepada Pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha (perusahaan) dan atau institusi masyarakat wajib membudayakan busana Islami di lingkungannya,132 terutama terkait pakaian yang dikenakan oleh tenaga kerja perempuan di tempat tersebut haruslah sesuai syariat islam (menutup aurat) sedangkan untuk tenaga kerja perempuan yang tidak beragama Islam dapat menyesuaikan diri dengan pakaian yang sopan.133

Sejak mulai diberlakukannya Qanun tersebut khususnya kewajiban berbusana Islami, secara berkala aparat yang berwenang dalam hal ini Wilayatul Hisbah dengan dibantu oleh aparat Kepolisian setempat, aktif melakukan razia untuk menegakkan aturan ini. Khusus bagi kaum wanita yang diwajibkan untuk menggunakan busana Islami termasuk penggunaan

131

Republik Indonesia, Qanun No.11 Tahun 2002 tentangPelaksanaan Syariat Islam Bidang Ibadah, Aqidah dan Syiar Islam, Pasal 13 ayat (1).

132

Ibid, ayat (2). 133

Hasil wawancara dengan Bapak Ibrahim Latif selaku responden yang berkedudukan sebagai Kepala Dinas Syari’at Islam Kota Langsa.

jilbab, bila ditemukan tidak menggunakan jilbab di luar rumah akan dikenakan sanksi secara berjenjang:134

a. Teguran lisan, terkadang disertai pemasangan jilbab/kerudung di tempat terjadinya razia oleh aparat Wilayatul Hisbah wanita;

b. Bila pelaku ditemukan lagi melakukan pelanggaran serupa, identitas berserta alamatnya akan dicatat oleh aparat Wilayatul Hisbah dan pelaku diwajibkan untuk membuat pernyataan tertulis tidak akan mengulangi pelanggaran serupa;

c. Bila masih ditemukan pelaku yang melakukan pelanggaran serupa, pelaku akan dibawa ke kantor Wilayatul Hisbah terdekat dan akan diberikan pembinaan.

3. Pengaturan terkait tunjangan meugang, idul fitri dan idul adha

Masyarakat Aceh memiliki tradisi unik yang dikenal dengan istilah

meugang, tradisi ini dulunya dikenal dengan nama Makmeugang. Gang

dalam bahasa Aceh berarti pasar, di mana di dalamnya terdapat para penjual daging yang digantung di bawah bambu.135 Pada hari-hari biasa, tak banyak masyarakat umum yang mendatangi pasar itu. Namun, pada hari-hari tertentu, yaitu menjelang bulan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha, masyarakat akan ramai mendatangi pasar, sehingga ada istilah Makmu that gang nyan

(makmur sekali pasar itu). Maka, jadilah nama Makmeugang.136 Pada masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam, hari Meugang dirayakan di Keraton

134

Hasil wawancara dengan Bapak Ibrahim Latif selaku responden yang berkedudukan sebagai Kepala Dinas Syari’at Islam Kota Langsa

135

Amir Hamzah, http://www.acehfeature.org, tradisi khas masyarakat Aceh, (diakses pada 17 Oktober 2016)

136

Darud Dunia dengan dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim ulama.137

Saat hari Meugang para pembesar kerajaan dan orang-orang kaya membagikan daging sapi kepada fakir miskin, hal ini merupakan salah satu cara memberikan sedekah dan membagi kenikmatan kepada masyarakat dari kalangan yang tidak mampu.138 Tradisi ini terus di pertahankan dari generasi kegenerasi hingga saat ini, didalam dunia kerja baik instansi pemerintah maupun badan swasta/perusahaan telah menjadikan tradisi meugang ini sebagai hak yang harus diberikan kepada pekerja dalam bentuk tunjangan

meugang baik berupa uang maupun daging yang biasanya akan diberikan 1 (satu) hai menjelang bulan Ramadhan (puasa). Tidak jauh berbeda dengan tradisi meugang, Aceh yang dikenal kental dengan nilai-nilai keislamannya sejak dulu selalu mengadakan perayaan hari besar keagamaan (idul fitri dan idul adha) dengan sangat meriah,139 maka dari itu untuk menghormati dan ikut merayakan hari besar agama masyarakat Aceh yang hampir seluruhnya adalah Islam maka setiap menjelang Idul Fitri dan Idul Adha para pemberi kerja/perusahaan akan memberikan tunjangan hari raya yang bentuk dan jumlahnya ditentukan oleh masing-masing perusahaan.

4. Pengaturan terkait jadwal/jam kerja

Pada dasarnya jam kerja yang diberlakukan pada perusahaan-perusahaan yang berada di wilayah Aceh adalah mengikuti jam kerja yang diberlakukan pada perusahaan pada umumnya yang berada di Indonesia yaitu hari kerjanya

137

Ali Hasjmy, Loc. Cit.

138

Ibid.

139

adalah senin hingga jumat yang dimulai dari pukul 07.30 wib hingga pukul 17.00 wib. Khusus pada hari jumat perusahaan harus menghentikan kegiatannya sejak pukul 12.00 wib hingga pukul 14.00 wib agar para pekerjanya terutama tenaga kerja laki-laki dapat menunaikan sholat jumat.140 Barang siapa tidak melaksanakan shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar’i akan dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 6 (enam) bulan atau hukuman cambuk di depan umum paling banyak 3 (tiga) kali.141 Terhadap beberapa perusahaan tertentu, misalnya perusahaan pengangkutan umum apabila tidak memberi kesempatan dan fasilitas kepada pengguna jasa atau tenaga kerjanya untuk melaksanakan shalat fardhu dipidana dengan hukuman ta’zir berupa pencabutan izin usaha.142

5. Pengaturan terkait infaq dan shadaqah

Bagi pekerja yang penghasilannya belum mencapai Rp.2.200.000,-/bulan maka dianjurkan untuk melakukan shadaqah atau infaq yang dapat diserahkan melalui tim yang mengumpulkan zakat di tempat kerja masing-masing ataupun dapat menyerahkan langsung kepada petugas Baitul Mal.143

D. Karakteristik Perbedaan Antara Qanun Ketenagakerjaan dan UU

Ketenagakerjaan

Pada umumnya peraturan perundang-undangan di bidang ketenagkerjan tersebar dalalm beragai Undang-Undang , bahkan berbagai peraturan tersebut ada

140

Republik Indonesia, Qanun No.11 Tahun 2002, Op. Cit., Pasal 8. 141

Ibid, Pasal 21 ayat (1) 142

Ibid, ayat (2) 143

Hasil wawancara dengan Tgk. Ramli Raden selaku responden yang berkedudukan sebagai Wakil Kepala Baitul Mal Kota Langsa.

yang berlaku sejak zaman penjajahan Belanda. Diundangkannya Undang-unudang Ketenagakerjaan dimaksudkan untuk mengatur ketenagkerjaan secara menyeluruh dan komprehensif serta untuk mencabut beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sedangkan ketentuan yang masih relean masih tetap diperahankan dalam undang-undang ini.144 Selain maksud tersebut Undang-unudang Ketenagakerjaan juga dimaksudkan untuk mengakomodasi perubahan yang sangat mendasar di segala aspek kehidupa bangsa Indonesia sejak dimulainya era reformasi pada 1998. Dengan perubahan tersebut, beberapa ketentuan dalam hukum positif di bidang ketenagakerjaan juga mengalami perubahahan sehingga tidak berlaku lagi dan diganti dengan yang baru,145 selain itu juga muncul berbagai peraturan pelaksana dari Undang-undang Ketenagakerjaan ini salah satunya adalah Qanun Ketenagakerjaan yang merupakan produk hukum dari Pemerintah Aceh.

Kendati Qanun Ketenagakerjaan merupakan produk hukum turunan dari Undang-undang Ketenagakerjaan namun terdapat perbedaan pada kedua peraturan ini. Berikut ini adalah karakteristik perbedaan yang miliki oleh kedua peraturan ketenagakerjaan ini, yaitu:

1. Azas

Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Ketenagakerjaan dinyatakan bahwa Pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selanjutnnya dalam

144

Maimun, Op.Cit., hlm vii. 145

penjelasan pasal tersebut ditegaskan bahwa pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur, dan merata baik materiil maupun spiritual.

Sedangkan Qanun Ketenagakerjaan secara spesifik menyebutkan bahwa penyelenggaraan ketenagakerjaan berasaskan keislaman,146 artinya penyelenggaraan ketenagakerjaan di Aceh harus sesuai dengan tuntunan agama Islam.147 Hal ini tentu berbeda dengan Undang-undang Ketenagakerjaan yang berasarkan pancasila, mesipun dalam pancasila terdapat nilai-nilai Ketuhanan/keagamaan namun nilai-nilai tersebut bukanlah mewakili agama Islam semata namun juga agama-agama lain yang diakui di Indonesia. Selain itu di dalam Qanun Ketenagakerjaan juga dikenal asas kearifan lokal,148 yang menegaskan bahwa penyelenggaraan ketenagakerjaan di Aceh harus menghormati ketentuan adat, budaya, dan nilai-nilai kearifan yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.149

2. Tujuan

Pada dasarnya tujuan Undang-undang Ketenagakerjaan dan Qanun Ketenagakerjaan adalah memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja dengan mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga

146

Republik Indonesia, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014, Op.Cit., Pasal 2 huruf a. 147

Ibid, Penjelasan Pasal 2 huruf a.

148

Ibid, Pasal 2 huruf f. 149

kerja guna meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.150 Namun bedanya adalah di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja serta pemerataan kesempatan kerja ditujukan seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia sedangkan Qanun Ketenagakerjaan lebih mengkhususkan hal tersebut kepada masyarakat Aceh sendiri.151

3. Penempatan tenga kerja

Pada dasarnya Pemerintah dan Pemerintah Aceh mendorong terciptanya perluasan kesempatan kerja guna memperoleh penghasilan yang layak baik di dalam atau di luar negeri.152 Khusus penempatan tenaga kerja keluar negeri di dalam Qanun Ketenagakerjaan di tegaskan bahwa Pelaksana penempatan tenaga kerja ke luar negeri dilarang untuk menempatkan Tenaga Kerja Aceh sebagai Penata Laksana (Pembantu) Rumah Tangga,153 bagi tenaga kerja Aceh yang bekerja di luar negeri sebagai Penata Laksana (Pembantu) Rumah Tangga sebelum Qanun ini berlaku, masih diberikan izin sampai dengan PK-nya (kontrakPK-nya) berakhir.154 Hal ini menunjukkan bahwa Qanun Ketenagakerjaan benar-benar ingin melindungi dan memastikan masyarakat Aceh memperoleh pekerjaan yang layak sehingga tujuan Qanun Ketenagaerjaan untuk mensejahterakan tenaga kerja Aceh dapat terlaksana. 4. Perluasan kesempatan kerja

150

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, Pasal 4.

151

Republik Indonesia, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014, Op.Cit., Pasal 18 ayat (1). 152

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Op.Cit., Pasal 31. 153

Republik Indonesia, Qanun Aceh Nomor 7 Tahun 2014, Op.Cit., Pasal 19 ayat (1). 154

Upayakan perluasan kesempatan kerja baik di dalam maupun di luar hubungan kerja yang diatur di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ditujukan untuk memberikan kesempatan kerja kepada seluruh warga Indonesia. Sedangkan upaya perluasan kesempatan kerja yang diatur di dalam Qanun Ketenagakerjaan lebih ditujukan untuk masyarakat Aceh, hal ini dapat dilihat di dalam Pasal 20 ayat (2) yang menyatakan bahwa perluasan kesempatan kerja didalam hubungan kerja dilakukan dengan mewajibkan penggunaan lembaga dan tenaga kerja lokal dalam pembangunan di Aceh. Namun kewajiban penggunaan lembaga dan tenaga kerja lokal dapat dikecualikan dalam hal tidak tersedianya lembaga dan tenaga lokal.155

5. Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Qanun Ketenagakerjaan sama-sama mengizinkan Tenaga Kerja Asing (selanjutnya disebut TKA) untuk bekerja di Indonesia apabila telah memperoleh izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Namun khusus bagi pemberi kerja orang perseorangan Undang-Undang Ketenagakerjaan melarang untuk mempekerjakan TKA,156 sedangkan Qanun Ketenagakerjaan mengatur bahwa TKA dapat bekerja di Aceh, apabila keahlian untuk jabatan tertentu belum dimiliki oleh tenaga kerja Aceh,157 apabila keahlian untuk jabatan tertentu tersebut dapat diisi oleh tenaga kerja Aceh maka perusahaan tidak diizinkan untuk menerima/menempatkan TKA tersebut pada jabatan yang bersangkutan. TKA dapat dipekerjakan di

155

Ibid, Pasal 20 ayat (3) 156

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, Op.Cit., Pasal 42 ayat (2).

157

Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu,158 apabila masa kerjanya habis maka TKA ynag bersangkutan tidak dapat memperpanjang lagi masa kerjanya, namun dapat digantikan oleh TKA lainnya.159 Sedangkan Qanun Ketenagakerjaan mengatur bahwa dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak izin tertulis untuk bekerja di Indonesia/Aceh di keluarkan oleh pejabat yang berwenang jabatan yang di tempati oleh TKA tidak boleh digantikan oleh TKA lain, melainkan harus dialih tugaskan kepada tenaga kerja Aceh, kecuali untuk jabatan komisaris dan direktur sebagai pemilik modal.160

6. Tenaga kerja perempuan

Sebagai implementasi dari asas keislaman yang diusung oleh Qanun Ketenagakerjaan maka di dalam Qanun ini terdapat peraturan yang tidak disinggung sama sekali di dalan Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu terkait pekerja/buruh perempuan yang beragama Islam wajib menggunakan pakaian kerja sesuai syariat Islam, sedangkan bagi pekerja/buruh perempuan yang bukan beragama Islam wajib menggunakan pakaian kerja yang sopan dan sesuai dengan kearifan lokal.161

7. Waktu kerja

Dokumen terkait