• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN TENTANG KETENAGAKERJAAN

B. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan Dalam Sistem Hukum

dan Aceh

Telah diuraikan sebelumnya bahwa hukum ketenagakerjaan mengatur hubungan kerja antara tenaga kerja dengan pengusaha, yang berarti mengatur kepentingan orang perorangan. Atas dasar itulah maka hukum ketenagakerjaan bersifat privat (perdata).58 Namun hukum ketenagakerjaan adakalanya tidak hanya

57

Ibid, hlm. 10. 58

bersifat privat, penyebabnya adalah adanya ikut campur tangan Pemerintah dalam masalah-masalah perburuhan serta adanya saknsi pidana dalam peraturan perusahaan, hal ini dikarenakan pekerja perlu dilindungi oleh negara melalui campur tangan Pemerintah. Bentuk perlindungan yang diberikan pemerintah adalah membuat peraturan-peraturan yang mengikat pekerja dan majikan serta membina dan mengawasi hubungan industrial.59 Sehingga hukum ketenagakerjaan selain bersifat privat dapat pula bersifat publik, baik yang terkait dengan aspek Hukum Tata Usaha negara maupun Hukum Pidana.60

1. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam sistem hukum Indonesia

Tahap demi tahap dari peristiwa suram bagi para buruh/pekerja dapat dilewati hingga dicetuskannya kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awal kemerdekaan perjuangan bangsa Indonesia masih lebih banyak pada perang revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan melawan bangsa penjajah yang ingin menjajah Indonesia kembali, sehingga produk-produk hukum sebagai pelaksana amanat UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (2) tentang hak warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan kemanusiaan belum dapat terealisasi.61 Ketentuan mengenai perburuhan saat itu masih sepenuhnya memberlakukan hukum kolonial yakni Burjgelijk Wetboek (KUH Perdata) berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yakni segala badan dan peraturan negara yang ada masih berlaku sepanjang belum diganti

59

Ibid.

60

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 6. 61

Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Depok: PT Rajagrafindo Persada, cet.11, 2012) hlm. 19.

dengan yang baru.62 Pada saat ini hukum ketenagakerjaan mendasarkan pada ketentuan UU Ketenagakerjaan, menggantikan UU No. 25 Tahun 1997. Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia terletak dibidang adminstrasi negara, hukum perdata, dan hukum pidana. Kedudukan tersebut membawa konsekuensi yuridis bahwa ketentuan Peraturan Perundang-Undangan haruslah berdasarkanpada teori hukum yang menelaah bidang tersebut. Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia dapat dibagi kedalam 3 subbidang berikut yaitu:

a. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata

Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum perdata pada hakikatnya yang memegang peranan penting didalam hubungan industrial adalah pihak-pihaknya, yaitu pekerja dan majikan saja. Hubungan antara pengusaha dan pekerja didasarkan pada hukum perikatan yang menjadi bagian dari hukum perdata.63 Pemerintah hanya sebagai pengawas atau lebih lengkapnya dapat menjadi fasilitator apabila ternyata dalam pelaksanaan muncul suatu perselisihan yang tidak dapat diselesaikan oleh para pihak. Selain itu, fungsi pengawasan dari Pemerintah dapat maksimal apabila secara filosofis kedudukan pemerintahan lebih tinggi dari yang diawasi (pekerja-pengusaha).64 Ketentuan perburuhan dalam KUH Pedata diatur dalam Buku III, Bab 7A, Bagian Pertama (Pasal 1601a-1601c), Bagian Kedua tentang Persetujuan Perburuhan Umumnya (Pasal 1601d-1601x), Bagian Ketiga tentang Kewajiban Majikan (Pasal 1602a-1602z), Bagian Keempat tentang Kewajiiban Buruh

62

Ibid, hlm. 20. 63

Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm.14. 64

(1603a-1603d), Bagian Kelima tentang Tata Cara Berakhirnya Hubungan Kerja Yang Diterbitkan Dari Persetujuan (Pasal 1603e-1603w) dan Ketentuan Penutup (Pasal 1603x-1603z).65 Peraturan perburuhan dalam KUH Perdata bersifat liberal sesuai dengan falsafah negara yang membuatnya sehingga dalam banyak hal tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai contoh, konsep KUH Perdata memandang pekerja sebagai “barang” yang apabila tidak berproduksi tidak dibayar/diupah.66 Hal ini disebutkan dalam Pasal 1602 KUH Perdata yakni “tiada upah yang harus dibayar untuk jangka waktu selama siburuh tidak melaksanakana pekerjaan”. Demikian halnya dengan hak-hak lain yang sepenuhnya diserahkan kepada majikan, karena masalah perburuhan ini merupakan masalah.

b. Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam hukum tata usaha Negara

Kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam hukum tata negara/tata usaha negara yang diperhatikan ada 2 (dua) hal, yaitu subjek hukum dalam penyelenggaraan negara dan bagaimana peranannya. Subjek hukum dalam penyelenggaraan negara menyangkut 3 (tiga) hal, yaitu pejabat, lembaga dan warga negara. Pejabat dalam hal ini adalah pejabat negara yang tunduk pada ketentuan hukum administrasi. Peranannya berkaitan dengan menjalankan fungsi negara didalam pembuatan peraturan atau pemberian izin (bestuur), bagaimana negara melakukan pencegahan terhadap sesuatu hal yang dapat terjadi politie dan bagaimana upaya hukumnya. Pemerintah sebagai

65

Lalu Husni, Op.Cit., hlm. 20. 66

penyelenggara negara dibidang ketenagakerjaan harus dapat melaksanakan ketiga fungsi tersebut dengan baik.67

Jadi jika terkait dengan perizinan bidang ketenagakerjaan, penetapan upah minimum, pengesahan peraturan perusahaan, pendaftaran perjanjian kerja sama, pendaftaran serikat pekerja/serikat buruh dan sebagainya maka hal tersebut menyangkut aspek hukum tata usaha negara.68 Tidak hanya terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan keadministrasian seperti yang telah dijelaskan diatas, namun juga menyinggung tentang hukum pajak, hukum lingkungan, hukum tata ruang, hukum kehutanan dan lain sebagainya.69

c. Kedudukan hukum ketenagakerjaan dibidang hukum pidana

Jika hubungan antar pekerja dan majikan ini tetap diserahkan sepenuhnya kepada para pihak (pekerja dan pengusaha), maka tujuan hukum ketenagakerjaan untuk menciptakan keadilan sosial dibidang ketenagakerjaan akan sangat sulit tercapai, karena pihak yang kuat akan selalu ingin menguasai pihak yang lemah (homo homini lupus). Majikan sebagai pihak yang kuat secara sosial ekonomi akan selalu menekan pihak pekerja yang berada pada posisi yang lemah/rendah. Atas dasar itulah pemerintah turut serta dalam menangani masalah ketenagakerjaan melalui berbagai peraturan perundang-undangan.70 Kedudukan hukum ketenagakerjaan dalam hukum pidana adalah berkaitan dengan pentingnnya penerapan sanksi hukum bagi pelanggar

67

Asri Wijayanti, Op.Cit., hlm.15. 68

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm.7. 69

Ibid.

70

peraturan perundang-undangan.71 Terdapat asas legalitas dalam hukum pidana, yaitu suatu perbuatan dikatakan sebagai perbuatan melanggar hukum apabila perbuatan tersebut sudah dituangkan dalam suatu undang-undang. Penerapan sanksi harus mendasarkan pada ada tidaknya kesalahan yang dibuktikan dengan adanya hubungan klausal antara perbuatan dengan akibat yang terjadi. Sanksi pada hakikatnya merupakan perampasan hak seseorang, oleh karena itu harus dibuat secara demokratis. Bentuk peraturan yang mencerminkan situasi demokrasi adalah undang-undang atau peraturan daerah karena dalam pembuatannya melibatkan suara atau wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR atau DPRD.72 Kedudukan hukum ketenagakerjaan di dalam tata hukum Indonesia yang secara teoritis dibagi menjadi 3 (tiga) dalam praktiknya harus dijalankan secara berhubungan satu dengan yang lain. Hubungan hukum yang dilakukan oleh pengusaha dan pekerja didasarkan pada perjanjian kerja. Selama proses pembuatan, pelaksanaan dan berakhirnya hubungan kerja harus diawasi oleh pemerintah sebagai konsekuensi menjalankan fungsi bestuur, politie dan rechtsprak.73 Apabila selama proses pembuatan, pelaksanaan dan berakhirnya hubungan kerja terdapat pelanggaran hukum maka dapat diterapkan sanksi pidana yang menjadi kajian dalam bidang hukum pidana. Jadi peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap hak dan kewajiban pengusaha maupun pekerja.

71

Abdul Khakim, Loc.Cit. 72

Ibid. hlm. 231. 73

Intervensi Pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan melalui Peraturan Perundang-Undangan membawa perubahan mendasar yakni menjadikan sifat hukum ketenakerjaan menjadi ganda yakni sifat privat dan sifat publik.74 Prinsip privat melekat pada prinsip dasar hubungan kerja yang ditandai adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan perusahaan. Sifat publik dari hukum perusahaan dapat dilihat dari adanya sanksi pidana ataupun sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang ketenagakerjaan, dan adanya ikut campur Pemerintah dalam menetapkan besarnya standar upah (upah minimum).

2. Kedudukan Hukum Ketenagakerjaan Dalam Sistem Hukum Aceh

Pengertian Qanun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal dengan nama Kanun, yang artinya adalah Undang-Undang, peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah.75 Adapun pengertian Qanun menurut kamus Bahasa Arab adalah: Undang-Undang, kebiasaan atau adat.76 Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian Qanun adalah : suatu Peraturan Perundang-Undangan atau aturan hukum yang berlaku di suatu daerah (dalam hal ini di Provinsi Aceh). Di masyarakat Aceh, penyebutan Qanun terhadap suatu aturan hukum atau untuk penamaan suatu adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari kultur adat dan budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh banyak yang dinamakan Qanun.77

Qanun biasanya berisi aturan-aturan syariat Islam yang telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh. Ketentuan tentang Qanun terdapat di dalam UU

74

Ibid.

75 Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 442.

76 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT Hidakarya, 1989), hlm.357 77

Pemerintahan Aceh, yaitu: Pertama Qanun Aceh adalah Peraturan Perundang-Undangan sejenis78 peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.79 ; Kedua Qanun Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-Undangan sejenis Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Kabupaten/Kota di Aceh.80 Dari ketentuan kedua Pasal di atas, terlihat bahwa Qanun dapat disamakan dengan Peraturan Daerah di provinsi lain di Indonesia, tetapi pada dasarnya pemahaman Qanun yang disamakan dengan Perda sesungguhnya tidaklah tepat.

Qanun merupakan suatu Peraturan Perundang-Undangan yang diberlakukan di Provinsi Aceh yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi kekhususan dari Provinsi Aceh, hal ini berbeda dengan daerah lain yang aturan-aturan dalam Perdanya tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam.81 Selain itu berbeda dengan Perda lainnya di Indonesia, aturan-aturan Qanun dapat berisikan aturan-aturan hukum tentang hukum acara material dan formil di Mahkamah Syar’iah.82 Dalam hal hirarki hukum di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Qanun dipersamakan dengan Perda di daerah lainnya. Menurut UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: UUD RI Tahun 1945, UU/Peraturan Pemerintah

78Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Op. Cit., hlm.411.

79Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Pasal 1 angka 21.

80 Ibid, Pasal 1 angka 22 81

Ali Hasjmy, Loc.,.Cit. 82

Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah.83 Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: Termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di daerah Provinsi Aceh dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua. Berdasarkan ketentuan di atas, maka kedudukan Qanun diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia dan disamakan dengan Perda.84. Jika ditelaah maka kedudukan Qanun Ketenagakerjaan dalam sistem hukum Aceh memiliki keterkaitan dengan aspek hukum perdata, aspek hukum tata usaha negara dan aspek hukum pidana.

Pada awalnya hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja hanya menyangkut kepentingan perdata, yang dalam hal ini terkait dengan aspek hukum perdata. Akan tetapi ketika di antara pihak-pihak tersebut terjadi perbedaan pendapat/perselisihan serta permasalahan, maka dari sini intervensi dan otoritas pemerintah Aceh sangat diperlukan.85 Tujuan campur tangan Pemerintah Aceh dalam bidang ketenagakerjaan ini adalah untuk mewujudkan ketenagakerjaan yang adil, karena Qanun Ketenagakerjaan memberikan hak-hak bagi pekerja sebagai manusia yang utuh, karena itu harus dilindungi baik menyangkut keselamatannya, kesehatannya, upah yang layak dan sebagainya. Selain itu Pemerintah juga harus memperhatikan kepentingan pengusaha yakni kelangsungan perusahaan yang berada di dalam wilayah Aceh. Kehadiran

83

Abdul Khakim, Op.Cit., hlm. 249.

84 Jum Anggraini, kedudukan Qanun dalam sistem pemerintahan daerah dan mekanisme pengawasannya, jurnal hukum, FH Universitas Tama Jagakarsa Jakarta, No.3 Vol.18 Juli 2011, hlm.327.

85

peraturan ketenagakerjaan ini telah memberikan nuansa baru dalam khasanah hukum ketenagakerjaan, yakni:86

a. Mensejajarkan istilah pekerja, istilah majikan diganti menjadi pengusaha dan pemberi kerja.

b. Memberikan kesetaraan antara pekerja pria dan wanita.

c. Adanya nuansa dan unsur keislaman dalam pelaksanaan kegiatan ketenagakerjaan.

d. Penetapan hari-hari besar di Aceh sebagai hari libur, misalnya seperti libur pada hari meugang dan libur setiap tanggal 26 Desember guna memperingati peristiwa gempa dan tsunami Aceh.

e. Memberikan sanksi yang memadai serta menggunakan batas minimum dan maksimum, sehingga lebih menjamin kepastian hukum dalam penegakannya. f. Mengatur mengenai sanksi administratif mulai dari teguran, peringatan tertulis,

pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi dan pencabutan izin.

Dari uraian diatas dapat dijelaskan bahwa keberadaan hukum ketenagakerjaan baik dalam sistem hukum di Indonesia maupun dalam sistem hukum Aceh sangatlah strategis dan mendasar, hal ini terjadi karena muatannya bukan hanya teknis ketenagakerjaan yang biasanya berkaitan dengan bidang hukum semata tetapi juga berkaitan erat dengan muatan sosial, ekonomi dan politik yang juga

86

berkaitan dengan masalah Hak Asasi Manusia,87 dengan kata lain hukum ketenagakerjaan di Indonesia dan Aceh adalah bersifat multidimensional.88 Dalam wacana yang ada, politik hukum merupakan realitas yang didapat antara interaksi antara faktor-faktor politik, ekonomi, baik nasional maupun internasional juga perkembangan dalam dunia industri dewasa ini, seperti munculnya multi serikat pekerja, LSM, dan lembaga sosial politik yang peduli terhadap persoalan ketenagakerjaan dan lain-lain. Kesemuanya ini perlu dilihat secara holistik dan sistemik, sehingga akan benar-benar akan terlihat bagaimana politik hukum mengarahkan peraturan perundangan ketenagakerjaan, sehingga nantinya peraturan ketenagakerjaan dapat aplikatif dan benar-benar mampu membawa kemajuan di bidang ketenagakerjaan89 di Indonesia dan Aceh.

Kedudukan hukum ketenagakerjaan semakin penting disebabkan pihak yang dilibatkan dalam hubungan kerja umumnya berada pada posisi yang tidak seimbang. Timbulnya hukum ketenagakerjaan dikarenakan adanya ketidaksetaraan posisi tawar yang terdapat dalam hubungan ketenagakerjaan (antara pekerja dengan pengusaha) dengan alasan itu pula dapat dilihat bahwa tujuan utama hukum ketenagakerjaan adalah agar dapat meniadakan ketimpangan hubungan diantara keduanya,90 bahkan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kerja digambarkan oleh H. Sinzheimer tidak lebih dari sebuah

87 Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, (Bandung:Mandar Maju, 2004), hlm. 2.

88 Majalah nakertrans edisi 1/XXIV Februari 2004, fenomena baru ketenagakerjaan, http://www.nakertrans.go.id/nemsdetail.php/id=139 (diakses pada tanggal 22 Mei 2016)

89

Agusmidah, dilematika hukum ketenagakerjaan tinjauan politik hukum,(Jakarta: PT. Sofmedia,2011), hlm. 12.

90 Claire Kilpatrick, Has Nem Labour Reconfigured Employment Legislation?, Industrial Law Jurnal, No.3 Vol.32, September 2003, hlm. 137.

kepatuhan secara sukarela terhadap kondisi-kondisi yang telah ditetapkan secara sukarela terhadap kondisi-kondisi yang telah ditetapkan secara sepihak oleh pengusaha.

Senada dengan hal tersebut diaturnya masalah kerja dalam hukum sosial tersendiri (dalam hal ini hukum ketenagakerjaan) adalah akibat kenyataan sosial yang dalam kehidupan ekonomis mengalami pergeseran, dimana perlindungan kepentingan kerja dalam kontrak/perjanjian kerja merupakan kepentingan umum yang tidak dapat lagi diabaikan berdasarkan asas kebebasan individu serta otonomi individu dalam mengadakan kontrak/pekerjaan kerja.91

Bergesernya persepsi ini tidak lepas dari pengalaman sejarah negara.-negara di dunia, Ripert yang telah membuktikan bahwa gerakan politik buruh mampu membawa Prancismenjalani revolusi. Jadi kekuatan politik pekerja sebagai faktor utama yang mendorong hukum ketenagakerjaan menjadi bagian dari hukum publik.

Model hukum ketenagakerjaan di Indonesia merupakan model hukum ketenagakerjaan yang korporatis.92 Dalam model hukum korporatis ini, hubungan ketenagakerjaan diatur melalui jalan legislasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan demikian hukum ketenagakerjaan juga menjadi bagian dari hukum publik. Sebagai hukum publik, proses pembentukan hukum ketenagakerjaan melibatkan peran negara dapat tanggap dan menjadi fasilitator kedua kepentingan kelompok, yaitu antara pekerja dan pengusaha.

3. Pembagian kewenangan dalam bidang ketenagakerjaan

91

Ibid.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa kedudukan hukum ketenagakerjaan didalam tata hukum Indonesia dan Daerah Aceh dibagi menjadi 3 (tiga) yang dalam praktiknya harus dijalankan secara berhubungan satu dengan yang lainnya. Pemerintah sebagai sentra pemerintahan mempunyai kewenangan mutlak untuk mengeluarkan produk hukum di bidang ketenagakerjaan, namun Pemerintah Aceh sebagai salah satu daerah otonom yang berpegang pada UU Pemerintahan Daerah juga mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan produk hukum ketenagakerjaan yang akan diberlakukan didalam daerah pemerintahannya.

Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang 32 Tahun 2004, sebagaimana terakhir telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan produk hukum monumental dalam menata kembali sistem pemerintahan yang carut marut selama 32 tahun pemerintahan orde baru, dimana tata pemerintahan otonomi daerah dengan paradigma pemberdayaan masyarakat (people empowerment) ini dilaksanakan secara penuh sejak 1 Januari 2001.93

Pada awalnya pengertian otonomi daerah menurut Pasal 1 huruf h Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 ialah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian berubah bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban

93

daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan.94

Bertolak dari sini maka sudah tentu perencanaaan, pelaksanaan, dan pengontrolan atau pengendalian pembangunan di daerah harus melibatkan rakyat melalui sistem keterwakilan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut DPRD). Untuk itu pemberdayaan DPRD sendiri sebagai wakil rakyat sebagai suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal ini dikarenakan kedudukan DPRD sangat strategis dalam menentukan arah pembangunan kebijakan di daerah. Disini rakyat harus selalu melakukan kontrol dan mengkritisi setiap pembangunan didaerahnya.95 Oleh sebab itu DPRD sebagai lembaga legislatif dalam merumuskan produk hukum (Peraturan Daerah) juga Gubernur atau Bupati/Walikota dalam membuat Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota harus benar-benar cermat dengan memformulasikan kepentingan daerah dan kepentingan nasional, yaitu memodifikasi kepentingan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat dan kepentingan nasional dalam menjaga tegak dan utuhnya wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.96

Dalam membahas kewenangan harus mendasarkan pada UU Nomor 32 Tahun 2004, sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah), berikut peraturan turunannya, antara lain ialah Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 94 Ibid. 95 Ibid. 96 Ibid. hlm. 232.

2007 Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah Provinsi Dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, serta Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan beberapa peraturan pelaksanaannya. Adapun pembagian kewenangan dibidang ketenagakerjaan dapat dilihat berdasarkan UU Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007.97 Didalam UU Pemerintahan Daerah Kewenangan pemerintah (pusat) di bidang ketenagakerjaan tidak disebutkan secara spesifik. Peran Pemerintah disini terkait urusan yustisi, dimana Pemerintah membuat produk hukum dengan membentuk Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan peraturan lain berskala nasional yang berkaitan dengan bidang ketenagakerjaan. Kewenangan pemerintah provinsi sendiri adalah melakukan pelayanan dibidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota.98

Sedangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 pembagian kewenangan urusan pemerintahan diatur lebih terperinci dan sekaligus mencakup urusan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.99 Untuk mewujudkan pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkuren tersebut secara proporsional antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria

97

Ibid.

98

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 13 ayat (1) huruf h.

99

tersebut diterapkan secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.100

Urusan yang menjadi kewenangan daerah terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan pemerintahan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh pemerintahan daerah yang terkait dengan pelayanan dasar (basic services) bagi masyarakat, seperti pendidikan dasar, kesehatan, lingkungan hidup, perhubungan, kependudukan dan sebagainya. Urusan pemerintahan yang bersifat pilihan adalah urusan pemerintahan yang diprioritaskan oleh pemerintahan daerah untuk diselenggarakan yang terkait dengan upaya mengembangkan potensi unggulan (core comtence) yang menjadi kekhasan daerah. Urusan Pemerintahan diluar urusan wajib dan urusan pilihan yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah, sepanjang menjadi kewenangan daerah yang bersangkutan tetap harus diselenggarakan oleh Pemerintahan Daerah yang bersangkutan.101

Namun mengingat terbatasnya sumber daya dan sumber dana yang dimiliki oleh daerah, maka prioritas penyelenggaraan urusan pemerintahan difokuskan pada urusan wajib dan urusan pilihan yang benar-benar mengarah pada penciptaan kesejahteraan masyarakat disesuaikan dengan kondisi, potensi, dan kekhasan daerah yang bersangkutan. Di luar urusan pemerintahan yang bersifat wajib dan pilihan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini, setiap

100

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Kewenangan Pemerintah Dan Kewenangan Pemerintah Provinsi Sebagai Daerah Otonom, Penjelasan, umum.

101

tingkat pemerintahan juga melaksanakan urusan-urusan pemerintahan yang berdasarkan kriteria pembagian urusan pemerintahan menjadi kewenangan yang bersangkutan atas dasar prinsip penyelenggaraan urusan sisa. Untuk itu pemberdayaan dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah menjadi sangat penting

Dokumen terkait