• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

B. Hukum Kewarisan Islam

Dalam kehidupan setiap manusia, pada umumnya mengalami tiga peristiwa penting, yaitu: kelahiran,perkawinan,dan kematian, dimana peristiwa-peristiwa penting tersebut menimbulkan akibat hukum. Peristiwa kelahiran seseorang menimbulkan akibat-akibat hukum, seperti timbulnya hubungan hukum antara anak kepada orang tua dimana anak harus menghormati dan mematuhi apa yang disampaikan orang tua,saudara, dan dengan keluarga pada umumnya.

Peristiwa perkawinan menimbulkan akibat-akibat hukum yang kemudian diatur dalam hukum perkawinan, misalnya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri. Peristiwa kematian juga merupakan peristiwa yang penting, sebab kematian juga akan

menimbulkan hukum kepada orang lain,terutama kepada keluarga, dan pihak-pihak tertentu yang mempunyai hubungan dengan dengan orang tersebut semasa hidupnya,dikala terjadi kematian terhadap seseorang maka akan timbul persoalan yang berhubungan dengan warisan, hutang-piutang dari orang yang meninggal tersebut.

Para fuqaha mendefinisikan hukum kewarisan Islam sebagai suatu ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang menerima pusaka, orang yang menerima pusaka, serta kadar yang diterima tiap-tiap ahli waris dan cara membaginya (Budiono, 1991: 1). Dalam pengertian ini menekankan segi orang yang mewarisi, orang yang tidak menerima waris, besarnya waris yang diterima oleh ahi waris, dan cara pembagian harta warisan kepada ahi waris.

Menurut Subekti (2003: 95)mengatakan bahwa dalam hukum waris menurut KUHPerdata berlaku suatu asas: “apabila seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih kepada sekalian ahli warisnya”. Hak- hak dan kewajiban dimaksud, yang beralih kepada ahli waris adalah termasuk ruang lingkup harta kekayaan atau hanya hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal (tirkah) serta akibatnya bagi para ahli warisnya (Perangin, 2010: 3). Pada asasnya hanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan

hukum kekayaan/ harta benda saja yang dapat diwaris. Beberapa pengecualian, seperti hak seorang bapak untuk menyangkal sahnya seorang anak dan hak seorang anak untuk menuntut supaya dinyatakan sebagai anak dari bapak atau ibunya (kedua hak itu termasuk dalam lapangan hukum kekeluargaan) dinyatakan oleh undang-undang diwarisi oleh ahli warisnya.

Pasal 830 menyebutkan ,”Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”.

Jadi, harta peninggalan baru terbuka jika si pewaris telah meninggal dunia, dan saat ahli waris masih hidup ketika warisan terbuka.Dalam hal ini, ada ketentuan khusus dalam Pasal 2 KUHPerdata, yaitu anak yang dalam kandungan seorang perempuan dianggap sebagai telah dilahirkan bila kepentingan si anak menghendakinya. Apabila anak tersebut meninggal sewaktu dilahirkan, maka ia dianggap tidak pernah ada. Jadi, seorang anak yang lahir disaat ayahnya telah meninggal, maka ia berhak mendapat warisan.

Menurut KUHPerdata sebab seseorang menerima warisan karena adanya hubungan nashab/kekerabatan dan karena perkawinan. :

“anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar di lahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun,mewarisi dari kedua orang tua, kakek,nenek,atau semua keluarga sedarahmereka selanjutnya dalam garis lurus keatas,dengan tiada perbedaan antara lelaki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dahulu,mereka mewarisi kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian keluarga dalam

derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri”.

Dalam KUHPerdata hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan sehingga pengaturan hukum terdapat dalam Buku II KUHPerdata yang mengatur tentang benda.

2. Dasar Hukum Waris

Hukum waris Islam merupakan satu dari sekian hukum Islam yang terpenting, keutamaannya terletak pada kejelasan uraian di dalam Al-Qur‟an. Melalui hukum waris Islam akan lahir sebuah wacana baru dan pengertian baru tentang Islam dan keadilannya.Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang di tetapkan Allah adalah tentang harta warisan, yaitu harta dan pemilikan yang timbul sebagai akibat dari kematian. Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal memerlukan pengaturan tentang siapa yang berhak menerima, berapa jumlahnya dan bagaimana cara mendapatkannya.

Dasar hukum waris terdapat dalam beberapa sumber hukum Islam diantaranya sebagai berikut:

a. Al Qur‟an

1) Al Qur‟an Surat An-Nisaa‟ ayat 7









































Artinya; “bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.(An- Nisaa‟:7)

Menurut Zainuddin Ali (2008: 34) dalam surat An- Nisaa‟ ini mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, yaitu bagi laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu-bapaknya. Bagi keluarga dekat laki-laki ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Bagi anak perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan ibu-bapaknya. Bagi keluarga dekat perempuan ada pembagian harta warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Ahli waris yang disebutkan diatas, ada yang mendapat harta warisan sedikit ada juga yang

mendapat banyak dimana ketentuan pembagian harta warisan ditetapkan oleh Allah.

2) Al Qur‟an Surat An-Nisaa‟ ayat 11

ًءاَسِو ههُم ْنِإَف ِهْيَيَخْوُ ْلْا ِّظَح ُوْخِم ِسَمهريِى ْمُمِد َلَََْأ يِف ُ هاللَّ ُمُنيِصُُي

اٍََيَف ًةَدِحاََ ْتَواَم ْنِإََ َكَسَت اَم اَخُيُح ههٍَُيَف ِهْيَتَىْحا َقَُْف

ًَُى َناَم ْنِإ َكَسَت اهمِم ُضُدُّسىا اَمٍُْىِم ٍدِحاََ ِّوُنِى ًِْيََُبَ ِلََْ ُفْصِّىىا

ٌةَُْخِإ ًَُى َناَم ْنِإَف ُجُيُّخىا ًِِّمُ ِلَِف ُياََُبَأ ًَُحِزََََ ٌدَىََ ًَُى ْهُنَي ْمَى ْنِإَف ٌدَىََ

ْمُمُؤاَىْبَأََ ْمُمُؤاَبآ ٍهْيَد ََْأ اٍَِب يِصُُي ٍةهيِصََ ِدْعَب ْهِم ُضُدُّسىا ًِِّمُ ِلَِف

اًميِيَع َناَم َ هاللَّ هنِإ ِ هاللَّ َهِم ًةَضيِسَف اًعْفَو ْمُنَى ُبَسْقَأ ْمٍُُّيَأ َنَُزْدَت َلَ

ءاسىىا﴿ اًميِنَح

:

١١

Artinya;”Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua. Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (An- Nisaa‟:11)

3) Al Qur‟an Surat An-Nisaa‟ ayat 12

ههٍَُى َناَم ْنِإَف ٌدَىََ ههٍَُى ْهُنَي ْمَى ْنِإ ْمُنُجاََْشَأ َكَسَت اَم ُفْصِو ْمُنَىََ

ََْأ اٍَِب َهيِصُُي ٍةهيِصََ ِدْعَب ْهِم َهْمَسَت اهمِم ُعُبُّسىا ُمُنَيَف ٌدَىََ

ٌدَىََ ْمُنَى َناَم ْنِإَف ٌدَىََ ْمُنَى ْهُنَي ْمَى ْنِإ ْمُتْمَسَت اهمِم ُعُبُّسىا ههٍَُىََ ٍهْيَد

ْنِإََ ٍهْيَد ََْأ اٍَِب َنُُصُُت ٍةهيِصََ ِدْعَب ْهِم ْمُتْمَسَت اهمِم ُهُمُّخىا ههٍَُيَف

اَمٍُْىِم ٍدِحاََ ِّوُنِيَف ٌتْخُأ ََْأ ٌخَأ ًَُىََ ٌةَأَسْما ََِأ ًةَى َلََم ُثَزُُي ٌوُجَز َناَم

ِدْعَب ْهِم ِجُيُّخىا يِف ُءاَمَسُش ْمٍَُف َلِى ََٰذ ْهِم َسَخْمَأ اُُواَم ْنِإَف ُضُدُّسىا

ٌميِيَع ُ هاللَََّ ِ هاللَّ َهِم ًةهيِصََ ٍّزاَضُم َسْيَغ ٍهْيَد ََْأ اٍَِب ََّٰصُُي ٍةهيِصََ

ءاسىىا﴿ ٌميِيَح

:

١٢

Artinya: “dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Penyantun”.(An-Nisaa‟;12)

b. Al Hadits

Selain Al-qur‟an hukum kewarisan juga berdasarkan al hadist, adapun hadis yang berhubungan dengan warisan sebagai berikut:

1. Hadits Rosulullah dari Huzail bin Syuruhbil

Hadits Rosulullah dari Huzail bin Syuruhbil yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Sahih Al Bukhari jilid 8. Abu Musa ditanya tentang pembagian harta warisan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-aki dan saudara perempuan. Abu Musa berkata; “untuk anak perempuan seperdua dan untuk saudara perempuan seperdua. Datanglah kepeda Ibnu Mas‟ud, tentu dia akan mengatakan seperti itu pula”. Kemudian ditanyakan kepada Ibnu Mas‟ud dan ia menjawab; “saya menetapan atas dasar apa yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, yaitu untuk anak perempuan seperdua, untuk melengkapi dua pertiga cucu cucu seperenam, dan selebihnya untuk saudara perempuan” (Ali, 2008: 36). 2. Hadits Rosulullah dari Abu Hurairah

Hadits Rosulullah dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Sahih Al Bukhari jilid 8, Abu Hurarah menceritakan bahwa Rasulullah bersabda;”Aku lebih dekat kepada orang-orang mukmin dari mereka itu sendiri antara sesamanya. Oleh karena itu, bila ada orang yang meninggal dan

meninggalkan utang yang tidak dapat dibayarknya (tidak dapat dilunasi dari harta peninggaannya) maka kewajibankulah untuk membayarnya. Dan jika dia meninggalkan harta (saldo yang aktif) maka harta itu untuk ahil warisnya”(Ali, 2008: 41). 3. Sistem Pewarisan

KUHPerdata tidak membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan, antara suami dan istri. Mereka berhak mewaris dengan mendapat bagian yang sama. Bagian anak laki-laki sama dengan anak perempuan. Bagian seorang istri atau suami sama dengan bagian anak jika dari perkawinan itu dilahirkan anak.

Apabila dihubungkan dengan sistem keturunan, KUHPerdata menganut sistem keturunan bilateral. Setiap orang itu menghubungkan dirinya ke dalam keturunan ayah ataupun keturunan ibunya. Artinya, ahli waris berhak mewaris dari ayah jika ayah meninggal dan berhak mewaris dari ibu jika ibu meninggal (Muhammad, 2011: 197).

Apabila dihubungkan dengan sistem pewarisan, KUHPerdata menganut sistem pewarisan individual. Artinya, sejak terbuka waris (pewaris meninggal) harta warisan (peninggalan) dapat dibagi- bagi pemilikannya antara para ahli waris. Setiap ahli waris berhak menuntut bagian warisan yang sama yang menjadi haknya. Serta hukum pewarisan KUHPerdata menganut sitem penderajatan.Artinya, ahli waris yang derejatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derejatnya.

Jika dibandingkan dengan hukum pewarisan Islam, antara sistem pewarisan KUHPerdata dengan sistem pewarisan Islam terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah baik hukum pewarisan KUHPerdata maupun hukum pewarisan Islam menganut sistem pewarisan individual bilateral. Perbedaanya terletak pada besarnya bagian yang diterima oleh ahli waris, misal: (Muhammad, 2011: 197).

a. Bagian anak laki- laki dua kali bagian anak perempuan.

b. Suami mendapat seperdua dari harta peninggalan istri jika tidak mempunyai anak; suami mendapat seperempat dari harta peninggalan istri jika mempunyai anak.

c. Istri mendapat seperempat dari harta peninggalan suami jika tidak mempunyai anak; istri mendapat seperdelapan dari harta peninggalan suami jika mempunyai anak.

Sedangkan jika dibandingkan dengan pewarisan menurut hukum adat di Indonesia, hukum pewarisan adat masih sulit memperoleh ketentuan yang seragam karena masih dipengaruhi oleh bermacam garis keturunan, yaitu garis keturunan patrilineal, matrilineal, dan bilateral(parental).Bermacam garis keturunan ini menimbulkan bermacam corak pula pada sistem pewarisan, yaitu sistem pewarisan individual, sistem pewarisan kolektif, dan sistem

pewarisan mayorat yang masing- masing sistem pewarisan tersebut mempunyai ciri tertentu.

4. Syarat dan Rukun Waris a. Syarat-syarat waris

Syarat-syarat adanya pelaksanaan hukum kewarisan Islam ada 3 syarat, yaitu:

1) Kepastian meninggal dunianya orang yang mempunyai harta (pewaris)

Yang dimaksud dengan meninggal dunia disini adalah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut putusan hakim), dn meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan) (Budiono, 1999: 10). Dalam pasal 830 KUHPerdata juga menyebutkan bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Tanpa ada kepastian bahwa pewaris meninggal dunia, maka warisan tidak boleh dibagikan kepada ahi waris. 2) Kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris meninggal dunia

Hidupnya ahli waris harus jelas pada saat pewaris meninggal dunia.Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris.

3) Diketahui sebab-sebab status masing-masing ahli waris

Penetapan pemilikan harta meninggal dan ahli waris hidup sebagai syarat mutlak menentukan terjadinya kewarisan dalam

hukum Islam. Berarti hukum kewarisan Islam bertujuan untuk menyelesaikan secara tuntas masalah harta warisan orang yang meninggal, orang hilang tanpa kabar, dan anak yang hidup dalam kandungan sebagai ahli waris menunjukkan bahwa hukum kewarisan Islam mempunyai karakteristik dalam menyelesaikan semua permasalahan yang mungkin timbul dalam kasus kewarisan.

b. Rukun-rukun waris

Menurut hukum kewarisan Islam, rukun kewarisan ada tiga, yaitu;

1) Al-muwarris (pewaris)

Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan harta warisan dan ahli waris yang masih hidup. Istilah secara khusus dikaitkan dengan suatu proses pengalihan hak atas harta dari seseorang yang telah meniggal dunia kepada keluarga yang masih hidup (Ali, 2008; 46). Oleh karena itu, sesorang yang masih hidup dan pengalihkan haknya kepada keluarganya tidak dapat disebut pewaris, meskipun pengalihan itu dilakukan pada saat menjelang kematian.

2) Al-waris(ahli waris)

Ahli waris adalah orang yang berhak mewaris karena hubungan kekerabatan (nasab) atau hubungan perkawinan (nikah) dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Ali, 2008; 47).

3) Harta warisan/ harta peninggalan (tirkah)

Harta warisan adalah harta bawaan ditambah dengan bagian dari harta bersama sesudah digunakan keperluan pewaris dalam selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, dan pembayaran utang serta wasiat pewaris (Ali, 2008; 47).

C. Tirkah (Harta Warisan)

Dokumen terkait