• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

C. Tirkah (harta Warisan)

Harta peninggalan (tirkah) ialah harta waris yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Harta peninggalan (tirkah) dapat diartikan juga sebagai harta secara keseluruhannya yang terlihat ada hubungan kepemilikannya dengan pewaris, kemudian dikurangi dengan hutang dan wasiat bila ada (Thalib, 1995: 95).

Tirkah adalah harta warisan, ialah harta peninggalan pewaris yang telah siap dibagi kepada para ahli warisnya yang terdiri dari harta asal ditambah bagian dari harta bersama pewaris dengan pasangan, dan telah dikeluarkan utang-utang pewaris, serta wasiat bila ada, dan biaya mayat sejak sakit sampai dimakamkan (Anshary, 2005: 12).

Dari ketentuan definisi diatas dapat ditegasakan bahwa yang dikatakan harta warisan / tirkah adalah harta peninggalan pewaris yang telah siap dibagi kepada ahli warisnya yang terdiri dari harta

asal di tambah harta bersama pewaris dengan pasangann yang hidup lebih lama dan telah dikeluarkan utang- utang pewaris, serta wasiat bila ada dan biaya pengurusan mayat sejak sakit sampai dalam pemakaman.

Adapun pengertian lain mengatakan tarikah atau tirkah, dalam pengertian secara bahasa adalah searti dengan mirats atau harta yang ditinggalkan. Karenanya, harta yang ditinggalkan oleh seseorang pemilik harta, untuk ahli warisnya, dinamakan tarikah si mati (tarikatul mayyiti).

Para fuqoha berbeda pendapat dalam memaknakan tirkah secara istilah. Menurut jumhur fuqohat berpendapat bahwa, tirkah itu ialah apa yang ditinggalkan oleh seseorang sesudah dia meninggal, baik berupa harta maupaun merupakan hak yang bersifat harta atau hak yang lebih kuat unsur harta terhadap hak perorangan, tanpa melihat siapa yang berhak menerimanya. Maka segala yang ditinggalkannya oleh seseorang yang sudah wafat, baik berupa hutang-hutang yang berpautan dengan benda seperti hutang menggadaikan sesuatu, atau hutang piutang dengan tanggung jawabnya sendiri, seperti hutang mas kawin.

Secara umum, harta peninggalan (tirkah) berarti semua yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang dibenarkan oleh syariat untuk diwarisi oleh pada ahli warisnya. Dengan pengertian ini, maka peninggalan mencakup hal-hal berikut ini:

a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan. Misalnya benda tak-bergerak (rumah, tanah, kebun), benda bergerak, (kendaraan), piutang pewaris yang menjadi tanggungan orang lain, hak cipta sebuah karya buku dimana dengan ciptaannya tersebut dapat dijual dan menghasilkan royalti, uang pengganti qishash karena tindakan pembunuhan yang diampuni atau karena yang membunuh adalah ayahnya sendiri, dan sebagainya.

b. Hak-hak kebendaan.

Misalnya hak monopoli untuk mendayagunakan dan menarik hasil dari suatu jalan lalu-lintas, sumber air minum, irigasi, dan lain-lain.

c. Hak-hak yang bukan kebendaan.

Misalnya hak khiyar, hak memanfaatkan barang yang diwasiatkan, dan sebagainya.

d. Benda-benda yang bersangkutan dengan hak orang lain.

Misalnya benda-benda yang sedang digadaikan oleh pewaris, barang-barang yang dibeli oleh pewaris ketika ia masih hidup yang harganya sudah dibayar tetapi barangnya belum diterima, dan sebagainya.

Jadi, tirkah adalah seluruh harta yang ditinggalkan yang sudah dikurang hutang dan wasiat dan sudah dikurangi biaya

perawatan selama sakit dan pemakaman pewaris, dan harta tersebut siap untuk dibagikan kepada ahli warisnya.

2. Hak-hak yang berkaitan dengan tirkah

Berkaitan dengan tarikah/tirkah beberapa hak yang harus dipenuhi secara tertib (berurutan) sehingga apabila hak yang pertama, atau yang kedua menghabiskan segala tirkah, tidaklah lagi berpindah kepada hak-hak yang lain. Hak-hak yang berkaitan dengan tirkah sebagai berikut:

a. Tajhiz

Tajhizialah segala yang diperlukan oleh seseorang meninggal sejak dari wafat sampai kepada menguburnya, seperti: belanja, memandikan, mengkafankannya, mengkuburkannya dan segalanya yang diperlukan sampai diletakannya ke tempat yang terakhir (Shiddieqy, 1997: 13). Hak ini yang harus diambil dari jumlah tarikh sebelum diambil hak-hak yang lain.

Dalam mengeluarkan belanja-belanja ini, haruslah dituruti apa yang dipandang ma‟ruf oleh agama, yakni tanpa berlebih-lebihan dan tanpa pula terlalu menyedikitkan. Dan hal ini berbeda menurut pandangan orang yang meninggal itu. Keperluan ini didahulukan atas membayar hutang, walaupun hutang itu berkaitan dengan suatu benda, seperti hutang orang yang menggadaikan barangya.

b. Pelunasan hutang

Dalam pandangan Islam, hutang pewaris tidak menjadi warisan atau tidak dibebankan kepada ahli waris, akan tetapi ahli waris hanya membantu membayarkan hutangnya pewaris dengan hartanya pewaris.

Pembayaran hutang itu didahulukan dari pada membagikan harta warisan kepada ahli waris, sebab terdapat hak orang lain didalam harta peninggalan pewaris. Ada dua macam hutang: hutang kepada Allah SWT, seperti haji (niat pergi waktu masih hidup), nadzar, membayar kifaratdan hutang kepada manusia, seperti hutang uang.

Menurut pendapat madzhab Hanafiah, hutang kepada Allah SWT seperti hutang zakat, kafarat dan nazar, tidak diambil dari tirkah. Walaupun jumhur fuqaha sependapat dalam menetapkan bahwa hutang kepada Allah SWT, diambil dari harta tirkah dan didahulukan terhadap wasiat, namun mereka berbeda pendapat dalam tertib (urutan) penunainnya. Ada yang mengatakan, bahwa hutang-hutang kepada Allah SWT didahulukan tarhadap hutang- hutang kepada sesama manusia demikiannlah madzhab Syafi‟iyah (Shiddieqy, 1997: 15). Sedangkan dalam hutang kepada sesama manusia dibayarkan menggunakan tirkah sesuai dengan hutang pewaris.

Wasiat yaitu memberikan sesuatu kepada seseorng yang dipilih oleh yang meninggal, tanpa imbalan apa-apa baik yang diwasiatkan itu merupakan benda, ataupun berupa ma‟rifat. Hak menuanaikan wasiat yang meninggal dalam batas-batas yang dibenarkan syara‟ tanpa perlu persetujuan para waris yaitu tidak lebih dari sepertiga harta peninggalan, sesudah diambil keperluan tajhiz dan keperluan membayar hutang, baik wasiat itu untuk warisan ataupun untuk orang lain.

Jika lebih dari sepertiga harta diperlukan persetujuan para waris kalau mereka semuanya sudah dapat didengar persetujuannya dan mengetahui hukumnya. Jika mereka tidak memberi persetujuan maka batal wasiat terhadap yang lebih dari sepertiga, karena

syara‟ membolehkan bagi yang meninggalkan harta peninggalan,

mementukan sendiri penggunaan hanya sepertiga hartanya untuk mewujudkan sesuatu.

d. Hak ahli waris

Harta peninggalan yang ditinggalkan pewaris, apabila masih ada sisa harta, sesuda diambil keperluan tajhiz keperluan mambayar hutang dan wasiat. Maka sisa itu menjadi hak waris dan dibagi menurut pembagian kewarisan Islam.

Dokumen terkait