• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Adat di Masa Mendatang

OLEH: Miftakhul Huda

Praktisi Hukum, Pemerhati Hukum Tata Negara

Kita tetapkan pula arah perkembangan huk um ya ng t a k mungk in la in dari p erkembangan s ecara sadar ke ara h hukum Eropa. Perkembangan hukum tak boleh digantungkan pada kebutuhan- kebutuhan masyarakat sebagai yang nyata, tetapi harus dilakukan secara sadar. Penulis tidak menyebutkan secara tegas bahwa hukum Barat sebagai jawaban, ia hanya menyatakan hal tersebut harus dijawab oleh bangsa Indonesia sendiri bersama pemimpinnya.

Da lil p enulis ya ng ke dua ya ng dibenarkan oleh van Dijk adalah perubahan hukum har us dila kukan secara sadar yang akan diamini para pengikut van Vollenhoven dan ter Haar. Tetapi yang menjadi persoalan, adalah syarat-syarat yang mana yang harus dipenuhi supaya p er ub a ha n it u b enar- b enar b er sifat perubahan hukum, bersifat pembentukan hukum positif dan benar-benar berlaku ke dalam kehidupan masyarakat, ke dalam hubungan antar manusia.

Menurut van Dijk, hukum senantiasa merupakan penyusunan yuridis dari suatu ma syara kat pada tempat dan wa kt u tertentu. Struktur dan kebutuhan nyata ma s yara kat ya ng a ka n m en ent u ka n dan membatasi berbagai kemungkinan pembentukan hukum yang sebenarnya. Sebagaimana van Vollenhoven katakan, hakim boleh mendahului perkembangan hukum yang akan terjadi, tetapi terdapat syarat-syarat, misalkan hukum itu tak boleh menjadi suatu “hukum-fantasi”, tuntutan golongan kecil masyarakat tidak dapat dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan baru, dan seharusnya diakui bahwa perkembangan yang baik tidak akan berbahaya di tangan hakim-hakim Timur, daripada hakim-hakim yang berpendidikan Barat dan lebih baik “agak terlampau konservatif (tampaknya)” dari pada hakim yang “agak tergopoh- gopoh” dalam hal ini.

Mendasarkan pada pandangan ter Haar, van Dijk menyatakan bahwa untuk membentuk hukum yang sejati keputusan- keputusan hukum (ter masuk putusan hakim) “tidak berlawanan dengan keyakinan hukum rakyat”, tetapi “diterima atau setidak-tidaknya dibiarkan oleh kesadaran

hukum”. Dalam setiap p emb ent ukan hukum harus memperhitungkan kesadaran hukum dan keyakinan hukum rak yat untuk siapa kaidah-kaidah hukum tersebut diberlakukan. Keyakinan hukum tidak dapat dilepaskan dari suasana kebudayaan yang menjadi tempat hidup bangsa itu, “akan tetapi terikat dengan beribu tali kepada suasana itu”. Van Dijk tegas menyatakan, “Seorang pembentuk hukum, yang tidak memperdulikan tali-tali itu dalam pekerjaannya, tidaklah membentuk hukum, akan tetapi ngelamun”.

S e ga l a k e p u t u s a n - k e p u t u s a n hukum dianggap sebagai p elanggaran hukum karena mencipta ka n keadaa n yang dirasakan sebagai ketidakdilan dan bukan sebagai penetapan keadilan atau suatu permulaan dari pada perkembangan hukum. Semua hal tersebut berlaku bagi kehidupan dan p emb ent ukan hukum Barat, ter masuk juga Indonesia yang dengan masyarakat yang modern.

Ha l ya ng p er lu digaris b awa h i, s eja ra h hu k u m t ela h m em b u kt i ka n dalam pembentukan hukum betapa baik pun tujuannya dengan tanpa dukungan dari kesadaran hukum yang benar-benar berubah tidak merupakan penyusunan at au p eny usuna n kemba li dari pada s uat u keh id u p a n m a s ya ra kat ya ng sedang berubah. Van Dijk membenarkan So ep om o ya ng m enyat a ka n, d a la m memelihara susunan hukum yang baru itu orang tidak boleh berbuat seakan-akan di masyarakat Indonesia masih belum ada susunan hukum sama sekali. “Dan setiap p emb ent uk-p emb ent uk hukum har us ikut mempertimbangkan susunan hukum yang ada, jadi susunan hukum adat,” kata Soepomo yang dikutip van Dijk.

D e n g a n m e n d a s a r k a n p a d a pengalaman Eugen Huber yang merancang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Swiss bahwa timbulnya peraturan-peraturan hukum berdasarkan dua faktor penting, yaitu berbagai pikiran, cita-cita yang terdapat dalam Realien (kenyataan). Tradisi dan susunan hukum yang telah turun temurun ikut menentukan sebagaian besar dari isi susunan hukum baru yang akan dibentuk. Dalam susunan hukum yang baru, walaupun

ditimbulkan oleh cita-cita manapun juga, senantiasa akan dapat ditemukan kembali bahan-bahan penting dari hukum yang turun temurun itu.

Unt uk it u, dalam p emb ent ukan hukum baru Indonesia, hukum adat akan selalu ada di masa mendatang dan besar pengaruhnya dan dalam pembentukan hukum baru dan hukum adat menjadi bahan-bahan hukum yang teramat penting. Jadi, hubungan antara hukum adat dengan hu k u m- hu k u m I nd o n esia, wa lau p u n hukum adat tidak meresap seluruhnya dalam susunan hukum Indonesia baru, s et id a k-t id a k nya hu k u m a d at a ka n memberikan bahan-bahan penting bagi pembentuknya di kemudian hari.

Seputar Hukum Adat

Selain hal penting tersebut, van Dijk dalam bukunya juga memberikan p enger t ia n t er ha d a p hu k u m a d at. Menurutnya, hukum adat adalah istilah untuk menunjukkan hukum yang tidak dikodifikasi di kalangan bangsa Indonesia dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan lain sebagainya). Pada saat orang berusaha menyelidiki hukum adat menurut ilmu p enget a hua n (ilm ia h) m em bu t uh ka n istilah yang tegas untuk menggambarkan keseluruhan ruang lingkup hukum adat.

Selain tidak dikodifikasi, hukum adat memiliki beberapa corak, yaitu:

pertama, hukum adat mengandung sifat yang tradisional. Menurut van Dijk, di mata masyarakat paling bawah, hukum adat sebagai kehendak nenek moyang mereka yang biasanya didewa-dewakan (legendaris). Karenanya ketika seseorang menyalahi hukum adat, seseorang dianggap sebagai merusak ketertiban hukum yang bersumberkan pada kehendak suci dari nenek moyang mereka.

Kedua, hukum adat dapat berubah. Per u b a ha n d a n p engga nt ia n d a la m hukum adat tidak terjadi secara tiba- tiba. Perubahan hukum adat yang cepat dan tiba-tiba justru bertentangan dengan sifat adat istiadat yang suci dan bahari. Perubahan dan pergantian dapat terjadi karena adanya pengaruh keadaan dan kejadian yang silih berganti. Sebagaimana pendapat van Vollenhoven, terjadinya perubahan dan pergantian hukum adat ada la h “t ida k dis adari” da n “kerap kali orang sampai menyangka, bahwa peraturan-peraturan lama tetap berlaku bagi keadaan-keadaan baru.”

Ketiga, k e s a n gg u p a n h u k u m

adat untuk menyesuaikan diri. Hukum adat sebagaian besar tidak tertulis dan terkodifikasi, sehingga menjadikan hukum adat memperlihatkan kesanggupan untuk menyesuaikan diri dan memiliki elastisitas yang luas. Suatu hukum adat, terlebih yang ditimbulkan dari keputusan-keputusan di kalangan penegak hukum di masyarakat, jelas van Dijk, sewa kt u-wa kt u dapat menyesuikan diri dengan keadaan-keadaan baru.

Dalam buku ini secara ringkas juga dibahas bagaimana pencarian hukum adat menurut ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh van Vollenhoven. Di tangan van Vollenhoven inilah hukum adat menjadi cabang dari ilmu pengetahuan tersendiri, meskipun usaha penyelidikan telah dimulai oleh para ahli lain, misalkan G. A. Wilken dan Snouck Hurgronje. Bagi van Dijk, apabila dibandingkan peran mereka, para pelopor hanya memberikan suluh yang tidak memberikan cahaya mendalam di p ertambangan, sedangkan p eran van Vollenhoven dalam hukum adat adalah menggalinya dengan seluruh tenaga serta kekerasan hati yang tak pernah putus.

Va n D ijk juga m engemu ka ka n keragaman hukum adat dalam tata susunan rakyat Indonesia dengan 19 lingkaran hu k u m (rechtskringen) b erd a s ar ka n t eritoria l ya ng m em ili k i kes a ma a n- ke s a m a a n. Menga cu p en d a p at va n Vollenhoven, 19 lingkaran hukum tersebut, yaitu: Aceh; Tanah Gajo, Alas dan Batak b es er t a Nia s; Da era h Mina ngka bau (beserta Mentawai); Sumatera Selatan; Daerah Melayu; Bangka dan Belitung;

Kalimantan (Tanah Dayak); Minahasa; Goront a lo; Da era h Toraja; Sulawesi Selatan; Kepulauan Ter nate; Maluku, Ambon; Irian; Kepulauan Timor; Bali dan Lombok (beserta Sumbawa Barat); Jawa Tengah dan Jawa Timur (beserta Madura); Daerah-daerah Swapraja Solo dan Yogyakarta; dan Jawa Barat.

Hukum adat tata negara juga dibahas dengan ringan yang dimaksudkan sebagai tata susunan rak yat terbatas dibahas mengenai persekutuan-persekutuan rakyat yang kecil (dalam lingkungan rakyat), sedangkan tata susunan ra k yat yang berlaku dalam organisasi pemerintah pusat, provinsi-provinsi, dan daerah-daerah tidak dikemukakannya.

Menurutnya, ada beberapa faktor yang mengikat dan menjadi dasar pokok persekutuan-persekutuan hukum yang ada di masyarakat untuk memahami susunan berbagai persekutuan hukum yang ada.

Pertama, faktor genealogi yang mengikat ora ng- ora ng b erd a s ar ka n ket u r una n bersama, yaitu patrilineal, matrilineal, dan parentil. Kedua, fa ktor teritorial di mana dasar ikatan anggota-anggota p ersekut uan hukum ter utama karena hubungan bersama di suatu daerah yang sama dan tertentu. Persekutuan teritorial dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: persekutuan desa, persekutian daerah, dan perserikatan desa.

B er b a ga i bid a ng d a n p o ko k- pokok hukum adat juga dibahas, yaitu mengenai Hukum Pertalian Sanak, Hukum Perkawinan, dan Hukum Waris dalam Bab 2. Selain itu juga dibahas mengenai Hukum Tanah dan Hukum Perhutangan dalam Bab 5 dan Bab 6. Hal yang sangat b erharga dalam buku ini juga dilampiri dengan berbagai kutipan dari tulisan berbahasa Belanda dari Snouck Hurgronje, van Vollenhoven, van Doorn, Vergouwen, Holleman, Bertling, Hazairin, dan ter Haar yang telah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia.

Judul buku :

Pengantar Hukum Adat Indonesia

Pengarang : Prof. Dr. R. van Dijk Penerjemah : Mr. A. Soehardi Penerbit : Penerbitan Vorkink-Van

Hoeve, Bandung – ‘S

Gravenhage Tahun : Cet ke-3, tanpa tahun Jumlah : 135 halaman

H

ubungan islam dan negara di Indonesia mer upakan salah satu kajian yang selalu menarik untuk dipahami dan dip erhatikan. Tida k hanya karena islam merupakan agama yang dianut mayoritas penduduk republik yang berjumlah hampir 250 juta jiwa, akan tetapi karena pada kenyataannya model negara yang dianut tidaklah menjadi negara agama, namun “mendekati” model negara s ekuler. Apalagi denga n keb eradaa n Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir konstitusi dan penegak konstitusi yang secara aktif telah melaksanakan tugas dan kewenangannya sejak 2013, maka penting untuk diulas dialektika yang terjadi dalam forum pengadilan tersebut.

Pa s a l 24 ayat (2) U U D 19 45 pasca perubahan UUD 1945 memang m enyat a ka n, kek ua s a a n keha k i ma n dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan p eradilan yang b erada di bawahNya dalam lingkungan peradilan umum, lingk unga n p eradila n aga ma, lingkungan peradilan militer, lingkungan

Judul Penelitian:

ISLAM, THE STATE AND THE CONSTITUTIONAL COURT IN INDONESIA

Penulis : Simon Butt

Sumber : Paciic Rim Law & Policy Journal Association (2010)

Dokumen terkait