• Tidak ada hasil yang ditemukan

Woerjaningrat dalam Rapat Besar BPUPKI, 10 Juli

K

anjeng Raden Mas To e m e n g g o e n g Ario Woerjaningrat, s a l a h s e o r a n g a n g g o t a B a d a n Penyelidik Usa ha- Us a ha Per s ia p a n Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang juga per nah menjabat sebagai Bupati Nayoko Kaprah Tengen dalam Keraton Solo telah dikenal sebagai salah seorang

Komite Pengembangan Kebudayaan Jawa di Surakarta.

Baris Pertama: R.M.A. Woerjaningrat, Pangeran Hadiwijojo, R. Sastro Widjono (Ketua), Dr Radjiman Wediodipoero, Z.H. Pangeran Adipati Ario Praboe Prangwedono (kehormatan), S. Koperberg (Sekretaris). Baris Kedua: Dr. Satiman Wirjosandjojo, Z. Stokvis, D. van Hinloopen Labberton, Dr Tjipto Mangunkusumo, J. Rottier, A. Mühlenfeld, R.M.S Soeriokoesoemo

Foto dibuat tahun 1918

perkumpulan Kawoela Soerokarto. Beliau juga pernah menjadi Ketua Paheman Radio Poestoko (Museum dan Kesusasteraan Jawa) d a n p er k u m p u la n Ke s en ia n Mardigoena, serta Soos, Habiproyo di Solo.

Penerima Bintang Mahaputra Utama kela hiran Solo pada 12 Maret 1885 ini, sempat mengenyam pendidikan di Eoropeesche Lagere School, Surakarta. Pada tahun 1903, Woerjaningrat menjadi

Manteri Ordonans dalam Keraton Solo. Pada tahun 1906, b eliau mer upakan Keliwon Gading Mat ara m di bagia n Sek retariat Pusat Pemerinta h Negeri Surakarta. Kemudian pada tahun 1909 menjadi Keliwon Pangrembe dan akhirnya pindah ke dalam Keraton urusan tanah. Pada tahun 1910, Wo erjaningrat menjabat sebagai Bupati Gading Mataram dan pada 1914 menjadi Bupati Nayoko Gedeng Tengen dengan pekerjaan Wedono Pemerintah (Pembantu Kantor Algemene Secretarie). Setelah itu, Woerjaningrat menjadi Bupati Nayoko Bumi dan anggota majelis negara. Sejak 1 Januari 1928, beliau menjadi Bupati Nayoko Kaprah Tengen dan anggota Majelis Keraton hingga pada tahun 1943 Woerjaningrat menjadi Giin Tyuuoo Sangi-In Jakarta.

Pada tahun 1945, penerima Perintis Kemerdekaan berdasarkan No. Pol. 107/63/ PK ini menjadi salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam Rapat Besar BPUPKI tanggal 10 Juli 1945 yang sedang membahas mengenai wilayah negara, Woerjaningrat sempat tercatat menyatakan pendapatnya. Menurutnya, bata s Indonesia paling tida k s ep erti waktu zaman Belanda, walau demikian menurutnya, batas-batas negara meliputi daerah yang sudah dapat dihubungi dan dimerdekakan.

“Tuan Ketua, dalam sidang yang pertama batas-batas sudah dibicarakan. Seb et ulnya, bagi saya s endiri, bata s Indonesia tent unya sedikit-sedikitnya s ep ert i wa kt u z a ma n Bela nda dulu. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan pada waktu ini, apakah bisa, apakah dapat ditentukan begitu; maka saya tadi juga mengatakan semua itu, dan kalau akan diadakan negara, jangan ditanyakan bat a s ya ng b egit u a ka n tet api saya mengusulkan batas-batas meliputi daerah yang sudah dapat dihubungi dan yang dapat dimerdekakan. Demikianlah Tuan Ketua,” ungkap Woerjaningrat.

Selanjutnya perdebatan mengenai batas negara menjadi sangat menarik.

Perdebatan bahkan sampai dilanjutkan hingga pada esok hari, yait u 11 Juli 1945. Tidak mencapai mufakat, akhirnya diputuskan untuk diselenggarakan voting dengan pilihan: 1. Hindia Belanda dahulu; 2. Hindia Belanda dahulu, Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya; dan 3. Hindia Belanda da hulu ditamba h Mala ka “dip otong” Papua.

Setelah voting dilakukan, hasilnya adalah opsi p ertama memp eroleh 19 suara, opsi kedua memperoleh 39 suara, dan opsi ketiga memperoleh enam suara. Terdapat satu suara blangko dan satu suara lain-lain dengan total suara 66. Dengan demikian pilihan kedua, wilayah negara adalah meliputi Hindia Belanda dahulu, Malaka, Borneo Utara, Papua, Timor, dan kepulauan sekelilingnya.

“Da n saya tet apka n pada saat ini, para anggota yang terhormat, yang diputuskan, yang disahkan hari ini oleh persidangan, yaitu bahwa daerah yang masuk Indonesia Merdeka: Hindia Belanda dulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, papua, Timor-Portugis, dan pulau- pulau sekitarnya,” terang Ketua BPUPKI Radjiman.

Wa lau d em ik ia n, kenyat a a n nya keputusan tersebut tidak dimasukkan da la m draft Unda ng-Unda ng Da s ar. Menurut Kata Pengantar Tim Penyunting Untuk Edisi Keempat buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945 yang diterbitkan Sekretariat Negara Republik Indonesia (Jakarta, 1998: xxxvii), sesuai dengan kelaziman hukum internasional, keput usa n mengena i w ilaya h negara ini memang tidak dicantumkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar.

S o ep o m o d a la m ka p a s i t a s nya s ebaga i Pa nitia Pemb ent uk Unda ng- Undang Dasar memang menjelaskan hal tersebut dalam Rapat Besar tanggal 15 Juli 1945. Berdasarkan kajian Panitia, pada umumnya Undang-Undang Dasar memang

tidak menyebutkan batas negara karena p enetapan batas wilayah mer upa kan hukum antarnegara.

“Tentang batas-batas Negara. Dari pihak anggota-anggota Badan Penyelidik ada yang minta keterangan kepada saya, apa sebabnya dalam rancangan Undang- undang Dasar tidak termuat pasal tentang batas-batas negara. Tentang hal ini panitia b er p endirian, ba hwa Undang-undang Dasar tidak perlu menegaskan batas-batas negara. Kami telah menyelidiki Undang- undang Dasar dari negara-negara Eropa, di Amerika dan Asia. Pada umumnya dalam Undang-undang Dasar itu tidak ada penetapan batas. Memang Undang- undang Dasar itu ditujukan kepada Badan- badan Penyelenggara Negara di dalam negara” terang Soepomo.

Lebih lanjut, Soepomo menjelaskan b at a s- b at a s n ega ra t er s eb u t d a p at ditentukan dalam verdrag atau traktat antara dua negara. “Undang-undang Dasar mengikat Pemerintah di dalam negara, tetapi tidak bisa mengikat luar negeri. Maka batas-batas Negara itu ditentukan dalam “verdrag”, dalam “traktaat”, antara dua negeri atau lebih. Soal penetapan batas ialah soal hukum antara negara (volkenrecht). Oleh karena itu, Undang- undang Dasar tidak perlu memuat pasal tent a ng bat a s-bat a s negara. Paduka Tuan Ketua, bukan saja Undang-undang Dasar akan tetapi traktat pun merupakan fondamen untuk pemerintahan negara,” jelas Soepomo.

LUTHFI WIDAGDO EDDYONO

Sumber Bacaan:

Safroedin Bahar, dkk. (Penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia (Jakarta: 1998).

B

ur uk nya laya na n di sebagian besar penjara di negeri ini seakan m e n g g a m b a r k a n p o t r e t p e r s o a l a n d i L e m b a g a P e m a s y a r a k a t a n kini yang ta k kunjung terselesaikan. Meledaknya jumlah penghuni penjara jauh di atas kapasitas hunian penjara, tidak laiknya hunian penjara hingga praktik suap di r utan menjadi contoh riilnya. Satu dari banyak alasan kenapa persoalan t er s eb u t m engemu ka kar ena ma si h subur nya p ena ha na n pra-p ersida nga n dalam hukum Indonesia. Sesuai dengan namanya, p enahanan pra-p ersidangan dima k na i p ena ha na n ya ng dila kuka n aparat hukum kepada tahanan sebelum proses persidangan. Pra-persidangan lebih lengkapnya meliputi tahap penangkapan dan penahanan di Kepolisian, penuntutan oleh jaksa, dan kondisi pada saat di rutan saat menunggu persidangan dan hasil keputusan.

K r i t i k B i r o k r a s i P e n a h a n a n Pra-Persidangan

Harus diakui, praktik penahanan pra-persidangan (pre-trial detention-PTD) di Indonesia telah berlangsung lama dan sistemik, menambah panjang catatan kontroversi khususnya di peradilan pidana. Sebagian pihak penentang, tidak ingin praktik penahanan berjalan secara politis- birokratis, namun demikian sistem peradilan pidana di negeri inilah yang menjamin praktik penahanan pra-persidangan di Indonesia terjaga. Kitab Undang-Undang

Penahanan Pra-Persidangan dalam

Dokumen terkait