• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KENDALA YANG DIHADAPI KANTOR PERTANAHAN

B. Penyelesaian Kasus Tanah

Secara konseptual, undang-undang pokok agraria tidak menyinggung tentang kasus pertanahan, karena :

1) Semangat UUPA mendahulukan kepentingan rakyat;

2) Adanya penataan dan pengelolaan pertanahan dengan program :

a. Pengaturan penguasaan, penggunaan, peruntukan dan pemanfaatan tanah (landreform),

b. Pengaturan hubungan hukum dan perbuatan hukum (pendaftaran tanah) c. Pengaturan penatagunaan tanah (landuse)

d. program lainnya

87 C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakn ke-8 Jakarta, Balai Pustaka, Hal. 334.

88 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Cetakan ke-8 okteber 2008, Sinar Grafika Offset, hal. 649.

Dengan semangat dan penataan tesebut dinilai dapat mencegah dan mengatasi masalah pertanahan di masyarakat. Berikut upaya Penyelesaian kasus pertanahan yang dapat dilakukan :

a. Jalur Peradilan (litigasi) - UU 48/ 2009 Kekuasaan Kehakiman - peradilan umum

- peradilan TUN

b. Jalur Non Peradilan (non-litigasi)

- Mediasi, Arbitrase (UU 30 tahun 2009 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah dan UU 17 tahun 2007 tentang RPJPN Bab III, point IV.1.5 angka 14 al. peningkatan upaya penyelesaian sengketa pertanahan baik melalui kewenangan administrasi, peradilan, maupun alternative dispute resolution.

- Kewenangan instansi pertanahan (Kepres 26/ 1988 jo. Perpres 10/ 2006) - Kewenangan Instansi lain di. Pemda (Keppres 34/ 2003)

c. Jalur Khusus (Tim Ad hoc BPN-Polri) sesuai MOU BPN dengan Polri SKB No. 10/ SKB/ XII/ 2010-B/ 31/ XII/ 2010 tanggal 3 Desember 2010:

- Sidik sengketa : ada indikasi pidana, pelanggaran undang-undang

- Tuntas sengketa : penyelesaian sengketa yang mendapat prioritas, berpotensi untuk dimediasi.

Namun dapat juga memilih penyelesaiannya melalui adat seperti dalam adat Aceh bila ada sengketa dalam masyarakat, maka para pihak yang bersengketa Ureung Tuha Gampong (Geuchik, Teungku Imum, Tuha Peut Atau Peutua Jurong/

Kepala Dusun dalam kampungnya. Tuha Gampong wajib melakukan tindakan

pengamanan dan selanjutnya segera melakukan proses penyelidikan dan membawa permasalahan tersebut pada forum adat musapat di Meunasah. Proses penyelesaian melalui musyawarah adat, untuk mendapatkan suatu perdamaian yang tulus dan ikhlas antara kedua pihak, sehingga terwujud suatu kerukunan yang aman dan tentram penuh persaudaraan. Penyelesaian kasus atau sengketa-sengketa yang terjadi dalam masyarakat demikian, disebut penyelesaian melalui peradilan adat/ peradilan damai. Hakim peradilan adat, terdiri dari ; Keuchik sebagai ketua, teungku imum, tuha peut sebagai anggota dan sekretaris gampong sebagai panitera. Tata cara penyelesaian damai.89

Bagan 3

Forum Adat Musapat/ Peradilan Adat

Penjelasan dalam bagan diatas dinyatakan bahwa;

89Badruzzaman Ismail, Lop. Cit, Hal. 30.

Sek/Panitera

Geuchik Tuha Peut

Imum Meunasah

P. Pihak P. Pihak

Masyarakat/Umum

1) Sek/ Panitera : Sekretaris desa itu dianggap sebagai panitera di Gampong yang mencatat seluruh hasil rembukan dalam penyelesaian kasus yang dibahas dalam rapat gampong;

2) Geuchik : Berkedudukan sebagai pendamai satu atau hakim ketua;

3) Imum Meunasah : Berkedudukan sebagai pendamai dua atau dapat disebut juga dewan hakim;

4) Tuha Peut : berkedudukan sebagai pendamai tiga atau dapat juga disebut dengan dewan hakim.

5) Para Pihak : untuk para pihak yang bersengketa didudukkan secara bersama untuk didengarkan argument-argumennya tentang hal, apakah, dan siapakah yang bersalah untuk dapat didamaikan jika mendapatkan kata sepakat. Namun jika tidak adanya kata sepakat baru nantinya akan dicari jalan keluarnya secara adat atau yang lainnya.

Dasar hukum penegakan hukum adat, yang dapat kita temukan antara lain adalah sebagai berikut;90

1. Pasal 3 a R.O. Stb. 1935 tentang Peraturan Organisasi Peradilan Adat.

2. Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh.

3. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

4. Perda No. 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Adat (Sudah Dicabut).

5. Qanun No.3 Tahun 2004 tentang Struktur Organisasi MAA.

90Op.Cit

6. Qanun No.4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong.

7. Qanun No.5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.

8. Qanun No.9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Adat/ Adat Istiadat.

9. Qanun No.10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

10. Dan lain-lain Norma-norma adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Ketentuan dalam Pasal 3 a R.O, antara lain, sebagai berikut;

Ayat (1) ; Perkara-perkara yang pemeriksaannya menurut hukum adat menjadi wewenang dari dari Hakim-hakim masyarakat hukum kecil-kecil (hakim desa) tetap diserahkan pada pemeriksaan mereka.

Ayat (2) ; Apa yang ditentukan dalam ayat dimuka ini , sekali-kali tidak mengurangi dari pihak-pihak untuk setiap waktu menyerahkan perkaranya kepada pemutusan pada hakim-hakim yang dimaksud dalam Pasal 1,2 dan 3.

Hakim-hakim yang dimaksud dalam ayat mengadili menurut hukum adat masyarakat setempat tidak boleh mengenakan hukum-hukuman atau deraan-deraan yang menyakiti fisik. Perkara yang diselesaikan di pengadilan gampong, tetap termasuk kepada kekuasaan peradilan. Sehingga penyelesaian seperti tersebut diatas dapat memperoleh kemudahan untuk mendamaikan konflik mengenai tanah diantara para pihaknya yang sifatnya lebih dalam bentuk kekeluargaan.

Kalau kita lihat lagi dibelakang dari pada UUPA itu sendiri, bukankah kehadiran UUPA kita untuk menciptakan kepastian terhadap hukum tanah di Negeri kita. Secara jujur bila kita berkenan untuk membuka diri bersikap fair dengan tidak

menyerobot hak orang lain maka tidak akan ada muncul sengketa terhadap penguasaan tanah. Akan tetapi keadaan yang berbalik sudah, kejujuran sudah sulit untuk didapatkan, keserakahan dalam menguasai atas tanah telah membabibuta, tidaklah dapat diterima pendaftaran tanah seseorang bila tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh UUPA kita, sehingga dengan persyaratan yang benar-benar dapat untuk dipertanggung jawabkan dari masa depan tanah yang didaftarkan tersebut maka barulah Kantor Pertanahan Aceh Tamiang dapat mengambil sikap untuk memenuhi permohonan pendaftaran atas tanah tersebut.

Apabila kita selusuri lebih mendalam lagi tentang kehendak dari lahirnya UUPA dalam memberikan kepasatian hukum akan hak seseorang, maka setiap pengelolaan dan apa-apa yang telah dilakukan atas pendaftaran tanah, sudah secara jelas tujuan pendaftaran tanah yang ada disebut salah satunya untuk kepastian hukum.

Dengan kata lain begitu haknya seseorang terhadap tanahnya yang telah didaftarkan maka seseorang tersebut namanya dalam buku tanah akan dapat secara leluasa untuk menggunakan , mengalihkan atau mengikatkan hak atas tanahnya itu untuk dirinya sesuai dengan muatan tersebut. Pada intinya perlindungan itu bukan semata-mata hanya untuk atas nama diri seseorang yang tertera namanya dalam sertipikat akan tetapi juga untuk melindungi tanahnya (objeknya/ bukan orangnya).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya dalam tesis ini, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Mendaftarkan Tanah Milik Adat Menjadi Hak Milik Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang.

Kesadaran hukum mendaftarkan tanah di Aceh Tamiang masih kurang karena ada beberapa keadaan yang membuat masyarakat hukum adat kurang antusias untuk melakukan permohonan pendaftaran tanah untuk pertamakali diantaranya dapat dilihat keadaan dilapangan yang dialami masyarakat dalam pengurusan pendaftaran hak atas tanah miliknya meliputi :

a. Ketidakmengertian mereka terhadap proses pengurusan pendaftaran tanah, apalagi bagi masyarakat yang berada di daerah terpencil.

b. Dalam proses pengurusan pendaftaran tanah memakai waktu yang lama dan biaya yang besar sehingga sangat memberatkan bagi masyarakat kecil, karena mata pencaharian mereka adalah seorang petani, ditambah lagi penghasilan perkapita masyarakat setempat masih dibawah rata-rata atau pendapatannya masih sangat dibawah normal (belum sejahtera).

c. Kurang memahami fungsi dari sertipikat atas hak atas tanah sebagai akibat rendahnya pendidikan dan kurangnya pengetahuan pemilik tanah akibat kurangnya penyuluhan dari pihak kantor pertanahan.

2. Pendaftaran Tanah Milik Adat Menjadi Hak Milik Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang.

Untuk memperoleh Sertipikat tanah yang dimaksud dilakukan melalui pendaftaran/permohononan Sertipikat tanah pertama kali di Instansi Pendaftar Tanah, salah satunya yaitu Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI). Dalam memperoleh Sertipikat tanah dilakukan pendaftaran/permohononan Sertipikat tanah untuk pertama kali yaitu dengan cara konversi (pengakuan hak/penegasan hak) dan pemberian hak. Penyesuaian hak-hak adat atau hak atas tanah yang bersifat tradisional atau kedaerahan kedalam hak-hak atas tanah yang bersifat unifikasi yang telah diatur dalam UUPA dikenal dengan istilah Konversi.

Konversi (pengakuan hak/penegasan hak) adalah pembuatan dan/atau pembuatan Sertipikat tanah dari tanah Hak Adat dijadikan/dikonversi ke Sertipikat. Tahapan dalam Konversi :

a. Pemohon Daftar dan Bayar;

b. Pengukuran c. Pengumuman d. Pembukuan Hak e. Penerbitan Sertipikat.

3. Kendala Yang Dihadapi Kantor Pertanahan Dalam Pendaftaran Tanah Milik

Adat Menjadi Hak Milik Pada Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang.

Dapatlah disimpulkan dalam penemuan ini kendala-kendala Kantor Pertanahan dalam konversi hak atas tanah adat menjadi hak milik yaitu;

4. Pengakuan atas tanah adat yang hendak dimohonkan ada akan tetapi belum pernah terdaftar sebagai tanah milik adat di Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang

5. Objek tanah yang dimohonkan di kantor terkadang tidak sesuai dengan jumlah pada kenyataannya yang dijumpai dilapangan pada saat tim survey kantor pertanahan datang untuk meninjau tanah yang dimohonkan, adakalanya ukuran tanahnya berkurang ataupun ukuran tanahnya menjadi bertambah.

6. Subjek haknya yang tidak jelas kepada siapa atau kemana ahli warisnya untuk diberikan haknya.

B. Saran

1. Dengan maraknya persoalan tentang tanah yang timbul dibumi pertiwi ini hendaknya menjadikan cermin bagi kita para “Akademika” khususnya dan

“Pemerintah” pada umumnya untuk mengedepankan nilai luhur “Pancasila”

dalam memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi masarakat.

2. Untuk mendapatkan keseimbangan dalam administrasi negara, tentu sudah saatnya bila kantor pertanahan sebagai struktur pengelola administrasi tanah di negeri kita, hendaknya dapat meningkatkan peranan sosialisasinya kepada masyarakat baik masyarakat kota atau pinggiran kota maupun masyarakat yang hidup dipedalaman untuk diberikan penyuluhan keagrariaan agar mereka

“masyarakat” dapat mengerti dan dapat memanfaatkan perlindungan hukum yang telah diamanatkan oleh undang-undang kita untuk kesejahteraan rakyat. Dengan adanya administrasi pertanahan yang tertib dan mutakhir, maka pemerintah maupun masyarakat dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan untuk melakukan perbuatan hukum atau perencanaan atas bidang-bidang tanah secara cepat dan tepat untuk menghindari pemanfaatan “percaloan” tanah yang akhirnya dapat menyebabkan timbulnya ekonomi biaya tinggi.

3. Selalu dan tetaplah untuk mempertimbangkan dan melakukan pemutihan status tanah terhadap tanah-tanah bagi masyarakat yang kurang mampu sehingga mereka dapat memiliki sertipikat tanah sebagaimana yang lainnya sehingga kelompok masyarakat yang menjadi target (masyarakat ekonomi lemah) benar-benar mendapatkan perhatian dari pemerintah dan merasakan perhatian tersebut dari pemerintah sebagai kepeduliannya kepada masyarakat ekonomi lemah.

DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku ;

Ali Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta 2012.

Ali Ahmad, Menguak Takbir Hukum ( Suatu Kajian Filosofis dan sosiologis), Jakarta, PT. Gunung Agung, Tbk, 2002.

Ali Zainudin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Palu 2005.

Apeldoorn Van, Pengantar Ilmu Hukum (Terjemahan Inleding Toot De Studies Van Hed Nederlands Recht,cetakan ke-4 oleh M. Oetarid Sadino), Jakarta : Noordhoff-kolff NV, 1958.

Arifin Syamsul, Pengantar Hukum Indonesia, Medan Area University Press, Medan, 2012.

Badrulzaman Darus Mariam, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung, Alumni, 1983.

Budiardjo Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2008.

Darwis Hude M., Emosi, Erlangga, Jakarta 2006.

Durkheim Emile, Pendidikan Moral Suatu Studi Teori Dan Aplikasi Sosiologi Pendidikan, Erlangga, Jakarta 1973.

Gazalba S., Penghantar Kebudayaan, Sebagai Ilmu Pustaka,Jakarta 1990.

Harsa Triyana, Taqdir Manusia Alam Pandangan Hamka Kajian Pemikiran Tafsir Al-aqhar, Pena, Banda Aceh 2008.

Harsono Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Cetakan Ke-17 Edisi Revisi Djambatan, Jakarta 2006.

Harsono Boedi, Hukum Agrarian Indonesia, Sejarah Pokok Pembentukan Undang-Undang Pokok Agrarian, Isi Dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Penerbit Djambatan, Cetakan Kelima, 1994).

Harsono Budi, Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang - Undang Pokok Agraria dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1997).

Hasan Djuhaendah, Kualitas Sumber Daya Manusia PPAT, disampaikan dalam Lokakarya Pola Pembinaan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Bandung, 25 Agustus 1997.

Hutagalung Arie Sukanti, Program Redistribusi Tanah di Indonesia, Rajawali, Jakarta,1983.

Iqbal Dawami M., cita-cita, Diva Press, Bojong 2008.

Ismail Badruzzaman, Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh, Majelis Adat Aceh (MAA), Banda Aceh 2009.

Kansil C.S.T, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Cetakan ke-8, Balai Pustaka, Jakarta.

Kartasapoetra G., Masalah Pertanahan di Indonesia, Rineka, Jakarta 1992.

Koentjaningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1997.

Koentjaningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia., Jakarta 2000.

Mertokusumo Sudikno, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Liberty, Yogyakarta 1996.

Nabhani, Pelaksanaan Syariat Islam di Aceh, Yayasan Sastra Group, Langsa 2011.

Otje Salman HR. dan Susanto Anton F, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005.

Parlindungan A.P., Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A. dan Tata Cara Pejabat Pembuat Akte Tanah, Alumni, Bandung 1978.

Parlindungan A.P, Pedoman Pelaksanaan UUPA dan Tata Cara Pjabat Pembuat Akta Tanah, Alumni, Bandung 1982.

Parlindungan AP, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, (Bandung, Alumni, 1973).

Perlindungan AP., Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung, Mandar Maju, 2008.

Prodjodikoro Wirjono, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT.

Intermasa, 1980).

Rahardjo Satjipto, Ilmu Hukum, citra Aditya Bandung, 1996.

Singarimbun Masri dkk, Metode Penelitian survei, LP3ES, Jakarta, 1989.

Siregar Anshari Tampil, Mempertahankan hak atas tanah, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, cetakan pertama Okteber 2005.

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Jogyakarya 1998.

Soekanto Soejono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986.

Soekanto Soerjono, kedudukan dan peranan hukum adat di Indonesia, Cetakan ke-2 Kurnia Esa, Jakarta Desember 1981.

Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, PT. raja Grafindo Persada, Jakarta 1982.

Solli Lubis M., Beberapa Pengertian Umum Tentang Hukum, (Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pasca Sarjana USU).

Soly Lubis M., Manajemen Strategis Pembangunan Hukum, Mandar Maju, Bandung 2011.

Suandra Wayan, Hukum Pertanahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Subekti R., Tjitrosudibio R., Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cetakan ke-37, PT. Pradnya Paramita.

Sumantri Suria Jujun, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995.

Sumarsono S., Mansyur, dkk, Pendidikan kewarganegaraan, Cetakan ke-2, PT. SUN, Jakarta 2002.

Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Sunggono Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997.

Tim Abdi Guru, Pendidikan Kewarganegaraan, Erlangga, Jakarta 2006.

W Suprayetno, Psikologi Agama, Cita Pustaka Media Perintis, Bandung 2009.

Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Peraktek, sinar Grafika, Jakarta, 1996.

Waluyo Bambang, Penelitian Hukum Dalam Peraktek, sinar Grafika, Jakarta, 1996.

Wignjodipoero Soerojo, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta : CV.Haji Mas Agung, 1987).

Yahya Harahap M., Hukum Acara Perdata, Cetakan ke-8 Sinar Grafika Offset, 2008.

Yahya Harahap M., pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan Edisi ke-2, Sinar Grafika, Jakarta 2007.

Yamin Lubis Mhd. Dan Rahim Lubis Abd., Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi, Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 2010 Tentang Jenis Dan Tariff Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional, Mandar Maju, Bandung 2010.

Yamin Lubis Muhammad dan Rahim Lubis Abd, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung, CV. Mandar Maju, 2008).

B. Peraturan Perundang-undangan.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 tentang tarif Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada BPN.

C. Sumber-Sumber Yang Lainnya.

Marsono Boedi, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran Tanah, dibahas dalam Seminar Nasional yang diselenggara oleh Usakti dengan BPN pada tanggal 14 Agustus 1997 di Hotel Horison – Jakarta.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta, Edisi E-II, Cetakan Ketiga, 1994.

Sambutan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Seminar Nasional menyambut PP Nomor 24 Tahun 1997 tanggal 14 Agustus 1997 di Jakarta.

Dokumen terkait