• Tidak ada hasil yang ditemukan

X1 Jarak dari jalan -0,08000 1,000080 0,5000 X2 Jarak dari sawit -0,07360 1,000074 0,5000 X3 Kemiringan lahan 0,02468 1,024988 0,5061 X4 Jarak dari sungai 0,44584 1,000460 0,5000 X5 Ketinggian tempat -0,02382 1,024114 0,5059 X6 Jarak dari pemukiman 0,02769 1,000028 0,5000

Konstanta -0,14000

Y2 Hutan menjadi Lahan Terbangun (Nilai ROC 0,9610)

X1 Jarak dari jalan X2 Jarak dari sawit X3 Kemiringan lahan X4 Jarak dari sungai X5 Ketinggian tempat X6 Jarak dari pemukiman Konstanta -2,81849 -0,00482 0,03409 0,01621 -0,02971 -0,26602 -0,48763 0,05969 0,99519 1,03467 1,01634 0,97072 0,76642 0,0563 0,4987 0,5085 0,5040 0,4925 0,4338

Y3 Hutan menjadi Lahan Terbuka (Nilai ROC 0,8376)

X1 Jarak dari jalan X2 Jarak dari sawit X3 Kemiringan lahan X4 Jarak dari sungai X5 Ketinggian tempat X6 Jarak dari pemukiman Konstanta -0,15575 -0,04721 0,00534 0,12627 -0,00152 0,01395 -1,79080 0,855772 0,953887 1,005358 1,134588 0,998474 1,014057 0,4611 0,4882 0,5013 0,5315 0,4996 0,5034 *ROC=1 menunjukkan model perfect fit, ROC=0,5 menunjukkan model random fit (Eatsman 2012) A. Perubahan Hutan Menjadi Sawit

Berdasarkan tabel di atas, model persamaan perubahan hutan menjadi sawit Y1= -0,1400 – 0,08000*X1 – 0,07360*X2 + 0,02468*X3 + 0,44584*X4 – 0,02382*X5 + 0,02769*X6. Nilai exp β atau odd ratio untuk setiap variabel memiliki nilai yang relatif sama, hal ini menunjukkan semua variabel memiliki

28

kekuatan yang sama terhadap pengaruh perubahan hutan menjadi lahan sawit. Peta probabilitas perubahan penggunaan lahan sawit antara tahun 1994 sampai 2004 disajikan pada Gambar 13. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa area yang semakin kecoklatan (mendekati nilai 1) memiliki probabiltas perubahan hutan menjadi sawit yang lebih tinggi.

Gambar 13 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit (1994-2004) Faktor jalan memiliki koefisien negatif sehingga implikasinya peluang perubahan hutan menjadi sawit akan semakin besar ketika semakin mendekati jalan dengan probability 0,5000 atau menaikan peluang 50% setiap penurunan satu unit faktor jarak dari jalan. Hal ini SDIring dengan hasil penelitian Arekhi (2011) yang menyatakan semakin dekat jarak hutan dari jalan akan semakin besar peluang deforestrasi.

Faktor yang mempengaruhi perubahan selanjutnya adalah jarak dari perkebunan sawit. Hal ini menunjukkan bahwa nilai exp β sebesar 1,000074 akan berimplikasi peningkatan satu unit faktor peubah semakin dekat jarak dari sawit akan semakin besar peluang perubahannya sebesar 50%. Begitu juga dengan faktor ketinggian tempat yang memiliki koefisien negatif, menunjukkan bahwa dengan nilai exp β sebesar 1,024114 maka semakin rendah elevasi atau ketinggian tempat akan semakin besar peluang perubahan lahannya sebesar 50,59%. Menurut Agarwal et al. (2005), bahwa elevasi memiliki pengaruh terhadap peluang terjadinya deforestrasi.

Variabel lainnya yaitu jarak dari sungai dengan nilai exp β sebesar 1,01634. Variabel jarak dari sungai dengan koefisien positif menunjukkan bahwa semakin jauh dari jaringan sungai akan menaikkan peluang perubahan lahan hutan menjadi sawit sebesar 50%. Perubahan yang terjadi di sepanjang jaringan sungai memang lebih diperuntukkan untuk pemukiman, dan jarang ditemui untuk dijadikan lahan sawit. Sedangkan untuk pemukiman itu sendiri dengan expβ sebesar 1.000028 dan

29 koefisien bernilai positif, maka semakin jauh pemukiman akan semakin menaikkan peluang perubahan lahan.

B. Perubahan Hutan Menjadi Lahan Terbangun

Persamaan regresi logistik untuk model spasial hutan menjadi lahan terbangun adalah Y2= -0,48763 - 2,81849*X1 - 0,00482*X2 + 0,03409*X3 + 0,01621*X4 - 0,02971*X5 - 0,48763*X6. Faktor jarak dari jalan memiliki nilai negatif sehingga memiliki implikasi bahwa semakin dekat dengan jalan maka perubahan hutan menjadi lahan terbangun akan semakin tinggi. Semakin dekat satu faktor jarak dari jalan maka akan meningkatkan perubahan hutan menjadi lahan terbangun sebesar 5,63%. Faktor jalan memiliki pengaruh paling tinggi sebesar 2,81849 dibandingkan faktor lainnya. Selanjutnya faktor terbesar kedua yang mempengaruhi perubahan adalah jarak dari pemukiman dengan nilai koefiSDIn 0,48763. Peta probabilitas perubahan penggunaan lahan terbangun antara tahun 1994 sampai 2004 disajikan pada Gambar 14. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa probabilitas perubahan lahan menjadi area terbangun semakin tinggi pada area yang berwarna kecoklatan (mendekati nilai 1), terutama dekat dengan jaringan jalan.

Gambar 14 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun (1994- 2004)

Faktor lainnya yang mempengaruhi adalah jarak dari sawit terdekat, variabel ini memiliki nilai negatif yang mana implikasinya yaitu semakin dekat jarak dengan perkebunan kelapa sawit maka perubahan hutan menjadi lahan terbangun akan semakin tinggi. Setiap peningkatan satu faktor lebih mendekati adanya lahan sawit maka akan meningkatkan peluang perubahan hutan menjadi lahan terbangun sebesar 49,57%. Hal ini juga menjadi temuan bahwa semakin meluas dan banyaknya perkebunan sawit di wilayah studi, maka akan meningkatkan tumbuhnya pemukiman atau perkampungan baru.

30

Peluang tumbuhnya lahan terbangun akan semakin besar ketika semakin dekat dengan jaringan jalan, semakin dekat dengan lahan sawit, semakin rendah elevasinya, dan semakin dekat dengan pemukiman yang sudah ada. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai negatif pada setiap faktor X1, X2, X5, dan X6. Jika dinyatakan dalam peluang perubahan, maka masing-masing peluang perubahan ketika faktor tersebut menurun sebesar satu unit faktor maka peluangnya masing-masing akan bertambah sebesar 5,65% (X1), 49,63% (X2), 49,25 (X3), dan 43,38% (X4). Hal ini sama kondisinya menurut Trisurat et al. (2010) bahwa perubahan hutan menjadi lahan terbangun, peluang perubahannya akan semakin besar ketika semakin dekat dengan jalan dan pemukiman.

C. Perubahan Hutan Menjadi Lahan Terbuka

Persamaan regresi logistik untuk model spasial hutan menjadi lahan terbuka adalah Y3= -1,79080 - 0,15575*X1 - 0,04721*X2 + 0,00534*X3 + 0,12627*X4 - 0,00152*X5 + 0,01395*X6. Faktor jarak dari jaringan jalan memiliki nilai koefisien negatif, hal ini menunjukkan bahwa semakin dekat dengan jaringan jalan atau setiap peningkatan satu faktor semakin dekat dengan jalan akan meningkatkan peluang perubahan hutan menjadi lahan terbuka sebesar 46,11%. Peta probabilitas perubahan penggunaan lahan terbuka disajikan pada Gambar 15. Pada gambar tersebut menunjukkan bahwa probabilitas lahan terbuka semakin tinggi pada area yang berwarna kecoklatan dekat dengan jaringan jalan, jarak dari sawit, dan pada area berelevasi lebih rendah.

Gambar 15 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka (1994-2004) Faktor jarak dari lahan sawit terdekat juga memiliki pengaruh terhadap pembukaan lahan, semakin dekat satu faktor jarak dari sawit maka akan meningkatkan peluang perubahan hutan menjadi lahan tebuka sebesar 48,82%. Faktor lainnya yaitu ketinggian tempat, peluang perubahan hutan menjadi lahan terbuka akan semakin sebesar 49,96% ketika ketinggian suatu tempat semakin

31 rendah. Faktor lainnya memiliki nilai positif yaitu faktor jarak dari sungai dan pemukiman maka peluang perubahan hutan menjadi lahan terbuka semakin besar jika semakin jauh dari sungai dan pemukiman. Begitu juga dengan kemiringan lahan, lahan terbuka semakin banyak ditemukan pada lereng yang lebih curam. Kasus perubahan hutan menjadi lahan terbuka akan semakin berubah pada lereng yang semakin curam merupakan kasus yang abnormal, namun jika kembali melihat kondisi dilapang dapat disaksikan bahwa kondisi topografi di Kabupaten Batanghari sebagian besar bergelombang dan berbukit. Perubahan tersebut lebih banyak terjadi pada kemiringan lahan berkisar antara 15-25%.

Akurasi Model Tahun 2014

Tiga persamaan model Y1, Y2, dan Y3 masing-masingnya memiliki nilai

ROC (Relative Operating Characteristic) sebesar 0,8806; 0,9610; dan 0,8376. Ketiga nilai ROC tersebut menunjukkan bahwa variabel independen fit terhadap variabel dependen, persamaan tersebut cukup baik paling kecil sebesar 0,8376. Berdasarkan Arsanjani et al. (2013), semakin nilai ROC mendekati 1 menunjukkan model tersebut fit sempurna.

Probabilitas perubahan penggunaan lahan antara tahun 2004 sampai 2014 dibangun dengan perubahan pada variabel dinamisnya yaitu X1 (jarak dari jalan), X2 (jarak dari sawit), dan X6 (jarak dari pemukiman). Variabel tersebut berfungsi sebagai input dalam model regresi logistik yang sudah dibangun, sehingga didapatkan peta probabilitas penggunaan lahan sawit, lahan terbangun, dan lahan terbuka untuk tahun 2014. Setiap peta probabilotas dengan rantang nilai cut off yang ada kemudian divalidasikan dengan tutupan lahan aktual tahun 2014.

A. Nilai akurasi model Y1

Gambar 16 menunjukkan probabilitas perubahan penggunaan lahan sawit, dengan nilai cut off sebesar 0,2649 memiliki overall accuracy sebesar 88,68% dibandingkan dengan kondisi aktual lahan sawit pada tahun 2014. Area yang berwarna biru tua (mendekati nilai 1) menunjukkan probabilitas penggunaan lahan sawit semakin tinggi.

B. Nilai akurasi model Y2

Gambar 17 menunjukkan probabilitas perubahan penggunaan lahan terbangun, dengan nilai cut off sebesar0,1352 memiliki overall accuracy sebesar 98,69% dibandingkan dengan kondisi aktual lahan terbangun pada tahun 2014. Area yang berwarna biru tua (mendekati nilai 1) menunjukkan probabilitas penggunaan lahan terbangun semakin tinggi.

C. Nilai akurasi model Y3

Gambar 18 menunjukkan probabilitas perubahan penggunaan lahan terbangun, dengan nilai cut off sebesar0.1353 memiliki overall accuracy sebesar 90,70% dibandingkan dengan kondisi aktual lahan terbuka pada tahun 2014. Area yang berwarna biru tua (mendekati nilai 0,703421) menunjukkan probabilitas penggunaan lahan terbuka semakin tinggi.

32

Gambar 16 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Sawit Tahun 2014

Gambar 17 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbangun Tahun 2014

33

Gambar 18 Peta Probabilitas Perubahan Penggunaan Lahan Terbuka Tahun 2014

Model Prediksi Tutupan Lahan 2024

Menurut Arsanjani et al. (2013) nilai ROC merupakan tool yang sesuai untuk mengidentifikasi variabel prediktor. Disisi lain dengan probabilitas perubahan lahan dapat digunakan untuk mengasumsikan sebuah model prediksi. Transisi matriks yang dihasilkan antara dua tutupan lahan sebelumnya (Markov Chain) dipilih untuk mengkuantifikasi perubahan tutupan lahan periode berikutnya dalam selang waktu yang sama. Kombinasi antara keduanya menghasilkan model prediksi spasial tutupan lahan tahun 2024 (Gambar 19).

Simulasi prediksi perubahan tutupan lahan ini menggunakan LCM (Land Change Modeller) yang merupakan tool pemodelan di dalam IDRISI Selva. Simulasi dilakukan dengan menggunakan kombinasi antara regresi logsitik dan matriks probabilitas Markov (Lampiran 5). Hasil prediksi tutupan lahan tahun 2024 ini dengan asumsi lahan terbangun sebagai constraint atau tidak diizinkan untuk berubah saat proses markov dengan alasan bahwa lahan terbangun memiliki sifat

irreversible atau tidak mungkin berubah menjadi lahan lainnya. Berdasarkan hasil analisis prediksi perubahan tutupan lahan tahun 2024 (Tabel 16), luas perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi 137023.02 hektar. Apabila dibandingkan dengan tahun 2014 (121001.67 ha) terjadi peningkatan sebesar 16021,35 hektar atau 13,24%.

34

35 Tabel 16. Luas Tutupan Lahan Kabupaten Batanghari Tahun 2024

Tutupan Lahan Luas (ha)

2014 2024 Lahan Terbuka 69984,45 69977,79 Badan Air 8144,55 8143,83 Hutan 130511,34 114476,22 Kebun Campuran 179442 179432,19 Sawit 121001,67 137023,02 Lahan Terbangun 15517,89 15517,44 Semak 1211.4 1211,4

Tidak Terdefinisi (Awan) 2120,67 2159,91

Karet 26204,76 26196,93

Total 554138,73 554138,73

Tren Perubahan Tutupan Lahan 2024

Tren perkembangan lahan sawit terkonsentrasi di Kecamatan Pemayung, Mersam, Marosebo Ilir, dan Tembesi (Gambar 20). Warna merah menunjukkan tingginya tren perubahan hutan menjadi sawit, sedangkan warna biru menunjukkan rendahnya perubahan hutan menjadi lahan sawit. Berdasarkan tren tersebut maka hal ini akan mengancam beberapa hutan yang tersisa pada wilayah tren yang terkonsentrasi. Tren perubahan tersebut akan menyebar memanjang hingga ke arah selatan dan melebar ke arah barat daya.

Gambar 20 Tren Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2024

Pada tahun 2024 tutupan lahan sawit akan semakin menyebar dan mengancam keberadaan hutan yang tersisa di Kecamatan Pemayung: Desa Kuap dan Desa Lubuk Ruso, Kecamatan Mersam: Desa Sengkati Baru dan Desa Pematang Gadung, Kecamatan Bajubang: Desa Bungku, Kecamatan Marosebo Ulu: Desa Peninjauan dan Desa Batu Sawar, dan Kecamatan Bathin XXIV: Desa

36

Olak Besar dan Desa Jelutih (Gambar 21). Pada daerah tersebut sebaiknya menjadi perhatian khusus sebagai upaya untuk mencegah hilangnya kawasan hutan akibat kegiatan monokultur perkebunan kelapa sawit. Terutama pada kawasan lindung dan konservasi seperti di Taman Nasional Bukit Dua Belas dan Tahura terlihat penurunan luas hutan yang sangat besar di dalamnya.

Gambar 21 Peta Proyeksi Lahan Terkonversi Sawit 2024

Diversitas dan Fragmentasi Lahan

Shannon’s Diversity Index merepresentasikan nilai diversitas kelas tutupan lahan. Gambar 22 menunjukkan indeks pada setiap titik tahun pengamatan menghasilkan perubahan variasi nilai indeks, pada tahun 1988 indeks diversitas sebesar 1,31. Berbeda pada tahun 1994 indeks diversitas mengalami kenaikan sebesar 1,95. Perubahan cukup tinggi ini terjadi karena antara tahun 1988 dan 1994 terjadi perubahan besar suatu kelas tutupan lahan menjadi kelas tutupan lahan lainnya, terutama kelas tutupan hutan dan kebun campuran. Pada tahun 2004 dan 2014 indeks diversitas sebesar 1,83 dan 1,78. Nilai SDI tersebut menunjukkan masih tingginya tingkat diversitas akibat masih banyaknya upaya konversi lahan.

Gambar 22 Perubahan Nilai SDI

Hasil analisis jumlah patch kelas tutupan hutan dalam plot sample semakin meningkat tajam dari periode 1988 sampai 2004, kemudian menurun kembali

1.31 1.95 1.83 1.78 1.78 0 1 2 3 1988 1994 2004 2014 2024

37 hingga 2014 dan 2024 (Gambar 23). Pada tahun 1988 jumlah patch kelas tutupan hutan sebanyak 854 dan ditemukan diseluruh sample plot. Pada tahun 1994 jumlah

patch tersebut meningkat menjadi 1012, dan di tahun 2004 meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi 2041 patch – jumlah tersebut ditemukan di seluruh plot sample. Berdasarkan Liu et al. (2009) jumlah patch yang semakin meningkat mengindikasikan terjadinya fragmentasi.

Pada tahun 2014 dan 2024, jumlah patch kelas tutupan hutan semakin menurun dan tidak ditemukan di semua sample plot. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode 2014 dan prediksi di tahun 2024 kelas tutupan hutan semakin menghilang. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah patch yang terus menurun dan luas

patch yang semakin kecil. Menurut Tapia-Armijos et al. (2015) hubungan antara semakin meningkatnya jumlah pacth dan semakin menurunnya ukuran setiap pacth

maka proses fragmentasi sedang terjadi. Proses fragmentasi tersebut terjadi saat periode 1988 sampai 2004, sedangkan pada periode 2004 sampai 2024 proses yang terjadi adalah hilangnya kelas tutupan hutan di beberapa wilayah yaitu Kecamatan Mersam, Kecamatan Tembesi, dan Kecamatan Marosebo Ulu.

Gambar 23 Jumlah Patch Kelas Tutupan Hutan Dalam Sample Plot SDI

Pada tahun 1988 sampai 2024 terjadi tren perubahan nilai LPI yang mana antara 1988 sampai 2004 terjadi penuruan dengan nilai rata-rata secara berturut- turut sebesar 73,39; 61,54; dan 50,51 (Tabel 17). Tingkat dominansi kelas tutupan hutan pada fase tersebut mengalami penurunan, hal ini menunjukkan terus terjadinya fragmentasi lahan akibat perubahan tutupan lahan. Kemudian pada fase berikutnya yaitu pada tahun 2014 dan 2024 LPI meningkat kembali dengan nilai 52,55 dan 53,55. Pada periode tersebut peningkatan nilai LPI karena semakin meningkatnya heterogenitas tutupan lahan di Kabupaten Batanghari. Menurut Daye dan John (2015) bahwa bukti meningkatnya fragmentasi lanskap adalah dengan berkurangnya nilai rata-rata ukuran patch yang mendominasi suatu wilayah atau lanskap tersebut.

Tabel 17. Nilai Perubahan LPI

Kecamatan Nilai LPI

1988 1994 2004 2014 2024 Mersam 80,63580 60,00864 57,21836 49,61543 48,02407 Muara Bulian 57,91667 40,77546 34,89352 47,70679 47,65226 Pemayung 81,38529 69,23071 75,29630 59,01183 60,05195 Bathin XXIV 67,20679 64,28009 45,31250 53,52881 52,82305 Bajubang 83,58025 54,75412 54,68827 55,26852 59,03395 Tembesi 60,44239 56,75309 36,05761 31,42078 35,36626

Maro Sebo Ilir 61,75103 61,74691 40,63889 63,24177 64,49794

Marosebo Ulu 94,23148 84,77469 59,99630 60,67515 60,96065 Min 57,91 40,77 34,89 31,42 35,36 Max 94,23 84,77 75,26 63,24 64,49 Rata-rata 73,39 61,54 50,51 52,55 53,55 854 1012 2041 527 343 0 1000 2000 3000 1988 1994 2004 2014 2024

38

Largest Patch Index (LPI) mengilustrasikan tingkat fragmentasi dan dominansi kelas tutupan lahan (Zhou dan Yi 2011). Nilai LPI semakin tinggi maka tingkat fragmentasi tutupan lahan semakin rendah dan masih didominasi oleh suatu kelas tutupan lahan tertentu. Tutupan lahan semakin terfragmentasi dari tahun 1988 sampai 2014, hal ini terjadi hampir di seluruh kecamatan (Gambar 24). Fragmentasi terbesar biasanya terjadi dekat dengan jaringan jalan, sungai dan pusat-pusat perkampungan atau pemukiman. Sama halnya dengan Tapia-Armijos et al. (2015) bahwa tingkat fragmentasi peluangnya akan lebih besar apabila lebih dekat dengan jalan dan sungai. Berdasarkan nilai delta atau selisih terbesar dari nilai LPI antara tahun 1988 dan 2024, maka laju fragmentasi lahan yang paling tinggi terjadi di Kecamatan Mersam, Marosebo Ulu, dan Tembesi. Pada Gambar 18 menunjukkan bahwa LPI pada tiga kecamatan tersebut selisihnya paling besar dilihat dari tren perubahan LPI tahun 1988 sampai 2024.

Gambar 24 Tren perubahan LPI per Kecamatan

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perubahan tutupan lahan di Kabupaten Batanghari terjadi secara signifikan, terutama dengan meningkatnya lahan sawit mencapai 120.676,59 ha di tahun 2014. Perubahan lahan yang terjadi pada periode tersebut dipengaruhi enam faktor meliputi jarak dari jalan, jarak dari sawit, kemiringan lahan, jarak dari sungai, ketinggian tempat, dan jarak dari pemukiman. Peluang terjadinya perubahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit semakin tinggi pada elevasi yang rendah, semakin dekat dengan jaringan jalan, dan semakin dekat dengan perkebunan sawit terdekat. Perubahan hutan menjadi sawit juga di dorong oleh perubahan hutan menjadi lahan terbuka. Asosiasi munculnya perkebunan kelapa sawit setelah pembukaan lahan, yang mana peluang terjadinya pembukaan lahan tersebut akan semakin tinggi ketika semakin dekat dengan jalan, semakin dekat dengan perkebunan sawit terdekat, semakin dekat dengan jarak pemukiman, dan terjadi pada elevasi yang rendah.

Model prediksi perubahan tutupan lahan di tahun 2024 telah berhasil dibangun dengan kombinasi persamaan regresi logistik dan matriks transisi Markov. Prediksi luas hutan yang tersisa di tahun 2024 seluas 114.476,22 ha. Kemudian,

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1988 1994 2004 2014 2024 Mersam Muara Bulian Pemayung Bathin XXIV Bajubang Tembesi Maro Sebo Ilir Maro Sebo Ulu

39 perubahan tutupan lahan yang terjadi dalam periode 1988 sampai 2014 mengakibatkan nilai SDI terus terjadi peningkatan dan LPI yang menurun, sehingga tingkat fragmentasi semakin tinggi. Kemudian pada tahun 2024 diproyeksikan bahwa Kabupaten Batanghari akan semakin terfragmentasi. Tingkat fragmentasi tertinggi terjadi di Kecamatan Mersam, Marosebo Ulu, dan Tembesi.

Saran

Model prediksi tutupan lahan sebaiknya menggunakan kombinasi antara markov dan regresi logistik, hal ini untuk mengatasi kelemahan markov yang mengasumsikan laju perubahannya sama tiap satuan waktu. Upaya mitigasi penurunan diversitas akibat perubahan lahan yang paling utama untuk kasus di Kabupaten Batanghari adalah menekan pertumbuhan ekspansi lahan sawit khususnya di Kecamatan Pemayung (Desa Kuap dan Lubuk Ruso), Kecamatan Mersam (Desa Sengkati Baru dan Pematang Gadung), Kecamatan Bajubang (Desa Bungku), Kecamatan Marosebo Ulu (Desa Peninjauan dan Batu Sawar), dan Kecamatan Bathin XXIV (Desa Olak Besar dan Jelutih).

Dokumen terkait