• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hypoxic-Ischemic Encephalopathy

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 144-147)

Lily Rundjan

Tujuan:

1. Mengetahui prinsip-prinsip cooling pada hypoxic-ischemic encephalopathy

2. Mengetahui keuntungan dan kerugian cooling terapi

3. Menjelaskan pelaksanaan cooling pada daerah dengan sarana terbatas

Hypoxic-ischemic encephalopathy (HIE) sebagai akibat sekunder dari asfiksia perinatal masih menjadi penyebab utama kematian post-natal dan defisit neurulogis pada neonatus. Asfiksia perinatal masih menjadi masalah terutama di negara berkembang. HIE ditandai dengan gangguan kesadaran, kelainan tonus otot, aktivitas, dan refleks primitif, serta kesulitan dalam memulai dan/ atau mempertahankan usaha napas saat kelahiran. Keadaan yang lebih berat dapat disertai dengan kejang.1 Pada negara maju, asfiksia perinatal mempengaruhi 3 - 5 per 1000 kelahiran hidup dengan risiko mengalami HIE derajat sedang atau berat pada 0,5 - 1 per 1000 kelahiran hidup.2 Selain kematian, HIE akibat asfiksia intrapartum juga dapat menyebabkan kelainan neurologis jangka panjang. Kematian terjadi pada 10-60% bayi, sedangkan sedikitnya 25% bayi yang bertahan hidup akan mengalami sequelae neurodevelopmental.3

Patoisiologi

HIE terjadi dalam dua fase setelah cedera hipoksik-iskemik global yaitu pada saat hipoksia iskemia terjadi (fase kegagalan energi primer) dan kematian sel awitan lambat (fase kegagalan energi sekunder). Fase primer terjadi karena berkurangnya aliran darah otak.4 Penurunan aliran darah otak ini menyebabkan penurunan oksigen dan glukosa, sehingga terjadi penurunan produksi energi (adenosin trifosfat/ATP) dan peningkatan produksi laktat.5 Kadar ATP yang rendah menyebabkan kegagalan dari banyak mekanisme pemeliharaan sel, khususnya pompa natrium / kalium (Na/K) dan mekanisme untuk mempertahankan kadar kalsium intraseluler tetap rendah.6 Kegagalan

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIV

mekanisme pompa Na / K menyebabkan masuknya ion natrium bermuatan positif secara berlebihan dan memicu depolarisasi neuron. Hal ini menyebabkan penglepasan glutamat, sebuah neurotransmitter utama eksitasi.4,7 Glutamat berikatan dengan reseptor glutamat, yang memungkinkan masuknya kalsium dan natrium ke intraseluler.7 Peningkatan signifikan kalsium intraseluler memiliki efek yang merugikan yaitu menyebabkan edema serebral, iskemia, kerusakan mikrovaskuler yang berakibat nekrosis, dan / atau apoptosis.4 Kedua jenis kematian sel ini terjadi baik pada fase kegagalan energi primer atau sekunder. Sebagian besar efek kegagalan energi primer berakibat pada terjadinya nekrosis selular melalui gangguan integritas sel dan gangguan sitoskeleton dan membran sel.6 Baik proses nekrosis dan apoptosis dapat menyebabkan penurunan fungsi otak.

Kegagalan energi sekunder terjadi 6-48 jam setelah cedera.4,5 Mekanisme yang terjadi pada fase ini adalah stres oksidatif, akumulasi eksitotoksin, dan inflamasi.4 Fase sekunder ini berkaitan dengan ensefalopati dan peningkatan aktivitas kejang serta memiliki pengaruh yang signifikan dalam kematian sel tahap akhir setelah cedera yang sangat berat. Di antara kedua fase tersebut terdapat suatu periode singkat perbaikan aliran darah. Fase perbaikan singkat ini dikenal sebagai periode laten dengan metabolisme otak yang berlangsung normal. Periode laten bervariasi tergantung pada tingkat keparahan hipoksia- iskemik. Pada cedera yang parah, periode laten berlangsung semakin singkat. Periode laten merupakan waktu yang optimal untuk melakukan terapi intervensi dan mencegah proses berlanjut menjadi fase kegagalan energi sekunder.5 Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hipotermia terapeutik, dengan metode whole body cooling (WBC) 2-5 atau selective head cooling (SHC),6- 8 yang dimulai dalam 6 jam pertama kelahiran meningkatkan luaran jangka pendek neonatus dengan HIE derajat sedang-berat, usia gestasional mulai dari 36 minggu. Intervensi yang dilakukan selama periode laten ini dapat menghentikan perluasan cedera.1,4,5 Semakin lama intervensi dilakukan, semakin luas cedera yang terjadi. Suatu studi memperlihatkan kerusakan neuron parasagital mencapai 60% setelah 51/

2 jam (Gambar 1).

6 Gambaran kematian neuronal bifasik terlihat dalam pemeriksaan magnetic resonance spectroscopy pada bayi-bayi cukup bulan yang terbukti mengalami hipoksia intrapartum dan ensefalopati derajat sedang hingga berat. Hal ini menunjukkan adanya metabolisme oksidatif serebral normal segera setelah lahir diikuti

maupun sekunder. Sejumlah mekanisme diperkirakan berkaitan dengan sifat neuroprotektif hipotermia. Sel-sel yang terprogram mengalami apoptosis akan mengalami modifikasi dan dapat bertahan hidup. Berbeda dengan apoptosis, jumlah sel nekrotik tidak mengalami penurunan.11-14 Hipotermia juga melindungi neuron dengan menurunkan kecepatan metabolik serebral, mengurangi penglepasan asam amino eksitatorik (glutamat, dopamin), memperbaiki ambilan glutamat yang terganggu oleh iskemia, serta menurunkan produksi NO dan radikal bebas. Efek hipotermia paling baik jika dilakukan segera setelah cedera hipoksia-iskemia.Setelah 6 jam proses apoptosis telah terjadi dan bersifat ireversibel.15

Hipotermia terapeutik bertujuan untuk menurunkan suhu otak dalam, ganglia basalis, hingga mencapai 32-34oC. Untuk mencapai suhu otak tersebut dibutuhkan penurunan suhu pusat tubuh hingga di bawah 35oC.16,17 Beberapa penelitian pada hewan memperlihatkan bahwa penurunan suhu otak sebesar 2-3oC segera setelah cedera hipoksik-iskemik akan mengurangi penggunaan energi dan/atau kehilangan neuron secara histologis. Manfaat hipotermia (<28oC) terhadap proteksi neuron terlihat pada keadaan henti jantung selama pembedahan jantung dan saraf dalam beberapa dekade terakhir ini. Meskipun bermanfaat, hipotermia juga dapat menimbulkan efek yang merugikan berupa peningkatan risiko sepsis, disfungsi miokardial perioperatif, dan mortalitas. Hipotermia ringan (32-34oC) tampaknya dapat ditoleransi dalam beberapa penelitian pada hewan dan orang dewasa. Efek merugikan yang terjadi, seperti sinus bradikardia, peningkatan tekanan darah, serta peningkatan kebutuhan oksigen, bersifat sementara dan reversibel dengan penghangatan.18-20

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIV

Data yang tersedia saat ini memperlihatkan bahwa hipotermia terapeutik mengurangi kematian dan disabilitas pada bayi dengan usia gestasi 36 minggu atau lebih yang mengalami ensefalopati akibat hipoksia-iskemia. Suatu studi meta-analisis Cochrane terhadap 8 buah studi acak terkontrol, yang melibatkan 638 bayi cukup bulan dengan ensefalopati sedang atau berat dan bukti asfiksia intrapartum, menyatakan bahwa hipotermia terapeutik bermanfaat bagi bayi cukup bulan dengan HIE. Terapi cooling mengurangi mortalitas tanpa meningkatkan disabilitas mayor pada bayi yang bertahan hidup. Dengan demikian manfaat cooling dalam kesintasan dan neurodevelopmental melebihi efek merugikan jangka pendek.21 Walaupun demikian, 40-50% bayi yang mendapat terapi hipotermia tetap mengalami kematian dan disabilitas. Hal ini menimbulkan kebutuhan perbaikan dalam terapi.

Beberapa aspek terapi cooling masih menimbulkan kontroversi dalam penerapannya. Aspek tersebut meliputi saat untuk memulai terapi cooling, metode terapi cooling yang sebaiknya digunakan, dan durasi cooling yang dibutuhkan.

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 144-147)