• Tidak ada hasil yang ditemukan

Substrat untuk produksi energ

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 129-132)

Glukosa adalah bahan bakar utama metabolisme energi, tetapi glikogen yang merupakan cadangan glukosa selama puasa relatif terbatas pada anak. Untuk mempertahankan pasokan substrat untuk menghasilkan energi dan melindungi pasokan glukosa ke otak diperlukan mobilisasi bahan bakar alternatif termasuk asam lemak bebas, keton, dan prekursor glukoneogenik. Dalam keadaan puasa, saat kadar glukosa perlahan turun terjadi penurunan rasio insulin:glukagon dengan mobilisasi asam lemak bebas dari jaringan lemak cadangan. Asam lemak bebas dapat digunakan oleh banyak jaringan misalnya jantung dan otot rangka, namun tidak dapat mencapai otak. Di hati, asam lemak bebas sebagian dioksidasi menjadi keton yang larut dalam air dan dapat menembus sistem saraf pusat. Alanin dan asam amino lain hasil katabolisme otot dan gliserol hasil lipolisis adalah substrat untuk glukoneogenesis. Tujuan regimen darurat adalah mencegah perubahan yang terjadi akibat puasa, dengan mengurangi katabolisme protein serta akumulasi metabolit yang berpotensi toksik. Dengan memberikan pasokan glukosa yang cukup, mobilisasi bahan bakar alternatif dapat dikurangi (Gambar 3).

Aspek praktis dari regimen darurat

Tabel 1. Regimen darurat (dikutip dari Dixon and Leonard, Arch Dis Child. 67;1992) Umur (tahun) Konsentrasi glukosa polimer Volume harian Frekuensi

% Kkal/100 mL

0-1 10 40 150-200 mL/kg Dimulai dengan frekuensi

setiap 2 jam, malam dan siang

1-2 15 60 95 mL/kg

2-6 20 80 1200-1500 mL

6-10 20 80 1500-2000 mL

>10 25 100 2000 mL

Sumber: Dixon MA, Leonard JV. Intercurrent illness in inborn errors of intermediary metabolism. Arch Dis Child. 1992;67:1387-91.

Prinsip regimen darurat umumnya sama untuk semua kelainan. Larutan glukosa polimer diberikan sebagai sumber energi utama karena sederhana, enak, dan umumnya ditoleransi dengan baik. Emulsi lemak dapat menambah energi, tetapi kurang dapat ditoleransi. Lemak memperlambat pengosongan lambung dan kemungkinan menyebabkan muntah sehingga tidak digunakan secara rutin. Selain itu pemberian lemak juga merupakan kontraindikasi pada beberapa kelainan metabolisme bawaan, misalnya defek oksidasi asam lemak. Pada sebagian besar kondisi, pemberian makan dilakukan melalui mulut. Hal penting yang merupakan keunggulan pemberian oral adalah dapat dilakukan di rumah, dapat memberikan glukosa lebih banyak dibandingkan infus intravena perifer, dan dapat mengonsumsi obat. Hal ini penting karena tidak semua obat tersedia dalam bentuk sediaan intravena. Dengan alasan yang sama, jika pemberian oral tidak menungkinkan, pemberian melalui pipa nasogastrik baik secara bolus maupun kontinu harus dicoba sebelum memberikan terapi intravena. Konsentrasi dan volume cairan yang diberikan bergantung pada usia anak. Bayi menggunakan volume yang relatif lebih tinggi disertai konsentrasi yang relatif lebih rendah dibandingkan anak yang lebih besar. Insufisiensi cairan dikombinasikan dengan konsentrasi glukosa polimer yang tinggi dapat menyebabkan diare yang mengeksaserbasi penyakit dasarnya. Jika anak cenderung dehidrasi, dianjurkan memberikan cairan rehidrasi oral yang disuplementasi dengan glukosa polimer hingga konsentrasi yang dibutuhkan (catatan praktis: cairan rehidrasi oral tidak mengandung cukup glukosa).

Cairan diberikan secara oral dengan cara sering minum atau secara enteral melalui pipa nasogastrik, umumnya dengan interval 2 jam, sepanjang siang dan malam. Cara pemberian ini umumnya ditoleransi dengan baik. Hal penting yang harus diperhatikan adalah jangan membiarkan anak puasa tanpa minum lebih dari 4 jam pada malam hari. Ajarkan pada orangtua cara membuat cairan rehidrasi oral menggunakan sendok ukur yang tepat, cepat, dan mudah. Cairan rehidrasi oral juga dapat dibekukan dan dicairkan bila diperlukan di rumah

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXIV

atau di rumah sakit. Semua cairan glukosa polimer yang tersedia mengandung karbohidrat dengan konsentrasi 50% atau lebih, misalnya Fortical (Cow and Gate) dan Liquid Maxijul (Scientific Hospital Supply); sediaan-sediaan tersebut tidak cocok untuk rejimen darurat, kecuali bila diencerkan hingga kadar yang sesuai. Pemberian tanpa pengenceran mudah menginduksi muntah atau diare. Pada beberapa anak, gejala awal adalah menolak makan dan minum. Oleh sebab itu orangtua perlu dilatih untuk menggunakan pipa nasogastrik di rumah, sehingga mengurangi perlunya perawatan rumah sakit. Jika anak sering muntah, masih mungkin memberikan minuman per oral yang diteguk sedikit demi sedikit, misalnya 10 ml setiap 10 menit, atau menggunakan diberikan secara kontinu melalui pipa nasogastrik di rumah atau di rumah sakit. Namun demikian, jika muntah berlanjut dan anak tampak sakit berat pertimbangkan terapi intravena. Larutan glukosa pekat harus digunakan: dekstrose 10% untuk drip perifer atau dengan konsentrasi yang lebih tinggi melalui jalur sentral. Risiko hiperglikemia dapat dicegah dengan pemantauan berkala kadar gula darah.

Tahapan pemberian regimen darurat

1. Jika terdapat keraguan dalam menentukan apakah anak sakit atau hanya lelah pada keadaan letargi, iritabel, atau pucat, maka rejimen darurat dapat diberikan. Selanjutnya lakukan penilaian ulang dalam 1 sampai 4 jam, tergantung usia dan jenis KMB. Pada beberapa jenis KMB, pemantauan dapat lebih akurat jika menggunakan pemeriksaan laboratorium sederhana di rumah.

2. Jika pada evaluasi kondisi membaik, lanjutkan pemberian diet normal. 3. Jika pada evaluasi tidak terdapat perbaikan kondisi, harus segera diberikan

regimen darurat setiap 2 jam. Pada anak yang lebih besar terdapat fleksibilitas dalam frekuensi pemberian minum selama periode pemulihan. Saat sakit sebagian besar anak otomatis akan berhenti mengonsumsi diet normalnya, tetapi segera setelah pulih berikan kembali diet normal secara bertahap.

4. Anak yang menolak minum, sering muntah, atau mengalami ensefalopati harus dirawat inap untuk evaluasi lanjut. Orangtua harus dilatih mengenali tanda-tanda klinis perburukan, terutama tanda-tanda ensefalopati, yaitu

disease (GSD) dapat terkendali dengan hanya menggunakan volume kecil. Pasien dengan gastroenteritis jelas membutuhkan cairan lebih banyak daripada pasien infeksi saluran nafas akut (ISPA). Perlu diingat bahwa regimen darurat tidak dapat digunakan dalam jangka panjang karena tidak mengandung zat gizi yang lengkap, sehingga berisiko defisiensi. Tanda klinis awal defisiensi adalah ruam kulit (terutama ditempat plester melekat). Sebagian besar pasien dapat secara bertahap kembali ke makanan sehari-hari dalam beberapa hari. Jika diet normal mulai diberikan kembali, minuman tinggi karbohidrat dilanjutkan sampai tercapai volume diet normal. Pada bayi, glukosa polimer dapat ditambahkan pada susu formula. Pada pasien yang mengonsumsi diet rendah protein, asupan protein ditingkatkan bertahap setiap harinya dimulai dari seperempat, setengah, tiga perempat dari asupan normalnya, serta kembali ke protein normal pada hari ke empat. Apabila anak sakit, diskusikan tentang penggunaan regimen darurat dengan orangtua, sehingga orangtua mampu mengenali kapan dan berapa regimen darurat digunakan untuk memenuhi kebutuhan anaknya.

Dalam dokumen Departemen Ilmu Kesehatan Anak - FKUI (Halaman 129-132)