• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN ISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 PADA DOC

ABSTRAK

Anak ayam umur 1 hari atau DOC dicurigai sebagai sumber penyebaran virus Avian Influenza ke unggas lain melalui importasi dan transportasi dari Pulau Jawa ke Pulau-Pulau lain di Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi dan mengisolasi virus AI pada DOC yang dilalulintaskan dari daerah yang endemis ke daerah lain di Indonesia. Setiap DOC diuji titer antibodinya dengan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI). Kumpulan sampel organ trakea dan paru-paru serta kuning telur DOC diuji dengan Reverse Transcriptase-Polymerase Chains Reactions (RT-PCR) menggunakan primer matrik (FAI dan RAI) serta primer H5 (FH5 dan RH5) dari Lee et al. (2004). Hasil dari penelitian ini menunjukkan 44 sample (55%) kuning telur positif Influenza A dan dari sampel positif Influenza A tersebut 19 sampel (43.2%) menunjukkan positif virus AI subtipe H5 dan 25 sampel (56.8%) positif AI subtipe lainnya (Hx). Oleh karena kemungkinan virus AI dapat ditularkan melalui vertikal transmisi karena konsentrasi virus lebih banyak ditemukan pada kuning telur dibandingkan dengan di organ trakea maupun paru-paru DOC.

PENDAHULUAN

Wabah Avian Influenza (AI) telah mengakibatkan kehancuran bagi industri ternak unggas, apalagi bagi peternak individual. Bagi negara berkembang yang memerlukan unggas dan telur sebagai sumber utama protein, dampak wabah ini sangat besar terhadap keadaan gizi rakyat (Harder et al. 2006), selain itu secara nasional dapat mengganggu perekonomian, ketahanan pangan, dan keseimbangan ekologis (Naipospos 2006).

Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) merupakan penyakit zoonosis

asal unggas yang sangat fatal dan menular mengakibatkan gejala klinis pada saluran pernafasan, gastrointestinal dan syaraf. Hampir semua unggas yang sudah didomestikasi misalnya ayam, kalkun, burung puyuh, itik, angsa, bebek serta unggas liar sangat peka terhadap infeksi virus ini. Penyakit ini dapat ditularkan melalui sekresi hidung, mata, dan feses dari unggas terinfeksi yang masuk melalui mulut, mata dan hidung. Feses yang terkontaminasi virus AI dapat bertahan sampai waktu yang sangat lama terutama dalam keadaan sejuk dan lembab (CIDRAP 2004).

Wibawan (2006) mengatakan saat ini kondisi virus AI sudah berbentuk infeksi subklinik, yang berarti bahwa hewan terinfeksi virus AI namun tidak menunjukkan gejala klinis sakit. Oleh karena itu penyakit yang tidak terdeteksi dengan tepat akan menyebabkan meluasnya penyakit di lapangan. Penyebaran penyakit AI sampai saat ini diduga akibat perpindahan unggas dewasa. Telur yang telah terinfeksi secara vertikal dari induknya memiliki daya tetas rendah sehingga anak ayam umur satu hari (DOC) tidak lazim terinfeksi virus AI subtipe H5N1 saat menetas. Peran DOC sebagai media penyebar virus AI belum banyak diteliti dan diketahui oleh para ahli, sehingga perlu diteliti apakah virus AI dapat menyebar bersama perpindahan DOC karena infeksi subklinis. FAO (2008) menyebutkan bahwa DOC dapat tertular virus AI akibat terkontaminasi dari alat angkut.

Penegakan diagnostik AI dapat dilakukan berdasarkan isolasi dan karakterisasi virus. Isolasi virus sering dilakukan dengan menggunakan telur ayam berembrio (TAB), madin-darby canine kidney (MDCK) atau african green

monkey kidney vero cell line. Secara serologik virus AI dapat diidentifikasi dengan uji HI (hemagglutination inhibition), AGID (agar gel immunodiffusion) , ELISA (enzym linked immnunosorbent assay), imunohistokimia atau western blot. Untuk mengkonfirmasi adanya virus AI dilakukan dengan konvensional

Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), real time RT-PCR

atau sekuensing genetik (OIE 2005 dan Kraft et al. 2005). FAO (2004) menambahkan, screening test untuk virus AI secara cepat dapat menggunakan rapid direct antigen detection test.

Karakteristik AI subtipe H5N1 dapat dilakukan dengan mengamplifikasi cetakan DNA (DNA template) menggunakan RT-PCR atau sekuensing genetik. Uji ini dapat digunakan pada unggas yang sakit ataupun yang mati. PCR sebagai salah satu metode uji yang menggunakan teknologi biologi molekuler sangat penting artinya bagi perkembangan diagnosa penyakit hewan. Kemampuan yang dimiliki oleh teknologi PCR dalam memperbanyak DNA target yang dicari secara spesifik akan bermanfaat dan dapat diandalkan untuk diagnosa penyakit yang disebabkan oleh agen virus dan agen infeksius lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi virus AI pada DOC dengan RT-PCR serta melakukan isolasi virus tersebut.

METODE PENELITIAN

Sampel penelitian ini adalah DOC pedaging dan petelur yang berasal dari perusahaan pembibitan di daerah Jawa Barat dan Banten yang akan didistribusikan ke luar Pulau Jawa melalui Bandar Udara Soekarno Hatta dengan metode detect disease. Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan April sampai dengan September 2008 dengan jumlah sampel 240 ekor DOC.

Uji serologi dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)

Sebanyak 240 ekor DOC diambil darahnya untuk uji serologis. Darah diambil dari jantung menggunakan jarum suntik 1 ml (Terumo) kemudian dibiarkan beberapa saat pada suhu ruang sampai terbentuk serum. Uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dilakukan untuk mengukur titer antibodi terhadap virus AI menggunakan antigen AI H5N1 (BBalitvet) dan diamati adanya hambatan agglutinasi. Uji HI merupakan salah satu uji serologis berdasarkan atas

hambatan serum terhadap haemaglutinasi antigen virus AI. Titer serum ditentukan berdasarkan atas hambatan serum pada pengenceran tertinggi masih mampu menghambat antigen (4 HAU) mengaglutinasi sel darah merah.

Sebanyak 25 μl PBS dimasukkan ke dalam 96 lubang cawan mikro dengan dasar berbentuk V kemudian ditambah dengan serum yang akan diuji sebanyak 25 μl pada lubang pertama dan dilakukan pengenceran serial kelipatan 2 dari lubang pertama sampai lubang ke-11, sedangkan lubang ke-12 dipergunakan sebagai kontrol. Pada masing-masing lubang ditambahkan antigen virus AI H5N1 sebesar 4 HAU masing-masing 25 μl kecuali pada lubang ke-12 yang ditambah dengan PBS, selanjutnya cawan mikro dikocok sebentar dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu kamar. Pada seluruh lubang kemudian ditambah dengan 25 μl sel darah merah 1% dan diinkubasi lagi selama 30 menit. Setelah itu diamati terjadinya hambatan agglutinasi pada setiap lubang (OIE, 2005).

Pengambilan sampel organ dan kuning telur

Sebanyak 240 sampel DOC tersebut kemudian dinekropsi dan diambil organnya (trakea, paru-paru, usus, hati dan ginjal) serta kuning telur yang masih ada dalam tubuh DOC (Gambar 5) untuk diidentifikasi menggunakan RT-PCR. Koleksi sampel organ dilakukan dengan cara mengumpulkan 6 organ yang sama

(pooling) setiap peternakan, sedangkan sampel kuning telur dikoleksi dari setiap

individu DOC.

Gambar 5. Organ dan kuning telur DOC yang diperiksa menggunakan RT-PCR Kuning telur Trakea Usus Hati Ginjal Paru-paru

Ekstraksi RNA virus

Potongan organ (trakea, paru-paru, usus, hati dan ginjal) dan kuning telur diekstraksi menggunakan TRIZOLP

R

P

LS (Invitrogen). Sampel sebanyak 250 μl dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml dan ditambahkan 750 μl Trizol LS kemudian divortex serta inkubasikan selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya larutan ditambah dengan 250 μl kloroform, dicampur perlahan-lahan dan diinkubasi 10-15 menit pada suhu ruang. Setelah itu kemudian larutan disentrifus 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4P

o

P

C. Supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru kemudian ditambahkan 500 μl isoprophil alkohol (isopropanol), dicampur perlahan-lahan kemudian diinkubasikan pada suhu kamar selama 10 menit. Setelah itu larutan disentrifus 12.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4P

o

P

C, kemudian supernatan dibuang dan pelet RNA dikoleksi. Endapan dicuci dengan menggunakan ethanol 75% dalam DEPC (dingin) kemudian divortek dan disentrifus 12.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4P

o

P

C, supernatan dibuang dan pelet dikeringkan selama kurang lebih 15 menit di udara terbuka. Pada pelet yang telah kering, ditambahkan 10 μl RNAse free water kemudian disimpan pada suhu –20P

ο

P

C sebelum digunakan untuk amplifikasi PCR.

Ekstraksi kuning telur sebelumnya diberi perlakuan dengan menambahkan satu bagian kuning telur dengan satu bagian PBS, selanjutnya campuran divortek, kemudian ditambahkan dengan dua bagian kloroform (Beck et al. 2003; Selleck 2005). Campuran ini diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit selanjutnya disentrifus 3000 rpm selama 15 menit. Cairan yang berwarna putih jernih yang terdapat pada lapisan atas digunakan untuk ekstraksi RNA.

Ekstraksi sampel organ sebelumnya diberi perlakuan dengan menggerus setiap sampel organ (kumpulan dari 6 ekor DOC) dan diencerkan 1/100 PBS yang telah ditambah dengan antibiotika penisilin dan streptomisin sebanyak 100 IU, sentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan digunakan untuk ekstraksi RNA (WHO 2002).

Identifikasi virus AI subtipe H5N1 dengan RT-PCR Reaksi RT-PCR menggunakan Super ScriptP

TM

P

III One-Step RT-PCR sistem dengan Platinum P

R

P Taq DNA Polymerase (Invitrogen, Cat. No. 12574-026).

Primer yang digunakan ada tiga macam yaitu primer gen matrik, primer H5 dan primer N1 (Tabel 2).

Tabel 2. Primer untuk mengamplifikasi virus AI H5N1 pada DOC

Primer Sekuen basa Fragmen Gen Produk 1P

a

P FAI: 5’GCA CTT GAT ATT GTG GAT TCT TGA TC’3 M 55bp

RAI: 5’AGT AGA AAC AAG GTA GTT TTT TAC TCC’3 2P

a

P FH5: 5’ACA CAT GCY CAR GAC ATA CY’3 H5 55bp

RH5: 5’CTY TGR TTY AGT GTT GAT GT’3 3P

b

P N1F: 5’TTG CTT GGT C(A/G)G CAA GTG C’3 N1 120bp

N1R: 5’TGA T(A/G)G TGT CTG TTA TTA TGC’3 4P

c

P CuN1F: 5’GTT TGA GTC TGT TGC TTGaGTC’3 N1 131bp

CuN1R: 5’TGA TAG TGT TCT GTT`ATT ATG CC’3 P a P Lee et al.(2004), P b P Lee et al. (2004), P c P Payungporn (2004)

Setiap sampel mengandung 25 μl reaction PCR mix , 1 μl Platinum Taq, 2

μl Primer forward, 2 μl Primer reverse dan 10 μl ddHB2BO. Campuran tersebut

divortek kemudian dimasukkan ke dalam mesin PCR yang telah diprogram : cDNA synthesis : 48P

o

P

C selama 30 menit, Denaturasi : 95P

o P C selama 10 menit, Amplifikasi : 95P o P C selama 15 detik, 60P o P C selama 1 menit, 72P o P C selama 1 menit, diulangi sebanyak 40 siklus. Final extention pada suhu 72P

o

P

C selama 4 menit dan didiamkan pada suhu 4P

o

P

C. (overnight).

Elektroforesis Produk Amplifikasi

Agar 2% (Invitrogen) dituangkan ke dalam dish mupid kemudian didiamkan pada suhu kamar selama 15 menit. Sambil menunggu agar membeku, sebanyak 250 ml TBE buffer 1x dituangkan ke dalam mupid electrophoresis. Setelah agar beku, diletakkan di dalam mupid electrophoresis dengan aliran listrik dari negatif

mengalir ke positif. Selanjutnya 1 μl loading dye (Sigma) dan 6 μl produk amplifikasi PCR dicampur dan dimasukkan ke dalam lubang gel.

Produk amplifikasi kemudian dielektroforesis menggunakan mupid electrophoresis dengan 100 Volt selama 35 menit. Band/fragmen yang teramplifikasi dibaca dengan UV illuminator viewer.

Isolasi virus AI asal DOC

Sampel positif pada pengujian RT-PCR dengan primer matrik diinokulasikan pada ruang alantois Telur Ayam Berembrio (TAB) umur 10 hari dari ayam Specific Pathogen Free (SPF) selama 1-7 hari. Suspensi sampel ditambah antibiotik penisilin 4000 IU/ml dan streptomisin 4000 µl/ml, kemudian diinokulasikan ke ruang alantois TAB-SPF sebanyak 0,1 ml (OIE 2005). Setiap hari dilakukan pengecekan dengan lampuuntuk mengetahui apakah embrio masih hidup atau sudah mati dan selanjutnya dilakukan panen cairan alantois dan didentifikasi dengan RT-PCR.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebanyak 240 sampel organ trakea dan paru-paru serta kuning telur DOC diuji dengan metode RT-PCR. Sampel DOC tersebut berasal dari Kabupaten Subang, Tanggerang, Cianjur, Bogor dan Sukabumi yang dikirim ke luar Pulau Jawa melalui Bandar Udara Soekarno Hatta.

Uji Serologis untuk mengetahui titer antibodi virus AI subtipe H5N1

Sebanyak 240 sampel serum darah DOC diperiksa dan diperoleh titer antibodi terhadap virus AI H5N1 dengan uji HI (log 2). Uji HI merupakan uji spesifik pada hemaglutinin subtipe virus AI (H1-H16) dan berlandaskan pada aktivitas hemagglutinin yang dimiliki oleh virus AI (Indriani & Dharmayanti 2006). Menurut OIE (2002) dan Suwarno et al. (2006), uji HI memiliki sensitifitas yang tinggi karena dapat mendeteksi antigen hemaglutinin (HA) virus AI subtipe H5 secara spesifik.Titer antibodi yang diperoleh bervariasi antara titer 0 sampai 10 (log 2) seperti yang terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Titer antibodi terhadap virus AI H5N1

Titer antibodi terhadap virus AI H5N1 dengan uji HI (log 2) Jenis unggas Jumlah

sampel

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 DOC petelur 84 ekor 6 9 15 11 12 12 10 7 2 - - DOC pedaging 156 ekor 22 19 23 29 16 22 14 8 - 2 1 Total 240 ekor 28 28 38 40 28 34 24 15 2 2 1

Pada Tabel 3 terlihat bahwa titer antibodi 2P

3

P

(8) paling banyak terdapat pada DOC yaitu 40 ekor, sedangkan titer dibawah 2P

3

P

(8) sebanyak 94 ekor. Kumar et al. (2007) mengatakan bahwa ayam dengan titer antibodi lebih rendah dari 10 atau 2P

3

P

maupun negatif tidak mampu melindungi ayam dari infeksi virus AI, tetapi dapat mencegah shedding virus, sedangkan titer yang lebih tinggi dari 40 akan menyebabkan kematian dan shedding virus.

Antibodi yang terdapat pada DOC merupakan antibodi asal induk. Anak ayam memperoleh antibodi IgG dari kuning telur, imunoglobulin ini diturunkan dari induk selama telur masih dalam ovarium (Tizard, 2009). Vaksinasi pada unggas diharapkan dapat meningkatkan kekebalan antibodi pada unggas terhadap paparan virus dan mengurangi tingkat shedding virus sehingga mencegah kasus penyakit (Capua dan Maragon, 2007). Cumming (1988) mengatakan bahwa deteksi antibodi dapat juga menggunakan sampel kuning telur, karena kuning telur merupakan sumber antibodi yang diturunkan oleh induk yang pernah terinfeksi agen penyakit atau induk mendapat program vaksinasi tertentu. Kandungan antibodi yang diturunkan oleh induk dalam kuning telur titernya lebih rendah dari kandungan titer antibodi yang dari serum induk. Beck et al. (2003) menyatakan bahwa antibodi AI dapat dideteksi lebih awal ayam yang terinfeksi virus hidup daripada ayam yang divaksinasi dengan AI adjuvan. Selain itu potensi nyata dari vaksin belum teruji, menimbulkan kegagalan dalam pencegahan shedding dan transmisi virus, kegagalan kecocokan pada profil antigen karena varian virus, biaya tinggi dan kegagalan dalam mengukur potensi dan efikasi virus (Murphy et al. 2001).

Capua dan Maragon (2007) menyebutkan adanya infeksi AI pada DOC dapat diketahui dengan mendeteksi anti-NS1 antibodi. Protein NS1 disintesis hanya selama virus melakukan replikasi virus, dan tidak signifikan ada dalam vaksin inaktif. Unggas yang telah divaksin, muncul antibodi NS1 hanya setelah

adanya infeksi lapang. Keberlangsungan perdagangan yang mempersyaratkan vaksinasi, negara pengekspor hendaknya mampu melakukan surveilans dan menyediakan data lain untuk mengkonfirmasikan bahwa notifiable Avian

Influenza (NAI) tidak ada dalam kompartemen dimana komoditas ekspor berasal

(OIE 2005). Persyaratan seperti ini pada kenyataannya tidak dapat diterapkan di Indonesia untuk perdagangan antar area, khususnya DOC dari pulau Jawa yang endemik AI, sehingga peternakan pembibitan dan karantina yang harus melakukan monitoring keberadaan NAI pada DOC yang dilalulintaskan.

Identifikasi virus AI subtipe H5N1 dengan RT-PCR

Sebanyak 40 kumpulan (pooling) sampel organ DOC dari 240 sampel, diperiksa dengan menggunakan RT-PCR (Tabel 4). T

Tabel 4 . Hasil uji PCR pada kumpulan sampel organ DOC

Hasil pemeriksaan sampel organ tersebut hanya 3 sampel yang positif matriks (Influenza A) tetapi negatif H5, hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh pengambilan sampel dilakukan secara pooling (6 ekor dalam satu tabung) sehingga jumlah DNA virus yang ada kurang dari 0,01-0,1 µg sehingga tidak dapat diamplifikasi menggunakan RT-PCR. Keberhasilan PCR ditentukan oleh komposisi dan konsentrasi primer, Taq DNA polimerase, deoksinukleotida trifosfat (dNTP) serta ion MgP

2+

P

. Selain itu kontaminasi fragmen DNA dalam jumlah sangat sedikit sekalipun dapat menyebabkan terjadinya kesalahan yaitu

Farm Jumlah sampel Positif matriks Positif H5 Negatif

A 2 0 0 2 B 2 0 0 2 C 5 0 0 5 D 1 0 0 1 E 6 1 0 5 F 7 1 0 6 G 2 0 0 2 H 7 1 0 6 I 1 0 0 1 J 1 0 0 1 K 5 0 0 5 L 1 0 0 1 Jumlah 40 3 0 37

dengan didapatkannya produk amplifikasi yang tidak diinginkan atau bahkan tidak spesifik. Konsentrasi DNA sebesar 0,01-0,1 µg setiap µl larutan template sudah cukup baik untuk PCR namun yang paling penting adalah DNA harus bebas dari pengotor seperti protein atau bahan-bahan yang tersisa saat purifikasi seperti fenol atau alkohol (Wuryastuti 1996; Yuwono 2006) .

Sebanyak 80 sampel kuning telur yang masih ada pada tubuh DOC yang telah diekstraksi kemudian diamplifikasi dan diperoleh hasil positif Influenza A sebanyak 44 sampel (55%), dan 36 sampel (45%) adalah negatif (Tabel 5 dan Gambar 6). Dari 44 sampel positif matriks kemudian diuji dengan primer H5 dan diperoleh hasil positif 19 sampel dan 25 sampel positif Hx (Gambar 7). Sampel yang positif primer matrik tetapi negatif primer H5, menunjukkan adanya virus Influenza A subtipe lain (Hx) dalam tubuh DOC atau kemungkinan adanya perbedaan susunan antigenik pada primer yang digunakan untuk identifikasi virus tersebut. Hasil penelitian Susanti (2008) pada isolat unggas air di Kabupaten Bogor dan Sukabumi juga ditemukan virus AI subtipe lain (H5Nx, HxN1 dan HxNx). Influenza A yang virulen dan menimbulkan gejala klinis pada ayam dan kalkun hanya subtipe H5 dan H7 (OIE 2005).

Tabel 5. Hasil uji PCR sampel kuning telur DOC dengan primer matriks (FAI, RAI) dan primer H5 (FH5, RH5)

Farm Jumlah sampel Negatif Positif Matriks Positif H5

A 4 1 3 1 B 4 4 0 0 C 10 7 3 2 D 2 1 1 0 E 12 4 8 2 F 14 6 8 5 G 4 1 3 0 H 14 8 6 3 I 2 0 2 1 J 2 2 0 0 K 10 2 8 5 L 2 0 2 0 Jumlah 80 36 44 19

Negatif 45% Positif Matriks 55% Negatif Positif Matriks

Gambar 6. Persentase jumlah positif dan negatif RT-PCR sampel kuning telur DOC Positif H5 Positif Hx Positif Matriks 44 25 19 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Jumlah Positif H5 Positif Hx Positif Matriks

Gambar 7. Perbandingan hasil positif matriks, positif H5 dan positif Hx pada sampel kuning telur DOC

Hasil positif matrik dengan primer (FAI dan RAI) pada 55 bp (Gambar 8), sedangkan Gambar 9 adalah gambar hasil elektroforesis yang menunjukkan hasil positif H5 dengan primer FH5 dan RH5 (Lee et al. 2004).

K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 M K+

Gambar 8. Hasil elektroforesis produk RT-PCR sampel kuning telur DOC dengan primer matrik FAI dan RAI. K-: Kontrol negatif ; 1.AA Cianjur; 2.AA Cianjur; 3.AA Tangerang; 4.AA Tangerang; 5.AA Subang; 6.AA Subang; 7.AA Tangerang; 8.AA Tangerang; 9.AA Subang; 10.AA Subang; DNA Marker 50 bp; K+: Kontrol positif.

K- 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 M K+

Gambar 9. Hasil elektroforesis produk RT-PCR sampel kuning telur DOC dengan primer FH5 dan RH5. K-: Kontrol negatif ; 1.AA Cianjur; 2.AA Cianjur; 3.AA Tangerang; 4.AA Tangerang; 5.AA Subang; 6.AA Subang; 7.AA Subang; 8.AA Tangerang; 9.AA Tangerang; 10.AA Subang; DNA Marker 50 bp; K+: Kontrol positif.

Penelusuran menggunakan primer N1F dan N1R menunjukkan hasil negatif. Penelusuran dengan menggunakan primer CuN1F dan CuN1R pada 3 sampel positif H5 menunjukkan bahwa 2 sampel positif N1 dan 1 sampel negatif. Hasil tersebut karena adanya perbedaan sequence primer matrik dan kemungkinan adanya perbedaan susunan genetik virus sehingga penggunaan primer harus yang benar-benar sesuai dengan perkembangan dan dinamika virus AI di Indonesia melalui tahapan penelitian terlebih dahulu. Menurut Dharmayanti et al. (2008) Karakter molekuler virus AI telah mengalami perubahan yang cukup dinamis sejak terjadinya wabah penyakit AI pada tahun 2003, hal ini menunjukkan bahwa

55bp

55bp Marker 50 bp

virus AI secara cepat atau lambat akan berubah terus sehingga studi untuk mengetahui keragaman genetik virus AI yang bersirkulasi pada setiap tahun harus dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya mutasi yang berbahaya atau pandemi AI.

Hasil positif pada kuning telur dengan primer matrik (FAI dan RAI) serta primer H5 (FH5 dan RH5) menunjukkan adanya fenomena bahwa kemungkinan virus AI dapat ditularkan secara vertikal. Hasil positif pada kuning telur dalam tubuh DOC ini memperkuat dugaan Akoso (2006) yang menyatakan kemungkinan penularan AI terjadi secara vertikal. Bukti awal lapangan dan analisis laboratorium mengindikasikan bahwa virus dapat ditemukan di dalam kuning dan putih telur yang dihasilkan pada kelompok ayam dalam situasi puncak infeksi AI. Penelitian Handayani (2009) diketahui bahwa virus AI dapat terdeteksi pada ovarium itik dengan menggunakan metode pewarnaan imunohistokimia sehingga besar kemungkinan adanya virus pada telur yang dihasilkan.

Isolasi Virus AI asal DOC

Sampel kuning telur yang menunjukkan hasil positif kemudian dilakukan isolasi pada TAB-SPF umur 10 hari menggunakan 2 telur setiap sampel tetapi hanya 3 sampel yang menunjukkan hasil positif (Tabel 6).

Tabel 6. Hasil isolasi virus asal sampel kuning telur dengan uji RT-PCR

No Asal Farm Kode TAB Hasil uji RT-PCR Primer Matriks Pasase 1 Pasase 2 1 Tangerang F B1 Positif Negatif

B2 Positif Negatif

2 Subang K C1 Positif Positif

C2 Positif Positif

3 Subang K D1 Positif Positif

D2 Positif Positif

Hasil negatif kemungkinan disebabkan oleh konsentrasi virus yang sedikit. Terregino et al. (2007) menyebutkan virus akan tumbuh dalam TAB jika melebihi ambang batas yaitu 1 egg infectious dose 50% (EIDB50B). OIE (2005) menyebutkan

sampel yang menunjukkan hasil negatif harus di tanam kembali pada TAB-SPF (2 kali pasase).

Cairan alantois hasil inokulasi positif kemudian dilakukan identifikasi dengan RT-PCR. Identifikasi virus menggunakan primer matrik FAI dan RAI (Lee & Suarez 2004). Cairan alantois dari inokulasi pertama (pasase ke-1) dilakukan penanaman kembali pada TAB-SPF (pasase 2). Pengujian RT-PCR pada cairan alantois dari pasase ke-2 menunjukkan hasil yang tetap positif. Hal ini membuktikan bahwa virus AI memang benar-benar ada dan hidup dalam tubuh DOC yang dilalulintaskan melalui Bandara Soekarno Hatta. Sebagai patogen intraseluler, virus influenza mempunyai mekanisme untuk menghindar dari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk menghindari sistem imun hospes, secara langsung berkorelasi dengan peningkatan patogenitas virus (Coleman 2007). Virus AI mempunyai kemampuan untuk menghindar dari respon humoral hospes melalui fenomena yang disebut hanyutan antigenik (antigenic drift). Mutasi yang mengarahkan pada fenomena ini adalah perubahan asam amino glikoprotein hemaglutinin (HA) (Plotkin & Dushoff 2003), sehingga antibodi yang telah terbentuk oleh tubuh akibat vaksinasi sebelumnya tidak dapat mengenali keberadaan virus (Munch et al. 2001).

SIMPULAN

1. Virus Influenza A dan subtipe H5 dapat diidentifikasi serta diisolasi dari sampel yang berasal dari DOC.

2. Hasil pemeriksaan sampel kuning telur DOC diperoleh 44 sampel (55%) positif Influenza A. Pemeriksaan menggunakan primer H5 diketahui bahwa 19 sampel (43.2%) positif H5 dan 25 sampel (56.8%) kemungkinan merupakan subtipe AI lainnya (Hx). Virus AI pada sampel organ trakea dan paru-paru jumlah mungkin kurang dari 0,01-0,1 μg sehingga dari 240 sampel (40 kumpulan sampel) hanya ditemukan 3 kumpulan sampel yang positif influenza A tetapi negatif H5.

3. Virus AI yang terkandung dalam DOC bersifat subklinis dan berpotensi menularkan ke unggas lain yang rentan terhadap virus AI.

4. Adanya sampel yang menunjukkan hasil negatif pada sampel organ tetapi positif pada kuning telur, maka kemungkinan virus AI dapat ditularkan secara vertikal .

SARAN

1. Perlu dilakukan penelusuran virus AI subtipe lain pada DOC.

2. Perlu dilakukan sequencing terhadap isolat asal DOC untuk mengetahui sumber infeksi virus AI pada DOC.

3. Pemerintah harus melakukan pengawasan terhadap importasi DOC dari negara yang pernah terjangkit Avian Influenza untuk mencegah masuknya virus AI subtipe lain.

EPIDEMIOLOGY STUDY OF AVIAN INFLUENZA VIRUS IN

Dokumen terkait