ABSTRAK
Virus HPAI telah terdeteksi pada peternakan unggas di Indonesia sejak tahun 2003 dan saat ini telah menyebar ke peternakan unggas rakyat hampir diseluruh propinsi. Departemen Pertanian Indonesia telah melarang lalulintas unggas dari daerah endemik AI ke daerah bebas kecuali lalulintas DOC. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi kemungkinan adanya virus AI pada DOC yang didistribusikan dari daerah endemik ke daerah bebas. Sebanyak 240 ekor DOC yang berasal dari daerah Jawa Barat dan Banten diambil sebagai sampel di Bandar Udara Soekarno Hatta. Data epidemiologi diperoleh dengan cara wawancara. Hasil pemeriksaan laboratorium dan hasil kuesioner dianalisis dengan analisis logistik dan analisis regresi linier. Prevalensi AI pada lalulintas DOC tertinggi terdapat pada Kabupaten Bogor (91.7%), diikuti dengan Kabupaten Tangerang (89.7 %), Subang (85.7 %), Cianjur (81.9%) dan prevalensi terendah terdapat pada kabupaten Sukabumi (77.6%). Kasus tertinggi ditemukan di Bogor pada saat musim penghujan dan di DOC pedaging. Penggunaan alat transportasi milik perusahaan pembibitan akan mengurangi risiko kejadian AI di DOC yang dilalulintaskan. DOC merupakan salah satu penyebab potensial penyebaran cepat AI di Indonesia, sehingga lalulintas DOC ke daerah bebas harus lebih diawasi. Kata kunci : DOC, Virus AI, Epidemiologi
PENDAHULUAN
Penyakit influenza unggas (Avian Influenza), pertama kali dilaporkan pada Tahun 1878 sebagai wabah yang menjangkiti ayam dan burung di Italia (Harder et al. 2006) disebabkan oleh virus influenza tipe A. Gejala penyakitnya bervariasi dari yang ringan dengan sedikit kematian atau tanpa adanya kematian sampai yang berdampak fatal, penyebarannya sangat cepat (highly pathogenic avian
influenza) tergantung pada strain virus yang menginfeksi, faktor hospes, dan
kondisi lingkungan (Cardona 2006).
Sektor peternakan merupakan salah satu sektor penting dalam menunjang perekonomian bangsa, sebab banyak sekali masyarakat yang mengandalkan hidupnya pada sektor ini. Wabah AI dilaporkan terjadi di Asia sejak pertengahan Tahun 2003 dan Indonesia baru menyatakan terjadi wabah pada tanggal 2 Februari 2004 (WHO 2006). Wabah penyakit ini yang sebenarnya di Indonesia sudah dijumpai sejak pertengahan Tahun 2003 dan sudah menimbulkan kerugian sangat besar di sektor peternakan karena mempunyai morbiditas dan mortalitas sangat tinggi (APHIS 2004; Newman et al. 2006).
Wabah AI ini dapat mengakibatkan kehancuran bagi industri ternak unggas dan peternak individual. Dampak wabah ini sangat besar terhadap keadaan gizi rakyat di negara berkembang yang memerlukan unggas dan telur sebagai sumber utama protein (Harder et al. 2006). Selain itu secara nasional dapat mengganggu perekonomian, ketahanan pangan dan keseimbangan ekologis (Naipospos 2006).
Menurut Darminto (2006), penyakit AI bersifat zoonosis dan virus penyebabnya memiliki tingkat mutasi yang sangat tinggi, sehingga penyakit ini memiliki dampak sosial, ekonomi dan politik yang cukup besar. Penyebaran penyakit AI berlangsung terus sampai sekarang dengan pola intensitas yang sudah mulai menurun. Berbagai usaha telah dilakukan untuk memberantas dan mencegah penyebarannya, namun sepertinya penyakit yang disebabkan oleh virus RNA dalam famili Orthomyxoviridae ini sulit sekali diberantas.
Pengetahuan tentang epidemiologi dan ekologi virus HPAI sekarang ini dirasa kurang mencukupi untuk menentukan strategi dalam pemberantasannya. Aspek penting dari epidemiologi sangat berguna untuk menekan dampak ekonomi
dan dampak sosial dari HPAI serta berguna untuk pencegahannya. Manfaat dengan diketahuinya faktor-faktor penyebab AI sangat berguna untuk menentukan penyebaran selajutnya dari penyakit ini dan juga dapat menentukan metode yang efektif untuk mengendalikan (Rushton et al. 2006).
Kemampuan suatu negara untuk menanggulangi penyakit AI pada unggas bergantung pada sejauh mana para ahli memahami tentang tingkah laku dan ekologi dari virus AI secara umum, khususnya virus subtipe H5N1. Disamping itu, sangat penting pula untuk memahami sistem produksi dan sistem pemasaran unggas lokal yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dan kejadian penyakit (Naipospos 2006).
Menurut Naipospos (2006), saat ini yang sangat penting untuk dilakukan oleh para ahli adalah pengamatan epidemiologi secara berkesinambungan untuk menentukan sejauh mana virus lapangan mengalami mutasi atau reassorment, baik terjadi secara alamiah maupun kemungkinan akibat dari tekanan vaksinasi. Pengamatan harus dilakukan melalui surveilans biomolekuler untuk mengamati dinamika perubahan karakterisasi virus. Selanjutnya diharapkan dapat dibuat peta gambaran penyebaran virus H5N1 menurut hasil analisis genetikanya.
Strategi pengendalian penyakit AI yang ideal menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) dan organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) adalah pemusnahan masal (stamping out), namun situasi dan kondisi peternakan di Indonesia tidak memungkinkan untuk menempuh cara tersebut. Sebagai alternatifnya Pemerintah Indonesia menerapkan strategi pengendalian dalam bentuk depopulasi selektif, peningkatan biosekuriti, pembatasaan transportasi, dan pelaksanaan program vaksinasi yang diikuti secara paralel dengan kegiatan monitoring dan survailans (Darminto 2006).
Tindakan pengamanan (biosekuriti) yang baik, yang ditujukan untuk mengisolasi perusahaan peternakan unggas yang besar dapat secara efektif mencegah penularan dari satu peternakan ke peternakan yang lain secara mekanik, misalnya melalui peralatan kandang, kendaraan, pakan, pakaian terutama sepatu, kandang atau kurungan yang tercemar (Harder et al. 2006).
Penerapan tindakan pemusnahan unggas yang ditujukan untuk segera membasmi virus HPAI dengan juga mengorbankan hewan yang tidak terinfeksi,
mungkin hanya dapat dilakukan di daerah perkotaan dan daerah peternakan unggas komersial. Tapi tindakan ini juga akan memukul industri secara bermakna dan menimbulkan pertanyaan publik tentang aspek etika jika pemusnahan juga dilakukan terhadap hewan yang sehat dan tidak terinfeksi di daerah penyangga. Tindakan seperti ini sangat sulit dilakukan di daerah pedesaan yang mengusahakan peternakan unggas secara tradisional dan unggas, ayam, dan bebek dibiarkan berkeliaran secara bebas bergaul dengan burung-burung liar atau berbagi air dengan mereka (Harder et al. 2006).
Epidemiologi bertujuan untuk menangani penyelidikan penyakit, produktivitas dan kesejahteraan hewan dalam populasinya. Salah satu pondasi dasar adalah pengumpulan data yang kemudian dianalisis dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif untuk merumuskan hipotesis. Dasar penyidikan epidemiologi adalah asumsi bahwa penyakit tidak muncul secara acak karena salah satu targetnya adalah untuk mengidentifikasi hubungan sebab akibat antara faktor-faktor resiko potensial dan akibat yang muncul yaitu penyakit atau kerugian produktivitas. Dua jenis kerugian itu diasumsikan dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berinteraksi. Penyelidikan epidemiologi berfokus pada populasi umum dan aspek-aspek penyakit serta penyebabnya. Parameter populasi harus diselidiki mencakup status kesehatan populasi dan faktor-faktor yang terkait dengan status kesehatan diantaanya produktivitas, imigrasi dan emigrasi. Parameter ini tidak hanya mempengartuhi jumlah populasi tetapi juga berdampak pada kekebalan kawanan ternak dan ciri-ciri lainnya, misalnya umur ternak. Hewan-hewan dapat menjadi rawan terhadap infeksi atau juga telah mengembangkan kekebalan tubuhnya sebagai konsekuensi dari lingkungan yang tercemar penyakit. Sekawanan hewan mungkin terinfeksi tetapi tidak berkembang menjadi penyakit klinis. Kemampuan hewan dalam kelompok berbeda dalam menularkan penyakit dapat menjadi faktor yang penting dalam ilmu wabah penyakit menular (Pfeiffer 2002). Berdasarkan postulat Evans, timbulnya penyakit disebabkan oleh banyak faktor antara lain adalah lingkungan, hospes dan agen penyakit. Peranan faktor-faktor lingkungan, hospes dan agen dipertanyakan sebagai penyakit yang disidik (Martin et al. 1987).
Sebuah analisis yang dilakukan terhadap kasus wabah HPAI di Italia selama tahun 1999/2000 menunjukkan cara penularan sebagai berikut: pemindahan atau perpindahan kawanan unggas (1.0%), kontak yang terjadi selama dalam pengangkutan unggas ke tempat pemotongan (8.5%), lingkungan dalam radius satu kilometer seputar peternakan yang terserang (26.2%), truk-truk yang digunakan mengankut pakan, kandang atau bangkai unggas (21.3%), penularan secara tidak langsung karena pertukaran karyawan, alat-alat, dan sebagainya (9.4%) (Marangon & Capua 2005). Menurut Power (2005), kasus AI di British Columbia tahun 2004 terutama terjadi pada beberapa peternakan yang tidak menerapkan biosekuriti serta aturan melalulintaskan unggas secara baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan kejadian AI pada DOC.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan penentuan besaran sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah DOC final stock (FS) petelur dan pedaging yang berasal dari perusahaan pembibitan di Kabupaten Subang, Tangerang, Cianjur, Bogor dan Sukabumi yang akan didistribusikan ke luar Pulau Jawa melalui Bandar Udara Soekarno Hatta.
Pengambilan sampel menggunakan metode besaran sampel detect disease yang digunakan mendeteksi suatu daerah bebas penyakit AI pada DOC. Apabila ditemukan 1 ekor positif maka dapat dikatakan wilayah tersebut telah terjangkit penyakit AI, dengan rumus :
n = [1-(1-a)P
1/D
P
][N-(D-1)/2] Keterangan : a = tingkat kepercayaan
N = jumlah populasi n = jumlah sampel D = jumlah hewan sakit
Hasil evaluasi distribusi DOC yang melalui Balai Besar Karantina Hewan Soekarno Hatta pada tahun 2007 diketahui bahwa terdapat 2 sampel positif RT- PCR dari 720 ekor hewan yang diperiksa oleh karena itu diperoleh prevalensi (P) 0,27%. Jumlah DOC yang dilalulintaskan dalam tahun 2007 (N) adalah
10.918.866 ekor (Tabel 7) oleh karena itu rencana sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah 1108 ekor dengan pengambilan bertahap, berdasarkan perbedaan musim yang merupakan salah satu parameter penelitian ini. Penyakit flu burung atau AI biasanya muncul pada saat pergantian musim, kondisi ini biasanya situasi cuaca tidak stabil sehingga membuat ternak menjadi mudah stres, akibatnya daya tahan tubuh melemah dan memudahkan ayam terkena penyakit infeksius (Soejoedono & Handharyani 2006).
Tabel 7. Data lalulintas unggas DOC yang melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta pada tahun 2007
No Asal Kabupaten Jumlah total
1 Bogor 638.698 2 Cianjur 1.213.737 3 Bandung 31.672 4 Jakarta 86.695 5 Purwakarta 801.698 6 Serang 64.100 7 Subang 5.189.212 8 Sukabumi 397.380 9 Sumedang 154.414 10 Tangerang 2.340.480 Total 10.918.086
Sumber: Badan Karantina Pertanian (2007)
Pengambilan sampel dibedakan berdasarkan asal perusahaan pembibitan menggunakan sistem lot (Tabel 8) karena sampel yang diperlukan dalam unit produksi (batch) yang ditangani pada kondisi dan periode waktu tertentu. Jika diperkirakan berat kemasan ± 3,7 kg ( 37 gram/ekor dikali 100 ekor) maka bila besarnya lot kurang dari 15000 (misalnya 6000 ekor DOC dalam 60 box @ 100 ekor) maka besar sampel yang diambil dari setiap perusahaan adalah 6 ekor.
Tabel 8. Daftar pengambilan sampel pengujian tingkat 1 pada kemasan dengan berat bersihU +U 1kg sd 4,5 kg
Besarnya lot (N) Besar Sampel pengujian (n) Jumlah kerusakan yang diperbolehkan (c) atau kurang - 15.000 15.001 – 24.000 24.001 – 42.000 42.001 – 72.000 72.001 – 120.000 > 120.000 6 13 21 29 38 48 60 1 2 3 4 5 6 7
Sumber : Codex Alimentarius sampling plans for prepackaged foods (AQL 6.5)
Penyebaran Kuisioner
Penyebaran kuesioner dan wawancara dilakukan pada saat pengambilan sampel di Bandar Udara Soekarno Hatta pada distributor DOC dan petugas Karantina Hewan di lapangan. Penyebaran kuisioner ini dimaksud untuk menjaring informasi mengenai daerah asal/peternakan asal DOC, jenis DOC, strain DOC, jumlah pengiriman, kondisi peternakan dan kondisi alat transportasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Statistik deskriptif
Sebanyak 240 ekor sampel DOC yang diambil di Bandar Udara Soekarno Hatta diketahui persentase asal kabupaten yaitu Subang (42.5%), Cianjur (22.5%), Tangerang (22.5%), Bogor (7.5%), dan Sukabumi (5%). Jumlah DOC broiler sebanyak 156 ekor (65%) dan DOC layer sebanyak 84 ekor (35%). Pengambilan sampel dengan metode detect disease ini digunakan mendeteksi suatu wilayah bebas penyakit penyakit AI pada DOC, apabila ditemukan 1 ekor positif maka dapat dikatakan wilayah tersebut telah terjangkit penyakit AI. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi DOC yang dilalulintaskan dari masing-masing Kabupaten yaitu Kabupaten Subang (85.7%), Cianjur (81.9%), Tangerang (89.7%), Bogor (91.7%) dan Sukabumi (77.6%) (Tabel 9).
Tabel 9. Prevalensi AI di Kabupaten Asal DOC yang dilalulintaskan Kabupaten
Asal DOC
positif IHK per jumlah sampel Populasi sampel Prevalensi Subang 66/102 102956 85.7 % Tangerang 41/54 47000 89.7 % Cianjur 31/54 62727 81.9 % Bogor 15/18 18500 91.7 % Sukabumi 6/12 18000 77.6 %
Analisis Data Tingkat Ternak
Analisis data tingkat ternak dilakukan dengan menggunakan analisis regresi logistik terhadap hasil penelitian mengenai kejadian AI pada DOC. Model regresi logistik digunakan untuk mengukur nilai asosiasi variabel yang bermakna (variabel prediktor selain AI sebagai variabel independen) terhadap kejadian AI (variabel dependen). Kasus yang dicatat berjumlah 240 (dari hasil pengujian laboratorium imunohistokimia untuk mendeteksi keberadaan antigen Avian
Influenza), tanpa adanya missing case. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian
AI adalah kabupaten, jenis, strain, biosekuriti, alat transportasi dan musim. Sebelum dilakukan analisis, perlu dilakukan transformasi terhadap variabel- variabel Kabupaten, Jenis, Biosekuriti, Transportasi, Musim, dan Strain karena merupakan variabel dummy. Variabel-variabel prediktor yang dicatat adalah variabel Kabupaten ditransformasi menjadi variabel Subang, Cianjur, Tangrg, Bogor, dan Sukabm; Variabel jenis ditransformasi menjadi broiler dan layer; variabel biosekuriti ditransformasi menjadi variabel kurang, sedang baik, sgtbaik; variabel transportasi ditransformasi menjadi sewa dan milik; variabel musim ditransformasi menjadi akhrhjn, kmrw dan awlhjn; variabel strain ditransformasi menjadi Cb, Hbr, Hsx, Hbd, Rss, Clyr, Bgt, Mf, Isb, Cbr dan Spl.
Hasil pemeriksaan laboratorium dan kuesioner selanjutnya dianalisis logistik (lampiran 8) terhadap ternak (DOC) dan diperoleh model akhir sebagai berikut :
AI = 0,41243 +0,9030 (awl hjn) + 1,54957 (Bgr) + 0,55727 (broiler) – 0,90985 (milik)
Dari hasil tersebut diketahui bahwa variabel yang bermakna dari urutan terbesar adalah Kabupaten Bogor (Bgr), awal hujan (awl hjn), dan DOC pedaging (broiler) yang memiliki asosiasi positif terhadap adanya virus AI pada DOC, sedangkan alat transportasi milik perusahaan pembibitan (milik) cenderung
mengurangi kemungkinan penularan AI. Asosiasi positif artinya bahwa kejadian AI tertinggi ada pada peternakan di Kabupaten Bogor dan akan cenderung meningkat pada awal musim penghujan serta jenis DOC yang berpotensi terinfeksi lebih tinggi adalah DOC pedaging.
Kejadian AI tertinggi pada peternakan di Kabupaten Bogor, ini sesuai dengan penelitian Susanti (2008) yang menyatakan bahwa prevalensi AI subtipe H5N1 pada unggas air di Kabupaten Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan kabupaten lainnya. Unggas air berpotensi sebagai sumber penular virus AI pada unggas darat dan manusia. Penyakit flu burung atau AI biasanya muncul pada saat pergantian musim.
Kondisi ini biasanya situasi cuaca tidak stabil sehingga membuat ternak menjadi mudah stres, akibatnya daya tahan tubuh melemah dan memudahkan ayam terkena penyakit infeksius (Soejoedono & Handharyani 2006).
Penggunaan alat transportasi milik perusahaan jauh lebih baik daripada alat transportasi yang disewa oleh perusahaan untuk mendistribusikan DOC, hal ini disebabkan karena biosekuriti alat tranportasi milik perusahaan lebih baik dibandingkan persewaan alat angkut.
Penerapan model terhadap DOC broiler yang terkena AI adalah: P= P (penyakit|x) = e P β0 +β1x1+β2x2+ ...+βpxp P 1+ e P β0 +β1x1+β2x2+ ...+βpxp P
P= (AI=1|awlhjn,broiler, milik) = e P
0,41243+0,9030+1,54957+0,55727-0,90985 (1) P 1+ e P 0,41243+0,9030+1,54957+0,55727-0,90985 (1) P = eP 2,51242 (1) P 1+ eP 2,51242 (1) P = 12,33474 1+ 12,33474 = 92.5%
Probabilitas sebesar 92.5% ini diperoleh karena seluruh angka yang diperoleh dalam model akhir dikalikan dengan angka 1. Angka probabilitas ini digunakan untuk meramalkan kejadian AI pada DOC.
Pengujian dengan Unweighted Hosmer-Lemeshow Goodness of Fit Test diperoleh sensitivitas (Se) model sebesar 68% dan spesifisitas (Sp) 63%. Hal ini berarti bahwa model ini mempunyai akurasi yang cukup untuk mendeteksi baik DOC yang positif AI maupun yang tidak positif AI.
Analisis Data Tingkat Peternak
Data prevalensi tiap sampling merupakan data kontinyu dan seleksi variabel independen yang akan dimasukkan dalam model dilakukan dengan dua macam metode, yaitu Forward Stepwise Regression dan Best Subset Regression. Hasil analisis secara Best Subset Regression Models, digunakan untuk menyeleksi awal variabel yang akan dianalisis. Prevalensi tiap sampling (prevsamp) sebagai variabel dependen (Lampiran 9). Untuk mengetahui kemungkinan ada asosiasi dengan variabel independen lainnya adalah dengan melihat Mallow’s Cp terkecil yaitu 3,5 dan Adjusted R Square sebesar 0,3103 dan didapatkan variabel Broiler, Akhjn, Awlhjn, Bgt, Bogor, Hbr dan Isb (Lampiran 10). Pengujian linieritas dengan menggunakan Unweighted Least Squares Linear Regression, maka model ini memiliki nilai R-Square 0,4341 dan Adjusted R-Square 0,3103. Koefisien regresi yang dihasilkan dari model ini dengan metode Wilk-Shapiro / Rankit Plot cukup tinggi yaitu 0,9340 (Gambar 10).
-3 -2 -1 0 1 2 3
-4 -2 0 2
Wilk-Shapiro / Rankit Plot
Standardized Residuals
Rankits
Approximate Wilk-Shapiro 0.9340 40 cases
Gambaran histogram terhadap Standardized residual (Stdr) cenderung condong ke kanan (Gambar 11) dan Plot Residual Regresi terdistribusi cukup merata pula (Gambar 12).
-0.66 -0.59 -0.52 -0.45 -0.38 -0.31 -0.24 -0.17 -0.10 -0.03 0.04 0.11 0.18 0.25 0.32 0 3 6 9 Histogram Frequency RES
Gambar 11. Histogram dari model Best Subset Regression
0.0 0.3 0.6 0.9 1.2 -4 -2 0 2 4
Regression Residual Plot
Sta nda rdiz ed Re sidua ls Fitted values
Metode dengan analisis Forward Stepwise Regression diperoleh variabel Broiler, Kemrw dan Sukabm dengan Adjusted R Square sebesar 0,1150 dan R
Squarese besar 0,1831. Nilai Variance Inflation Factor (VIF) kurang dari 3,
berarti tidak ada multikolinieritas diantara variabel tersebut.
Model akhir menggunakan Unweighted Least Squares Linear Regression adalah sebagai berikut :
Prevalensi AI = 0,63062+0,19016(akhrhjn)+0,26026(awlhjn)+0,02901(broiler)
-0,18145(Hubbard) -0,89087(Isab)
Hasil analisis model tersebut variabel menunjukkan bahwa Awlhjn, Akhrhjn dan Broiler mempunyai asosiasi positif terhadap prevalensi AI berarti pada akhir dan awal musim penghujan akan cenderung meningkatkan kejadian AI pada DOC terutama DOC pedaging. Variabel Hubbard dan Isab mempunyai asosiasi negatif terhadap kejadian AI.
Hasil analisis menggunakan Stepwise Regression diperoleh model akhir sebagai berikut :
Prevalensi AI = 0,85151+0.00358(broiler)-0,20102(kmrw)-0,37651(sukabm)
Hasil tersebut berarti prevalensi AI tertinggi pada DOC Broiler dan pada musim kemarau kejadian AI cenderung lebih sedikit, hal tersebut karena virus AI relatif tidak stabil dalam lingkungan. Virus cepat mengalami inaktivasi ketika terjadi perubahan pH atau kondisi nonisotonik, suhu (panas), dan kekeringan (Perez et al. 2005). Variabel lain yang juga berasosiasi negatif adalah Sukabm. Daerah Sukabumi walaupun juga termasuk sentra unggas tetapi hanya ada sedikit
SIMPULAN
1. Prevalensi AI tertinggi pada DOC yang dilalulintaskan adalah di Kabupaten Bogor 91.7%, diikuti oleh Kabupaten Tangerang 89.7%, Subang 85.7%, Cianjur 81.9%, dan yang terendah adalah Kabupaten Sukabumi 77.6%.
2. Hasil analisis pada ternak dan peternak diketahui bahwa kejadian infeksi AI tertinggi ditemukan di Kabupaten Bogor, pada awal musim penghujan dan di DOC pedaging.
3. Distribusi DOC menggunakan alat transportasi milik perusahaan akan mengurangi risiko DOC tertular AI.
SARAN
1. Pengiriman DOC sebaiknya menggunakan alat transportasi milik peternakan bukan milik distributor DOC.
2. Perlu dilakukan penelusuran ke peternakan asal DOC untuk mengetahui sumber penularan AI pada DOC.
3. Perlu dilakukan penelusuran ke daerah tujuan distribusi untuk mengetahui tingkat shedding virus asal DOC.