• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian epidemiologi virus avian influenza pada distribusi anak ayam umur satu hari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian epidemiologi virus avian influenza pada distribusi anak ayam umur satu hari"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN EPIDEMIOLOGI VIRUS

AVIAN INFLUENZA

PADA DISTRIBUSI ANAK AYAM UMUR SATU HARI

SOPHIA SETYAWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Epidemiologi Virus

Avian Influenza Pada Distribusi Anak Ayam Umur Satu Hari adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2010

(3)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2010 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(4)

KAJIAN EPIDEMIOLOGI VIRUS

AVIAN INFLUENZA

PADA DISTRIBUSI ANAK AYAM UMUR SATU HARI

SOPHIA SETYAWATI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Sains Veteriner

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

ABSTRACT

SETYAWATI, S. Epidemiology Study of Avian Influenza virus in distribution of day old chick. Supervisors : RETNO D. SOEJOEDONO, EKOWATI HANDHARYANI and BAMBANG SUMIARTO

Avian Influenza (AI) or bird flu caused by AI virus subtype H5N1 is still present in Indonesia. The Department of Agriculture of Indonesia has banned poultry distribution from endemic area to non endemic area, except for distribution of day old chick (DOC). The aim of this research is to detect possible infection of AI virus in DOC that will be distributed from AI endemic area to AI non endemic area. Epidemiological data were collected through interviews. As much as 240 DOCs from farms in West Java and Banten were taken from Soekarno Hatta airport. Antibody titers were measured in every DOCs against AI virus with Haemaglutination Inhibition (HI) test. The AI virus detection in tissues (trachea, lung, heart, kidney, liver, and intestine) by using immunohistochemistry technique. Detection of AI virus using AI H5N1 monoclonal antibody with AEC as chromogen which will give the virus a reddish color. The result of this research showed 158 samples (65.8%) were positive of antigen AI H5N1 virus in tissues. From 158 samples positive, 65.8% of samples showed presence of antigen only in trachea, lung, intestine, and 34.2% were present in all tissues (trachea, lung, intestine, liver and kidney). Pooled samples of trachea, lung and egg yolk were tested for the presence of Influenza A viruses by using Reverse Transcriptase-Polymerase Chains Reactions (RT-PCR) with matrix primer pairs (FAI; RAI), positive samples were then further tested with H5 primer pairs (FH5; RH5) (Lee

et al. 2004). The result of this research showed 44 egg yolk samples (55%) were

positive of Influenza A. From the 44 samples positive, 19 samples (43.2%) were positive AIV Subtype H5 and 25 samples (56.8%) were positive another subtype (Hx). This research showed that AIV were able to spread by vertical transmission, because viral concentrations were highest in the egg yolk than the tracheas and lungs. Laboratory result and questioners were then analyzed using logistic analysis and Unweighted Least Squares Linear Regression. The highest prevalence AI distribution of DOC of this study was in Bogor (91.7%) and the lowest prevalence was Sukabumi (77.6%). The highest AI infection cases in broiler DOCs was found in Bogor district during rainy season. Transportation using private vehicle could minimize the risk of AI infection. From the result showed that DOCs were infected with AI virus with subclinical symptoms and DOC is one of the potential causes of the rapid AI spread in Indonesia, so cautious distribution to AI free areas need to be taken.

(6)

RINGKASAN

SETYAWATI, S. Kajian Epidemiologi Virus Avian Influenza Pada Distribusi Anak Ayam Umur Satu Hari. Dibimbing oleh : RETNO D. SOEJOEDONO, EKOWATI HANDHARYANI dan BAMBANG SUMIARTO

Virus AI patogenitas tinggi atau Highly PathogenicAvian Influenza (HPAI) saat ini telah menyebar dengan cepat hampir ke seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia. Penanganan yang serius perlu segera dilakukan agar wabah AI tidak berkembang menjadi pandemi influenza. Jika dilihat dari jumlah kematian unggas, mulai Bulan Agustus 2003 hingga November 2005, kejadian AI cenderung mengalami penurunan tetapi wilayah yang terjangkit cenderung meluas.

Penelitian ini diharapkan dapat mengungkap informasi tentang kemungkinan anak ayam umur satu hari (DOC) terinfeksi atau membawa virus AI. Tujuan penelitian ini adalah mendeteksi keberadaan virus AI pada DOC menggunakan Teknik Pewarnaan Imunohistokimia (IHK), melakukan identifikasi virus AI yang berasal dari DOC dengan Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reactions (RT-PCR) dan isolasi virus AI serta melakukan kajian epidemiologi adanya infeksi virus AI pada DOC.

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah DOC final stock (FS) pedaging dan petelur yang berasal dari perusahaan pembibitan di daerah Jawa Barat dan Banten yang akan didistribusikan ke luar Pulau Jawa melalui Bandar Udara Soekarno Hatta dengan metode detect disease. Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan April sampai dengan September 2008 dengan jumlah sampel sebanyak 240 ekor DOC dan diketahui presentase jumlah sampel asal Kabupaten Subang (42.5%), Cianjur (22.5%), Tanggerang (22.5%), Bogor (7.5%), dan Sukabumi (5%). Jumlah sampel DOC pedaging sebanyak 156 ekor (65%) dan DOC petelur sebanyak 84 ekor (35%). Pengambilan sampel dengan metode detect disease ini digunakan untuk mendeteksi penyakit AI pada DOC, apabila ditemukan 1 ekor positif maka dapat dikatakan DOC tersebut telah terinfeksi penyakit AI.

Setiap DOC diambil darahnya untuk melihat titer antibodi terhadap AI dengan uji hemaglutinasi inhibisi (HI). DOC tersebut kemudian dinekropsi dan diambil organ (trakea, paru-paru, usus, hati, ginjal) dan kuning telurnya untuk dideteksi keberadaan virus AI menggunakan teknik pewarnaan imunohistokimia (IHK) dan Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR).

Deteksi virus AI dengan metode IHK menggunakan antibodi monoklonal AI H5N1 dengan kromogen (AEC) yang akan memberi warna kemerahan pada virus AI. Hasil penelitian diketahui bahwa 158 sampel (65.8%) positif antigen AI H5N1 pada organ. Dari 158 sampel positif tersebut diketahui bahwa 104 sampel (65.8%) menunjukkan keberadaan antigen hanya pada trakea, paru-paru dan usus sedangkan 54 sampel (34.2%) ditemukan pada semua organ (trakea, paru-paru, usus, hati, ginjal) yang diteliti.

(7)

Identifikasi pada 80 sampel kuning telur DOC menunjukkan 44 sampel (55%) kuning telur positif Influenza A dan dari sampel positif Influenza A tersebut 19 sampel (43.2%) menunjukkan positif virus AI subtipe H5 dan 25 sampel (56.8%) positif AI subtipe lainnya (Hx).

Data epidemiologi diperoleh dengan cara wawancara dan kuesioner. Hasil pemeriksaan laboratorium serta hasil kuesioner kemudian dianalisis dengan analisis logistik untuk mengetahui signifikansi asosiasi antara kejadian AI dan faktor risiko di peternakan sedangkan analisis regresi linier dilakukan untuk menganalisis prevalensi AI. Prevalensi AI tertinggi pada distribusi DOC terdapat pada Kabupaten Bogor (91.7%) dan prevalensi terendah terdapat pada Kabupaten Sukabumi (77.6%). Kasus tertinggi terjadi pada DOC pedaging diawal musim penghujan. Penggunaan alat transportasi milik perusahaan akan mengurangi risiko DOC terinfeksi oleh virus AI.

Hasil penelitian ini diketahui bahwa DOC telah terinfeksi oleh virus AI dengan gejala subklinis dan berpotensi sebagai salah satu penyebab cepatnya penyebaran AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke daerah yang masih bebas AI.

Kata kunci : Anak ayam umur satu hari (DOC), Virus AI,

(8)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ………..………

DAFTAR GAMBAR ………..………...

DAFTAR LAMPIRAN ...

PENDAHULUAN ... Latar belakang ... Tujuan penelitian ... Manfaat penelitian ... Hipotesis ...

TINJAUAN PUSTAKA... Virus Avian Influenza... Morfologi virus ... Siklus Replikasi virus ... Variasi genetik ... Mutasi dan perubahan antigen... Hanyutan antigenik... Cara penularan ... Gejala klinis dan lesi ... Patogenesis virus avian influenza... Penanggulangan AI ...

DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 DENGAN TEKNIK IMUNOHISTOKIMIA ...

Abstract ... Abstrak ... Pendahuluan ... Metode Penelitian ... ... Hasil dan Pembahasan ... Simpulan ... Saran ...

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1 PADA DOC...

(9)

KAJIAN EPIDEMIOLOGI PENYEBARAN VIRUS AVIAN

INFLUENZA PADA ANAK AYAM UMUR SATU HARI... Abstract ... Abstrak ... Pendahuluan ... Metode Penelitian ... Hasil dan Pembahasan ... Simpulan ... Saran ...

PEMBAHASAN UMUM ...

SIMPULAN UMUM ...

SARAN ...

DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN ... 41 41 42 43 46 48 54 54

55

61

62

63

(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Presentase distribusi antigen AI subtipe H5N1 pada organ DOC dengan metode IHK...

Primer untuk mengamplifikasi Virus AI H5N1 pada DOC...

Titer antibodi terhadap virus AI H5N1 ...

Hasil uji PCR pada kumpulan sampel organ DOC...

Hasil uji PCR sampel kuning telur DOC dengan primer matriks (FAI ; RAI) dan primer H5 (FH5 ; RH5)...

Hasil isolasi virus asal sampel kuning telur dengan uji RT-PCR...

Data lalulintas unggas DOC yang melalui Balai Besar Karantina Pertanian Soekarno Hatta pada tahun 2007...

Daftar pengambilan sampel pengujian tingkat 1 pada kemasan dengan berat bersih ± 1 kg sd 4.5 kg...

Hasil prevalensi AI asal DOC yang dilalulintaskan ...

Perbandingan titer antibodi DOC dengan hasil positif IHK... 21

31

33

34

35

38

47

48

49

(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Struktur genetik virus avian influenza...

Replikasi virus influenza tipe A ...

Bagan patogenesis dan epidemiologi influenza unggas ...

Presentase hasil positif dan negatif IHK pada organ DOC...

Sampel organ dan kuning telur DOC yang diperiksa menggunakan RT-PCR...

Persentase jumlah positif dan negatif RT-PCR sampel kuning telur DOC...

Perbandingan hasil positif matriks, positif H5 dan positif Hx pada sampel kuning telur DOC...

Hasil elektroforesis produk RT-PCR dengan primer matrik FAI dan RAI...

Hasil elektroforesis produk RT-PCR dengan primer FH5 dan RH5...

Wilk-Shapiro/Rankit Plot model Best Subset Regression...

Histogram dari model Best Subset Regression...

Regression Residual Plot dari model Best Subset Regression... 6

7

11

21

29

36

36

37

37

51

52

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Data Hasil Uji HI dan Uji IHK pada DOC……...

Penghitungan Kappaantara hasil uji imunohistokimia (IHK) dan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI) pada 240 sampel DOC...

Gambaran dengan metode imunohistokimia pada beberapa organ DOC yang terinfeksi virus AI H5N1………...

Hasil Uji PCR matriks dan H5 pada 80 sampel kuning telur DOC...

Penghitungan Kappa antara Uji Imunohistokimia dan Uji PCR pada 80 sampel DOC...

Penghitungan Statistik Diskriptif dan Distribusi Frekuensi Tingkat Ternak………..……….

Penghitungan Statistik Diskriptif dan Distribusi Frekuensi Tingkat Peternak…….………...

Penghitungan Logistic Regression infeksi virus AI pada tingkat ternak………

Hasil prevalensi AI pada setiap sampling DOC...

Penghitungan Model Best Subset Regression, Stepwise Regression

dan Unweighted Least Squares Linear Regression pada tingkat

Peternak………

Kuesioner Kajian Epidemiologi Virus Avian Influenza pada Distribusi Anak Ayam Umur Satu Hari……….

71

77

78

81

83

85

88

90

96

97

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit Avian Influenza (AI) atau Highly Pathogenic Avian Influenza

(HPAI) saat ini telah menyebar hampir ke seluruh Wilayah Negara Republik

Indonesia dan berdampak sangat merugikan bagi peternakan unggas serta telah

menyebabkan kematian pada manusia di beberapa daerah. Penanganan yang

serius perlu segera dilakukan agar wabah AI tidak berkembang menjadi pandemi

influenza. Pandemi influenza akan berdampak sangat besar, mengakibatkan

kerugian ekonomi karena banyaknya unggas yang harus dimusnahkan serta

kerugian sosial karena banyaknya manusia yang sakit bahkan meninggal dunia.

Pada tahun 1997 wabah HPAI yang disebabkan oleh subtipe H5N1 telah

mengakibatkan 6 orang meninggal dunia di Hongkong (Suarez et al. 1998).

Kejadian HPAI di Indonesia diyakini berawal pada Bulan Agustus 2003

pada peternakan ayam ras komersial di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang

kemudian meluas ke seluruh pulau Jawa, Bali, dan beberapa daerah di Sumatera

serta Kalimantan. Pada Tahun 2004 jumlah kematian unggas terus meningkat dan

menyebar ke-16 propinsi yang mencakup 100 kabupaten/kota. Mulai Bulan

Agustus 2003 hingga November 2005 jumlah kematian unggas cenderung

mengalami penurunan meski wilayah yang terjangkit cenderung meluas. Menteri

Pertanian secara resmi pada Bulan Januari 2004 mengumumkan bahwa virus AI

subtipe H5N1 telah masuk di Indonesia, dan sampai saat ini virus tersebut

dinyatakan endemik di 31 dari 33 propinsi di Indonesia.

Menurut Darminto (2006), berbagai usaha telah dilakukan untuk

memberantas dan mencegah penyebaran penyakit AI, namun penyakit yang

disebabkan oleh virus RNA dari famili Orthomyxoviridae ini sulit sekali

diberantas. Tindakan pencegahan melalui pengaturan distribusi unggas ke daerah

bebas telah dilakukan oleh pemerintah dengan melarang peredaran unggas dewasa

dan hanya mengijinkan lalulintas anak ayam umur satu hari (DOC), anak itik

umur satu hari (DOD), telur dan pakan ternak dari daerah tertular ke daerah bebas

(14)

memenuhi kebutuhan konsumen di daerah yang masih bebas AI tetapi tidak

memiliki peternakan komersial karena sentra industri peternakan unggas sebagian

besar terletak di Pulau Jawa yang merupakan daerah tertular. Sampai saat ini

belum diketahui dengan pasti penyebab wabah penyakit AI cepat sekali menyebar

ke seluruh Wilayah Indonesia walaupun pemerintah Indonesia telah

mengupayakan pencegahan serta pengendaliannya. Kondisi ini sangat

memprihatinkan karena timbul berbagai dugaan tentang penyebaran virus AI yang

mengakibatkan masyarakat menjadi takut berdekatan dengan unggas dan

mengkonsumsi produk unggas.

Wibawan (2006) menyatakan bahwa infeksi virus AI saat ini berbentuk

subklinis, yaitu hewan terlihat sehat tetapi sebenarnya sakit. Adanya kasus

penyakit yang tidak terdeteksi dengan tepat akan menyebabkan meluasnya kasus

AI di lapangan. Tingginya tingkat infeksi virus AI juga memungkinkan virus ini

bertahan dan memunculkan strain virus yang lebih patogen melalui proses mutasi

dan/atau genetic reassortment. Diversitas genetik virus AI pada reservoir hewan

liar kemungkinan juga berperan penting dalam proses keberlangsungan hidup

virus AI di alam (Easterday et al. 1997).

Food and Agriculture Organization (FAO 2007) melaporkan kejadian dan

uji eksperimental yang mengindikasi bahwa virus AI dapat diisolasi dari kuning

dan putih telur ayam di daerah wabah AI. Keberadaan virus AI pada telur

dilaporkan pula oleh Promkuntod (2006), dikatakan bahwa virus AI ditemukan

dalam campuran albumin dan cairan alantois serta oviduct burung puyuh jepang

(Coturnix coturnix japonica) yang terinfeksi secara alami. Bukti awal lapang dan

analisis data laboratorium mengindikasi bahwa virus dapat ditemukan di dalam

kuning dan putih telur yang dihasilkan oleh kelompok ayam pada situasi puncak

infeksi AI. Kemungkinan terjadinya penularan vertikal telah dikhawatirkan oleh

para pakar, tetapi belum dapat dibuktikan secara pasti (Akoso 2006). FAO(2008)

juga melaporkan bahwa kemungkinan DOC terinfeksi virus AI sangat kecil tetapi

DOC dapat menyebarkan AI karena terkontaminasi virus saat transportasi atau

(15)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendeteksi keberadaan virus AI pada DOC menggunakan Teknik Pewarnaan

Imunohistokimia (IHK).

2. Melakukan identifikasi virus AI yang berasal dari DOC dengan Reverse

Transcriptase Polymerase Chain Reactions (RT-PCR) dan isolasi virus AI.

3. Melakukan kajian epidemiologi adanya infeksi virus AI pada DOC.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan dalam menentukan kebijakan terutama di Badan Karantina

Pertanian dalam hal lalulintas unggas dan produknya.

Hipotesis

1. Virus AI dapat diisolasi dari telur ayam yang berasal dari daerah wabah, jadi

kemungkinan DOC yang dihasilkan juga terinfeksi virus AI.

2. Adanya kekebalan pada tubuh DOC akan menyebabkan timbulnya gejala

subklinis, sehingga hewan terlihat sehat namun memiliki kemampuan

shedding virus.

3. DOC berisiko dalam penyebaran AI karena DOC dapat terinfeksi setelah

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Virus Avian Influenza

Virus influenza terdiri dari beberapa tipe yaitu tipe A, tipe B dan tipe C.

Virus tipe A menyerang hewan, tetapi dapat menyebabkan epidemik pada

manusia. Sementara virus tipe B dan C tidak menyerang hewan, hanya

menyerang manusia (Soejoedono & Handharyani 2005). Pengelompokan virus

Influenza menjadi A, B dan C berdasarkan perbedaan nukleoprotein (NP) dan

matrix proteinnya (M) (Harder & Werner 2006). Nukleoprotein dan matrix

protein berperan pada pembentukan kapsid dan amplop viral (Pelczar & Chan

1986).

Avian Influenza (AI), disebut juga sebagai flu burung, fowl pest, fowl plaque

atau avian flu adalah suatu penyakit infeksius yang menyerang unggas dan

disebabkan oleh virus Influenza tipe A. Spesies burung sangat rentan terinfeksi

virus Influenza A dan unggas air diduga sebagai reservoir utama dari virus ini.

Virus ini termasuk famili Orthomyxoviridae yang berukuran 80-120 nm.

Berdasarkan hemaglutinin (H) dan neuroaminidase (N) pada amplop

(pembungkus luar virus) maka virus influenza ini dapat ditentukan subtipenya.

Hingga saat ini sudah dikenal ada 16 macam H antigen, yaitu H1 hingga H16, dan

sembilan N antigen, yaitu N1 hingga N9. Serotipe H16 diisolasi dari burung

camar berkepala hitam (black headed gull) yang ditemukan di Swedia dan

Belanda pada Tahun 1999, dipublikasikan pertama kali oleh Fouchier et al.

(2005). AI dibagi menjadi dua bentuk yaitu Highly pathogenic avian influenza

(HPAI) dan Low pathogenic avian influenza (LPAI). Infeksi virus AI yang sangat

virulen dan mengakibatkan penyakit bersifat akut berasal dari subtipe H5 dan H7,

B

tetapi banyak juga ditemukan isolat asal burung dari subtipe H5 dan H7B Byang

memiliki sifat virulensi rendahterhadap peternakan ayam (OIE 2000).

Virus influenza adalah partikel berselubung berbentuk bundar atau bulat

panjang, mengandung genom RNA rangkaian tunggal dengan jumlah lipatan

tersegmentasi sampai mencapai 8 segmen dan berpolaritas negatif. Virus ini relatif

(17)

perubahan pH atau kondisi nonisotonik, suhu (panas), dan kekeringan (Perez et al.

2005). Telah dibuktikan bahwa suspensi virus dalam air mampu mempertahankan

daya penularannya selama lebih dari 100 hari pada suhu 17°C. Di bawah minus

50°C virus dapat bertahan untuk waktu yang tidak terbatas.

Virus ini menginfeksi berbagai spesies hewan, termasuk ayam, ayam

mutiara, puyuh, burung merak, angsa dan itik, babi, kuda, singa laut serta pada

berbagai unggas air seperti itik, bebek, angsa dan burung camar. Selain itu juga

ditemukan pada burung peliharaan seperti burung beo, parkit, kakaktua, elang,

nuri. Di Indonesia, pernah terdeteksi H4N2 pada burung nuri (Dybing et al. 2000;

Tabbu 2001). Unggas air, burung camar dan burung-burung pantai diperkirakan

sebagai reservoir original. Burung yang terinfeksi biasanya tidak menunjukkan

gejala penyakit. Hampir semua virus AI lebih suka bereplikasi dalam saluran

pencernaan bebek liar, kemudian diekskresikan tingkat tinggi di dalam feces, dan

disebarkan melalui rute oral-fecal. Selanjutnya virus influenza A biasanya

menyebar ke spesies unggas lain dan hospes mamalia, termasuk manusia.

(Sturm-Ramirez et al. 2004). Selain pada saluran pencernaan, virus juga bereplikasi pada

saluran pernafasan (Tabbu 2001).

Hulse-Post et al. (2005) berpendapat bahwa itik piara telah menjadi

pembawa virus H5N1. Ini berarti itik piara yang hidup lepas diantara pemukiman

penduduk dapat membawa virus H5N1 yang mematikan tersebut tanpa sakit atau

muncul gejala klinis (Soeharsono 2006).

Morfologi Virus

Virion virus berbentuk spheric dengan diameter berukuran 80-120 nm.

Permukaan virion diselubungi dengan duri-duri proyektil yang berdekatan dengan

panjang duri 10 - 12 nm. Nukleokapsid berbentuk helix dan terdapat di dalam

amplop virus. Bentuk duri HA adalah trimer bentuk tangkai dan bentuk duri NA

adalah tetramer bentuk jamur (Easterday et al. 1997). Membran glikoprotein HA

berfungsi sebagai binding receptor pada sialyloligosaccharide dan fusi membran

glikoprotein pada pintu masuk sel, sedangkan membran glikoprotein NA

berfungsi sebagai enzim penghancur reseptor pada pelepasan virus (Ha et al.

(18)

perlindungan terhadap infeksi virus, aktivitas enzim Neuraminidase bertanggung

jawab pada pelepasan virus baru dari sel melalui aktivitasnya pada reseptor asam

neuraminik. Antibodi terhadap NA juga sangat penting dalam perlindungan,

terutama dengan mencegah penyebaran virus dari sel yang terinfeksi (Easterday et

al. 1997).

Genom dari virus ini berbentuk untai tunggal, bersegmen, masing-masing

segmennya ada dalam nucleocapsid yang terpisah. Segmen virus ada delapan

buah segmen berupa negative-sense single-stranded RNA, yang memungkinkan

untuk terjadinya genetic reassortment pada suatu sel yang mengalami infeksi

campuran oleh lebih dari satu virus dan akan menghasilkan sejumlah strain baru

yang berbeda dari strain asalnya. Negative-sense single-stranded RNA ini harus

membawa sebuah RNA dependent RNA polymerase (RdRp) pada virionnya karena

tidak disediakan oleh hospes. Berbeda dengan virus RNA positif sense, dimana

genomnya dapat langsung diterjemahkan dan tidak membutuhkan enzim

tranciptase dalam virionnya. Genom tersebut terdiri dari 10 gen pengkode protein

yang berbeda, yaitu delapan protein struktural dan dua protein non-struktural.

Kesepuluh genome pengkode tersebut terdiri dari tiga protein transkriptase yaitu

PB1, PB2 dan PA, dua glycoprotein permukaan yaitu hemagglutinin (HA) dan

neuraminidase (NA), dua protein matrix M1 dan M2, satu protein nucleocapsid

(NP), dan dua protein non-struktural NS1 dan NS2. Amplop glikoprotein dari

virus influenza A, HA dan NA tersebar di permukaan virion membentuk struktur

khas “spike-shaped”. Variasi antigenik pada glycoprotein tersebut dipakai untuk

menentukan subtipe virus influenza A (Gambar 2).

(19)

Siklus Replikasi Virus

Replikasi virus dimulai dengan adsorbsi virus ke reseptor glikoprotein yang

mengandung asam sialik pada permukaan sel (Gambar 3). Virus kemudian

memasuki sel dengan jalan endositosis melalui reseptor. Pembukaan terhadap pH

rendah dalam endosome, menghasilkan perubahan konformasi dalam

hemaglutinin, yang memperantarai fusi membran. Nukleokapsid kemudian

memasuki sitoplasma dan migrasi ke nukleus. Virus influenza menggunakan

mekanisme yang unik untuk menginisiasi transkripsi menggunakan viral

transkriptase. Enam mRNA monosistronik dihasilkan dan ditranslasi menjadi HA,

NA, NP dan tiga polimerase (PB1, PB2, dan PA). Melalui pembelahan mRNA

untuk gen NS dan M masing-masing menjadi dua mRNA, yang ditranslasi dalam

reading frame berbeda dan menghasilkan protein NS1, NS2, M1 dan M2.

Hemaglutinin dan neuraminiase diglikosilasi dalam retikulum endoplasma kasar,

dilengkapi di golgi, ditransportasikan ke permukaan dan melekat pada membran

sel (Easterday et al. 1997).

Syarat penting HA adalah pembelahan oleh protease sel hospes menjadi

HAB1B dan HAB2B yang dihubungkan dengan ikatan disulfida. Pembelahan dibutuhkan

untuk dihasilkannya virus yang infeksius. Setelah produksi dan pemasangan

protein viral dan RNA, virus keluar sel dengan jalan menguncup dari membran

(20)

Gambar 3. Replikasi virus Influenza tipe A (http://www. cbi.nlm nih.gov/ htbinpost/Entrez/query?uid=9927579&Form=6&db=m&Dopt=b) Variasi Antigenik

Diversitas antigenik virus influenza tipe A tampak terutama pada

glikoporitein permukaan (Perez et al. 2005). Determinan antigenik utama dari

virus influenza A dan B adalah glikoprotein transmembran hemaglutinin (H atau

HA) dan neuraminidase (N atau NA), yang mampu memicu terjadinya respon

imun dan respon yang spesifik terhadap subtipe virus. Respon ini sepenuhnya

bersifat protektil di dalam, tapi bersifat protektil parsial pada lintas subtipe yang

berbeda. Berdasarkan sifat antigenisitas dari glikoprotein-glikoprotein tersebut,

saat ini virus influenza dikelompokkan ke dalam 16 subtipe H (H1-H16) dan 9 N

(N1-N9). Kelompok-kelompok tersebut ditetapkan berdasarkan analisis

filogenetik terhadap nukleotida dan penetapan urutan (sequences) gen-gen HA

dan NA melalui cara deduksi asam amino (Harder et al. 2006).

Frekuensi variasi antigenik di antara virus influenza sangat tinggi dan

muncul melalui dua jalan yaitu drift dan shift. Jika determinan antigenik dari

glikoprotein HA dan NA membran dipengaruhi oleh mekanisme yang dipicu

kekebalan, proses tersebut disebut sebagai antigenic drift. Sebaliknya, antigenic

shift menunjukkan adanya perubahan mendadak dan mendalam dalam determinan

antigenik, yaitu pertukaran subtipe H dan/atau N, di dalam satu siklus tunggal

replikasi (Harder et al. 2006). Antigenik drift melibatkan perubahan minor

antigenik pada HA dan/atau NA, sedangkan antigenik shift melibatkan perubahan

antigenik mayor pada HA dan/atau NA (Easterday et al. 1997).

Mutasi dan Perubahan Antigen

Enzim RNA dependent RNA polymerase (RdRp) tidak mempunyai

mekanisme enzimatik perbaikan kesalahan replikasi, sehingga perubahan

nukleotida terjadi terus menerus. Berbeda dengan polimerase DNA yang hanya

mempunyai kesalahan 1 dari 10P

9

P

basa, kesalahan replikasi oleh RdRp adalah 1

dari 10P

4

P

nukleotida per siklus replikasi (review oleh Webster et al. 1992).

Substitusi titik/poin dapat dibedakan atas substitusi sinonim dan substitusi non

(21)

Substitusi sinonim adalah perubahan nukleotida tidak diikuti perubahan

ekspresi asam amino. Hal ini terjadi pada semua asam amino, kecuali metionin

dan triptopan yang hanya disandi oleh 1 kodon. Substitusi sinonim ini

menyebabkan kodon bias (ketidakseimbangan penggunaan kodon sinonim yang

menyandi asam amino). Kodon bias ini terlihat pada semua spesies di semua

bagian genom, baik daerah intron maupun ekson. Kodon bias tidak mengubah

fenotip produk ekspresi, sehingga kodon bias selalu ada dalam genom.

Penggunaan kodon pada gen berkorelasi dengan akurasi dan tingkat translasi.

Kodon pilihan biasanya adalah kodon dengan tRNA melimpah sehingga dapat

ditranslasi lebih cepat (Laver & Kotlar 2005; Wu & Freeland 2005).

Substitusi sinonim pada virus AI juga berkaitan dengan limpahan tRNA

(Plotkin & Dushoff 2003), tetapi karena translasi mRNA pada virus AI

menggunakan mekanisme translasi sel hospes, substitusi sinonim tersebut lebih

disebabkan oleh seleksi penyesuaian terhadap penggunaan kodon sel hospes. Hal

ini terjadi karena perbedaan penggunaan kodon antara virus dengan sel hospes

dapat mempercepat translasi protein (Garmory et al. 2003).

Substitusi nonsinonim adalah perubahan nukleotida diikuti dengan

perubahan ekspresi asam amino. Substitusi nonsinonim hanya terjadi pada bagian

tertentu dari gen yang mengalami tekanan. Semakin sering mengalami tekanan,

semakin tinggi substitusinya (Plotkin & Dushoff 2003). Adanya tekana seleksi

akan menyebabkan munculnya varian dengan tingkat efektifitas replikasi yang

tinggi (Jong et al. 2000). Tingkat perubahan asam amino virus di dalam tubuh

hospes (in vivo) lebih tinggi dibandingkan virus yang ditumbuhkan secara in vitro.

Ini menunjukkan bahwa tingginya tekanan imun berkorelasi dengan perubahan

asam amino (Nakajima et al. 2003).

Adaptasi selalu dilakukan oleh virus AI, baik adaptasi terhadap tekanan

imun maupun adaptasi pada spesies hospes baru (Voeten et al. 2000;

Taubenberger et al. 2005). Adaptasi merupakan kekuatan utama dari evolusi.

Perbedaan spesies hospes dan perbedaan tekanan menyebabkan perbedaan

kecepatan evolusi virus AI (Brown et al. 2001). Lama infeksi dan frekuensi

reinfeksi virus influenza pada manusia, menyebabkan tingginya tekanan seleksi

(22)

glikoprotein HA kira-kira 2 x 10P

-3

P nukleotida per posisi per replikasi (Webster et

al. 1992). Kecepatan mutasi HA tersebut lebih tinggi dibanding NA karena NA

bukan merupakan determinan antigenik utama dan jumlah NA pada permukaan

virion hanya 1/5 jumlah HA (Plotkin & Dushoff 2003).

Protein internal tidak berperan dalam pengikatan dengan reseptor sel hospes

dan tersembunyi dari antibodi, sehingga protein ini lebih stabil dibanding dengan

glikoprotein permukaan (Plotkin & Dushoff 2003; Berkhoff et al. 2005). Stuktur

dan fungsi protein internal juga sangat mendasar sehingga tidak menguntungkan

virus AI jika mutasi terjadi secara cepat. Hal ini menyebabkan virus AI

menghadapi konflik intragenom tentang kecepatan mutasi. Gen atau bagian

spesifik gen tertentu dalam genom tersebut mengalami seleksi positif untuk

berubah, sementara gen lain mengalami seleksi pemurnian untuk tidak berubah

(Plotkin & Dushoff 2003). Protein/regio protein yang fungsinya berkaitan erat

dengan pertahanan terhadap respon imun hospes, daya adaptasi dan patogenisitas

mempunyai tingkat substitusi nonsinonim lebih tinggi dibanding substitusi

sinonim (Plotkin & Dushoff 2003). Kecepatan substitusi nonsinonim gen sub unit

HA1 virus AI subtipe H3 sebesar 5.7 x 10P

-3

P

per posisi pertahun. Hal ini

disebabkan karena pada HA1 terdapat daerah antigenik, kantong pengikat reseptor

dan posisi glikosilasi (Bush et al. 1999).

Hanyutan Antigenik

Adaptasi terhadap tekanan imun hospes dilakukan oleh virus AI untuk

menghindar dari pengenalan dan netralisasi antibodi dan sel T sititoksik. Antibodi

netralisasi terhadap protein HA bersifat protektif melawan infeksi, sehingga

protein ini paling tinggi mengalami tekanan imun dibandingkan protein internal

(Berkhoff et al. 2005). Mekanisme virus AI untuk menghindar dari sistem imun

hospes merupakan tekanan untuk mutasi secara gradual sehingga muncul

strain-strain virus baru yang secara imunologik berbeda (hanyutan antigenik) (Horimoto

& Kawaoka 2001; Munch et al. 2001; Smith et al. 2004).

Hanyutan antigenik adalah perubahan secara periodik akibat mutasi genetik

sturktur glikoprotein permukaan virus AI sehingga antibodi yang telah terbentuk

(23)

keberadaan virus tersebut (Munch et al. 2001). Hanyutan antigenik berjalan

lambat namun progresif dan cenderung menimbulkan penyakit yang terbatas pada

kawasan tertentu (Tumpey et al. 2002; Swayne & Suarez 2003). Hanyutan

antigenik menuntut pembuatan vaksin selalu diperbarui mengikuti munculnya

strain baru (Plotkin et al. 2002; Smith et al 2004).

Cara Penularan

Virus dapat ditularkan antara lain melalui unggas yang tertular, unggas

carrier, peralatan kandang termasuk sepatu pekerja, alat angkut, rak telur (egg

trays), kontak dengan fomites, feces atau leleran yang mengandung virus, karkas

unggas yang mati akibat virus ini, air yang tercemar, rodensia atau hewan liar

lainnya, dan makanan yang tercemar, serta telur yang tercemar (Jeffrey 1997).

Menurut Harder et al. (2006), siklus infeksi antar unggas terjadi melalui rantai

oral-fecal, selain melalui kontak langsung dari unggas terinfeksi, air dan benda

lain yang tercemar.

Gambar 1. Bagan patogenesis dan epidemiologi influenza unggas (Harder et al.

(24)

Menurut Newman et al. (2006), virus AI dapat ditemukan dalam air liur,

leleran hidung dan feces, unggas lain dapat tertular jika kontak dengan

bahan-bahan tersebut. Karakteristik virus AI antara lain : 1) Virus ini dapat bertahan

hidup dalam waktu yang lama di lingkungan dengan temperatur yang cocok; 2).

Virus dapat bertahan hidup untuk waktu yang tidak terbatas pada material yang

dibekukan; 3). Virus dapat menyebabkan infeksi melalui aerosol yang berada di

udara, yang menempel pada mulut, hidung, wajah, atau terhisap masuk ke

paru-paru; 4). Satu gram bahan kontaminan yang mengandung virus cukup untuk

menginfeksi satu juta unggas.

Gejala Klinis dan Lesi

Gejala klinis yang paling sering terlihat adalah gangguan pernafasan, namun

gejala lain sangat bervariasi mulai dari tidak terlihat hingga penurunan produksi

telur atau fertilitas hingga gejala syaraf. Gejala klinis unggas yang terinfeksi

bentuk HPAI adalah diare berwarna hijau, sianosis dan edema pada kepala, pial

dan jengger, lakrimasi berlebihan, sinusitis, perdarahan jaringan subkutan yang

diikuti sianosis pada kulit terutama kaki. Sinusitis tidak biasa ditemukan pada

bebek, puyuh dan kalkun. Lokasi dan tingkat keparahan pada pemeriksaan

makroskopik sangat bervariasi dan dapat ditemukan hemoragi, transudasi, dan

nekrosis pada saluran respiratorium, gastrointestinal, integumentum dan

urogenital (Fraser et al. 1991; Tabbu 2001; Darminto 2006).

Virus avian influenza (AI) subtype H5N1, highly pathogenic pada ayam,

puyuh dan kalkun serta menyebabkan mortalitas 75-100 % dalam waktu 10 hari

setelah infeksi (Perkins & Swayne 2001). Pada sebuah peternakan ayam petelur

dengan populasi 34.640 ekor, AI dapat mengakibatkan kematian sebesar 43.3 %

(Nakatani et al. 2005). Sebuah peternakan itik lokal komersial di Korea Selatan

telah mengalami kematian sampai dengan 12 % akibat infeksi virus AI. Pengujian

pada mencit yang diinokulasi dengan menggunakan isolat virus AI H5 telah

menyebabkan kematian sebesar 75-100 % pada hari ke 6-8 setelah infeksi

(25)

Highly Pathogenic Avian Influenza adalah penyakit infeksi yang sangat luar

biasa, penyakit yang disebabkan oleh virus dan bersifat sistemik pada burung

yang menyebabkan tingginya angka kematian dan kesakitan. Perubahan pada saat

nekropsi ditemukan perubahan yang utama berupa multifokal nekrosis pada

pankreas serta pembesaran hati dan limpa (Kwon et al. 2005).

Gejala klinis yang timbul dari penyakit ini sangat bervariasi, tergantung

pada umur, jenis unggas dan faktor lingkungan. Gejala ini antara lain, mati

mendadak dengan atau sedikit gejala klinis, karakteristik infeksi saluran nafas,

lakrimasi yang berlebihan, sinusitis, odema pada kepala, kulit pada bagian yang

tidak berbulu menjadi kebiru-biruan, dan diare. Diagnosis penyakit ini tergantung

hasil isolasi virus dan uji sifat virulensi pada hospes. Diagnosis untuk tujuan

pengendalian penyakit berdasarkan sifat patogenitas secara in-vivo atau

determinasi molekulernya, adanya asam amino dasar pada lokasi cleavage site

dari hemaglutinin.

Patogenesis Virus Avian Influenza

Virus avian influenza sebagai patogen intraseluler memiliki mekanisme

untuk menghindari respon imun hospes sehingga virus dapat bertahan hidup dan

bereplikasi dalam tubuh hospes. Peningkatan kemampuan virus untuk

menghindari sistem imun hospes secara langsung berkorelasi dengan peningkatan

patogenisitas virus. Virus AI ini mempunyai berbagai mekanisme untuk

menghindar dari sistem imun bawaan dan respon imun perolehan hospes

(Coleman 2007).

Penanggulangan AI

Penyebaran virus AI secara global disebabkan oleh perdagangan unggas

dan/atau produk unggas serta pergerakan migratori unggas (Capua & Maragon

2006; Chen et al. 2006). Analisis penyebaran global virus AI di Asia

menunjukkan 9 dari 21 introduksi virus ke negara-negara Asia melalui

perdagangan unggas dan produk unggas. Burung migratori juga berperan pada

penyebaran dan introduksi virus AI subtipe H5N1 ke 3 dari 21 negara-negara di

(26)

Eropa terjadi melalui migratori unggas. Di Afrika, 2 dari 8 negara mengalami

introduksi virus AI subtipe H5N1 melalui pedagangan unggas dan 3 dari 8 negara

melalui migratori unggas (Kilpatrick et al. 2006).

Tindakan penanggulangan penyakit AI dilakukan sesuai dengan status

penyakit AI yang terdapat di suatu daerah tertentu, teknologi yang diperlukan

untuk penanggulangan disesuaikan dengan tingkat penyakitnya. Jika penyakit AI

belum masuk ke dalam daerah tertentu, tindakan yang dilakukan adalah

pencegahan dan penolakan, namun jika sudah masuk dan mewabah status

penyakit dinyatakan sebagai epidemik maka tindakan penanggulangan dilakukan

adalah pengendalian wabah untuk menghentikan bertambahnya kasus AI dan

(27)

DETECTION AVIAN INFLUENZA VIRUS SUBTYPE H5N1 BY

USING IMMUNOHISTOCHEMESTRY TECHNIQUE

ABSTRACT

Avian Influenza (AI) or bird flu caused by AI virus subtype H5N1 is still present in Indonesia. The Department of Agriculture of Indonesia has banned poultry distribution from endemic area to nonendemic area, except for distribution of day old chick (DOC). The aim of this research is to detect possible infection of AI virus in DOC that will be distributed from AI endemic area to AI non endemic area. As much as 240 DOCs from farms in West Java and Banten were taken from Soekarno Hatta airport. The AI virus detection in tissues (trachea, lung, heart, kidney, liver, and intestine) by using immunohistochemistry technique. Detection of AI virus using AI H5N1 monoclonal antibody with AEC as chromogen which will give the virus a reddish color. The result of this research showed 158 samples (65.8%) were positive of antigen AI H5N1 virus in tissues. From 158 positive samples, 104 samples (65.8%) showed presence of antigen only in trachea, lung and intestine, and 54 samples (34.2%) were present in all tissues (trachea, lung, intestine, liver and kidney). The results indicated that DOCs were infected with subclinical AI and distribution of DOCs is one of the potential causes of the rapid AI spread in Indonesia, so cautious distribution to AI free areas need to be taken.

(28)

DETEKSI VIRUS AVIAN INFLUENZA SUBTIPE H5N1

DENGAN TEKNIK IMUNOHISTOKIMIA

ABSTRAK

Avian influenza (AI) atau Flu Burung disebabkan oleh virus AI subtype H5N1 masih ada di Indonesia. Departemen Pertanian telah melarang peredaran unggas dari daerah endemik ke daerah non endemik kecuali peredaran anak ayam umur 1 hari (DOC). Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi kemungkinan infeksi virus AI pada DOC yang akan didistribusikan dari daerah endemik AI ke daerah non endemic AI. Sebanyak 240 ekor DOC yang berasal dari peternakan di daerah Jawa Barat dan Banten diambil di Bandar Udara Soekarno Hatta. Virus AI pada beberapa organ (trakea, paru-paru, usus, hati, ginjal) dideteksi menggunakan teknik pewarnaan imunohistokimia. Deteksi virus AI menggunakan antibodi monoklonal AI H5N1 dengan kromogen (AEC) yang akan memberi warna kemerahan pada virus AI. Hasil penelitian diketahui bahwa 158 sampel (65.8%) positif antigen AI H5N1 pada organ. Dari 158 sampel positif tersebut diketahui bahwa 104 sampel (65.8%) menunjukkan keberadaan antigen hanya pada trakea, paru-paru dan usus sedangkan 54 sampel (34.2%) ditemukan pada semua organ (trakea, paru-paru, usus, hati, ginjal) yang diteliti. Hasil penelitian ini diketahui bahwa anak ayam umur satu hari telah terinfeksi oleh virus AI secara subklinis dan DOC ini berpotensi sebagai salah satu penyebab penyebaran AI di Indonesia, sehingga perlu diwaspadai pendistribusiannya ke daerah yang masih bebas AI.

(29)

PENDAHULUAN

Avian Influenza (AI) yang disebabkan virus AI subtipe H5N1 saat ini telah

menyerang sejumlah peternakan unggas di Indonesia dan menyebabkan kerugian

ekonomi yang tidak sedikit. Penyakit AI dapat menjadi hambatan dalam

perdagangan ternak dan produk asal hewan baik secara regional, nasional,

maupun global karena produk yang dihasilkan menjadi tidak aman bagi

lingkungan budidaya ternak.

Unggas yang terinfeksi HPAI mengalami gejala klinis seperti diare berwarna

hijau, sianosis dan edema pada kepala, pial dan jengger, lakrimasi berlebihan,

sinusitis, perdarahan jaringan subkutan yang diikuti sianosis pada kulit terutama

kaki. Sinusitis tidak biasa ditemukan pada bebek, puyuh dan kalkun. Lokasi dan

tingkat keparahan pada pemeriksaan makroskopik juga sangat bervariasi dan

dapat ditemukan hemoragi, transudasi, dan nekrosis pada saluran respiratorium,

gastrointestinal, integumentum dan urogenital (Fraser et al. 1991; Tabbu 2001;

Darminto 2006).

Imunohistokimia (IHK) adalah metode alternatif yang sangat baik karena

relatif cepat, tidak mahal dan sedikit menggunakan laboratorium dan telah

menjadi metode baik dan terpercaya untuk diagnosa rutin dan aktifitas penelitian

(Ramos-Vara et al. 1999). Selain mengkombinasikan teknik anatomi, immunologi

dan biokimia untuk mengidentifikasi komponen spesifik pada jaringan melalui

reaksi antigen-antibodi spesifik, IHK memungkinkan pula untuk menggambarkan

distribusi komponen spesifik pada permukaan sel, di dalam sel, ataupun jaringan.

Berbeda dengan pewarnaan hematoksilin eosin meskipun lebih mudah, cepat dan

dapat menggambarkan jenis dan distribusi lesi tetapi tidak dapat mendeteksi

antigen virus karena ukurannya sangat kecil. Pewarnaan IHK berdasarkan reaksi

antigen antibodi kompleks sehingga apabila pada jaringan organ mengandung

antigen (virus subtipe H5N1) direaksikan dengan antisera anti H5N1 maka

antigen tersebut dapat dideteksi dan divisualisasikan dengan substrat tertentu

misalnya Amino Ethyl Carbazole (AEC) (Van Noorden 1986). Teknik pewarnaan

IHK ini memiliki keunggulan dibanding isolasi dan identifikasi virus AI H5N1

(30)

jam untuk mendeteksi antigen. Keunggulan lain dari metode ini yaitu reaksi warna

yang terjadi sebagai hasil ikatan antigen dan antibodi kompleks tergolong cukup

permanen sehingga tidak perlu dilihat dengan mikroskop fluorescens. Selain

visualisasi antigen, jaringan organ yang terinfeksi dan derajat keparahan lesi dapat

terlihat dengan jelas (Brown et al. 1992; Damayanti & Darminto 2001). Aplikasi

teknik IHK ini sudah terbukti akurat untuk mendeteksi antigen pada jaringan

organ ayam yang terinfeksi Lymphoid Leucosis (LL), New Castle Disease (ND),

Infectious Bursal Disease (IBD), Infectious Laryngotracheitis (LT), Fowl Pox,

Infectious Bronchitis (IB) (Owen et al. 1991) dan HPAI (Brown et al. 1992;

Hooper et al. 1995).

Antibodi yang digunakan untuk deteksi spesifik dapat berupa poliklonal atau

monoklonal. Antibodi monoklonal umumnya dianggap dapat menunjukkan hasil

spesifik. Antibodi monoklonal adalah antibodi yang memiliki idiotipe dan isotipe

yang sama. Idiotipe adalah bagian antibodi yang menentukan spesifisitasnya

(antigen binding surface), sedangkan isotipe adalah bagian antibodi yang

menentukan kelas-sub kelas dari antibodi maupun yang menentukan tipe-subtipe

suatu antibodi, dengan kata lain antibodi monoklonal adalah suatu antibodi yang

memiliki antigen binding surface yang sama, kelas-sub kelas maupun tipe-sub

tipe yang sama (Sudiana 2005). Antibodi poliklonal dibuat dengan menginjeksi

hewan dengan antigen peptida, dan setelah respon imun sekunder dirangsang

selanjutnya diisolasi antibodinya dari keseluruhan serum. Antibodi poliklonal

adalah pencampuran dari berbagai antibodi yang mengenali sejumlah epitop.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan virus AI

menggunakan Teknik Pewarnaan IHK.

METODE PENELITIAN

Sampel Organ

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah DOC final stock (FS)

pedaging dan petelur yang berasal dari perusahaan pembibitan di daerah Jawa

(31)

Udara Soekarno Hatta dengan metode detect disease yaitu apabila ditemukan 1

ekor positif maka dapat dikatakan DOC tersebut telah terjangkit penyakit AI.

Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan April sampai dengan September 2008

dengan jumlah sampel sebanyak 240 ekor DOC.

Setiap DOC tersebut kemudian dinekropsi dan diambil organnya (trakea,

paru-paru, usus, hati dan ginjal), selanjutnya dibuat preparat histologi untuk

melihat keberadaan virus in situ secara imunohistokimia.

Pembuatan Preparat Histologi

Organ yang diperoleh dipotong setebal 0,5 cm dan difiksasi dalam larutan

buffered neutral formalin (BNF) 10% selama 24-48 jam, di proses menjadi blok

parafin kemudian dipotong setebal 3-4 μm dan ditempelkan pada slide preparat.

Slide preparat sebelumnya dilapisi dengan gelatin dengan cara melarutkan 2,5 g

gelatin dalam 300 ml air suhu 60°C kemudian didinginkan. Setelah dingin larutan

tersebut ditambah dengan 0,25 g Khromium potasium sulfat (CrK(SOB4B) kemudian

ditambahkan HB2BO sampai menjadi 500 ml. Slide direndam selama 1-2 menit

kemudian dikeringkan pada suhu ruang.

Selanjutnya preparat dideparafinisasi dengan larutan xylol III, II, I masing

masing 3 menit kemudian rehidrasi dengan alkohol konsentrasi menurun mulai

dari alkohol absolut I, II, III, 95%, 90%,80%, 70%, masing-masing 3 menit dan

terakhir pencucian dengan destilated water (DW) selama 3-5 menit. Selanjutnya

dicuci dengan Phosphat Buffer Saline (PBS) sebanyak 3x masing-masing 5-10

menit.

Pewarnaan Imunohistokimia

Deteksi virus AI dengan teknik IHK ini mengacu pada metode yang

dilakukan oleh Temasek Laboratoium Singapore dengan menggunakan buffer

citrat untuk unmasking antigenretrieval dan proses selanjutnya menggunakan kit

DakoCytomation. Bloking aktivitas endogenus menggunakan hidrogen peroksida

(HB2BOB2B) 3% selama 20 menit kemudian dicuci dengan 0,05 % PBS tween

selanjutnya direndam dalam susu skim 0,1% selama 30 menit dan dicuci kembali

(32)

H5N1 (CG1) (Astawa et al. 2007) dan diinkubasi selama 24 jam di suhu 4P

ο

P

C.

Setelah 24 jam preparat dibilas dengan PBS tween kemudian ditambahkan

antibodi sekunder yang akan berikatan dengan antibodi primer, dan selanjutnya

diinkubasi selama 1 jam. Pewarnaan menggunakan kromogen (AEC) dilakukan

setelah antibodi sekunder dibilas dengan destillated water (DW). Counterstain

menggunakan Lillie Mayer Hematoksilin untuk mendapatkan warna kebiruan

sebagai latar belakang jaringan dan antigen yang telah terwarnai dengan

kromogen berwarna kemerahan. Preparat yang telah diwarnai kemudian diamati

dengan menggunakan mikroskop. Hasil dinyatakan positif apabila ditemukan

antigen yang berwarna kemerahan dan hasil dinyatakan negatif apabila tidak

ditemukan antigen yang berwarna kemerahan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dua ratus empat puluh sampel organ DOC (trakea, paru-paru, usus, hati dan

ginjal) dibuat menjadi preparat histologi pada slide yang telah dilapisi oleh gelatin

dan Khromium potasium sulfat (CrK(SOB4B). Selanjutnya dilakukan teknik

pewarnaan IHK menggunakan antibodi monoklonal H5N1 (CG1) sebagai antibodi

primernya. Pewarnaan antigen dengan menggunakan kromogen (AEC) sehingga

antigen akan terlihat berwarna kemerahan (Lampiran 3).

Hasil deteksi virus AI (antigen) pada 240 sampel organ DOC dengan teknik

IHK diperoleh hasil positif sebanyak 158 sampel (65.8%)(Gambar 4). Sebanyak

104 sampel (65.8 %) dari hasil 158 sampel positif menunjukkan antigen hanya

ditemukan pada organ trakea, paru-paru dan usus, sedangkan keberadaan antigen

yang ditemukan pada semua organ (trakea, paru-paru, usus, hati dan ginjal)

(33)

Persentase Hasil IHK

34.2

65.8

negatif

[image:33.595.104.509.37.842.2]

positif

Gambar 4. Presentase hasil positif dan negatif IHK pada organ DOC

Tabel 1. Persentase distribusi antigen AI subtipe H5N1 pada organ DOC dengan metode IHK

No Distribusi antigen pada organ Jumlah Persentase

1. Trakea, paru-paru, usus 104 65.8 %

2. Semua organ (trakea, paru-paru, usus, hati, ginjal) 54 34.2 %

Total 158 100%

Virus influenza lebih menyukai bereplikasi pada saluran pencernaan dan

menyebabkan tingginya titer virus pada feses (Horimoto & Kawaoka 2001).

Kombinasi antara adanya reseptor sel terhadap antigen virus AI serta banyaknya

enzim proteolitik memungkinkan efisiensi replikasi virus influenza pada organ

usus dan proventrikulus (Slemons & Easterday 1998; Gambaryan et al. 2006).

Banyaknya enzim proteolitik pada saluran pencernaan akan mengaktifkan

pemotongan post translasi dari HA0 menjadi HA1 dan HA2 (Gurten & Klenk

1999). Pembelahan protein HA ini akan menyebabkan efisiensi replikasi virus AI

pada usus.

Virulensi dari virus AI diperankan oleh glikoprotein HA yang memulai

infeksi dengan memperantarai ikatan virus dengan sel reseptor dan dengan

mendorong pembebasan virus RNP melalui fusi membran. Aktivasi proteolitik

pasca-translasi dari prekursor molekul HA (HA0) menjadi subunit HA1 dan HA2

oleh protease hospes menghasilkan fusogenik domain pada terminal amino dari

(34)

sehingga aktivasi proteolitik dari molekul HA sangat penting untuk infektivitas

dan penyebaran virus melalui tubuh hospes (Gurten & Klenk 1999; Steinbauer

1999), selanjutnya terjadi pergeseran kerusakan organ sesuai dengan masuknya

virus ke dalam aliran darah. Kobayashi et al. (1996) menyatakan bahwa virus AI

bereplikasi secara efisien di dalam endotelium pembuluh darah dan sel

parenkhimal perivaskular yang tampaknya penting untuk penyebaran virus dan

infeksi sistemik, sehingga keterlibatan sistem kardiovaskular memainkan peranan

penting dalam patogenesis infeksi virus AI.

Banyaknya antigen yang terdeteksi pada organ paru-paru dan trakea karena

virus AI memiliki kecenderungan berkembang biak pada sel epitel bersilia di

saluran pernafasan. Organ saluran pernafasan merupakan sasaran utama virus AI,

sel-sel epitel saluran pernafasan rentan terhadap infeksi virus. Reseptor virus

adalah penentu tropism (respon organisme terhadap stimulus luar). Pada infeksi

AI, tempat ikatan protein virus diperlukan untuk ikatan ke galaktosa mengikat

asam sialik pada permukaan sel-sel hospes (Weis et al. 1988). Virus yang masuk

melalui inhalasi akan menembus mukosa saluran pernafasan dan melekat pada

reseptor galaktosa yang ada pada saluran pernafasan dilanjutkan dengan proses

endositosis dan fusi virus. Pada saat proses fusi, genom virus dilepaskan ke

sitoplasma sel terinfeksi selanjutnya genom akan bermigrasi ke nukleus. Di

nukleus inilah terjadi trankripsi dan replikasi virus (Cross et al. 2001). Virus AI

yang menginfeksi sel-sel epitel pernafasan akan bereplikasi dalam waktu

berjam-jam dan memproduksi sejumlah virion (Behrens & Stoll 2007). Coleman (2007)

menyatakan bahwa proses replikasi virus sangat cepat, sekitar 10 jam/siklus.

Antigen virus AI jarang ditemukan pada hati, ginjal dan jantung kemungkinan

karena infeksi virus AI masih pada tahap awal sehingga belum menyebar ke organ

viseral lainnya. Mo et al. (1997) berpendapat bahwa antigen dapat dideteksi pada

otak, jantung, paru-paru, pankreas dan ginjal dan diduga kuat virus HPAI

menyerang saluran pernafasan untuk kemudian bereplikasi di sini dan menyebar

ke semua organ viseral.

Derajad kerusakan akibat penyakit AI tergantung pada banyak faktor antara

lain virulensi dari virus, status kekebalan dan diet dari hospes adanya infeksi

(35)

dipengaruhi oleh peranan HA di mana memperantai ikatan virus dengan sel

reseptor dan mendorong pembebasan ribonukleoprotein virus melalui fusi

membran. HA virus AI yang tidak virulen biasanya hanya memecah dalam

sejumlah sel tertentu, sehingga hanya menyebabkan infeksi lokal di dalam saluran

pernafasan atau intestinal atau keduanya mengakibatkan infeksi yang ringan atau

tanpa gejala sama sekali. HA virus AI yang virulen mampu memecah pada

berbagi sel yang berbeda dari hospes, sehingga menyebabkan infeksi sistemik

yang mematikan pada unggas (Easterday et al. 1997).

Teknik pewarnaan IHK dapat diaplikasikan terhadap sejumlah organ

unggas. Sejumlah spesimen organ diproses sebagai preparat histopatologi dan

jaringan organ yang diduga mengandung virus flu burung direaksikan dengan

menggunakan kit DakoCytomation. Antigen yang terdapat pada jaringan organ

dapat divisualisasikan dengan penambahan pewarna/substrat AEC yang

menghasilkan warna coklat kemerahan. Teknik pewarnaan ini terbukti sangat

cepat dan akurat untuk mengkonfirmasi diagnosis pada preparat histopatologi dan

membuktikan bahwa hewan terinfeksi oleh virus AI subtipe H5N1. Antigen AI

subtipe H5N1 dapat dideteksi dengan sangat jelas pada pangkal Esofagus,

paru-paru, usus, limpa, ginjal dan ovarium. Antigen virus AI subtipe H5N1 ini dapat

dideteksi dengan baik menggunakan antibodi monoklonal karena antibodi

monoklonal hanya bereaksi dengan satu epitop struktur antigenik virus (Zheng et

al. 2001; Vareckova et al. 2002; Ohnishi et al. 2005).

Antibodi monoklonal yang digunakan pada penelitian ini adalah anti antigen

AI subtipe H5N1 yang diproduksi dari isolat Indonesia. Astawa et al. (2007)

berhasil mengisolasi 12 monoklonal yang spesifik terhadap virus AI dan 8

monoklonal (AG8, BC12, CC5, CG1, DD9, DF11, EA11 dan EE8) dapat

digunakan untuk mendeteksi virus AI pada organ bebek. Hasil uji dengan

menggunakan western blot diketahui bahwa 2 monoklonal (DD9 dan CC5) dari 8

monoklonal tersebut mengenali 2 pita protein dengan berat molekul 76 dan 58

kDa, sedangkan 3 monoklonal (CG1, EE8, dan AG8) bereaksi kuat terhadap

antigen AI pada organ bebek. Penggunaan antibodi monoklonal H5N1 (CG1)

pada penelitian ini karena antibodi tersebut bereaksi kuat terhadap antigen AI

(36)

protein HA virus dilaporkan memiliki senstifitas 100 % dan spesifisitas 99,1 %

dalam mengikat subtipe HA virus (Vareckova et al. 2002). Sama seperti pada

virus influenza manusia, antibodi monoklonal terhadap virus AI juga memiliki

derajat sensitifitas dan spesifisitas yang sama ketika digunakan untuk mendeteksi

antigen virus AI (Astawa et al. 2007).

Distribusi, lokasi dan jumlah antigen H5N1 yang terdapat pada organ

dipengaruhi oleh spesies dan umur unggas, strain virus, konsentrasi virus, rute

infeksi (Hooper et al. 1995; Suarez et al. 1998). Brown et al. (1992) melaporkan

sebaran antigen yang dideteksi pada organ ayam yang terserang HPAI dapat

dideteksi pada organ otak, jantung, ginjal terutama menempati area vaskular yaitu

pada epitel endotel pembuluh darah. Hooper et al. (1995) juga menunjukkan

bahwa virus HPAI dapat divisualisasikan pada kulit jengger, otak, jantung,

paru-paru, otot, skeletal, ginjal, limpa dan ovarium, kerusakan yang terjadi terlihat

menonjol pada daerah vaskuler semua pembuluh darah organ yang terinfeksi dan

hal ini berkolerasi positif dengan antigen yang dideteksi pada area tersebut.

Menurut Perkins & Swayne (2001), antigen HPAI juga dapat dijumpai pada otak,

pankreas, limpa, kelenjar adrenal dan ovarium.

Perubahan patologis jaringan organ DOC terlihat adanya infiltrasi limfosit

dan nekrosis (Setyawati 2008). Hal ini terjadi karena virus bereplikasi pada sel

sehingga menyebabkan degenerasi dan kematian sel (Cheville 2006). Menurut Mo

et al (1997), antigen dalam jumlah tinggi terlihat mengelilingi area yang

mengalami nekrosis tetapi relatif sedikit pada pusat nekrosis. Suarez et al. (1998)

juga membuktikan bahwa kapiler pembuluh darah mengalami hipertropi dan

berisi masa protein serta sel radang. Fenomena ini menimbulkan hambatan suplai

oksigen sehingga jaringan mengalami hipoksia yang berakibat nekrosis.

SIMPULAN

1. Sebanyak 158 sampel (65.8%) dari 240 sampel DOC yang dilalulintaskan

melalui Bandar Udara Soekarno Hatta menunjukkan hasil positif AI dengan

metode pemeriksaan IHK.

2. Antigen AI subtipe H5N1 yang ditemukan pada organ trakea, paru-paru dan

(37)

ditemukan pada seluruh organ yang diperiksa (trakea, paru-paru, usus, hati dan

ginjal) sebanyak 54 sampel (34.2%).

3. Infeksi virus AI yang menyerang DOC kemungkinan masih pada tahap awal

infeksi karena lebih banyak ditemukan pada saluran pernafasan dan

pencernaan daripada organ viseral lainnya.

SARAN

1. Perlu dilakukan deteksi keberadaan antigen AI subtipe H5N1 pada induk

ayam menjelang bertelur sehingga diperoleh kepastian adanya penularan

secara vertikal.

2. Perlu dilakukan deteksi keberadaan antigen AI subtipe H5N1 pada embrio

telur dari berbagai umur embrio.

3. Perlu adanya monoklonal isolat Indonesia lainnya untuk dalam pengujian IHK

(38)

IDENTIFICATION AND ISOLATION AVIAN INFLUENZA

VIRUS SUBTYPE H5N1 IN DOC

ABSTRACT

Day Old Chick (DOC) has been suspected to potentially spread and infect Avian Influenza Virus (AIV) to other poultry by importation and transportation from Java to other islands in Indonesia. The aim of this research is to detect and isolate AIV in DOC that can be infected to other animal through transportation from endemic area to another area in Indonesia. Antibody titers were measured in every DOC against AI virus with Haemagglutination Inhibition (HI) test. Pooled samples of trachea, lung and egg yolk were tested for the presence of Influenza A viruses by using Reverse Transcriptase-Polymerase Chains Reactions (RT-PCR) with matrix primer pairs (FAI; RAI), positive samples were then further tested with H5 primer pairs (FH5; RH5) (Lee et al. 2004). The result of this research showed 44 egg yolk samples (55%) were positive of Influenza A. From the 44 samples positive, 19 samples (43.2%) were positive AIV Subtype H5 and 25 samples (56.8%) were positive another subtypes (Hx). This research showed that AIV were able to spread by vertical transmission, because viral concentrations were highest in the egg yolk than tracheas and lungs.

Key words: Day Old Chick, Influenza A, Matrix primer, H5 subtype

IDENTIFIKASI DAN ISOLASI VIRUS AVIAN INFLUENZA

SUBTIPE H5N1 PADA DOC

ABSTRAK

Anak ayam umur 1 hari atau DOC dicurigai sebagai sumber penyebaran virus Avian Influenza ke unggas lain melalui importasi dan transportasi dari Pulau Jawa ke Pulau-Pulau lain di Indonesia. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeteksi dan mengisolasi virus AI pada DOC yang dilalulintaskan dari daerah yang endemis ke daerah lain di Indonesia. Setiap DOC diuji titer antibodinya dengan menggunakan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI). Kumpulan sampel organ trakea dan paru-paru serta kuning telur DOC diuji dengan Reverse Transcriptase-Polymerase Chains Reactions (RT-PCR) menggunakan primer matrik (FAI dan RAI) serta primer H5 (FH5 dan RH5) dari Lee et al. (2004). Hasil dari penelitian ini menunjukkan 44 sample (55%) kuning telur positif Influenza A dan dari sampel positif Influenza A tersebut 19 sampel (43.2%) menunjukkan positif virus AI subtipe H5 dan 25 sampel (56.8%) positif AI subtipe lainnya (Hx). Oleh karena kemungkinan virus AI dapat ditularkan melalui vertikal transmisi karena konsentrasi virus lebih banyak ditemukan pada kuning telur dibandingkan dengan di organ trakea maupun paru-paru DOC.

(39)

PENDAHULUAN

Wabah Avian Influenza (AI) telah mengakibatkan kehancuran bagi industri

ternak unggas, apalagi bagi peternak individual. Bagi negara berkembang yang

memerlukan unggas dan telur sebagai sumber utama protein, dampak wabah ini

sangat besar terhadap keadaan gizi rakyat (Harder et al. 2006), selain itu secara

nasional dapat mengganggu perekonomian, ketahanan pangan, dan keseimbangan

ekologis (Naipospos 2006).

Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) merupakan penyakit zoonosis

asal unggas yang sangat fatal dan menular mengakibatkan gejala klinis pada

saluran pernafasan, gastrointestinal dan syaraf. Hampir semua unggas yang sudah

didomestikasi misalnya ayam, kalkun, burung puyuh, itik, angsa, bebek serta

unggas liar sangat peka terhadap infeksi virus ini. Penyakit ini dapat ditularkan

melalui sekresi hidung, mata, dan feses dari unggas terinfeksi yang masuk melalui

mulut, mata dan hidung. Feses yang terkontaminasi virus AI dapat bertahan

sampai waktu yang sangat lama terutama dalam keadaan sejuk dan lembab

(CIDRAP 2004).

Wibawan (2006) mengatakan saat ini kondisi virus AI sudah berbentuk

infeksi subklinik, yang berarti bahwa hewan terinfeksi virus AI namun tidak

menunjukkan gejala klinis sakit. Oleh karena itu penyakit yang tidak terdeteksi

dengan tepat akan menyebabkan meluasnya penyakit di lapangan. Penyebaran

penyakit AI sampai saat ini diduga akibat perpindahan unggas dewasa. Telur yang

telah terinfeksi secara vertikal dari induknya memiliki daya tetas rendah sehingga

anak ayam umur satu hari (DOC) tidak lazim terinfeksi virus AI subtipe H5N1

saat menetas. Peran DOC sebagai media penyebar virus AI belum banyak diteliti

dan diketahui oleh para ahli, sehingga perlu diteliti apakah virus AI dapat

menyebar bersama perpindahan DOC karena infeksi subklinis. FAO (2008)

menyebutkan bahwa DOC dapat tertular virus AI akibat terkontaminasi dari alat

angkut.

Penegakan diagnostik AI dapat dilakukan berdasarkan isolasi dan

karakterisasi virus. Isolasi virus sering dilakukan dengan menggunakan telur ayam

(40)

monkey kidney vero cell line. Secara serologik virus AI dapat diidentifikasi

dengan uji HI (hemagglutination inhibition), AGID (agar gel immunodiffusion) ,

ELISA (enzym linked immnunosorbent assay), imunohistokimia atau western

blot. Untuk mengkonfirmasi adanya virus AI dilakukan dengan konvensional

Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), real time RT-PCR

atau sekuensing genetik (OIE 2005 dan Kraft et al. 2005). FAO (2004)

menambahkan, screening test untuk virus AI secara cepat dapat menggunakan

rapid direct antigen detection test.

Karakteristik AI subtipe H5N1 dapat dilakukan dengan mengamplifikasi

cetakan DNA (DNA template) menggunakan RT-PCR atau sekuensing genetik.

Uji ini dapat digunakan pada unggas yang sakit ataupun yang mati. PCR sebagai

salah satu metode uji yang menggunakan teknologi biologi molekuler sangat

penting artinya bagi perkembangan diagnosa penyakit hewan. Kemampuan yang

dimiliki oleh teknologi PCR dalam memperbanyak DNA target yang dicari secara

spesifik akan bermanfaat dan dapat diandalkan untuk diagnosa penyakit yang

disebabkan oleh agen virus dan agen infeksius lainnya. Penelitian ini bertujuan

untuk mengidentifikasi virus AI pada DOC dengan RT-PCR serta melakukan

isolasi virus tersebut.

METODE PENELITIAN

Sampel penelitian ini adalah DOC pedaging dan petelur yang berasal dari

perusahaan pembibitan di daerah Jawa Barat dan Banten yang akan

didistribusikan ke luar Pulau Jawa melalui Bandar Udara Soekarno Hatta dengan

metode detect disease. Pengambilan sampel dilakukan pada Bulan April sampai

dengan September 2008 dengan jumlah sampel 240 ekor DOC.

Uji serologi dengan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI)

Sebanyak 240 ekor DOC diambil darahnya untuk uji serologis. Darah

diambil dari jantung menggunakan jarum suntik 1 ml (Terumo) kemudian

dibiarkan beberapa saat pada suhu ruang sampai terbentuk serum. Uji

Hemaglutinasi Inhibisi (HI) dilakukan untuk mengukur titer antibodi terhadap

virus AI menggunakan antigen AI H5N1 (BBalitvet) dan diamati adanya

(41)

hambatan serum terhadap haemaglutinasi antigen virus AI. Titer serum ditentukan

berdasarkan atas hambatan serum pada pengenceran tertinggi masih mampu

menghambat antigen (4 HAU) mengaglutinasi sel darah merah.

Sebanyak 25 μl PBS dimasukkan ke dalam 96 lubang cawan mikro dengan

dasar berbentuk V kemudian ditambah dengan serum yang akan diuji sebanyak

25 μl pada lubang pertama dan dilakukan pengenceran serial kelipatan 2 dari

lubang pertama sampai lubang ke-11, sedangkan lubang ke-12 dipergunakan

sebagai kontrol. Pada masing-masing lubang ditambahkan antigen virus AI H5N1

sebesar 4 HAU masing-masing 25 μl kecuali pada lubang ke-12 yang ditambah

dengan PBS, selanjutnya cawan mikro dikocok sebentar dan diinkubasi selama 15

menit pada suhu kamar. Pada seluruh lubang kemudian ditambah dengan 25 μl sel

darah merah 1% dan diinkubasi lagi selama 30 menit. Setelah itu diamati

terjadinya hambatan agglutinasi pada setiap lubang (OIE, 2005).

Pengambilan sampel organ dan kuning telur

Sebanyak 240 sampel DOC tersebut kemudian dinekropsi dan diambil

organnya (trakea, paru-paru, usus, hati dan ginjal) serta kuning telur yang masih

ada dalam tubuh DOC (Gambar 5) untuk diidentifikasi menggunakan RT-PCR.

Koleksi sampel organ dilakukan dengan cara mengumpulkan 6 organ yang sama

(pooling) setiap peternakan, sedangkan sampel kuning telur dikoleksi dari setiap

[image:41.595.119.464.537.717.2]

individu DOC.

Gambar 5. Organ dan kuning telur DOC yang diperiksa menggunakan RT-PCR Kuning telur

Trakea

Usus Hati

Ginjal

(42)

Ekstraksi RNA virus

Potongan organ (trakea, paru-paru, usus, hati dan ginjal) dan kuning telur

diekstraksi menggunakan TRIZOLP

R

P

LS (Invitrogen). Sampel sebanyak 250 μl

dimasukkan ke dalam tabung mikro 1.5 ml dan ditambahkan 750 μl Trizol LS

kemudian divortex serta inkubasikan selama 5 menit pada suhu ruang. Selanjutnya

larutan ditambah dengan 250 μl kloroform, dicampur perlahan-lahan dan

diinkubasi 10-15 menit pada suhu ruang. Setelah itu kemudian larutan disentrifus

12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4P

o

P

C. Supernatan dipindahkan ke dalam

tabung mikro baru kemudian ditambahkan 500 μl isoprophil alkohol

(isopropanol), dicampur perlahan-lahan kemudian diinkubasikan pada suhu kamar

selama 10 menit. Setelah itu larutan disentrifus 12.000 rpm selama 20 menit pada

suhu 4P

o

P

C, kemudian supernatan dibuang dan pelet RNA dikoleksi. Endapan

dicuci dengan menggunakan ethanol 75% dalam DEPC (dingin) kemudian

divortek dan disentrifus 12.000 rpm selama 20 menit pada suhu 4P

o

P

C, supernatan

dibuang dan pelet dikeringkan selama kurang lebih 15 menit di udara terbuka.

Pada pelet yang telah kering, ditambahkan 10 μl RNAse free water kemudian

disimpan pada suhu –20P

ο

P

C sebelum digunakan untuk amplifikasi PCR.

Ekstraksi kuning telur sebelumnya diberi perlakuan dengan menambahkan

satu bagian kuning telur dengan satu bagian PBS, selanjutnya campuran divortek,

kemudian ditambahkan dengan dua bagian kloroform (Beck et al. 2003; Selleck

2005). Campuran ini diinkubasi pada suhu ruang selama 30 menit selanjutnya

disentrifus 3000 rpm selama 15 menit. Cairan yang berwarna putih jernih yang

terdapat pada lapisan atas digunakan untuk ekstraksi RNA.

Ekstraksi sampel organ sebelumnya diberi perlakuan dengan menggerus

setiap sampel organ (kumpulan dari 6 ekor DOC) dan diencerkan 1/100 PBS yang

telah ditambah dengan antibiotika penisilin dan streptomisin sebanyak 100 IU,

sentrifus 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan digunakan untuk

(43)

Identifikasi virus AI subtipe H5N1 dengan RT-PCR

Reaksi RT-PCR menggunakan Super ScriptP

TM

P

III One-Step RT-PCR sistem

dengan Platinum P

R

P Taq DNA Polymerase (Invitrogen, Cat. No. 12574-026).

Primer yang digunakan ada tiga macam yaitu primer gen matrik, primer H5 dan

[image:43.595.93.530.138.820.2]

primer N1 (Tabel 2).

Tabel 2. Primer untuk mengamplifikasi virus AI H5N1 pada DOC

Primer Sekuen basa Fragmen Gen Produk

1P

a

P FAI: 5’GCA CTT GAT ATT GTG GAT TCT TGA TC’3 M 55bp

RAI:

Gambar

Gambar 2. Struktur genetik virus avian influenza (Burnham Institute)
Gambar 1.  Bagan patogenesis dan epidemiologi influenza unggas (Harder et al.
Gambar 4. Presentase hasil positif dan negatif IHK pada organ DOC
Gambar 5. Organ dan kuning telur DOC yang diperiksa menggunakan RT-PCR
+7

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun file ini dapat dilihat oleh pemakai, file kunci lisensi ini relative susah untuk dimanipulasi untuk merubah kondisi file dari status uji coba menjadi tidak

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah hasil belajar siswa yang diajarkan dengan menggunakan metode ekspositori berbasis peta pikiran

Guru tidak pernah memusuhi siswanya meskipun suatu ketika siswanya berbuat kurang sopan pada orang lain. Bahkan dengan sabar dan bijaksana guru memberikan nasihat bagaimana

Dari analisis pengendalian erosi di Sungai Pedes, dapat disimpulkan bahwa dengan adanya dinding penahan tanah, krib, tanggul bronjong dan sheet pile dapat melindungi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dengan pendekatan Realistic Mathematic Education

Karena hutang piutang itu dilakukan adanya suatu kebutuhan yang mendesak, sudah barang tentu benda yang dijadikan obyek hutang itu adalah benda yang bernilai (bermanfaat) dan

Perlakuan degreening suhu 18 0 C dan penyimpanan suhu ruang pada ketiga varietas menunjukkan perubahan warna menjadi jingga yang lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan

Sedangkan untuk alumni yang telah bekerja dibidang pajak dalam sebuah perusahaan peneliti memilih alumni yang sudah bekerja selama lebih dari 5 tahun dibidang