• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2.3. Identifikasi Dimensi Mutu

Langkah pertama meliputi pengidentifikasian dimensi yang mendefinisikan mutu barang atau jasa. Daftar dimensi ini dapat digeneralisasi dalam berbagai cara dengan menggunakan berbagai sumber informasi. Salah satu cara ialah meneliti literatur (seperti jurnal ilmu pengetahuan, profesional dan perdagangan) yang membahas industri-industri khusus. Publikasi ini mungkin memuat dimensi barang atau jasa.

Sebagai contoh, informasi ditemukan dalam jurnal ilmu pengetahuan, peneliti-peneliti (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1985) telah menyimpulkan bahwa mutu jasa dapat diuraikan pada dasar 10 dimensi. Mencoba untuk mengukur 10 dimensi, ternyata pelanggan hanya dapat membedakan 5 dimensi (Parasuraman, Zeithaml, dan Berry, 1985) dalam Supranto (2006). Dengan demikian, ada 5 dimensi utama (sesuai urutan derajat kepentingan relatifnya) yang sering disebut “SERVQUAL”, yaitu :

Reliability (reliabilitas), meliputi kemampuan Rumah Sakit untuk memberikan pelayanan yang terbaik, Responsiveness (daya tanggap), meliputi kesediaan karyawan Rumah Sakit untuk membantu konsumen dan memberikan pelayanan yang cepat,

Assurance (jaminan), meliputi sopan santun para karyawan dan kemampuan mereka untuk membangkitkan rasa kepercayaan dan rasa percaya konsumen, Empathy

(empati), meliputi rasa perduli dan perhatian secara lebih yang diberikan pada konsumen, Tangibles (bukti fisik), meliputi penampilan fisik gedung, interior gedung, penampilan pegawai.

Pada dasarnya kualitas pelayanan merupakan merupakan suatu bentuk penilaian konsumen terhadap tingkat pelayanan yang diterima (perceived service) dengan tingkat pelayanan yang diharapkan (expected service). Bagi perusahaan kuncinya adalah menyesuaikan atau melebihi harapan mutu jasa yang diinginkan konsumen.

Kepuasan konsumen akan terpenuhi apabila proses penyampaian jasa dari si pemberi jasa kepada konsumen sesuai dengan apa yang diperlukan konsumen. Berbagai faktor seperti : subyektifitas si pemberi jasa, keadaan psikologis (konsumen maupun pemberi jasa), kondisi lingkungan eksternal dan sebagainya tidak jarang turut memengaruhi sehingga jasa sering disampaikan dengan cara yang berbeda dengan yang dipersepsikan oleh konsumen.

Tiga peneliti Amerika, Leonard L. Berry, A. Parasuraman dan Valerie A. Zeithaml dalam Tjiptono (1996), melakukan penelitian mengenai customer perceived quality pada empat industri jasa, yaitu retail banking, credit card, securities brokerage, dan product repair and maintenance. Dalam penelitian tersebut, mereka mengidentifikasi 5 gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa. Kelima gap tersebut adalah :

1. Gap antara harapan konsumen dan persepsi manajemen

Pada kenyataannya pihak manajemen pada suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami apa yang diinginkan para pelanggan secara tepat.

Akibatnya manajemen tidak mengatahui bagaimana suatu jasa seharusnya didesain, dan jasa-jasa pendukung/sekunder apa saja yang diinginkan konsumen. Contohnya pengelola katering mungkin mengira para pelanggannya lebih mengutamakan lebih mengutamakan ketepatan waktu pengantaran makanannya, padahal para pelanggan tersebut mungkin lebih memperhatikan variasi menu yang disajikan.

2. Gap antara persepsi manajemen terhadap harapan konsumen dan spesifikasi kualitas jasa

Kadangkala manajemen mampu memahami secara tepat apa yang diinginkan pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun suatu standar kinerja tertentu yang jelas. Hal ini bisa disebabkan karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kekurangan sumberdaya, atau karena adanya kelebihan permintaan. Sebagai contoh, manajemen suatu bank meminta para stafnya agar memberikan pelayanan secara “cepat” tanpa menentukan standar atau ukuran waktu pelayanan yang dapat dikategorikan cepat.

3. Gap antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa

Ada beberapa penyebab terjadinya gap ini, misalnya karyawan kurang terlatih (belum menguasai tugasnya), beban kerja melampaui batas, tidak dapat memenuhi standar kerja, atau bahkan tidak mau memenuhi standar kerja yang telah ditetapkan. Selain itu mungkin pula karyawan dihadapkan pada standar-standar yang kadang kala saling bertentangan satu sama lain, misalnya para juru rawat diharuskan meluangkan waktunya untuk mendengarkan keluhan atau

masalah pasien, tetapi disisi lain mereka juga harus melayani pasien dengan cepat.

4. Gap antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal

Seringkali harapan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyataan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipenuhi. Misalnya brosur suatu lembaga menyatakan bahwa lembaganya adalah yang terbaik ; memiliki sarana kuliah ; praktikum dan perpustakaan lengkap ; dan staf pengajarnya profesional. Akan tetapi saat pelanggan datang dan merasakan bahwa ternyata fasilitas praktikum dan perpustakaannya biasa-biasa saja (hanya memiliki beberapa ruang kuliah ; jumlah komputer relatif sedikit ; judul dan buku eksemplar terbatas), maka sebenarnya komunikasi eksternal yang dilakukan lembaga pendidikan tersebut telah mendistorsi harapan konsumen dan menyebabkan terjadinya persepsi negatif terhadap kualitas jasa lembaga tersebut.

5. Gap antara jasa yang dirasakan dan jasa yang diharapkan

Gap ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja/prestasi perusahaan dengan cara yang berlainan, atau bisa juga keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut. Misalnya seorang dokter bisa saja terus mengunjungi pasiennya untuk menunjukkan perhatiannya. Akan tetapi pasien dapat menginterpretasikannya sebagai suatu indikasi bahwa ada yang tidak beres berkenaan dengan penyakit yang dideritanya.

Kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan pelanggan, dimana kualitas memberikan dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan hubungan yang lebih kuat dengan perusahaan dan pada gilirannya kepuasan pelanggan dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pelanggan kepada perusahaan yang memberikan kualitas memuaskan (Tjiptono, 2004).

Pada hakikatnya tujuan bisnis adalah untuk menciptakan dan mempertahankan pelanggan. Semua usaha manajemen diarahkan pada satu tujuan utama yaitu terciptanya kepuasan pelanggan. Beberapa manfaat yang dapat dihasilkan dari kepuasan pelanggan (Tjiptono dan Diana, 2001), adalah :

1. Hubungan antara perusahaan dan pelanggannya menjadi harmonis. 2. Memberikan dasar yang baik bagi pembelian ulang

3. Dapat mendorong terciptanya loyalitas pelanggan

4. Membentuk suatu rekomendasi dari mulut ke mulut yang menguntungkan bagi perusahaan.

5. Reputasi dari perusahaan

6. Laba yang diperoleh dapat meningkat.

Pada prinsipnya kepuasan pelanggan dapat diukur dengan berbagai macam metode dan teknik. Metode tersebut adalah sebagai berikut menurut Kotler dalam Tjiptono (1999) :

1. Sistem Keluhan dan Saran, dengan menyediakan kotak saran, kartu komentar,

2. Ghost Shopping, dengan mempekerjakan beberapa orang untuk berperan atau bersikap sebagai pembeli potensial kemudian melaporkan temuan-temuannya mengenai kekuatan dan kelemahan perusahaan dan saingan.

3. Lost Customer Analysis, dengan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti membeli agar dapat memahami mengapa hal itu bisa terjadi.

4. Survai Kepuasan Pelanggan, dengan cara ini perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik secara langsung dari pelanggan.

Kotler (2000) juga mengatakan bahwa perusahaan jasa dapat berhasil bila terus menerus memberikan pelayanan yang berkualitas dibanding dengan pesaing, dan lebih baik lagi bila kualitas tersebut melebihi harapan pelanggan. Harapan pelanggan dibentuk dari pengalaman mereka terdahulu, pembicaraan dari mulut ke mulut dan dari iklan yang setelah mendapatkan pelayanan kemudian membandingkan kualitas tersebut dengan harapan mereka.

Dokumen terkait