• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3. Identifikasi Faktor Internal Pengrajin Tempe

Menurut Rogers dan Shoemaker (1986) karateristik individu adalah bagian dari diri pribadi dan melekat pada diri seseorang, karateristik mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi yang lain. Karateristik individu

disini merupakan faktor internal pengrajin tempe yang berhubungan dengan

kompetensi . Kelima faktor tersebut disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7 Identifikasi faktor internal pengrajin tempe

No Faktor Internal

Rataan Kisaran Kategori Persen * (%) 1. Usia 38,8 tahun (sedang) 25 – 50 tahun

sangat muda (≤ 31 tahun) muda (31,1- 37 tahun) sedang (37,1 - 43 tahun) tua (> 43 tahun) 10,3 33,3 48,7 7,7 2. Pengalaman 15,1 tahun (cukup) 5 – 30 tahun kurang (≤ 12 tahun) cukup (12,1 - 18 tahun) lama (18,1 - 24 tahun) sangat lama (>24 tahun)

25,6 38,2 28,5 7,7 3. Pendidikan formal SMP (tamat SMP) Tidak tamat SD-SMA tidak tamat SD tamat SD tamat SMP tamat SMA 10,1 35,9 46,1 7,9 4. Sifat wirausaha Skor 91,1 (cukup) Skor 82 – 107 kurang (skor ≤ 89) cukup (skor 89,1 - 95) baik (skor 95,1 - 101) sangat baik (skor > 101)

18,0 61,5 17,9 2,6 5. Motivasi Skor 24,3 (tinggi) Skor 15 – 28 kurang (skor ≤ 18,3) cukup (skor 18,4 - 21,6) tinggi (skor 21,7 - 25,0) sangat tinggi (skor > 25,0)

12,8 23,1 56,4 7.7 Keterangan: n = 39. * persen dari jumlah responden

5.3.1. Usia

Tabel 7 menunjukkan pada umumnya usia pengrajin tempe termasuk dalam kategori sedang, dengan usia rata-rata 38,8 tahun. Kisaran usia tersebut termasuk dalam kelompok usia produktif atau usia kerja. Tenaga kerja atau

manpower umumnya adalah mereka yang berusia antara 15 – 65 tahun, di mana pada usia tersebut seseorang sedang memilih bidang pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat, serta mencoba untuk berkarier (Syahyuti, 2006). Aktivitas dan tujuan hidup orang-orang yang berada pada kelompok usia produktif, menjadikan usia berpengaruh terhadap tinggi rendahnya prestasi kerja (Hurlock dalam Riyanti, 2003).

Pengrajin tempe yang berusia di bawah atau sama dengan 31 tahun sebanyak 10,3%, hal ini menunjukkan bahwa usaha industri tempe diduga kurang menarik bagi orang-orang yang berusia sangat muda, karena usaha ini

dinilai kurang menguntungkan. Banyak industri kecil yang menggunakan

kedelai sebagai bahan baku, tidak mampu beroperasi (Mustofa, 2008). Naiknya harga kedelai dan biaya produksi secara terus menerus, tidak dapat diimbangi dengan menaikkan harga jual tempe, hal ini disebabkan lemahnya daya beli masyarakat, data BPS (2004-2007) menunjukkan kenaikan harga sembako melampaui kenaikan daya beli masyarakat.

5.3.2. Pengalaman

Pengalaman yang dimiliki pengrajin tempe rata-rata mencapai 15,1 tahun, dengan kisaran 5-30 tahun. Pengalaman hampir merata pada setiap kelompok dengan penyebaran kategori sebagai berikut: kurang (25,6%), cukup (38,2%), lama (28,5%) dan sangat lama (7,7%).

Pengalaman mengelola usaha memberi dampak positif terhadap perkembangan usaha, karena dengan pengalaman seseorang akan dapat mengendalikan jalannya usaha walaupun menghadapi berbagai kendala. Semakin banyak memiliki pengalaman, akan semakin tangguh dalam menjalankan usaha. Menurut Haswell (Riyanti, 2003) pentingnya memiliki pengalaman dalam mengelola usaha kecil disebabkan umumnya kegagalan usaha disebabkan kurangnya pengalaman, terutama pada saat menghadapi berbagai masalah.

5.3.3. Pendidikan Formal

Pendidikan formal pengrajin tempe pada umumnya adalah tamatan SMP (46,1%), dan SD (35,9%). Tingkat pendidikan sangat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak pengrajin tempe dalam mengelola usahanya. Pendidikan yang pernah diperoleh seseorang akan mempengaruhi pandangan dan tindakannya. Dillon dan Hardaker (1985) berpendapat bahwa pendidikan dapat mengubah pola pikir dan daya nalar seseorang. Slamet (1992) mengemukakan bahwa pendidikan seseorang mempengaruhi perilaku individu, baik dari segi pengetahuan, sikap maupun keterampilan.

Riyanti (2003) berpendapat bahwa pendidikan memainkan peranan penting pada saat wirausaha mencoba mengatasi masalah, dan mengoreksi penyimpangan. Meskipun pendidikan formal bukan syarat untuk dapat mengelola usaha, namun pengetahuan yang diperoleh pada saat mengikuti pendidikan formal, memberi dasar yang baik untuk mengelola usaha. Menurut Soekanto (2002) pendidikan mengajarkan kepada individu berbagai macam kemampuan. Pendidikan memberi nilai-nilai tertentu bagi manusia, terutama dalam membuka pikiran serta menerima hal-hal baru yang lebih baik dan juga bagaimana cara berpikir ilmiah

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas maka pengrajin yang memiliki pendidikan lebih tinggi memiliki peluang untuk berhasil lebih besar dari pada pengrajin yang berpendidikan lebih rendah. Karena pengrajin yang berpendidikan lebih tinggi lebih memiliki berbagai pengetahuan yang dapat membantunya dalam mengelola usaha, dan lebih mudah serta lebih kritis dalam memahami persoalan usaha yang dihadapi. Pengrajin yang berpendidikan lebih tinggi akan lebih mudah belajar untuk menjadi lebih baik.

5.3.4. Sifat Wirausaha

Seorang wirausahawan mampu melihat dan menilai peluang-peluang usaha, serta mampu mengoptimalisasikan sumberdaya yang dikuasai, serta mengambil tindakan dan bermotivasi tinggi dalam mengambil risiko untuk mencapai tujuan usaha (Syahyuti, 2006)

Sifat wirausaha yang dimiliki pengrajin tempe termasuk dalam kategori cukup, data tersebut mununjukkan bahwa dalam mengelola usaha pengrajin tempe belum didukung oleh sifat wirausaha yang sangat baik, yang secara nyata mempengaruhi keberhasilan dalam mengelola usaha. Menurut Riyanti (2003)

sebagian besar keberhasilan usaha khususnya usaha kecil, sangat ditentukan oleh kepribadian wirausaha yang dimiliki pengrajin.

Kadarisman (2007) berpendapat bahwa kegiatan usaha kecil yang bergerak di bidang apapun, sesungguhnya adalah proses pembelajaran bagi pengusaha untuk memperoleh sifat dan semangat wirausaha. Pendapat ini, mengandung arti bahwa kegiatan usaha kecil dapat menumbuhkan dan mengembangkan sifat dan semangat wirausaha, serta berpengaruh secara positif terhadap kompetensi pengrajin dalam mengelola usaha industri tempe. Dengan demikian pengrajin tempe yang rata-rata telah mengelola usaha selama

15,1 tahun belum menjadikan kegiatan usahanya sebagai tempat menumbuh

kembangkan sifat-sifat wirausaha.

5.3.5. Motivasi

Kinerja usaha tempe sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan semangat kerja pimpinan beserta pekerjanya. Agar semangat kerja dapat ditingkatkan diperlukan suatu motivasi. Keberhasilan seseorang sangat ditentukan oleh kemauannya untuk berubah, yang menurut Alma (2006) disebut motivasi. Motivasi pengrajin tempe rata-rata termasuk dalam kategori tinggi, dengan skor rata-rata 24,3 pada rentang skor 15-28. Motif utama pengrajin mendirikan usaha industri tempe adalah (1) kebutuhan akan pekerjaan untuk mendapatkan uang, (2) pasar tempe relatif stabil dan (3) tidak memiliki pilihan profesi selain sebagai pengrajin tempe.

Bila dilihat dari motif pengrajin memiliki usaha industri tempe, maka berdasarkan teori Maslow pengrajin tempe masih berada pada kategori pemenuhan kebutuhan fisiologis (Physiological needs) dan keamanan (safety needs). Berkaitan dengan teori Maslow, Alma (2006) berpendapat bila suatu tingkat kebutuhan sudah terpenuhi, maka akan muncul tingkat kebutuhan yang lebih tinggi, namun ini tidak berarti tingkat kebutuhan yang lebih rendah harus terpenuhi seratus persen, baru muncul kebutuhan yang lebih tinggi lagi. Berdasarkan teori Maslow dapat diketahui bahwa motivasi seseorang sangat dipengaruhi oleh kebutuhan-kebutuhan yang ingin dicapainya.

Dokumen terkait