• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

3. Identifikasi Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik selama

LKPD Interaktif berbasis Liveworksheets pada topik hidrolisis garam dikembangkan untuk mengidentifikasi kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas XI IPA di SMA Stella Duce Bambanglipuro. Dalam produk, terdapat butir-butir soal yang telah dikembangkan untuk dapat mengidentifikasi kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hasil validasi instrumen tes yang dilakukan oleh tiga validator menunjukkan rata-rata persentase untuk masing-masing butir soal berada pada kategori tinggi. Setiap butir soal divalidasi menggunakan aspek kesesuaian instrumen dengan KD, aspek kelengkapan instrumen, aspek kesesuaian isi, aspek konstruksi soal, dan aspek kebahasaan. Instrumen tes yang berada dalam produk yang telah valid diujicobakan pada peserta didik.

Butir soal 1 merepresentasikan indikator kemampuan berpikir kritis membangun keterampilan dasar. Indikator tersebut mengarahkan peserta didik untuk mempertimbangkan hal yang diamati dari berbagai perspektif dan melakukan evaluasi melalui kegiatan intelektual yang tepat (Che, 2002). Butir soal 1 meminta peserta didik untuk dapat mengaitkan reaksi hidrolisis garam dengan fenomena perubahan warna yang terjadi pada kertas lakmus merah dan biru setelah mengamati video eksperimen hidrolisis garam sederhana. Hidrolisis garam dapat terjadi karena sifat kation sebagai asam konjugasi dari basa lemah, anion sebagai basa konjugasi dari asam lemah, atau keduanya yang menyebabkan reaksi dapat menghasilkan ion H+ atau OH-. Ion yang dihasilkan tersebut mempengaruhi pH larutan yang ditunjukkan melalui perubahan warna pada kertas lakmus merah dan biru. (Chang, 2010).

Berdasarkan hasil analisis jawaban peserta didik, rata-rata persentase seluruh peserta didik yang dicapai pada indikator tersebut sebesar 28,15% yang masuk kategori rendah. Hasil analisis menunjukkan 12 orang yang memperoleh skor di bawah KKM 66 yang menunjukkan peserta didik belum mampu membangun keterampilan dasar dalam membandingkan hasil yang

didapatkan dari bukti empiris (pengamatan eksperimen). Kedua belas orang tersebut hanya sampai pada menentukan sifat asam basa ion-ion penyusun garam yang ditampilkan dalam video eksperimen hidrolisis garam dan menentukan sifat larutan garam yang dihasilkan. Peserta didik dengan kode B, kode D, kode E, dan kode G menjabarkan hasil jawabannya mengenai sifat asam basa penyusun garam. Peserta didik menjelaskan garam NaNO3

bersifat netral karena tersusun atas asam dan basa kuat yang menyebabkan hidrolisis tidak terjadi, garam NH4Cl bersifat asam karena tersusun atas asam kuat dan basa lemah yang menyebabkan terjadinya hidrolisis sebagian, garam KCN bersifat basa karena tersusun atas asam lemah dan basa kuat yang menyebabkan terjadi hidrolisis sebagian. Kedua belas peserta didik memaparkan sifat larutan garam karena perubahan warna yang terjadi pada kertas lakmus tanpa mengaitkannya dengan peristiwa hidrolisis. Hanya satu peserta didik dengan kode L yang dapat mencapai indikator membangun keterampilan dasar dengan mengaitkan peristiwa hidrolisis garam dengan fenomena perubahan warna pada kertas lakmus merah dan biru.

Rendahnya rata-rata persentase yang diperoleh pada indikator membangun keterampilan dasar dapat disebabkan oleh kebiasaan peserta didik yang sekedar menghafal konsep hidrolisis garam yang diberikan. Hasil tersebut didukung pernyataan guru yang meminta peserta didik untuk menghafalkan asam basa penyusun larutan garam pada proses pembelajaran, sehingga peserta didik tidak memahami konsep dasar hidrolisis garam dengan baik. Khoirunnisa dan Sabekti (2020) mengemukakan hal yang serupa bahwa rendahnya kemampuan peserta didik dalam membangun keterampilan dasar dapat disebabkan oleh peserta didik tidak terlibat aktif dalam membangun konsep pengetahuannya sendiri. Butir soal 2 dan 3 merepresentasikan indikator kemampuan berpikir kritis memberi penjelasan. Indikator tersebut mengarah pada bagaimana peserta didik memfokuskan pertanyaan ataupun bertanya dan menjawab yang membutuhkan penjelasan (Leicester & Taylor, 2010). Butir soal 2 difokuskan pada sub indikator menganalisis argumen yakni menyimpulkan

kekuatan asam atau basa dari anion garam yang tidak diketahui melalui gambar. Butir soal 2 terdiri atas dua pertanyaan yang meminta peserta didik menyimpulkan anion garam Y- dengan pasangan asam konjugasi paling lemah dan urutan ketiga anion garam Y- dengan sifat basa larutan garam dari lemah menuju kuat. Berdasarkan gambar yang digunakan, anion garam B- yang memiliki pasangan asam konjugasi paling lemah. Gambar menunjukkan jumlah molekul B- yang semakin banyak berbanding terbalik dengan jumlah molekul HB yang semakin sedikit pada reaksi setimbang. Jumlah molekul HB yang sedikit merepresentasikan sifatnya semakin lemah. Urutan ketiga anion garam dimulai dari B- < A- < C- yang dilihat dari banyaknya jumlah ion OH- (konsentrasi semakin tinggi) yang dihasilkan pada reaksi setimbang.

Hasil menunjukkan sub indikator tersebut memperoleh rata-rata persentase 31,23% yang dikategorikan rendah. Sebanyak 12 orang yang belum mencapai KKM 66 yang menunjukkan peserta didik belum mencapai sub indikator tersebut karena tidak dapat mengidentifikasi inti permasalahan yang ada dalam pertanyaan. Kebanyakan menjawab secara tidak tepat mengikut konsep hidrolisis garam atau tidak memberi uraian jawaban sama sekali. Hanya satu orang dengan kode peserta didik F yang mencapai sub indikator tersebut. Peserta didik kode F dapat menentukan anion garam Y -yang memiliki pasangan asam konjugasi paling lemah dan mengurutkan anion garam Y- dari yang memiliki sifat basa larutan garam dari lemah menuju kuat. Uraian penjelasannya tepat pada pertanyaan kedua mengenai urutan anion garam, tetapi pada pertanyaan satu masih belum tepat.

Sementara itu, butir soal 3 berfokus pada sub indikator bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan. Sub indikator tersebut mengacu pada bagaimana peserta didik dapat membandingkan pH dua larutan garam yang memiliki konsentrasi yang sama. Butir soal 3 meminta peserta didik untuk membandingkan antara pH larutan garam NaNO2 dan NaC6H5COO pada konsentrasi yang sama. Larutan NaC6H5COO memiliki pH lebih tinggi dibandingkan larutan NaNO2 pada

konsentrasi yang sama karena dilihat dari nilai Ka pasangan asam lemah dari kedua garam tersebut. Semakin tinggi nilai Ka pasangan asam lemah garam tersebut, maka sifat basanya semakin tinggi (Petrucci et al., 2017). Hasil menunjukkan sub indikator tersebut memperoleh rata-rata persentase 23,08% yang dikategorikan rendah. Seluruh peserta didik tidak dapat mencapai sub indikator bertanya dan menjawab pertanyaan yang membutuhkan penjelasan. Hal ini dikarenakan peserta didik salah dalam menentukan pH larutan garam menggunakan perbandingan nilai Ka dari pasangan asam lemah kedua garam. Peserta didik justru mengambil kesimpulan bahwa nilai Ka asam lemah garam yang semakin tinggi menunjukkan sifat basa garam yang semakin kuat.

Berdasarkan hasil identifikasi indikator memberi penjelasan, dapat disimpulkan seluruh peserta didik memperoleh rata-rata persentase untuk indikator memberi penjelasan sebesar 27,15% yang masuk kategori rendah. Hasil yang rendah dapat disebabkan oleh proses pembelajaran hidrolisis garam yang belum melatih dan mengarahkan peserta didik pada soal-soal yang merumuskan masalah dan memberi penjelasan yang tepat (Nugraha, 2013).

Butir soal 4 merepresentasikan indikator menyusun strategi dan taktik. Indikator tersebut difokuskan pada bagaimana peserta didik dapat menentukan suatu tindakan dalam menyelesaikan permasalahan yang diberikan (Ennis, 1985). Pada butir soal 4, peserta didik diminta untuk dapat merancang cara penyelesaian yang tepat dalam menentukan pH larutan garam AlCl3 dengan diketahui konsentrasi dan nilai Ka [Al(H2O)6]3+. Peserta didik perlu merancang cara penyelesaiannya satu per satu sampai menemukan pH dari larutan garam tersebut. Peserta didik perlu membuat reaksi kesetimbangan hidrolisis dari aluminium klorida (AlCl3) terlebih dahulu. Setelah itu, persamaan reaksi kesetimbangan yang disubstitusikan dengan nilai Ka yang diketahui. Hasil substitusi tersebut memperoleh nilai konsentrasi H+ yang digunakan untuk menentukan pH larutan garam tersebut.

Hasil analisis menunjukkan persentase keseluruhan peserta didik sebesar 7,69% yang dikategorikan sangat rendah. Skor persentase yang diperoleh mengindikasikan kemampuan peserta didik untuk dapat menentukan suatu tindakan sangatlah kurang. Seluruh peserta didik tidak mencapai indikator tersebut karena tidak memberikan jawaban sama sekali. Hanya terdapat 2 peserta didik dengan kode F dan kode L yang memberikan jawaban, meskipun belum tepat. Jawaban yang belum tepat tersebut dikarenakan peserta didik mencoba memecahkan permasalah menggunakan rumus hidrolisis garam yang telah diketahui tanpa mencoba menganalisis permasalahan lebih lanjut.

Indikator menyusun strategi dan taktik merupakan indikator dengan skor persentase paling rendah dibandingkan indikator lainnya. Peserta didik masih merasa kesulitan pada indikator tersebut akibat metode klasikal yang digunakan selama pembelajaran kimia. Peserta didik terbiasa menerima informasi yang diberikan guru dan kesulitan untuk menentukan cara penyelesaiannya sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian Yotiani dkk. (2016) yang menjelaskan bahwa metode pembelajaran yang berpusat pada guru dengan hanya menyampaikan materi dan peserta didik tidak dituntut untuk mencari konsep hidrolisis garam secara mandiri menyebabkan peserta didik kesulitan dalam memecahkan permasalahan tingkat lanjut.

Dokumen terkait