BAB III ISU-ISU STRATEGIS
3.1 Identifikasi Permasalahan Berdasarkan Tugas dan Fungsi Pelayanan Perangkat Daerah
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di kalsel cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu. Dalam era otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang diundangkan pada tanggal 3 Oktober 2009 mengamanatkan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih baik.
Pengelolaan lingkungan hidup masih berkaitan dengan berbagai permasalahan seperti pencemaran air, udara, tanah, pengelolaan sampah, dan limbah B3. Keadaan ini diperparah dengan adanya fenomena perubahan iklim seperti meningkatnya suhu rata-rata permukaan bumi. Gambaran pencemaran air sungai pada Tahun 2015, dari 11 sungai yang dipantau, 39 lokasi, 9 lokasi dengan 5 tahap pemantauan dan 30 lokasi sebanyak 2 tahap pemantauan; sebanyak 32 sampel sungai tercemar ringan, 72 sampel sungai tercemar sedang, dan 1 sungai tercemar berat.
Penyebab status mutu air dalam kategori cemar ringan sampai cemar berat karena tingginya beberapa parameter-parameter yang dapat disebabkan berbagai hal diantaranya:
1. Air limbah industri yang belum terolah dan memiliki pH diluar nilai pH netral, akan mengubah pH air sungai
2. TSS terdiri atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik terutama yang disebabkan oleh kikisan tanah atau erosi yang terbawa ke dalam badan air
3. Dissolved Oxygen (DO) yang terlarut tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air dan tekanan amosfer. Keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi sistem respirasi organisme akuatik, sehingga kadar oksigen terlarut rendah.
4. Tingginya nilai BOD dan COD disebabkan banyak zat pencemar yang masuk ke badan air sungai Barito, baik dari alam maupun akibat kegiatan manusia. Jika nilai DO rendah maka nilai BOD dan COD meningkat
5. Nilai Total Fosfat-P kemungkinan besar dari penggunaan pupuk fosfat di sektor pertanian dan perkebunan.
6. Kadar ammoniak yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri dan limpasan pupuk pertanian
7. Tingginya nilai Fenol dimungkinkan dari alam yaitu dari batang-batang kayu yang membusuk dan dari industri perkayuan yang banyak menggunakan perekat/lem berbahan baku Fenol
8. Secara umum, banyak sumber air memiliki tingkat kandungan besi dan mangan yang cukup tinggi. Pembuangan limbah industri atau tambang dapat meningkatkan kadarnya
9. Tingginya nilai Seng (Zn) dimungkinkan dari terbongkarnya bebatuan yang mengandung partikel seng akibat kegiatan pertambangan batubara, aktifitas penambangan pasir yang juga menyebabkan partikel logam yang telah mengendap di dasar sungai timbul kembali ke permukaan air sungai.
10. Hidrogen sulfida (H2S) dapat timbul dari aktivitas biologis ketika bakteri mengurai bahan organik dalam keadaan tanpa oksigen (aktivitas anaerobik) 11. Kadar detergen tinggi disebabkan karena penggunaan detergen terutama
oleh konsumen yang melakukan kegiatan mencuci di sungai.
12. Tingginya kandungan minyak dan lemak diduga berasal dari kegiatan rumah tangga, bengkel, restauran, pasar, dan kegiatan transportasi air (kapal) 13. Merkuri atau air raksa (Hg) berasal dari limbah industri yang mengandung
merkuri selain berasal dari industri logam atau kegiatan pertambangan emas rakyat juga berasal dari kosmetik, batu baterai, plastik dan sebagainya. 14. Nilai E. Coli dan coliform yang tinggi disebabkan karena sebagian besar
warga masyarakat melakukan kegiatan MCK di perairan terlebih pada saat debit air kecil
15. Rendahnya nilai pH pada perairan ini dapat mempengaruhi kualitas air secara keseluruhan terutama peningkatan unsur-unsur logam
Pemantauan kualitas udara yang dilakukan berjumlah 39 (tiga puluh sembilan) masing-masing 3 (tiga) lokasi pengukuran di 13 (tiga belas) Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan periode pemantauan sebanyak 2 (dua) kali yang dilaksanakan pada bulan Mei dan Juni (tahap I), dan bulan November (tahap II), serta tambahan pemantauan pada kondisi kabut asap didapatkan hasil sebagai berikut:
1. Beberapa konsentrasi polutan telah memenuhi baku mutu berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 053 Tahun 2007 tanggal 27
Desember 2007 Tentang Baku Mutu Udara Ambien dan Baku Mutu Tingkat Kebisingan.
2. Parameter yang melebihi baku mutu adalah Nitrogen Dioksida (NO2), kebisingan, Total Suspended Particulate (TSP) atau debu, dan PM10.
3. Parameter Nitrogen Dioksida (NO2) yang telah melebihi bakumutu yaitu di Simpang Tiga Desa Baru Selatan Kabupaten Kotabaru.
4. Tingkat kebisingan telah melebihi baku mutu di sebagian besar lokasi pengukuran di Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu Kota Banjarmasin (Perumahan Kebun Bunga, depan Kantor Pos Banjarmasin Tengah, Simpang 4 Belitung, Simpang 3 RSUD Ulin); Kota Banjarbaru (Simpang 3 Landasan Ulin, Simpang Liang Anggang, Simpang 3 Loktabat, Simpang 4 Banjarbaru); Kabupaten Banjar (Terminal Pasar Gambut, Depan PT. Sukanda Jaya, Pasar Kindai Limpuar); Kabupaten Tapin (Samping SD Rantau Kiwa, Jl. Tasan Panyi Simpang 3, dan Jl. A.Yani Km 94 Tapin Selatan); Kabupaten Hulu Sungai Tengah (Simpang 10 Barabai dan Komplek Bulan Indah); Kabupaten Hulu Sungai Utara (Terminal Banua Lima); Kabupaten Balangan (Terminal/Taman Kota Paringin dan Perumahan Garuda Maharam); Kabupaten Tanah Laut (Pemukiman Desa Maja Keling); Kabupaten Barito Kuala (Terminal Taksi Handil Bakti); Kabupaten Tanah Bumbu (Simpang Empat Pelajau); Kabupaten Kotabaru (Simpang Tiga Desa Baru Selatan dan Perumahan PDAM).
5. Konsentrasi TSP melebihi baku mutu ditemukan di Kota Banjarmasin (Halaman Kantor Gubernur Prov Kalsel, Kantor Pos Besar, Simpang Empat Belitung, Simpang Empat Bundaran Kayutangi, Halaman TVRI, Simpang Tiga RSUD Ulin), Kota Banjarbaru (Simpang 3 Landasan Ulin, Simpang Liang Anggang); Kabupaten Banjar (Terminal Pasar Gambut, Depan PT. Sukanda Jaya, Pasar Kindai Limpuar); Kabupaten Tapin (Jl. A.Yani Km 94 Tapin Selatan); Kabupaten Hulu Sungai tengah (Simpang 10 Barabai); Kabupaten Barito Kuala (Terminal Taksi Handil Bakti); Kabupaten Tanah Bumbu (Simpang Empat Pelajau); Kabupaten Kotabaru (Simpang Tiga Desa Baru Selatan),
6. Konsentrasi PM10 melebihi baku mutu ditemukan di Kota Banjarmasin (Halaman Kantor Gubernur Prov. Kalsel, Halaman TVRI, Simpang 3 RSUD Ulin), Kota Banjarbaru (Simpang Liang Anggang, Bandara Syamsudin Noor), Kab. Banjar (Depan PT. Sukanda Jaya).
7. Konsentrasi H2S melebihi bakumutu ditemukan di Kota Banjarmasin (Halaman Kantor Gubernur Prov. Kalsel, Kantor Pos Besar, Simpang 4 Belitung, Simpang 4 Bundaran Kayutangi), Kota Banjarbaru (Simpang 3 Loktabat, Simpang 4 Banjarbaru), Kab. Banjar (Depan Kantor Bupati Banjar).
8. Konsentrasi N3H melebihi bakumutu ditemukan di Kota Banjarbaru (Simpang 3 Loktabat, Simpang 4 Banjarbaru), Kab. Banjar (Depan Kantor Bupati Banjar).
Beberapa kasus pencemaran dan perusakan lingkungan dapat muncul setiap saat sebagai dampak dari kegiatan/aktivitas manusia, yang memerlukan penanganan yang cepat dan serius karena tanpa langkah tersebut akan menimbulkan masalah pencemaran atau perusakan lingkungan, pada sisi lain masyarakat sudah sangat sensitif terhadap berbagai masalah lingkungan.Kurangnya keterpaduan pengelolaan lingkungan hidup antarsektor sehingga upaya perbaikan lingkungan masih bersifat parsial. Selain itu, kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup masih rendah. Masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah ataupun limbah domestik tidak pada tempat yang seharusnya, misalnya pembuangan langsung ke sungai.
Instrumen pengawasan yang dilakukan oleh Kabupaten/Kota dengan Provinsi masih belum sinkron ditambah lagi jumlah personil dengan banyaknya obyek pengawasan yang tidak sebanding serta peralatan pengawasan yang belum maksimal. Pengendalian pencemaran dan kerusakan lahan yang perijinan kelayakan lingkungannya diterbitkan oleh Kabupaten/Kota masih belum maksimal. Pemerintah provinsi tidak dapat memberi sanksi administrasi terhadap perusahaan yang izin lingkungannya/dokumen lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah pusat dan/atau kabupaten/kota. Turunan dari Undang-undang Nomor 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum sepenuhnya terealisasi dan kurang tersosialisasinya oleh Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah, sehingga menyulitkan pelaksanaan pengawasan penaatan lingkungan. Masih kurangnya komunikasi dari pihak kabupaten/kota dalam memberikan informasi proses AMDAL serta informasi perubahan struktur organisasi dan perubahan personil tim teknis dan komisi yang terkait dengan pemenuhan administrasi lisensi komisi penilai AMDAL kabupaten/kota serta informasi proses AMDAL yang dilakukan oleh kabupaten/kota.
Persepsi terhadap peraturan limbah B3 di perusahaan antara pemerintah pusat dan daerah serta perusahaan sering tidak sinkron, sehingga menimbulkan permasalahan dilapangan ditambah lagi belum terkendalinya peredaran limbah B3 yang dikumpulkan oleh pengumpul dari luar Kalimantan Selatan.
Dari 13 laboratorium yang ada di Kabupaten/Kota, hanya 2 (dua) lab yakni Kabupaten Tanah Bumbu dan Hulu Sungai Tengah yang terakreditasi, sedangkan lainnya masih memerlukan pembinaan dan kelengkapan sarana
prasarana dan SDM untuk dapat mencapai akreditasi. Jumlah laboratorium lingkungan yang terbatas menyebabkan sering terlambatnya hasil uji laboratorium/LHU yang disampaikan oleh laboratorium yang terakreditasi baik air dan udara, karena kemampuan laboratorium di Kalimantan Selatan sudah over load, sehingga data yang keluar sudah tidak update lagi, jadi juga terlambat dalam pengambilan keputusan untuk pemulihan kualitas lingkungan hidup.
Permasalahan peraturan perundang-undangan terkait dengan sumber daya alam di Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan belum sinkronnya RTRW Provinsi Kalimantan Selatan dengan RTRW Kabupaten/ Kota sehingga berdampak belum optimalnya pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh; dan secara internal kelembagaan. Dampak ekologis dari rusaknya DAS dan Sub-DAS (daratan dan perairan) adalah terjadinya bencana banjir dan tanah longsor yang dirasakan hampir terjadi setiap tahun (musiman). Wilayah-wilayah di Kalsel yang memiliki daya dukung lingkungan rendah sehingga rawan bencana banjir antara lain, Kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Utara, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan, Tapin dan Banjar di bagian utara, serta Kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru. Wilayah-wilayah rawan bencana ini, merupakan Wilayah-wilayah yang dilintasi sungai-sungai besar pada sub DAS Barito. Sedangkan kondisi sungai-sungai besar ini, mengalami pendangkalan, akibat kerusakan parah pada kawasan hutan sepanjang DAS dan pegunungan Meratus yang berfungsi sebagai catchment area, sehingga ketika terjadi hujan dengan intensitas tinggi terutama di kawasan Pegunungan Meratus, musibah banjir dan tanah longsor tidak bisa terelakkan lagi. Di daerah perkotaan permasalahan pengelolaan lingkungan hidup semakin berkembang dan kompleks. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi menyebabkan meningkatnya permintaan akan ruang dan penggunaan sumber daya alam, yang pada gilirannya, mempengaruhi ketersediaan sumberdaya alam itu sendiri dan mengganggu keseimbangan lingkungan. Pertumbuhan kawasan kota yang begitu pesat tanpa dibarengi dengan penataan tata kota yang baik, menyebabkan semakin semrawutnya kota. Sementara itu, permasalahan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh faktor manusia adalah terkait dengan perilaku masyarakat yang kurang memperhatikan aspek kelestarian dan kebersihan lingkungan, antara lain kurangnya disiplin masyarakat dan dunia usaha dalam membuang sampah, limbah industri, pendirian rumah hunian di bantaran sungai dan pendirian bangunan liar yang kurang mentaati peraturan perundang-undangan.
Kondisi sumberdaya perairan, daerah ini berasal dari kawasan Pegunungan Meratus, yang mengalir ratusan sungai yang menuju ke segala
masyarakat sangat bergantung, seperti kebutuhan akan energi, air besih, perikanan (keramba dan kolam ikan) bergantung pada pasokan air sungai tersebut. Keberadaan sungai di Kalimantan Selatan terhimpun dalam tiga satuan wilayah sungai yaitu wilayah sungai (WS) Barito, WS Cengal Batulicin dan WS Pulau Laut yang mempunyai beberapa sub-wilayah sungai antara lain Luang, Tabalong Kiri, Danau Panggang, Tabalong Kanan, Balangan, Amandit, Batang Alai, Sampanahan, Barito Tengah, Bahalayung, Riam Kiwa, Martapura, Tapin, Barito Hilir, dan Riam Kanan. Kondisi DAS dan beberapa Sub-DAS tersebut saat ini berada dalam keadaan agak kritis seluas 1.540.112 ha, kritis 500.078 ha, sangat kritis 55.905 ha akibat buruknya pengelolaan lingkungan seperti timber extraction (penambangan kayu), pertambangan yang tidak ramah lingkungan dan rendahnya keberhasilan rehabilitasi, reklamasi dan restorasi lahan terdegradasi. Kekritisan DAS berarti kekritisan sumber daya air baik secara kualitas maupun kuantitasnya.
Lingkungan hidup memiliki potensi konflik yang tinggi. Hal ini karena ciri-ciri yang melekat padanya dan cara pandang pihak yang berkepentingan berbeda. Ciri-ciri yang dimaksud adalah intangible eksternalitas negatif, jangka panjang, dan masih kuatnya anggapan bahwa lingkungan merupakan barang publik.
Secara garis besar konflik lingkungan dikategorikan sebagai konflik peninggalan masa lalu dan konflik di era reformasi. Pada konflik masa lalu, permasalahan biasanya menyangkut masalah perebutan pemanfaatan sumber daya alam antara masyarakat dan pihak yang berkepentingan sseperti pemerintah dan pengusaha. Sedangkan konflik di era reformasi lebih kompleks lagi, karena konflik tidak hanya terjadi antara masyarakat dengan pemerintah atau pengusaha tetapi juga konflik antar sektor dalam pemerintahan, konflik antar masyarakat.
Beberapa potensi konflik lingkungan yang muncul terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam antara lain:
1. Belum adanya konsep distribusi yang adil untuk masyarakat dan pengusaha daerah terhadap penguasaan potensi sumber daya alam baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
2. Peraturan dan perundangan yang diterapkan belum berorientasi pada peningkatan peran masyarakat dan pengusaha daerah dalam pengeloaan sumber daya alam, bahkan cendrung diamputasi.
3. Ketidakpastian hukum bahkan terjadinya kriminalisasi terhadap pengusaha daerah oleh aparat penegak hukum sehingga keberadaan pengusaha daerah semakin terpojok bahkan sampai menimbulkan trauma untuk berusaha.
4. Hambatan birokrasi baik tingkat pusat maupun daerah belum memberikan kemudahan bagi pengusaha daerah untuk beruasa dan berkiprah dalam pengelolaan sumber daya alam.
Sedangkan potensi pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan antara lain:
1. Aktivitas pertambangan batubara yang luas di Provinsi Kalimantan Selatan telah merusak sumber air
2. Zat berbahaya itu antara lain logam berat seperti merkuri, timbal, besi dan air raksa (emas) yang masuk ke badan air
3. Adanya pembuangan limbah industri ke aliran sungai
4. pencemaran air sungai oleh tinja atau kotoran manusia, hampir seluruh aliran sungai baik besar maupun kecil yang banyak terdapat di dalam kota Banjarmasin tercemar tinja atau kotoran manusia
Beban kerja dari kapasitas lembaga secara umum permasalahan sumber daya alam dan lingkungan hidup dan perlu segera untuk dilakukan pengelolaan di Kalimantan Selatan berupa:
1. Belum mantapnya penegakan hukum menyangkut illegal loging, illegal fishing dan illegal mining.
2. Pemanfaatan SDA-LH kurang memperhatikan kaidah konservasi sehingga menyebabkan pertambahan luasan lahan kritis, rusaknya ekosistem dan berkurangnya keanekaragaman hayati.
3. Kurangnya komitmen perusahaan terhadap pemulihan lingkungan hidup. 4. Sering terjadinya banjir, tanah longsor dan asap akibat kebakaran hutan
dan lahan.
5. Meningkatnya pencemaran udara, tanah dan air. 6. Belum sinkron RTRWP dengan RTRWK.
7. Belum optimalnya pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh, dan secara internal kelembagaan masih kurangnya data dan informasi yang terkait PSDAL.
3.2 Telaahan Visi, Misi, dan Program Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah