• Tidak ada hasil yang ditemukan

a. Tertimpa dan Tersandung Material

Bahaya tertimpa dan juga tersandung material di area WP Plant sangat mungkin terjadi karena penataan material yang kurang teratur dan penataan material yang terlalu tinggi. Adapun tindakan yang dilakukan PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience antara lain dengan :

1) Pengaturan batas maksimal penumpukan material.

2) Melokasikan material yang over load ke tempat penyimpanan sementara.

3) Larangan penempatan material tidak pada tempatnya.

4) Pemasangan SOP.

5) Adanya House Keeping dengan menerapkan 5R.

6) Pemasangan sign “awas kejatuhan material”

7) Penggunaan APD berupa safety helmet dan safety shoes, masker dan goggle.

Adapun tindakan yang telah dilakukan oleh PT. Bayer Indonesia-Bayer CropScience telah sesuai dengan UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 sub (f) “ memberi alat perlindungan diri pada para pekerja.

e. Terjatuh dari ketinggian

Daerah yang rawan terjadi kecelakaan terjatuh dari ketinggian pada area produksi WP Plant ini sering terjadi pada lantai 4 yang tingginya ±

commit to user

10 meter, dimana dilakukan proses charging material. Adapun tindakan yang dilakukan PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience antara lain dengan :

1) Pemasangan SOP.

2) Pemasangan sign “awas terjatuh dari ketinggian”.

3) Adanya surat ijin kerja (Safety Permit)

4) Penggunaan APD berupa safety helmet dan safety shoes, masker dan goggle.

Adapun tindakan yang telah dilakukan oleh PT. Bayer Indonesia-Bayer CropScience telah sesuai dengan UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 sub (f) “ memberi alat perlindungan diri pada para pekerja.

f. Terjepit

Bahaya terjepit berasal dari mesin produksi terutama pada proses packaging, seperti mesin Wolf 1, Rovema, dan mesin Wolf 2. Adapun tindakan yang dilakukan PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience antara lain dengan :

1) Pemasangan SOP.

2) Memasang tanda atau rambu peringatan pada setiap area atau mesin yang menyebabkan risiko bahaya.

3) Pemasangan sign “awas terjepit”.

4) Review prosedur kerja melalui JSA (Job Safety Analysis)

commit to user

5) Penggunaan APD berupa safety helmet dan safety shoes, dan sarung tangan.

Adapun tindakan yang telah dilakukan oleh PT. Bayer Indonesia-Bayer CropScience telah sesuai dengan UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 sub (f) “ memberi alat perlindungan diri pada para pekerja dan juga

b. Kebakaran dan Ledakan

Upaya penanggulangan kebakaran juga telah dipersiapkan oleh pihak PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience antara lain dengan disediakannya APAR, hydrant, call point telah sesuai dengan Kepmenaker No. Kep186/MEN/1999 tentang Unit Penanggulangan Kebakaran di Tempat Kerja pasal 2 ayat 2 sub (b) “ penyediaan sarana deteksi, alarm, pemadam kebakaran dan sarana evakuasi”. Di PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience pada setiap bangunan telah dipasang detektor kebakaran berupa smoke detector. Hal ini sesuai dengan Permenaker No. Per02/MEN/1983 tentang Instalasi Alarm Kebakaran Otomatik pasal 1 sub (j) “Detektor asap (smoke detector) adalah detektor yang sistem bekerjanya didasarkan atas asap”. Pada PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience terdapat pintu yang membuka keluar dengan jumlah lebih dari satu dengan keadaan tidak terkunci, tidak terhalang dari barang-barang apapun. Pintu darurat harus diberi tanda tulisan sehingga apabila terjadi kebakaran dapat digunakan untuk menyelamatkan diri.

Hal ini telah sesuai dengan Instruksi Menteri Tenaga Kerja No.Ins.

commit to user

11/M/BW/1997 tentang Pengawasan Khusus K3 Penanggulangan Kebakaran poin IV : 5 “Amati jalur evakuasi, pintu keluar atau tangga darurat, apakah ada rintangan yang dapat mengganggu, apakah ada petunjuk arah, apakah ada penerangan darurat. Panjang jarak tempuh mencapai pintu keluar tidak melebihi 36 meter untuk risiko ringan, 30 meter untuk risiko sedang, dan 24 meter untuk risiko berat. Serta telah sesuai dengan UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 3 ayat 1 sub (b) “Mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran”, dan sub (c) “mencegah dan mengurangi bahaya peledakan”.

2. Identifikasi Faktor Bahaya a. Faktor bahaya fisik

1) Kebisingan

Kebisingan di PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience bersumber dari mesin-mesin produksi yang dapat mengganggu fungsi pendengaran dan mengganggu aktifitas bekerja. Dari hasil pengukuran yang dilakukan pada tanggal 8 Februari 2011 di area WP Plant dapat diketahui intensitas kebisingan untuk mesin Wolf sebesar 71,5 dB dan mesin Mahle Hx sebesar 74,2 dB telah sesuai dengan standart.

Berdasarkan Kepmenaker No. Kep 51/MEN/1999 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik di Lingkungan Kerja, Nilai Ambang Batas kebisingan untuk waktu paparan 8 jam perhari adalah 85 dB.

Kebisingan dengan intensitas tinggi dapat mengganggu fungsi pendengaran dan menurunkan produktivitas kerja. Upaya yang

commit to user

dilakukan oleh PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience untuk mengurangi intensitas kebisingan 10-15 dB adalah menyediakan alat pelindung diri berupa ear plug (Suma’mur, 2009).

2) Penerangan

Dari hasil pengukuran yang dilakukan pada tanggal 21 Februari 2011 pukul 13.00 WIB didapat hasil intensitas penerangan di area WP Plant untuk lantai 1 sekitar 44-786 lux. Untuk area depan mesin Rovema sebesar 44 lux dan area depan mesin wolf sebesar 45 lux belum sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/Sk/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Dan Industri “pekerjaan kasar dan terus-menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit 200 lux, pekerjaan kasar dan tidak terus menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit 100 lux”.

Penyebab utama dari penerangan yang tidak sesuai standart dikarenakan warna cat tembok yang berwarna krem sehingga mengganggu pantulan cahaya, keadaan lampu yang kotor karena sarang serangga, serta warna lampu yang coklat sehingga mempengaruhi efisiensi dari lampu.

Untuk penerangan lantai 2 WP Plant pada mesin RM 11 sebesar 65 lux, mesin RM 31 sebesar 62 lux, lantai 4 area MSDS juga belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/Sk/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Dan Industri “pekerjaan

commit to user

kasar dan terus-menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit 200 lux, pekerjaan kasar dan tidak terus menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit 100 lux”.

Sedangkan untuk intensitas penerangan yang diukur pada pukul 19.30 WIB untuk area WP Plant lantai 1 pada area depan mesin Rovema mempunyai intensitas penerangan sebesar 82 lux, area packing Rovema sebesar 114 lux, area belakang mesin Rovema sebesar 105 lux, area timbangan mesin Rovema sebesar 72 lux, kemudian pada area depan mesin Wolf mempunyai intensitas penerangan sebesar 129 lux, area packing Wolf sebesar 95 lux, belakang mesin Wolf sebesar 139 lux, timbangan mesin Wolf sebesar 97 lux, sedangkan retain sample yang biasa digunakan untuk menyimpan sample produk mempunyai intensitas penerangan sebesar 16 lux.

Dari hasil pengukuran intensitas penerangan di area ini yang dilakukan pada malam hari dan bersumber dari penerangan buatan.

Terdapat beberapa tempat yang belum sesuai yaitu area depan mesin Rovema dan Wolf, area packing mesin Rovema dan Wolf, timbangan mesin Rovema dan Wolf, sedangkan pada area belakang mesin Rovema, Retain Sample sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/Menkes/Sk/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Dan Industri “pekerjaan kasar dan terus-menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit 200 lux, pekerjaan kasar dan tidak terus menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit

commit to user

100 lux”. Penyebab utama dari penerangan yang tidak sesuai strandart dikarenakan warna cat tembok yang berwarna krem sehingga mengganggu pantulan cahaya, keadaan lampu yang kotor karena sarang serangga, warna lampu yang coklat sehingga mempengaruhi efisiensi dari lampu, serta penempatan lampu yang kurang sesuai karena diletakkan disamping mesin Wolf dan Rovema sehingga cahaya dari lampu menjadi terkena bayangan mesin.

Pada area WP Plant lantai 2 mesin RM 11 mempunyai intensitas penerangan sebesar 85 lux, RM 20 intensitas penerangannya sebesar 84 lux, dan RM 30 intensitas penerangannya sebesar 75 lux, serta pada lantai 3 untuk mesin Mahle Hx 20 sebesar 90 lux, RM 10 sebesar 87 lux, dan RM 31 sebesar 31 lux, pada lantai 4 untuk alat timbangan sebesar 158 lux, dan area MSDS sebesar 35 lux. Intensitas penerangan pada lokasi tersebut masih belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri “pekerjaan kasar dan terus-menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit 200 lux, pekerjaan kasar dan tidak terus menerus yang membutuhkan intensitas penerangan paling sedikit 100 lux”.

Hal ini disebabkan oleh warna cat tembok yang berwarna krem sehingga menyebabkan pantulan cahaya tidak maksimal, keadaan lampu yang kotor karena sarang serangga dan debu, terdapat lampu yang berwarna coklat sehingga mempengaruhi efisiensi lampu, serta terdapat lampu yang mati.

commit to user

Oleh karena itu perlu upaya preventif untuk mencegah timbulnya salah satu Penyakit Akibat Kerja (PAK) yaitu kelelahan mata yang disebabkan karena intensitas penerangan yang kurang sesuai.

Tindakan yang perlu dilakukan adalah :

1) Modifikasi sistem penerangan yang sudah ada seperti : a) Menurunkan letak lampu didasarkan pada objek kerja.

b) Merubah posisi lampu yaitu penataan lampu yang disesuaikan dengan stasiun kerja sehingga lebih fokus mengenai area kerjanya, yaitu jarak pemasangan antara dua lampu tidak lebih dari 1,5-2 kali jarak antara lampu dan bidang kerja (Siswanto, 1991).

c) Menambah jumlah lampu.

d) Mengganti warna lampu yang berwarna coklat menjadi berwarna putih.

e) Mengganti warna cat tembok dari warna krem menjadi warna putih.

2) Modifikasi pekerjaan seperti :

a) Membawa pekerjaan lebih dekat ke mata, sehingga objek dapat terlihat jelas.

b) Modifikasi objek kerja agar dapat terlihat jelas, sebagai contoh : memperbesar ukuran huruf dan angka pada tombol-tombol peralatan kerja atau mesin.

3) Pemeliharaan dan pembersihan lampu.

commit to user 3) Suhu Basah dan Kelembaban

Suhu di tempat kerja sangat berpengaruh terhadap efisiensi kerja. Suma’mur (2009) menyebutkan bahwa suhu nikmat adalah sekitar 24-26oC bagi orang Indonesia. Suhu dingin dapat mengakibatkan kurangnya efisiensi dengan keluhan kaku atau kurangnya koordinasi otot, sedangkan suhu panas mengurangi kelincahan, memperpanjang waktu reaksi dan waktu pengambilan keputusan, mengganggu kecermatan otak, mengganggu koordinasi syaraf perasa dan motorik. Dari hasil pengukuran yang dilakukan pada tanggal 24 Februari 2011 didapat hasil pada area control room sebesar 26,6 oC, Ritain sample sebesar 31,3 oC, lantai 1 WP Plant 30,6 oC, lantai 2 sebesar 31,1 oC, lantai 3 sebesar 30,8, dan lantai 4 sebesar 29,6 oC. Untuk area lantai 2 dan ritain sample belum sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, suhu yang diperkenankan di tempat kerja sebesar 18-30 oC, karena terlalu banyak tumpukan-tumpukan sample atau produk yang mengganggu jalannya sirkulasi udara serta kurangnya ventilasi mempengaruhi hal tersebut, oleh karena itu perlu dilakukan upaya pencegahan agar tidak terjadi Penyakit Akibat Kerja (PAK) seperti akibat suhu tinggi yaitu anamnesis, chilblains, trench foot, dan frostbite dengan cara penambahan fasilitas agar sirkulasi udara berjalan lancar, sedangkan

commit to user

kelembaban paling tinggi terdapat pada area WP Plant lantai 3 sebesar 68% hal tersebut sudah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, untuk kelembaban sebesar 65-95%.

b. Faktor Bahaya Kimia 1) Debu

Belum didapat hasil sehingga tidak dapat dibandingkan dengan perundang-undangan, dikarenakan belum diadakan pengukuran debu secara personal.

2) Bahan Kimia

Bahan-bahan kimia yang terdapat di PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience mengakibatkan dampak negatif terhadap kesehatan tenaga kerja. Upaya yang dilakukan oleh PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience, adalah :

a) Pengecekan secara berkala terhadap pipa supply steam untuk mencegah kebocoran.

b) Pemasangan exhaust yang berguna menyerap debu dari raw material produksi agar tidak beterbangan.

c) Mengganti bahan kimia yang memiliki risiko bahaya tinggi dengan bahan kimia yang tingkat bahayanya lebih rendah.

d) Perlakuan terhadap bahan kimia sesuai dengan sifat kimia dan fisiknya.

commit to user

e) Pemeriksaan kesehatan berkala terhadap tenaga kerja.

f) Safety training mengenai MSDS dan LDKB.

g) Pengarahan pada semua tenaga kerja supaya cuci tangan setelah kontak dengan bahan kimia.

h) Pengarahan pada tenaga kerja kecuali office supaya mandi sebelum makan siang dan sebelum pulang.

i) Penyediaan eye wash dan emergency shower.

j) Bagi para tenaga kerja yang berkeliling diwajibkan untuk memakai alat pelindung diri berupa kaca mata safety, jas lab, masker 3M, dan safety shoes.

Hal ini telah sesuai dengan Kepmenaker No. Kep-187/MEN/1999 pasal 1 (c) tentang Pengendalian Bahan Kimia Berbahaya di Tempat Kerja.

Kebijakan perusahaan ini sesuai dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja pasal 9 ayat 1 sub (a) yang menyatakan bahwa pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya yang dapat timbul dalam tempat kerja. Hal ini dimaksudkan agar para karyawan dan setiap orang yang memasuki tempat kerja mengetahui potensi dan faktor bahaya apa saja yang mereka hadapi saat berada ditempat kerja. Kategori identifikasi aspek lingkungan yang digunakan di PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience antara lain :

commit to user a.Emisi udara

b.Limbah cair c.Limbah padat d.Buangan air hujan e.Kondisi tanah

Untuk kondisi-kondisi lingkungan dan keselamatan di PT.

Bayer Indonesia - Bayer CropScience yang dinilai antara lain : a. Kondisi normal

Aspek lingkungan yang biasa terjadi akibat adanya aktifitas yang dilalukan sesuai dengan prosedur kerja dengan didukung oleh peralatan yang memadai.

Contoh : Majun bekas yang terkena oli karena digunakan untuk membersihkan part dengan oli/solar.

b. Kondisi abnormal

Aspek yang tidak biasa terjadi akibat adanya aktifitas yang dilakukan sesuai dengan prosedur kerja/instruksi kerja. Aspek yang terjadi akibat adanya aktifitas yang tidak didukung dengan peralatan yang memadai.

Contoh : Ceceran oli dari proses pencucian part dengan oli atau solar.

c. Kondisi Emergency atau darurat

Kejadian diluar aktifitas normal dan abnormal yang dapat menimbulkan dampak yang tidak terkendali atau terjai diluar

f. Buangan air limbah g. Penggunaan energi h. Penggunaan air i. Kebisingan j. Bau

commit to user

kendali dan berdampak fatal atau serius terhadap manusia dan lingkungan.

Contoh : kebakaran.

Gambar 6. Bagan Tanggung Jawab dan Prosedur Pengendalian Risiko Sumber : PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience, 2010

commit to user

PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience telah melaksanakan program Keselamatan dan Kesehatan yaitu dengan melaksanakan identifikasi bahaya dan penilaian risiko yang diharapkan dapat menurunkan angka kecelakaan kerja, hal ini telah sesuai dengan Permenaker No. 05/MEN/1996 lampiran 1 pasal 3.3.1 tentang identifikasi sumber bahaya, “Identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya serta jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mumgkin dapat terjadi”. Dan pasal 3.3.2 tentang penilaian risiko, “Penilaian risiko adalah proses untuk menentukan prioritas pengendalian terhadap tingkat risiko kecelakaan atau penyakit akibat kerja”.

Berdasarkan kebijakan internal PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience program lingkungan dan keselamatan ditetapkan berdasarkan nilai risiko serta kondisi yang ditetapkan, dengan dasar sebagai berikut :

a. Penetapan tujuan, sasaran dan program lingkungan dan keselamatan RV ≥ 115

Atau AH = 4

AH adalah aspek hukum dan keselamatan (perundangan dan peraturan yang disyaratkan oleh internal Bayer)

b. Penetapan kondisi darurat bila evaluasinya merupakan : Kondisi : emergency

commit to user

Identifikasi bahaya, penilaian dan pengendalian risiko merupakan suatu program yang dilakukan untuk meminimalkan kecelakan dan penyakit akibat kerja di PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience agar tercipta tempat kerja yang aman. Identifikasi bahaya dan penilaian risiko di PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience telah sesuai dengan Permenaker No. Per-05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Serta sesuai dengan Pedoman OHSAS Elemen No. 4.3.1 tentang Prosedur Identikasi Bahaya dan Penilaian Risiko (IBPR).

3. Pengendalian Potensi Bahaya

Untuk menghindari bahaya-bahaya yang sudah teridentifikasi tersebut, maka dilakukan tindakan atau perencanaan pengendalian terhadap adanya risiko bahaya yang berada di area produksi PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience. Tindakan pengendalian yang dilakukan antara lain : a. Adanya pergantian sistem kerja atau rolling

b. Memasang tanda/rambu peringatan pada setiap area yang dapat menyebabkan risiko bahaya

c. Pengguanaan APD yang sesuai di area kerja. Biasanya APD yang wajib digunakan untuk area produksi adalah safety helm, safety shoes, goggles, masker dan sarung tangan.

Selain adanya tindakan pengendalian tersebut, Biro Managemen Lingkungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di PT. Bayer Indonesia - Bayer CropScience juga melakukan upaya-upaya untuk pencegahan adanya kecelakaan dan penyakit akibat kerja antara lain :

commit to user

a. Melakukan training atau penyuluhan tentang K3 kepada semua karyawan sebelum melakukan pekerjaannya.

b. Adanya House Keeping dengan menerapkan 5R di setiap tempat kerja yang isinya antara lain :

1) Ringkas yaitu membuang barang yang tidak diperlukan 2) Rapi yaitu membenahi tempat penyimpanan barang-barang

3) Resik yaitu mengatur prosedur kebersihan sesuai dengan peraturan perusahaan

4) Rawat yaitu mempertahankan tempat yang baik di lingkungan sekitar perusahaan

5) Rajin yaitu pengendalian visual di tempat kerja

c. Adanya inspeksi K3 di area pabrik yang dilakukan tiap shift yaitu setiap hari ada 3 shift untuk memantau setiap tempat yang teridentifikasi bahaya

d. Review prosedur kerja melalui JSA (Job Safety Analysis)

e. Adanya surat ijin kerja (Safety Permit). Surat ini menyatakan bahwa objek kerja untuk pekerjaan perbaikan dan pemeriksaan di area kerja berbahaya seperti bekerja di area confined spaces telah diperiksa dan pekerjaan dinyatakan aman untuk dikerjakan serta dilengkapi dengan peralatan dan pengamanan keselamatan kerja yang direkomendasikan f. Adanya pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada semua karyawan

yang dilakukan setiap satu tahun sekali.

Tindakan pengendalian dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No.

05/MEN/1996 tentang Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja, perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan pengendalian

commit to user

kegiatan-kegiatan, produk barang atau jasa yang dapat menimbulkan risiko kecelakaan kerja yang tinggi. Hal ini dapat dicapai dengan mendokumentasikan dan menerapkan kebijakan standart bagi tempat kerja, perancangan pabrik dan bahan, prosedur dan instruksi kerja untuk mengatur serta mengendalikan risiko yang ada pada kegiatan, produk barang dan jasa.

Menentukan rencana atau rekomendasi tindakan pengendalian yang sesuai dalam rangka menghilangkan atau mengurangi nilai risiko. Tindakan pengendalian yang akan dilakukan sesuai dengan kategori risikonya, semakin tinggi kategori risikonya maka semakin diutamakan. Setiap aktifitas yang memiliki tingkat risiko sangat berat maka membutuhkan tindakan pengendalian atau perbaikan secepatnya atau pada saat itu juga atau bila perlu pekerjaan harus dilarang atau dihentikan. Tingkat risiko berat membutuhkan tindakan pengendalian tambahan atau tindakan perbaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan atau tindakan harus segera diambil pada pekerjaan yang sedang dalam proses. Untuk tingkat risiko agak berat membutuhkan prosedur untuk pengawasan dan atau prosedur kerja. Harus jelas pihak Manajemen yang terkait yang bertanggung jawab untuk mengawasi dan implementasi prosedur. Sedangkan untuk tingkat risiko ringan hal tersebut dapat diterima, cukup dikendalikan dengan melaksanakan prosedur-prosedur rutin. Tidak memerlukan alokasi sumber daya secara khusus.

commit to user 84 BAB V

Dokumen terkait