• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas budaya mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya a. Bahasa menjadi jembatan komunikasi antar budaya

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 38-59)

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi oleh antar individu. Bahasa terdiri dari simbol-simbol yang saling ditukarkan untuk menyamakan persepsi satu sama lain.

Terdapat dua bidang yang meliputi pengertian Bahasa. Pertama, alat

94

ucap manusia menimbulkan bunyi, dan arus bunyi tersebut menimbulkan arti atau makna yang tersirat. Kedua, reaksi terhadap apa yang didengar merupakan hasil dari arti atau makna yang terkandung dalam arus bunyi yang diucapkan (Ritonga, 2012).

Terdapat sistem atau lambang yang sebelumnya telah disepakati bersama sehingga dapat digunakan sehari-hari dalam proses komunikasi baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat.

Individu yang berperan dalam proses komunikasi menjadikan sistem tanda atau lambang ini sebagai nilai dan acuan yang sama dalam setiap interaksinya. Keberhasilan penggunaan bahasa dalam proses komunikasi dapat diukur apabila komunikan dan komunikator memiliki kesamaan pikiran, gagasan, konsep yang diacu atau diungkapkan lewat kesatuan dan hubungan yang bervariasi dari sistem simbol itu sendiri (Alwasilah, 1990).

Bahasa dianggap menjadi jembatan komunikasi antar budaya karena melalui Bahasa yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, setiap individu yang terlibat dalam interaksi dapat menyamakan persepsi satu sama lain. Bahasa yang berbeda kerap menjadi penyebab terjadinya kesalahpahaman antar individu beda etnis yang saling berinteraksi. Kesalahpahaman terjadi karena adanya perbedaan persepsi dari tutur Bahasa yang terucap antara satu dengan yang lainnya. Individu beda etnis yang memiliki keahlian dalam memahami Bahasa satu sama lain cenderung lebih mudah menempatkan diri baik ketika berada di dalam kelompok dengan etnis yang sama, maupun dengan kelompok beda etnis. Bapak ZN misalnya, sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), ia mengungkapkan bahwa Bahasa yang dipergunakannya dalam kehidupan bermasyarakat disesuaikan dengan siapa komunikannya. Sebagai penduduk pendatang yang notabene berdialek Jawa, ZN menguasai Bahasa Bali yang merupakan Bahasa asli di tempat ia tinggal dan bekerja sekarang.

95

Hal yang disampaikan ZN tersebut memiliki kesesuaian dengan asumsi teoritis yang dikemukakan oleh Ting-Toomey (2005).

Pernyataan ZN sesuai dengan asumsi yang berbunyi “Individu cenderung merasa nyaman berkenaan dengan keamanan identitas saat berada di lingkungan budaya yang akrab dan menjadi emosional dalam kerentanan identitas saat berada di lingkungan budaya yang tidak dikenal”. ZN sebagai komunikator merasa nyaman dan aman ketika menyampaikan maksud atau pesan dengan menyesuaikan dialek kepada siapa ia berbicara (komunikan). Keterampilan berdialek yang ia miliki menjadi kelebihan tersendiri sehingga ia dengan mudah menyesuaikan dialek komunikannya, baik dengan sesama penduduk pendatang, maupun dengan penduduk asli. Keterampilan merupakan satu dari beberapa komponen yang menunjukkan bagaimana negosiasi identitas terjadi di suatu wilayah tertentu.

Keterampilan adalah kemampuan operasional yang aktual untuk melakukan tindakan atau perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam menghadapi situasi budaya tertentu. Keterampilan-keterampilan tersebut diantaranya Keterampilan-keterampilan interaksi adaptif, keterampilan pengamatan yang penuh perhatian, keterampilan mendengarkan yang penuh perhatian, keterampilan empati verbal, keterampilan sensitivitas nonverbal, serta keterampilan kompetensi lintas budaya. Beberapa keterampilan tersebut melibatkan pendengaran yang responsif, penglihatan yang aktual, dan hati yang terfokus pada bunyi, nada, gerakan, nuansa nonverbal, penjedaan, keheningan, serta memaknai identitas melalui perspektif pembingkaian identitas dari pihak lain. Keterampilan-keterampilan tersebut kemudian akan membantu efektivitas proses negosiasi identitas di antara budaya yang berbeda (Ting-Toomey, 2005). Dalam hal ini, ZN mengaplikasikan keterampilan interaksi adaptif serta keterampilan kompetensi lintas budaya setelah mengalami pengamatan yang penuh perhatian. Keterampilan ZN tersebut

96

melibatkan pendengaran yang responsif, penglihatan yang aktual, serta memaknai identitas melalui perspektif pembingkaian identitas dari pihak lain.

Selain karena mengauasai berbagai Bahasa, ZN juga kerap mengaplikasikan penggunaan Bahasa Bali dalam kehidupan bermasyarakat karena dianggap akan lebih mudah diterima dan diberi respon yang positif oleh penduduk setempat. ZN merasa lebih nyaman jika dianggap sebagai “orang Bali” daripada penduduk pendatang karena ia merasa memang sudah menjadi warga Bali. Selaras dengan ZN, PJ sebagai penduduk asli (Bali-Hindu) dalam kesehariannya juga kerap menggabungkan bahasa dan aksen dari budaya Jawa dan Bali untuk berinteraksi dengan orang lain, baik di lingkungan pekerjaan maupun tempat tinggalnya.

Hal tersebut sesuai dengan asumsi lain milik Ting-Toomey (2005), yaitu “Interaksi seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain yang akrab secara budaya cenderung lebih terprediksi, sedangkan interaksi seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain yang dengan budaya yang tidak dikenal cenderung tidak terduga.

Prediktabilitas interaksi cenderung mengarah pada kepercayaan lebih lanjut di antara keduanya (yaitu, dalam level optimal) atau menjadi kategori stereotip yang kaku (mis. di luar level optimal).

Interaksi yang konstan, serta ketidakpastian cenderung mengarah pada ketidakpercayaan atau ekspektasi negatif”. Maksudnya, ketika ZN atau PJ berkomunikasi menggunakan bahasa/dialek yang disesuaikan dengan komunikannya, maka kesan yang muncul adalah ia dianggap akrab dengan budaya komunikannya. Hal itu membuat interaksi di antara keduanya lebih terprediksi satu sama lain, serta kepercayaan di antara keduanya akan tumbuh lebih lanjut.

Namun, asumsi tersebut selalu terjadi dalam kehidupan bermasyarakat di Dusun Wanasari. Berbeda dengan ZN dan PJ, salah satu pemuka agama Islam di Dusun Wanasari, Ibu SM

97

mengungkapkan jika penggunaan Bahasa Indonesia lebih diutamakan karena kegiatannya sehari-hari banyak dihabiskan dengan kegiatan yang formal. Sebagai ustadzah yang kerap mengisi ceramah dari satu tempat ke tempat lain, ia mengaku Bahasa Indonesia lebih luwes karena ia tidak selalu mengetahui latar belakang audiens yang sedang dihadapinya dalam kelompok besar. Penggunaan bahasa Indonesia ini dilakukan oleh SM guna meminimalisir kesalahpahaman antara dirinya dan jamaah pengajian yang diampunya.

Dampak perbedaan penggunaan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari ini juga dirasakan oleh Ibu FN, penduduk pendatang keturunan Jawa. Ia mengaku pernah terlibat kesalahpahaman karena salah menempatkan bahasa daerah saat berinteraksi dengan kelompok budaya lain, dalam hal ini penduduk asli (Bali-Hindu). Perbedaan penempatan bahasa dengan pengucapan yang sama dan arti yang berbeda ini menjadi satu dari beberapa pemicu konflik yang mungkin muncul di antara penduduk pendatang dan penuduk asli. Namun, bahasa inilah yang menjadi jembatan komunikasi yang terjalin di antara kedua kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah yang sama ini.

Namun, penggunaan bahasa daerah Bali bagi penduduk pendatang, khususnya pada generasi ke-2 dan ke-3 tampaknya sudah tidak asing lagi. Hal ini dikarenakan penduduk pendatang generasi ke-2 dan ke-3 di Dusun Wanasari ini telah meengenyam bangku pendidikan formal di Bali. Pendidikan formal, seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) memiliki kurikulum yang mewajibkan siswanya untuk mengikuti pelajaran Muatan Lokal, yakni Bahasa Daerah Bali. Oleh karena itu, generasi ke-2 dan ke-3 penduduk pendatang di Dusun Wanasari sudah terbiasa menggunakan Bahasa daerah Bali dalam kesehariannya, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan bermainnya. Akrabnya penduduk pendatang dengan bahasa daerah

98

setempat ini dapat mengurangi tingkat kesalahpahaman di antara kedua kelompok masyarakat ini, khususnya dalam hal persamaan bunyi namun beda arti pada Bahasa Jawa dan Bahasa Bali.

b. Ucapan menunjukkan kejujuran antar budaya

Jujur adalah kaidah atau norma yang bersumber dari nilai-nilai agama yang dianut oleh setiap individu. Budaya kejujuran menunjukkan sikap seseorang memiliki prinsip yang jelas dan tegas, serta perbuatannya terkendali oleh hati yang paling dalam. Budaya kejujuran merupakan sikap yang tulus dalam melaksanakan sesuatu yang diamanatkan, baik itu berupa harta maupun tanggung jawab.

Orang yang melaksanakan amanah disebut orang yang terpercaya, jujur, dan setia. Sikapnya tegas, tetap tegak dalam prinsip mengamankan amanah yang dipercayakan kepadanya, aman dan terjamin dari segala bentuk gangguan, baik gangguan yang datang dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Sifat jujur dan terpercaya merupakan sesuatu hal yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan, seperti dalam kehidupan rumah tangga, perusahaan, perniagaan, politik, birokrasi dan hidup bermasyarakat. Kejujuran seseorang tidak bisa dinilai dari realitas perilaku, tetapi kejujuran seseorang hanya dalam persepsi bahwa orang yang berbuat benar dan berdasarkan kaedah dan tidak melanggar hukum tergolong orang jujur (Tasmara, 2002).

Kalimat yang diucapkan dalam interaksi antar kelompok beda budaya dapat menunjukkan kejujuran atas apa yang dirasakan satu sama lain. Namun, tidak jarang di antara keduanya memendam perasaan sedih, kecewa, atau marah, dibandingkan harus mengutarakan demi menjaga perasaan orang lain. ZN sebagai penduduk pendatang mengaku, ia hanya bisa memendam perasaan kesal ketika muncul celetukan-celetukan dari penduduk asli yang melibatkan unsur identitas Jawa dan/atau Muslim. ZN menyatakan jika dirinya kerap mendengar celetukan-celetukan dari penduduk asli

99

yang menjanggal di hati, namum ada rasa sungkan yang tinggi timbul dalam hati dan perasaannya.

Pernyataan ZN tersebut menunjukkan adanya keterkaitan dengan asumsi teoritis teori negosiasi identitas milik Ting-Toomey (2005) yaitu, “Individu dalam semua budaya atau kelompok etnis memiliki kebutuhan motivasi dasar untuk keamanan identitas, inklusi, prediktabilitas, koneksi, dan konsistensi pada tingkat identitas berbasis kelompok dan identitas berbasis orang. Namun, keamanan yang terlalu emosional akan mengarah pada etnosentrisme yang ketat, dan, sebaliknya, terlalu banyak ketidakamanan emosional (atau kerentanan) akan menyebabkan ketakutan pada kelompok atau orang asing”. Maksudnya, ZN sebagai penduduk pendatang atau sebagai pihak yang terpojokkan memiliki kebutuhan motivasi dasar untuk keamanan identitasnya. Namun, ia memilih untuk bersikap netral agar tidak tumbuh sifat etnosentrisme yang ketat serta tidak timbul rasa ketakutan berlebih saat berada di lingkungan budaya berbeda. ZN mempertahankan posisinya dengan tetap tenang menghadapi persoalan budaya yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari agar interaksi di antara penduduk pendatang dan penduduk asli tetap berjalan dengan harmonis.

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh SM. Ia mengungkapkan bahwa dalam grup pada aplikasi WhatsApp yang diikutinya, terdapat oknum-oknum yang mengirimkan gambar atau kalimat-kalimat berbau SARA. Namun, tidak banyak yang menanggapi atau mengomentari isu tersebut. Seiring berjalannya waktu, dan adanya informasi lain yang dikirimkan dalam aplikasi chatting tersebut, maka isu atau informasi SARA yang dikirim pun hilang sambil lalu sehingga tidak timbul konflik secara aktual. Ia mengatakan jika dalam obrolan grup aplikasi Whatsapp warga Wanasari kerap muncul oknum yang mengirim tangkapan layar ponsel yang berisi komentar-komentar buruk mengenai umat Muslim.

100

SM menyatakan bahwa oknumnya memang hanya berkutat pada individu-individu yang sama, warga Wanasari pun telah banyak yang mengacuhkan dan tidak memerdulikan isu-isu yang disebarkan itu.

Namun memang, masih ada segelintir warga yang tetap tersulut kemarahan. Konflik seperti ini tidak pernah mencuat ke publik karna pihak yang dipojokkan (dalam hal ini adalah penduduk pendatang) memilih untuk diam dan memendam sendiri rasa sedih dan kecewa.

Asumsi teoritis teori negosiasi identitas milik Ting-Toomey (2005) yang berbunyi “Interaksi seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain yang akrab secara budaya cenderung lebih terprediksi, sedangkan interaksi seseorang saat berkomunikasi dengan orang lain yang dengan budaya yang tidak dikenal cenderung tidak terduga. Prediktabilitas interaksi cenderung mengarah pada kepercayaan lebih lanjut di antara keduanya (yaitu, dalam level optimal) atau menjadi kategori stereotip yang kaku (mis. di luar level optimal). Interaksi yang konstan, serta ketidakpastian cenderung mengarah pada ketidakpercayaan atau ekspektasi negatif”, memiliki kesesuaian dengan pernyataan yang diungkapkan oleh SM tersebut.

Keterkaitannya terlihat dari bagaimana SM dan penduduk pendatang Dusun Wanasari menanggapi kejadian tidak terduga yang berasal dari penduduk asli setempat. Ketika interaksi yang tidak terprediksi muncul dari kelompok budaya berbeda (dalam hal ini penduduk asli Bali-Hindu), penduduk pendatang cenderung diam dan mengakibatkan kurangnya rasa kepercayaan terhadap budaya lain.

Memendam perasaan kecewa dan sedih ketika identitas budaya dan/atau agamanya sedang ditimpa isu yang buruk menjadi pilihan bagi penduduk pendatang guna menjaga toleransi dan kebersamaan yang selama ini sudah terjalin di antara dua kelompok masyarakat ini.

SM menyatakan, walau persoalan ini terlihat ringan dan sepele, namun dapat berdampak besar pada psikologis warga yang mengalaminya. Kita sama-sama tidak mengetahui warga yang hanya

101

diam itu sebenarnya memendam atau tidak. SM menambahkan, mungkin ada warganya yang tersinggung tapi memilih diam, tetap berprilaku baik terhadap orang lain, serta tetap mengutamakan toleransi kebersamaan yang udah terjalin selama ini. Namun, di sisi lain, SM juga menjelaskan jika perkataan atau ucapan yang diutarakan dengan jujur sebenarnya dapat memudahkan orang dari kelompok lain untuk menempatkan diri dalam setiap interaksi.

Pernyataan SM tersebut sesuai dengan asumsi teoritis teori negosiasi identitas milik Ting-Toomey (2005), yaitu “Seseorang cenderung mengalami konsistensi identitas dalam rutinitas budaya yang berulang saat berada di lingkungan budaya yang akrab dan mereka cenderung mengalami perubahan identitas (ekstrim, kekacauan identitas dan kerusuhan) dan transformasi pada budaya baru atau budaya yang tidak dikenal. Maksudnya, SM sebagai penduduk pendatang telah berada pada rutinitas budaya penduduk asli, sehingga kebiasaan-kebiasaan ini menjadi budaya baru dalam kesehariannya sebagai pendatang”. Maksudnya, setelah kepercayaannya terhadap budaya lain berkurang, seiring berjalannya waktu dan hidup berdampingan satu sama lain, budaya keduanya menjadi akrab sehingga kebiasan-kebiasaan di antara keduanya menjadi budaya baru dalam kehidupan bermasyarakat di Dusun Wanasari dan sekitarnya.

Di sisi lain, pemangku agama dari penduduk asli (Bali-Hindu) juga kerap menyampaikan pesan-pesan spiritual agar sesama umat manusia saling menjaga dan menghormati satu sama lain. Pada kesempatan-kesempatan spiritual seperti saat upacara agama atau persembahyangan, pemangku adat Hindu sering memanfaatkan waktu untuh memenuhi kebutuhan rohani umatnya. Petuah perihal kejujuran dalam berucap dan bertindak kerap menjadi topic utama dalam setiap pertemuannya dengan umat Hindu Bali. Pesan yang kerap disampaikan berkenaan dengan hubungan penduduk asli (Bali-Hindu)

102

dengan penduduk pendatang (Jawa-Muslim) yang telah terjalin selama puluhan tahun harus saling menjaga satu sama lain. Apabila terdapat oknum tidak bertanggung jawab yang berusaha mencerai-berai, maka ia sebagai penduduk asli meminta warganya untuk tidak menelan begitu saja informasi yang masuk, ada baiknya untuk mengecek kebenaran informasi yang beredar tersebut sehingga hubungan bai kantar keduanya tetap terjaga. Hal tersebut diterapkan oleh RM yang berprofesi sebagai guru, sehingga ia dapat dengan luwes menghadapi setiap wali murid dan murid-muridnya tanpa berekspektasi lebih dan paham bagaimana menempatkan diri sesuai lawan bicaranya.

Perilaku RM tersebut selaras dengan asumsi teoritis teori negosiasi identitas Ting-Toomey (2005), yaitu “Individu dalam semua budaya atau kelompok etnis memiliki kebutuhan motivasi dasar untuk keamanan identitas, inklusi, prediktabilitas, koneksi, dan konsistensi pada tingkat identitas berbasis kelompok dan identitas berbasis orang. Namun, keamanan yang terlalu emosional akan mengarah pada etnosentrisme yang ketat, dan, sebaliknya, terlalu banyak ketidakamanan emosional (atau kerentanan) akan menyebabkan ketakutan pada kelompok atau orang asing. Prinsip dasar yang sama berlaku untuk inklusi identitas, prediktabilitas, koneksi, dan konsistensi.”. Dari asumsi tersebut dapat dilihat jika RM sebagai penduduk asli (Bali-Hindu) juga memiliki kebutuhan motivasi dasar untuk keamanan identitasnya. Dalam hal ini, penduduk asli memilih untuk menyelarskan diri dengan harmoni spiritual sehingga tetap tenang dalam menghadapi kesimpangsiuran informasi yang diterima.

Penduduk asli berusaha untuk bersikap netral agar tidak tumbuh sifat etnosentrisme yang ketat serta tidak timbul rasa ketakutan berlebih saat berada di lingkungan budaya berbeda.

Hal yang sama diterapkan oleh PJ yang berprofesi sebagai PNS, meski dengan cara yang berbeda. PJ lebih lugas dan keras dalam

103

menyampaikan opininya di depan publik. Ia merasa berbicara langsung pada poinnya lebih baik dan lebih hemat waktu dibandingkan dengan basa-basi yang terlalu banyak, sehingga maksud dari pembicaraan jadi terabaikan. Meski cenderung tegas dan berkemungkinan menimbulkan kesalahpahaman, PJ merasa hal ini efektif untuk menghadapi permasalahan-permaslahan tertentu, seperti pelaksanaan kegiatan keagamaan baik dari umat Muslim maupun umat Hindu yang dirasa pelaksanaannya kurang tepat.

Penduduk asli (Bali-Hindu) dan penduduk pendatang (Jawa-Muslim) memiliki sedikit perbedaan cara dalam menyampaikan pendapat. Ucapan-ucapan di antara keduanya kemudian menunjukkan kejujuran di antara kelompok beda budaya. Meski penduduk pendatang lebih memilih diam dan memendam perasaan sedih, marah, atau kecewa, hal ini dilakukan untuk tetap menjaga kebersamaan dan toleransi yang selama ini telah terjalin. Demikian pula yang dilakukan oleh penduduk asli. Pengungkapan-pengungkapan secara langsung dilakukan guna memperbaiki dan menunjukkan bagaimana tindakan yang harus dilakukan selanjutnya jika terjadi hal-hal yang serupa.

Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Gudykunts bahwa melalui kemampuan komunikasi yang kompeten atau tidak kompeten, identitas situasional dapat memengaruhi cara orang memandang diri mereka sendiri, baik secara negatif maupun positif.

Individu memiliki identitas ini baik secara sadar atau tidak sadar.

Identitas apa yang mereka bangun tergantung pada situasi khusus mereka. Pernyataan-pernyataan dari penduduk pendatang dan penduduk asli di atas juga menunjukkan bahwa ketika seseorang berada dalam budayanya sendiri, biasanya identitas budayanya tidak sepenting ketika ia berinteraksi dengan orang luar kelompok budayanya (Gudykunst, 1994).

104

c. Simbol keagamaan dan kebudayaan menunjukkan pengungkapan rasa hormat antar budaya

Simbol dalam setiap agama merupakan sebuah ciri untuk merepresentasikan kekhasannya. Ciri khas tersebut lahir dari kepercayaan, beragam ritual dan etika agama. Menurut Asad (1983:50), simbol-simbol keagamaan memiliki hubungan erat dengan kehidupan social sebagai suatu “hubungan satu arah” di mana simbol-simbol keagamaan dinilai dapat menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial.

Greetz (1973), dalam pendekatan integratifnya meneliti "agama' sebagai suatu sistem dari kumpulan simbol yang berfungsi untuk mengokohkan suasana hati (moods) dan motivasi yang kuat serta bertahan lama. Kedua sistem tersebut diformulasikan dengan konsepsi-konsepsi mengenai tatanan dasar alam dan kehidupan, dan dengan menyelimuti konsepsi-konspesi tersebut dengan suatu suasana yang faktual sehingga suasana hati dan motivasi yang ditumbulkannya terasa nyata.

Peneltian ini melihat simbol-simbol keagamaan yang mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dari sisi kedua kelompok, yaitu penduduk asli (Bali-Hindu) dan penduduk pendatang (Jawa-Muslim) yang bermukim di lingkungan Dusun Wanasari, Denpasar Utara dan sekitarnya. Adanya simbol-simbol yang ditunjukkan dari kedua kelompok masyarakat ini dapat menilai adanya pengungkapan rasa hormat satu sama lain. Seperti yang dialami informan ZN, yang memiliki warung makan dengan menu nasi kuning yang berjualan setiap pagi hari. Ia dan istrinya memajang atribut islami di warungnya, seperti tulisan dengan Bahasa arab yang dibaca “halal” serta penjual yang mengenakan pakaian islami dan hijab saat melayani pembeli.

Meski menunjukkan identitas islami dalam warung makannya, pelanggan yang mampir ke kios ZN tidak hanya dari kalangan penduduk pendatang Muslim saja, melainkan juga dari penduduk asli

105

Bali yang notabene memeluk keyakinan Hindu. Persoalan haram dan halal ini juga kerap muncul dalam acara hajatan baik dari penduduk asli maupun penduduk pendatang. Bagi penduduk Dusun Wanasari dan sekitarnya, hal ini merupakan bagian krusial dalam kehidupan bermasyarakat. Seperti yang diungkapkan SM, penduduk pendatang dan penduduk asli selalu memperlakukan satu sama lain dengan adab yang baik. Menyediakan sajian yang diperbolehkan oleh agama masing-masing, dan menyingkirkan makanan yang tidak boleh dikonsumsi satu sama lain.

Pernyataan ZN dan SM di atas menunjukkan adanya kesesuaian dengan asumsi teoritis tentang negosiasi identitas, yaitu “Proses negosiasi identitas yang kompeten menekankan pentingnya integrasi, diperlukan pengetahuan berbasis identitas antarbudaya, perhatian, dan keterampilan interaksi untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif dengan orang lain secara budaya berbeda”. Integrasi adalah proses sosial yang penting dalam masyarakat. Proses ini dapat menentukan kelangsungan hidup suatu kelompok. Umumnya, integrasi terjadi karena kesepakatan antara masing-masing individu dalam kelompok. integrasi adalah pembauran, penyesuaian, peleburan sesuatu hingga menjadi satu kesatuan yang utuh. Integrasi tersebut bertujuan untuk bekerja sama berdasarkan ideologi dan norma dasar yang sama untuk melangsungkan fungsi sosial budaya yang lebih tinggi tanpa merugikan kebhinekaan. Sementara itu, pengetahuan adalah fakta, kebenaran atau informasi yang diperoleh melalui pengalaman atau pembelajaran disebut posteriori, atau melalui introspeksi diebut priori. Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Pengetahuan juga diartikan berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan

106

terlihat pada saat seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Contoh pengetahuan adalah ketika seseorang mencicipi masakan yang baru, ia mendapatkan

terlihat pada saat seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Contoh pengetahuan adalah ketika seseorang mencicipi masakan yang baru, ia mendapatkan

Dalam dokumen BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN (Halaman 38-59)

Dokumen terkait