• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

56 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bagian ini mendeskripsikan hasil dan pembahasan berkenaan dengan temuan peneliti di lapangan. Hasil dan pembahasan penelitian disajikan dalam bentuk narasi diawali dengan meberikan gambaran umum tentang lokasi penelitian di Dusun Wanasari, Desa Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Provinsi Bali. Data-data dalam deskripsi gambaran umum lokasi penelitian ini diperoleh dari dokumentasi pemerintah, kajian pustaka yang telah diterbitkan serta sumber lain yang memiliki relevansi dengan lokasi.

Selanjutnya, Bab ini menguraikan temuan penelitian dengan sumber data utama yaitu wawancara mendalam terhadap informan yang telah ditentukan klasifikasinya sebelumnya. Uraian temuan penelitian disusun sesuai dengan rumusan masalah, yaitu: (1) Bagaimana keterkaitan yang ada antara identitas budaya dengan perilaku komunikasi yang terjadi dalam kehidupan sehari hari penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu)?; dan (2) Bagaimana penduduk pendatang (Jawa-Muslim) menegosiasikan identitasnya kepada penduduk asli (Bali-Hindu) sehingga tercipta kehidupan yang harmonis dan tidak terjadi konflik secara aktual?. Hasil temuan penelitian dikaji dengan pendekatan teoritis serta menggunakan metodologi yang logis sehingga ditemukan sebuah kesimpulan penelitian yang berimplikasi dengan teori dan keadaan di lapangan.

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Dusun Wanasari, Desa Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Provinsi Bali. Sebelum tahun 1998, wilayah ini lebih dikenal dengan sebutan “Kampung Jawa”. Namun, pada era reformasi sekitar tahun 1998, wilayah ini diresmikan dengan nama “Dusun Wanasari”.

Berubahnya nama kampung yang sudah melekat ini dikarenakan adanya unsur SARA di dalamnya. Meskipun telah berubah nama secara resmi, istilah

“Kampung Jawa” hingga saat ini tetap melekat pada wilayah ini. Penduduk

(2)

57

yang mendiami wilayah Kampung Jawa sebenarnya tidak hanya berasal dari Pulau Jawa saja, adanya perkawinan antar etnis didalamnya menyebabkan berkembangnya suku yang menghuni wilayah ini seperti Madura, Sumatera, Kalimantan, Bugis, Sumbawa dan suku lainnya.

Di Kampung Jawa, orang-orang Islam dari Jawa telah bermukim sejak abad ke-19, dipelopori oleh seseorang bernama Iskandar yang makamnya masih ada hingga sekarang. Pada awal abad ke-20 banyak orang Islam dari Jawa, Madura dan Sasak yang bermukim di Kampung Jawa karena faktor ekonorni.

Karena Kampung Jawa ini dihuni oleh Muslim dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bugis, Sumbawa dan suku lainnya, maka dapat dikatakan kampung ini bagaikan miniatur Indonesia.

Potret toleransi antar-umat beragama telah ditunjukkan para leluhur.

Bahkan, Pahlawan Revolusi, Ahmad Yani, dikenal berteman baik dengan Pahlawan Bali, I Gusti Ngurah Rai. Konon, istilah kampung Jawa dikenal karena saat itu didiami oleh para laskar atau pasukan tentara asal Jawa saat berjuang melawan kolonial Belanda. Hidup berdampingan dengan non-Muslim sudah berlangsung cukup lama hingga sekarang. Ada istilah saling seluk di mana Muslim juga terlibat dalam kegiatan sosial di banjar dan sebaliknya.

Demikian juga dikenal tradisi ngejot atau saling bersilaturahim dan memberi bingkisan makanan saat hari raya keagamaan antara umat Hindu dan Muslim.

Dusun Wanasari yang berada di Desa Dauh Puri Kaja, Denpasar Utara ini memiliki luas wilayah kurang lebih 3000 m2. Banjar Wangaya Kaja membatasi dusun ini di sebelah utara, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan Banjar Lumintang. Bagian barat dusun ini berbatasan dengan sebuah jembatan yang dikenal dengan Jembatan Wangaya dan bagian timur dibatasi dengan Gang Gajah Mada. Dusun Wanasari dilintasi oleh Sungai Badung yang sampai saat ini keberadaannya masih dimanfaatkan warga Kampung Jawa untuk memenuhi kebutuhan Mandi Cuci Kakus (MCK). Meski rumah-rumah warganya telah dilengkapi dengan fasilitas MCK yang memadai, mereka masih merasa lebih nyaman melakukan kegiatan MCK di Sungai Badung ini.

(3)

58

Gambar 4.1 Peta Desa Dauh Puri Kaja

(Sumber: http://www.dauhpurikaja.desa.id/sejarah.html)

DUSUN WANASARI

(4)

59

Gambar 4.2 Sungai Badung yang melintasi Dusun Wanasari (Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2019)

Dusun Wanasari dipimpin oleh seorang Kepala Dusun. Sebelum tahun 2014, pemilihan Kepala Dusun dilakukan seccara musyawarah mufakat oleh Badan Pertimbangan Dusun yang beranggotakan tokoh masyarakat serta tenaga professional dari segala disiplin ilmu yang dimiliki oleh Dusun Wanasari.

Namun, kebijakan berbeda telah disepakati oleh Badan Pertimbangan Dusun dan masyarakat, sejak tahun 2014 pemilihan Kepala Dusun dilakukan melalui proses pemilihan umum. Masa jabatan seorang Kepala Dusun di Dusun Wanasari adalah selama lima tahun. Kepala Dusun yang menjabat periode 2014 hingga 2019 adalah Drs. Haji Badrus Samsi.

Seorang Kepala Dusun yang memimpin Dusun Wanasari dibantu oleh perangkat Dusun, diantaraya adalah Sekertaris Dusun, Bendahara Dusun, Pelindung Masyarakat (LINMAS) dan Sembilan Ketua Rukun Tetangga atau RT. Setiap Rukun Tetangga (RT) memiliki kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) yang wajib memiliki kegiatan setiap bulannya.

Kampung ini terdiri dari Sembilan (9) Rukun Tetangga (RT) dan penduduknya berjumlah 10.316 jiwa dengan 2840 Kepala Keluarga. Sebanyak

(5)

60

60% penduduk Dusun Wanasari berada pada usia produktif yang memiliki berbagai jenis pekerjaan. Mayoritas penduduk Dusun wanasari bekerja sebagai pedagang.

Tabel 4.1 Tabel Data Penduduk Dusun Wanasari Tahun 2018 No Rukun Tetangga

(RT)

Jumlah Kepala Keluarga

Jenis Kelamin

Total Perempuan Laki-Laki

1 RT. 1 455 834 783 1.626

2 RT. 2 383 694 652 1.346

3 RT. 3 159 256 272 528

4 RT. 4 230 408 441 849

5 RT. 5 294 518 536 1.054

6 RT. 6 299 538 533 1.071

7 RT. 7 273 532 488 1.020

8 RT. 8 562 1.094 1.030 2.124

9 RT. 9 185 363 335 698

Jumlah 2.840 5.246 5.070 10.316

(Sumber: https://dauhpurikaja.denpasarkota.go.id/page/read/56)

Gambar 4.3 Lingkungan Dusun Wanasari (Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2019)

(6)

61

Dusun Wanasari juga memiliki keistimewaan lainnya. Di saat Dusun/Banjar lain tidak memiliki kantor untuk urusan operasional, Dusun Wanasari memiliki sebuah kantor yang didirikan di sepadan Sungai Badung untuk memenuhi dan melayani operasional masyarakat dusun yang buka setiap hari Senin sampai Kamis pukul 08.00 WITA hingga pukul 13.00 WITA dan Jumat pukul 08.00 WITA hingga pukul 11.00 WITA. Masyarakat dusun pun menjadi terbantu karena adanya jam operasional tersebut sehingga tidak ada kesulitan dalam menemui Kepala Dusun untuk menyelesaikan masalah- masalah yang berhubungan dengan administrasi ataupun kebutuhan lainnya.

Gambar 4.4 Kantor Kepala Dusun Wanasari (Sumber: Dokumentasi Peneliti, 2019)

Selain itu, di wilayah Dusun Wanasari juga terdapat beberapa sekolah dan juga yayasan yang bergerak di bidang pendidikan. Hal ini juga dapat menunjang kebutuhan pendidikan dari warga Dusun Wanasari yang masih berada pada usia sekolah. Elemen yang menaungi bidang pendidikan tersebut antara lain: Madrasah Ibtidaiyah Al-Miftah, MTs Miftachul Ulum, SDN 4 Dauh Puri, SLB C Denpasar, Pondok Pesantren Darunnajah Almas’udiyah dan

(7)

62

beberapa yayasan lain yang turut andil dalam mencerdaskan generasi penerus Dusun Wanasari ini.

Gambar 4.5 Madrasah Ibtidaiyah Al-Miftah (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2019)

Gambar 4.6 SDN 4 Dauh Puri (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2019)

(8)

63

Gambar 4.7 Pondok Pesantren Darunnajah Almas’udiyah (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2019)

Di Dusun Wanasari juga terdapat masjid besar yaitu Masjid Baiturrahmah. Bagi warga Muslim di Denpasar, Bali, Masjid Baiturrahmah di Kampung Jawa, sudah melekat. Bukan saja menjadi pusat kegiatan keagamaan dan syiar Islam, namun juga mencatat sejarah penting mulainya jalinan hubungan kerukunan dan toleransi antara umat Islam pendatang dengan umat Hindu di Pulau Dewata. Tidak hanya itu, munculnya masjid bernuansa hijau itu juga menjadi saksi penting bagaimana perjuangan para leluhur, pendahulu warga Jawa dan Madura saat menginjakkan kaki di Bali. Masjid seluas 700- meter persegi itu tidak bisa dilepaskan dari dinamika masyrakat setempat yang dihuni sebagian besar perantau asal Jawa dan Madura.Menurut tokoh kampung Muslim Jawa, Muchtar Basyir, masjid berdiri seiring masuknya Islam di Pulau Dewata pada abad XVII semasa pemerintahan Raja Waturenggong. Umat Islam kala itu kesulitan untuk memiliki tempat ibadah. Kini, dengan populasi penduduk yang terus meningkat, meski bangunan masjid sudah besar dan berlantai 3, namun tetap tidak mampu lagi menampung ribuan jamaah, terutama saat salat Jumat atau hari raya.

(9)

64

Gambar 4.8 Masjid Raya Baiturrahmah (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2019)

Selain itu, Masjid Baiturrahmah juga menjadi pusat kegiatan saat bulan suci Ramadhan tiba. Di daerah tersebut seringkali diadakan kegiatan-kegiatan unik selama Bulan Suci Ramadhan, salah satunya Kampung Ramadhan.

Kegiatan tersebut diprakarsai oleh pengurus Masjid Baiturrahmah bekerjasama dengan salah satu pemegang merk kendaraan bermotor dan Minuman. Mereka menyediakan tempat berjualan takjil dan berbagai lauk-pauk berbuka puasa selama satu bulan penuh. Pada kurun waktu beberapa tahun kebelakang, Masjid ini terus melakukan perbaikan-perbaikan demi optimalnya kegiatan yang dilakukan didalamnya. Hingga tahun 2019 ini, Masjid Baiturrahmah sudah memiliki fasilitas bassement untuk kebutuhan parkir sehingga dapat sedikit mengurai kemacetan yang sering terjadi akibat banyaknya masyarakat yang ingin melaksanakan ibadah di masjid tersebut.

4.2 Hasil Penelitian

Hasil penelitian merujuk pada dua rumusan masalah yang telah dikemukakan pada bagian sebelumnya. Hasil penelitian ini dikaji dengan pendekatan teoritis serta penelitian terdahulu yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Logika deduktif digunakan untuk memaparkan temuan penelitian

(10)

65

yang telah dilakukan selama periode Agustus hingga Oktober 2019 sehingga tersusun gambaran temuan yang bersifat umum ke khusus. Pada bagian awal akan diuraikan gambaran umum berkenaan dengan identitas budaya dan kaitannya dengan perilaku komunikasi masyarakat di Dusun Wanasari dan sekitarnya.

Deskripsi diawali dengan pemahaman penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dan penduduk asli (Bali-Hindu) di Dusun Wanasari dan sekitarnya terhadap identitas budaya yang melekat pada diri mereka, kemudian mengerucut pada identitas budaya yang tampak dan tidak tampak yang mempengaruhi proses komunikasi di antara kedua belah pihak. Kedua, deskripsi dilanjutkan dengan gambaran negosiasi identitas penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu) dalam kehidupan sehari hari. Temuan ini menggambarkan terbangunnya jejaring sosial di antara keduanya, adanya kebebasan dan kesuksesan bersama, dan muncul perbandingan-perbandingan positif di antara kedua belah pihak.

4.2.1 Identitas Budaya dan Perilaku Komunikasi

Gambaran umum temuan penelitian yang berkenaan dengan identitas budaya dapat dilihat dari pemahaman penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dan penduduk asli (Bali-Hindu) terhadap identitas budayanya masing-masing.

Berbagai latar belakang informan dikumpulkan untuk melihat pemahaman mereka terhadap identitas budaya mereka khususnya yang melekat pada diri mereka dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat identitas yang tampak dan identitas yang semu dalam setiap individu. Identitas yang tampak meliputi atribut budaya (seperti pakaian, simbol keagamaan, lambang budaya, dll) serta bahasa yang dilakukan untuk berkomunikasi sehari-hari baik dengan sesama etnis maupun dengan beda etnis. Sedangkan identitas semu yang melekat pada individu yaitu tatanan berpikir (cara dan orientasinya), perasaan (cara merasa dan orientasi perasaannya), serta cara bertindak (motivasi tindakan dan orientasinya). Identitas budaya yang melekat pada individu tersebut menentukan jalannya komunikasi yang terjadi di antara masyarakat beda etnis.

a. Identitas budaya yang tampak

(11)

66

Identitas budaya yang tampak meliputi atribut budaya (seperti pakaian, simbol keagamaan, lambang budaya, dan lain-lain) serta bahasa yang dilakukan untuk berkomunikasi sehari-hari baik dengan sesama etnis maupun dengan beda etnis. Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada responden dengan latar belakang berbeda di Dusun Wanasari, Desa Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Provinsi Bali, ditemukan bahwa penduduk pendatang dalam kesehariannya kerap menggunakan atribut identitas agamanya. Seperti yang diungkapkan oleh responden Ibu SM yang dalam kesehariannya selalu berpakaian yang menutupi aurat sesuai ajaran agamanya.

“Kalau dalam berpakaian ya Umi selayaknya muslimah yang dianjurkan Al Quran aja. Rapi, sopan, pakaian yang longgar menutup aurat, hijab nggak boleh lupa dong yaa. Mau lagi di rumah aja, mau lagi dakwah ya Umi insyaAllah tetap mengenakan pakaian yang dianjurkan Allah lewat Al Quran.”

Gambar 4.9 Ibu-ibu Dusun Wanasari ngayah hajatan (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2021)

Atribut yang dianggap mencolok dan selalu digunakan dalam kegiatan sehari-hari bagi seorang wanita muslim adalah hijabnya karena

(12)

67

memang tertulis di Al Quran bahwa wanita muslimah wajib menutup auratnya. Tidak hanya SM yang kesehariannya merupakan seorang pendakwah, FN yang merupakan seorang ibu rumah tangga juga dalam kesehariannya kerap mengenakan jilbab yang dinilai sebagai identitas seorang Muslimah yang taat.

“… Cuma pas saya sudah mulai berhijab kemana-mana kan sudah langsung tau orang-orang kalau saya orang muslim. Dulu banyak yang ngira saya orang sini karena saya bisa juga ngomong (bahasa) Bali. Saya juga bisa ngomong (bahasa) Madura, ngomong (bahasa) Jawa apalagi”.

Selain itu, warga muslim yang bermatapencaharian sebagai pedagang kerap memasang simbol-simbol keagamaan seperti kaligrafi yang bertuliskan lafadz-lafadz Al Quran di dinding toko atau warungnya serta membubuhkan tulisan “halal” di spanduk warung makannya.

Bapak ZN yang merupakan seorang pegawai negeri sipil sekaligus pemilik warung makan mengungkapkan bahwa spandung warungnya memiliki label halal agar warga Muslim tidak ragu untuk singgah dan menyantap menu di warungnya.

Gambar 4.10 Warung Makan Muslim (Sumber: Dokumentasi peneliti 2020)

(13)

68

“…kalo warung ini saya tulisin aja gede itu mbak kan di depan “Nasi Kuning Jawa” sama ada tulisan arabnya

“halal”. Istri saya juga jualannya kan berhijab dia mbak, sebenernya nggak usah ditulis aja udah keliatan kalo yg punya “nak Islam” gitu. Pelanggan sini juga bukan orang sini aja, banyak orang Bali juga sering nglarisin disini.

Kan dikasih tulisan gitu sebenernya biar yakin aja orang belinya mbak kalo dia Islam gitu.”

Peneltian ini melihat simbol-simbol keagamaan yang mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dari sisi kedua kelompok, yaitu penduduk asli (Bali-Hindu) dan penduduk pendatang (Jawa- Muslim) yang bermukim di lingkungan Dusun Wanasari, Denpasar Utara dan sekitarnya. Adanya simbol-simbol yang ditunjukkan dari kedua kelompok masyarakat ini dapat menilai adanya pengungkapan rasa hormat satu sama lain. Seperti yang dialami informan ZN, yang memiliki warung makan dengan menu nasi kuning yang berjualan setiap pagi hari. Ia dan istrinya memajang atribut islami di warungnya, seperti tulisan dengan Bahasa arab yang dibaca “halal” serta penjual yang mengenakan pakaian islami dan hijab saat melayani pembeli.

Selain penduduk pendatang (Jawa-Muslim), penduduk asli (Bali-Hindu) juga memiliki cara yang hampir sama untuk menunjukkan identitasnya. Penduduk asli (Bali-Hindu) yang memiliki kios toko ataupun warung makanan, menunjukkan identitas agama serta budayanya dengan memajang simbol keagamaan seperti lambang

“ongkara” atau gambaran/patung Dewa Dewi yang dianutnya, seperti gambar/patung Dewa Siwa, Dewa Brahma, Dewi Saraswati, dan lain sebagainya. Jika pada warung makan penduduk pendatang yang notabene memeluk agama Islam memasang lafadz “halal” pada spanduk warung makannya, maka pada warung makan yang dimiliki oleh penduduk asli yang notabene beragama Hindu memasang stiker “sukla”

pada etalase makanannya.

(14)

69

Gambar 4.11 Simbol Sukla pada Warung Bali (Sumber: Dokumentasi peneliti, 2019)

Penduduk asli (Bali-Hindu) dalam kesehariannya juga kerap mengenakan atribut identitas yang melekat di tubuhnya. Misalnya, ketika akan melaksanakan sembahyang maka umat Hindu akan menggulungkan kain di pinggangnya sehingga menyerupai rok panjang atau yang disebut dengan kamen serta mengikatkan selendang di pinggangnya. Selain itu, ketika akan sembahyang, umat Hindu juga membawa baki yang berisikan canang untuk dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

(15)

70

Gambar 4.12 Pakaian adat ke Pura (Sumber: https://kearifanlokal.com)

Selain itu, atribut identitas yang tampak melekat pada tubuh penduduk asli (Hindu-Bali) adalah gelang benag bernawarna putih dan gelang benang jalin berwarna merah, putih, dan hitam yang disebut gelang Tridatu. Menurut Bapak KD, atribut identitas inilah yang paling mudah digunakan untuk mengidentifikasi identitas budaya dan agama penduduk asli (bali-Hindu) karena digunakan setiap saat.

Gambar 4.13 Gelang Tridatu

(Sumber: https://www.timesindonesia.co.id)

“Kalo dari kami (orang Bali) gampang mengidentifikasinya karena rata-rata kita pasti lah pakai gelang tridatu ini mbak. Tri Datu ini ada tiga warna, merah, putih dan hitam yang melambangkan tiga kekuatan. Dewa Brahma yang disimbolkan dengan warna merah, Dewa Wisnu simbolnya hitam, dan Dewa yang disimbolkan dengan warna putih. Terus kita juga sering pake selendang di pinggang mbak, dan kalau habis sembahyang pasti ada bije (beras sebagai simbol), dan bunga di telinga kita.”

Hal yang sama juga diutarakan oleh Bapak PJ, namun menurutnya atribut ini masih kurang familiar jika mereka menggunakannya ketika bepergian ke luar Pulau Bali.

(16)

71

“Ini sih ciri khasnya umat Hindu Bali, pakai gelang benang putih ini gelang otonan namanya mbak, otonan itu ulang tahun Bali artinya, sama ini gelang yang tiga warna ini namanya gelang Tridatu. Ini lah identitas umat Hindu yang biasanya melekat sehari-hari, ini simbol bahwa kita sebagai umat Hindu itu dilindungi Tuhan Sang Hyang Widhi Wasa… Nggak Cuma di Bali sebetulnya umat Hindu se-Dharma di seluruh penjuru negerinsaya rasa juga sama. Kalau orang yang memang sudah tau atau paham tentang gelang ini yaa pasti langsung ngeh mbak. Tapi kalau kita pergi ke luar Bali, ketemu yang mayoritas disana misalnya umat Muslim, yaa kita jelasin dulu kalau memang gelang ini lah identitas kami umat Hindu. Simbol lah istilahnya.”

Gambar 4.14 Gelang Otonan (Sumber: http://www.wayanyasa.net)

Bapak PJ menambahkan, identitas “orang Bali” juga mudah dikenali dari namanya. Ada imbuhan khusus di awal nama “orang Bali”

yang menunjukkan urutan lahir dan/atau kastanya.

“Biasanya orang juga akan tau dari nama saya. Kan nama-nama orang Bali khas sekali yaa mbak. Depannya pasti ada identitasnya, kecuali orang tua kekinian yang mungkin nggak nyantumin ke anaknya, yaa ada juga sih tapi jarang lah kira-kira. Yang masih memegang pakem- pakem kebudayaan kita pasti masih nama anaknya isi

(17)

72

Putu, Made, Komang, Ketut. Kalau yang berkasta apalagi, pasti ada mereka Dewa, Ida Bagus, Cokorda.

Udah khas sekali itu.”

Selain itu, Bahasa juga menjadi indikator identitas budaya yang tampak. Bahasa yang menjadi jembatan kedua kelompok beda etnis ini untuk berkomunikasi satu sama lain. Perbedaan bahasa tak jarang juga menjadi pemicu kesalahpahaman di antara keduanya. Individu beda etnis yang memiliki keahlian dalam memahami Bahasa satu sama lain cenderung lebih mudah menempatkan diri baik ketika berada di dalam kelompok dengan etnis yang sama, maupun dengan kelompok beda etnis. Bapak ZN misalnya, sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), ia mengungkapkan bahwa Bahasa yang dipergunakannya dalam kehidupan bermasyarakat disesuaikan dengan siapa komunikannya. Sebagai penduduk pendatang yang notabene berdialek Jawa, ZN menguasai Bahasa Bali yang merupakan Bahasa asli di tempat ia tinggal dan bekerja sekarang.

“… saya kalo ngomong kadang ngomong Jawa, kadang ngomong Bali, ngomong Madura juga saya bisa mbak.

Tergantung orang yang saya ajak ngomong. Rasanya lebih enak aja sih kalo ngobrol pake bahasa daerah gitu.”

Selain karena menguasai berbagai Bahasa, ZN juga kerap mengaplikasikan penggunaan Bahasa Bali dalam kehidupan bermasyarakat karena dianggap akan lebih mudah diterima dan diberi respon yang positif oleh penduduk setempat. ZN merasa lebih nyaman jika dianggap sebagai “orang Bali” daripada penduduk pendatang karena ia merasa memang sudah menjadi warga Bali.

“memang lebih nyaman kalo sama orang Bali saya ngobrolnya pake bahasa Bali, kalo sama orang Jawa ya saya pake bahasa Jawa gitu. Kalo udah kenal sih enak- enak aja mbak. Kalo sama orang baru atau sama yang ketemu di jalan saya biasanya langsung pake bahasa Bali sih biar cepet diresponnya. Biar gak dikira orang lancong kesini, jadi lebih kerasa jadi orang Balinya…

(18)

73

tapi kalo kepepet ya dikira orang Bali nggakpapa biar cepet urusan ini itu-nya. Biasa kan mbak kalo urusan birokrasi atau apa-apa yang bawa-bawa daerah pasti lebih gampang kalo dianggep nyame sendiri gitu.”

Selaras dengan ZN, PJ sebagai penduduk asli (Bali-Hindu) dalam kesehariannya juga kerap menggabungkan bahasa dan aksen dari budaya Jawa dan Bali untuk berinteraksi dengan orang lain, baik di lingkungan pekerjaan maupun tempat tinggalnya.

“Bahasa kalau saya campur-campur aja sih mbak dalam penggunaannya sehari-hari, gimana je lagi pinginnya. Walaupun yang saya ajak berbicara orang Jawa yaa tetep saya sering campur bahasa Bali juga.

Rata-rata sih mereka ngerti mbak karna lingkungannya juga sering pake bahasa Bali atau sekedar aksennya saja. Kalau pas nggak dingerti, saya yaa tambah jelasin, seneng je mereka malahan. Jadi tambah pengetahuan kosa kata bahasanya daerahnya kan hahaha. Lain lagi kalau urusan formal ya mbak, dimana-mana ya pasti Indonesia yang baik dan benar.

Kalau dalam forum diskusi gitu saya cenderung blak- blak an. Ngomong langsung poinnya apa. Jarang basa basi lah karna urusannya sama kepentingan umum dan kepentingan adat. Pokoknya mengacu pada aturan adat saya pertahankan.”

Berbeda dengan ZN dan PJ, salah satu pemuka agama Islam di Dusun Wanasari, Ibu SM mengungkapkan jika penggunaan Bahasa Indonesia lebih diutamakan karena kegiatannya sehari-hari banyak dihabiskan dengan kegiatan yang formal. Sebagai ustadzah yang kerap mengisi ceramah dari satu tempat ke tempat lain, ia mengaku Bahasa Indionesia lebih fleksible karena ia tidak selalu mengetahui latar belakang audiens yang sedang dihadapinya dalam kelompok besar.

“Umi lebih banyak pakai bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari. Karna Umi banyak di luar, banyak orang juga yang nggak begitu faham bahasa Jawa kan, jadi Umi membiasakan pakai bahasa Indonesia aja yang netral.”

(19)

74

Dampak perbedaan penggunaan bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari ini juga dirasakan oleh Ibu FN, penduduk pendatang keturunan Jawa. Ia mengaku pernah terlibat kesalahpahaman karena salah menempatkan bahasa daerah saat berinteraksi dengan kelompok budaya lain, dalam hal ini penduduk asli (Bali-Hindu).

“Budal nih yang paling sering. Kalo di kita kan budal itu berangkat tho. Nah, kalau bahasa Bali, budal itu artinya pulang. Lha kan beda banget kan.

Kebalikannya banget. Bayangin aja kalau salah ngomong mbak. Orang bilang mau berangkat dikiranya mau pulang. Bisa salah banget. Adalagi yang sering juga, saya sendiri pernah ngalamin ini di pasar. Mau belanja pisang, bilangnya beli gedhang.

Lha kok yang dikasihkan pepaya. Ternyata gedhang itu kalau di bahasa Bali artinya pepaya. Kan lucu mbak sama-sama buah tapi beda.”

Perbedaan penempatan bahasa dengan pengucapan yang sama dan arti yang berbeda ini menjadi satu dari beberapa pemicu konflik yang mungkin muncul di antara penduduk pendatang dan penuduk asli. Namun, bahasa inilah yang menjadi jembatan komunikasi yang terjalin di antara kedua kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu wilayah yang sama ini.

b. Identitas budaya yang semu

Kenneth Burke menjelaskan identitas budaya yang semu memiliki beberapa indikator, yaitu: tatanan berpikir yang meliputi cara dan orientasi kelompok atau individu tersebut dalam berpikir dan menginterpretasikan sesuatu, perasaan yang meliputi bagaimana cara merasa dari kelompok atau individu, serta cara bertindak yang melihat apa motivasi dan orientasi dibalik tindakan yang dilakukan kelompok atau individu dalam menunjukkan identitas budayanya. Wawancara

(20)

75

medalam telah dilakukan guna mengidentifikasi indikator-indikator tersebut. Berdasarkan hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada responden dengan latar belakang berbeda, ditemukan bahwa terdapat beberapa persamaan dan perbedaan di antara penduduk asli (Bali-Hindu) dan penduduk pendatang (jawa-Muslim) dalam merepresentasikan identitas budayanya.

Cara berpikir individu baik di dalam maupun di luar kelompok merupakan salah satu indikator identitas budaya yang semu. Bapak PJ merupakan penduduk asli (Bali-Hindu) yang kesehariannya bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) mengungkapkan jika berada dalam sebuah forum diskusi, ia akan mengutarakan gagasan langsung pada poinnya dan jarang terlibat basa basi agar terlihat baik. Dalam menghadapi isu atau masalah yang muncul sehari-hari, ia berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang telah ditanamkan sejak dulu oleh leluhurnya, memegang teguh aturan adat sehingga masalah yang ada sebisa mungkin diselesaikan dengan mengacu pada aturan yang telah berlaku.

“Kalau dalam forum diskusi gitu saya cenderung blak- blak an. Ngomong langsung poinnya apa. Jarang basa basi lah karna urusannya sama kepentingan umum dan kepentingan adat. Pokoknya mengacu pada aturan adat saya pertahankan.”

Sebenarnya, seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan.

Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi. Dengan memahami kedua konsep utama itu, maka studi komunikasi antarbudaya dapat diartikan sebagai studi yang menekankan pada efek kebudayaan terhadap komunikasi. ZN sebagai penduduk pendatang menyebutkan bahwa kebiasaan penduduk Bali adalah ketaatannya terhadap aturan-aturan adat. Sehingga keteraturan

(21)

76

hidup yang ada di lingkungan Dusun Wanasari dan sekitarnya juga dipengaruhi oleh kebiasaan tersebut.

“Orang-orang sini (Bali) tuh bisa dibilang tunduknya sama aturan adat, apalagi kta yang pendatang kan.

Kuncinya mau hidup tentram di tanah orang ya tunduk sama aturan adatnya juga. Kalau berulah yang menyalahi aturan adat bisa-bisa ya diusir dari lingkungan tempat tinggalnya, ya bisa disuruh keluar Bali mereka. Balik ke kampung halaman di Jawa. Tapi saya sendiri di lingkungan sini belum pernah sih nemu yang begitu. Paling ya hanya ditegur ringan, mentok ya bikin permintaan maaf tertulis pakai materai. Jangan diulangi lagi.”

Hal tersebut menunjukkan adanya norma-norma untuk perilaku yang sesuai dalam kontak relasional, yang terjadi misalnya antara teman, kolega, rekan kerja atau tetangga. Penduduk pendatang (Jawa- Muslim) menyikapi perilaku penduduk asli dengan lebih luwes. Ibu FN sebagai responden dari penduduk pendatang mengungkapkan bahwa mereka sebagai penduduk pendatang percaya bahwa dimana bumi dipijak, maka disana langit dijunjung.

“Sebetulnya selama ini sih saya rasa nyaman-nyaman aja yaa mbak. Yaa ngomongin orang dikit-dikit lah tapi kami nggak pernah bawa masalah-masalah agama sih seingat saya… Yang penting inget aja dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Yaudah kita mengikuti saja aturan-aturan yang ada. Toh aturan-aturannya juga tidak ada yang merugikan kita sebagai umat beragama dan berbudaya.”

Kalimat yang diucapkan dalam interaksi antar kelompok beda budaya dapat menunjukkan kejujuran atas apa yang dirasakan satu sama lain. Namun, tidak jarang di antara keduanya memendam perasaan sedih, kecewa, atau marah, dibandingkan harus mengutarakan demi menjaga perasaan orang lain. Seperti yang diungkapkan ZN, sebagai penduduk pendatang, ia hanya bisa

(22)

77

memendam perasaan kesal ketika muncul celetukan-celetukan dari penduduk asli yang melibatkan unsur identitas Jawa dan/atau Muslim.

“Dalem hati ya pernah aja mbak, misal udah waktu sholat tapi belum beres kadang mau pamit ada aja rasa sungkan gitu lah. Ooo iyaa… atau kalau missal lagi nonton berita bareng-bareng temen di kantor, di ruangan gitu, terus pas aja beritanya tentang penistaan-penistaan agama itu, ya komentar- komentar mereka pasti adaaa aja mbak. Celetukan- celetukan yang cukup nyelekit mbak, tapi saya diem aja sih nggak pernah juga nimpalin juga. Menurut saya ya lebih baik lah diem daripada nyulut-nyulut api. Yang penting saya percaya aja mbak, selama saya baik, orang lain juga akan memperlakukan saya baik juga. Saya percaya juga kalo mereka pasti ngerti lah yang nyeleneh itu personalnya, bukan agama kita.”

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh SM. Ia mengungkapkan bahwa dalam grup pada aplikasi WhatsApp yang diikutinya, terdapat oknum-oknum yang mengirimkan gambar atau kalimat-kalimat berbau SARA. Namun, tidak banyak yang menanggapi atau mengomentari isu tersebut. Seiring berjalannya waktu dan info lain yang dikirimkan dalam aplikasi chatting tersebut, maka isu atau informasi SARA yang dikirim pun hilang sambil lalu sehingga tidak timbul konflik secara aktual.

“Kalo di grup-grup warga sini biasanya ada aja oknum yang saklek gitu dia asal share aja info yang berbau SARA. Komentar-komentar yang menjelek-jelekkan umat muslim gitu dia screenshoot terus kirim ke grup.

Orangnya itu-itu aja sih sebenernya, warga sini juga udah pada tau dan udah banyak yang ga menghiraukan juga ocehan-ocehannya. Cuma ya ada juga satu dua yang tersulut. Lagi-lagi konflik yang gini itu Cuma dibatin mbak, nggak ada yang sampe mencuat ke khalayak terus pukul-pukulan apalagi sampe masuk kantor polisi ya nggak ada.”

Memendam perasaan kecewa dan sedih ketika identitas budaya dan/atau agamanya sedang ditimpa isu yang buruk menjadi pilihan

(23)

78

bagi penduduk pendatang guna menjaga toleransi dan kebersamaan yang selama ini sudah terjalin di antara dua kelompok masyarakat ini.

Berbeda dengan Bapak PJ, Bapak RM yang merupakan seorang guru berdarah Bali asli mengungkapkan bahwa dalam kesehariannya ia lebih mudah memposisikan diri dan berbicara sesuai dengan komunikan yang dihadapinya. Pekerjaannya yang merupakan seorang Guru membuat Bapak RM menjadi lebih luwes dalam berinteraksi jarena kerap menghadapi wali murid dari berbagai lapisan masyarakat.

“Saya sih merasanya saya mudah menyesuaikan keadaan dengan siapa saya berbicara atau berinteraksi. Yaudah biar saya aja yang menyesuaikan, kalau lawan bicara saya nggak bisa menyesuaikan. Kira-kira begitu. Agak susah juga kalau berekspektasi sama orang, kita maunya gimana, dia maunya gimana. Jadi mending kita aja yang menurunkan ekspektasi kita ke orang lain.

Senyampainya aja lah. Ini juga jadi salah satu cara saya sih biar tetap nyaman, tetep calm dalam mengahdapi orang. Terutamanya sih murid dan wali muridnya yang tentu saja beraneka ragam latar belakangnya juga.”

Pada penelitian ini, hubungan interaktif yang disoroti adalah pengaruh timbal balik antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu). Hubungan interaktif ini erat kaitannya dengan relevansi keterlibatan identitas budaya/etnis dengan identitas situasional yang mempengaruhi cara masing-masing individu memandang diri mereka sendiri. SM, salah seorang penduduk pendatang menyebutkan jika, kebiasaan-kebiasaan saat kedua kelompok masyarakat ini sedang melaksanakan hajatan dimana idenittas situasional yang ditunjukkan, terdapat kebiasaan dalam hal mengelola makanan, yaitu memisahkan tempat, serta alat makan bagi makanan halal dan non halal. Ketika tradisi tersebut diabaikan, maka akan muncul wacana buruk bagi pelanggarnya. Hal ini juga kerap dijadikan isu untuk mencuatkan potensi konflik di antara dua

(24)

79

kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah Dusun Wanasari dan sekitarnya ini.

“Yang paling berat menurut Umi sih pernah ada beberapa waktu lalu, mmm udah lumayan lama juga sih, jadi ada orang Bali yang punya hajat (acara adat) memang lumayan dekat hubungannya dengan orang Kampung Jawa sini. Ada beberapa warga sini yang diundang ke acara nikahan anaknya orang Bali itu.

Nah, ada oknum ini yang dekat juga dengan yang punya hajat, tapi dia nggak diundang. Entah mungkin dia terlalu kecewa karna dilupakan gitu nggak diundang, bikin lah dia isu di warga sini kalau Bapak P yang punya hajat ini besok makanannya nggak halal semua, mending nggak usah datang aja. Gitu lah intinya isu yang dia sebarkan. Akhirnya ya ada juga yang terpengaruh ikut menyebarkan isu itu sampe pada nggak datang ke acara nikahan anaknya Pak P ini.”

Namun, konflik di atas pada akhirnya tidak melebar hingga ke anggota kelompok masyarakat lain karena isu tersebut telah terbukti fitnah, dan hubungan kedua kelompok masyarakat ini di kehidupan sehari-hari menjadi normal dan harmonis kembali. Kondisi tersebut membaik karena adanya peran dari opinion leader masing-masing kelompok, dalam hal ini adalah ustad/ustadzah dari penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dan pemangku dari penduduk asli (Bali- Hindu). Hal tersebut diungkapkan oleh seorang dokter keturunan Bali, berinisial KD.

“Saya sih belum pernah bersinggungan langsung sama masalahnya yaa mbak. Tapi, sepengamatan dan penglihatan saya selama tinggal disini, pemuka adat dan pemuka agama punya adil besar masing-masing. Pak Mangkunya meredam kelompok kami, Pak Ustad-nya meredam umat muslimnya. Ke masing-masing jadi nggak sampai pecah tumpah ruah di jalan gitu lah kalau ada yang rame-rame.”

Pemuka agama memiliki peran besar dalam meredam konflik yang mungkin muncul secara aktual di antara kedua kelompok

(25)

80

masyarakat ini. Kebiasaan-kebiasaan kelompok berbeda latar belakang budaya ini sudah terdeteksi oleh masing-masing pemuka agama sehingga penyelesaian konfliknya mudah diatasi dengan pendekatan-pendekatan spiritual. Jadi, meskipun memiliki latar belakang budaya yang berbeda kedua kelompok dapat menegosiasikan identitasnya dengan lebih mengedepankan persamaan daripada perbedaan sehingga tidak timbul konflik secara aktual dan dapat hidup berdampingan dengan harmonis.

c. Identitas budaya mempengaruhi komunikasi

Konsep “budaya identitas” telah mendapat perhatian berkelanjutan peneliti komunikasi dan budaya selama beberapa dekade terakhir. Bahkan, beberapa ulasan baru-baru ini membuktikan sentralitas identitas (budaya) yang ada sebagai konstruk dalam studi komunikasi antar/budaya (Bardhan & Orbe, 2012; Croucher, Sommier,

& Rahmani, 2015). Studi tentang identitas budaya telah didekati dari beragam perspektif berdasarkan pada orientasi ilmiah peneliti dan asumsi mendasar tentang sifat identitas budaya. Peneliti komunikasi antar budaya berpendapat bahwa istilah identitas budaya telah digunakan sebagai payung untuk mencakup, atau menggolongkan, identitas kelompok terkait seperti kebangsaan, ras, suku, usia, jenis kelamin dan jenis kelamin, seksualitas, sosial ekonomi status, identitas regional, identitas etnolinguistik, afiliasi politik, dan kemampuan (dis).

Secara inheren relasional, identitas budaya juga dibentuk oleh pilihan komunikasi, perilaku, dan negosiasi, khususnya dalam interaksi antar budaya.

Budaya mempengaruhi komunikasi dan pada gilirannya komunikasi turut menentukan, menciptakan dan memelihara realitas budaya dari sebuah komunitas/kelompok budaya. Dengan kata lain, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Budaya tidak hanya

(26)

81

menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Ibu FN sebagai penduduk pendatang (Jawa-Muslim) pernah kesulitan dalam mengirim pesan karena adanya persamaan bunyi namun beda arti pada beberapa kosa kata dari bahasa Jawa dan bahasa Bali.

“Cuma sering kebolak balik bahasa Jawa sama bahasa Bali yang mirip-mirip tapi artine beda… Budal nih yang paling serinng. Kalo di kita kan budal itu berangkat tho.

Nah, kalau bahasa Bali, budal itu artinya pulang. Lha kan beda banget kan. Kebalikannya banget. Bayangin aja kalau salah ngomong mbak. Orang bilang mau berangkat dikiranya mau pulang. Bisa salah banget.

Adalagi yang sering juga, saya sendiri pernah ngalamin ini di pasar. Mau belanja pisang, bilangnya beli gedhang. Lha kok yang dikasihkan pepaya. Ternyata gedhang itu kalau di bahasa Bali artinya pepaya. Kan lucu mbak sama-sama buah tapi beda.”

Kemiripan bahasa ini dianggap kerap menjadi pemicu adanya kesalahpahaman antara dua kelompok beda budaya tersebut. Namun, dengan adanya kejadian kesalahpahaman tersebut, ibu FN menanggapinya sebagai sebuah pelajaran yang dapat dimanfaatkan kemudian hari sehingga kejadian yang sama tidak terulang kembali.

“Tapi dari sana kan saya jadi tau kalo ternyata arti gedhang disini itu beda sama bahasa Jawa. Jadi dapet pelajaran bahasa daerah mbak.”

Selaras dengan ibu FN, ibu SM yang merupakan seorang pemuka agama Islam keturunan Jawa juga mengungkapkan bahwa penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari menjadi kunci sampainya informasi yang tepat sasaran.

“Kalau untuk urusan hubungan dengan masyarakat gitu ya atau orang lain kalo Umi rasa sih soal bahasa.

Seperti yang Umi bilang tadi kalo Umi memang lebih

(27)

82

enak ngobrolnya pakai bahasa Indonesia saja, tapi kalo Abah itu bisa aja dia menyesuaikan lawan bicaranya. Ngomong sama orang Bali ya pakai bahasa Bali, kecuali sama sesepuh atau mangku-mangku ya abah nggak berani karena kan tingkatan bahasanya berbeda. Sama orang Madura yaa Maduraan, apalagi sama wong Jowo yaa faseh.”

Namun, meski terdapat perbedaan penggunaan bahasa dalam kesehariannya, penduduk asli dan penduduk pendatang tetap dapat saling berinteraksi sesuai dengan kebutuhannya dan dalam kondisi yang hangat serta akrab.

“Mungkin orang akan merasa lebih nyaman ketika kita ngobrol pakai bahasa kedaerahannya. Seperti suasana jadi semakin akrab begitu. Tapi sih kalau pakai bahasa Indonesia pun tetap lancar-lancar saja, kebutuhan informasi tetap sampai tetap dapat.

Perbedaannya kalau ngobrol sama orang sini pake bahasa Bali yaa jadi lebih hangat aja situasinya. Pun demikian ketika sesama orang jawa ngobrol pakai bahasa Jawa, atau maduraan.”

Penggunaan bahasa atau dialek kedaerahan yang menimbulkan perasaan nyaman menjadi tolak ukur dalam efektivitas dan kelancaran proses penyampaian informasi dari komunikan ke komunikator. Hal ini juga diungkapkan oleh Bapak PJ, seorang Pegawai Negeri Sipil yang merupakan penduduk asli (Bali-Hindu). Ia memaparkan bahwa dalam pelayanan publik pun, bahasa menjadi kunci lancarnya setiap proses administrasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

“Kadang kalau di pelayanan publik juga ada yang menggunakan bahasa daerah karena kalau melayani orang-orang tua yang sudah sepuh gitu memang terasa lebih sampai pesannya kalau pakai bahasa daerah.”

Hal sama juga diutarakan oleh Bapak KD, penduduk asli bali yang berprofesi sebagai seorang dokter. Ia menuturkan jika penggunaan bahasa menentukan kenyamanan setiap pasien yang dihadapi, khususnya pasien lansia. Menurutnya, pasien lansia akan

(28)

83

merasa lebih nyaman dan lebih mengerti penjelasan kondisi medisnya jika disampaikan menggunakan bahasa atau dialek daerahnya.

“Kalau berhadapan sama yang sudah tua gitu sama nenek atau kakek saya pakai bahasa Bali mbak, soalnya biasanya mereka akan lebih ngerti dan merasa nyaman kalo kita perlakukan seperti orang tua sendiri. Jadi komunikasi kebelakangnya lebih enak, menyampaikan apa-apanya lebih sampai maksudnya. Lain lagi kalau sudah sepuh tapi orang Jawa. Saya biasanya tetap menggunakan Bahasa Indonesia dengan sedikit aksen Jawa sebisa saya, kembali lagi saya bisa merasakan kenyamanan baik dari saya maupun dari pasien saya kalo menggunakan bahasa campur dengan dialeknya.”

Meski kedua kelompok masyarakat ini memiliki latar belakang budaya yang berbeda, khususnya bahasa dan kebiasaannya, penduduk asli (bali-Hindu) dan penduduk pendatang (Jawa-Bali) dapat menyesuaikan diri satu sama lain, sehingga timbul rasa nyaman dalam setiap interaksinya.

4.2.2 Negosiasi Identitas

Upaya mempertahankan identitas diri penduduk pendatang dan penduduk asli dilakukan dengan menegosiasikan identitasnya satu sama lain.

Negosiasi identitas menjadi cara untuk menekan potensi konflik yang mungkin terjadi secara aktual di antara dua kelompok masyarakat beda etnis. Gambaran temuan pada penelitian ini, penduduk pendatang (Jawa-Bali) dan penduduk asli (Bali-Hindu) melakukan proses negosisasi dengan melibatkan unsur-unsur identitas budaya yang menekankan pada pentingnya motivasi, partisipasi, integrasi, serta kemampuan memahami identitas budaya lain berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh dua kelompok masyarakat beda etnis ini. Proses negosiasi yang terjadi antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu) membangun jejaring sosial di antara keduanya, membangun kebebasan dan kesuksesan bersama, serta muncul perbandingan- perbandingan positif di antara kedua belah pihak.

(29)

84 a. Building a social network

Building a social network pada penelitian ini dapat diartikan sebagai sebuah upaya dalam membangun kerjasama antara dua kelompok, dalam hal ini yaitu kelompok penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu).

Terdapat beberapa kegiatan yang melibatkan kedua kelompok masyarakat. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa kegiatan sosial dan melibatkan kebudayaan. Meski tidak terlalu banyak kegiatan yang dilakukan bersama, namun hal ini tidak mengurangi rasa toleransi satu sama lain. Kerjasama tersebut dimulai dengan saling menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan.

“Nggak terlalu banyak sih mbak, tapi tiap bulan ya ada aja. Banjar-nya kan sendiri-sendiri, tapi sekarang mulai ada lagi gotong royong gabungan. Ngurus sampah juga kita kolaborasi, sama keamanan lingkungan sini lah mbak. Sepanjang jalan A. Yani ini kan udah dianggep orang-orang Kampung Jawa. Padahal ada juga Banjar Lumintang Kaja disini.”

Hal tersebut diungkapkan oleh Bapak ZN, dari penduduk pendatang. Meski tinggal di Banjar (RT/RW) yang berbeda, namun keduanya membuat kesepakatan bahwa kebersihan lingkungan Dusun Wanasari dan Banjar Lumintang menjadi tanggung jawab bersama, utamanya dalam pengelolaan sampah.

“Yang ngadain itu seringnya Banjar Lumintang, jadi yang ikut ya warga banjar mereka sama warga kita yang tinggalnya mepert-mepet sana. RT berapa ya saya lupa yang disana. Nah, karena mereka wilayahnya mepet banget bahkan ada yang nyaplir, jadi ya ada kesepakatan warga kita juga ikut gotong royong disana. Pengelolaan sampah sih terutamanya.”

Saling memberi dan menerima yang terjadi antara penduduk asli dan penduduk pendatang, menunjukkan proses negosiasi identitas adalah fenomena yang secara fundamental bersifat interaksionis. Seperti halnya pendekatan interaksionis lainnya, proses negosiasi identitas

(30)

85

menggabungkan dua tema yang bersaing yang mendominasi psikologi yaitu behaviorisme dan teori kepribadian.

“Yaa kita ini kan didasari dua kelompok budaya yang berbeda, tentu saja kebiasaan dan karakter kita berbeda juga. Jangankan yang beda budaya, kita dengan budaya yang sama pun bisa beda karakternya kan. Perbedaan budaya, perbedaan karakter, beda kebiasaan, beda bahasa, kan bisa jadi potensi munculnya kesalahpahaman- kesalahpahaman. Ini lah yang mungkin terjadi. Di kita (warga Bali) kan sering mengadakan upacara-upacara adat, sering menutup jalan, sering ngayah (gotong royong), kalau orang baru datang kesini mungkin akan bingung, kok banyak libur, kok banyak ngayah dan sebagainya. Ini bagian dari budaya kita disini kan, jadi orang luar butuh adaptasi mungkin dalam beberapa waktu kedepan gitu. Tapi, kalau orangnya nggak mau nyari tau, atau nggak ada tetangga terdekatnya yang memberi tau, ini bisa jadi masalah. Karna dia tidak bergaul ke masyarakat, kan kalau ada apa-apa dengan dirinya, kita jadi malas membantu gitu lah istilahnya.”

Hal yang sama juga diungkapkan penduduk asli (Bali-Hindu) PJ, namun dirinya menambahkan bahwa masih ada oknum yang belum dapat menerapkan keterampilan-keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari hari.

“Yaa ada aja sih mbak. Nggak semua orang paham konsep toleransi juga ya. Menurut saya, faktor pengalaman dan pergaulan muga mempengaruhi. Orang-orang yang pikirannya kolot tentu masih lah suka complain-komplain perihal tindakan warga pendatang. Misal, sederhananya saja ya tadi lah tentang adzan, pernah aja saya dengar keluhan berisik lah katanya. Tapi sebagai orang luar muslim ya saya istilahnya ini, saya bilang aja, orang Cuma sebentar aja namanya panggilan beribadah, toh juga tidak mengganggu aktivitas kita.”

PJ beranggapan hal tersebut dinilai tidak begitu mempengaruhi kehidupan penduduk pendatang dan penduduk asli yang telah terjalin dengan harmonis. Selain menjalin kerjasama sosial dalam hal kebersihan

(31)

86

dan keamanan, keduanya juga membangun hubungan kerjasama dalam bidang kesehatan.

“Biasanya tetangga atau saudara yang tinggal di dekat tempat tinggal saya ini kalo sakit ya langsung ke sini nyari “Pak dokter ada?” Gitu aja mereka mbak. Tapi ya sakit yang ringan aja, demam, batuk, pilek atau cek tensi sama gula darah. Ya ada juga orang Jawa yang berobat ke sini. Itu yang warung sebelah itu kalau anaknya sakit ya langsung ke sini aja minta resep. Orang Muslim itu mbak, Cuma karna kita udah tetanggaan lama ya jadi kaya sodara aja.”

Meski tidak membuka praktek secara formal di wiilayah Dusun Wanasari dan Banjar Lumintang, Bapak KD kerap mendapat pasien dari kerabat, baik penduduk asli maupun penduduk pendatang. Kedekatan emosional yang telah terjalin membuat adanya rasa saling percaya satu sama lain. Selain itu, Bapak KD juga mengaku jika dirinya mudah diterima di masyarakat dalam kegiatan di masyarakt karena profesinya sebagai dokter. Ia pun tak segan untuk ikut andil dalam acara sunat masal yang notabene merupakan kegiatan keagamaan dari kelompok penduduk pendatang (Jawa-Muslim).

“Yaa karena saya dokter mungkin yaa, jadi dimana saya berada selama ini sih perasaan selalu diterima sama masyarakat. Kebanyakan dari mereka tidak melihat agama saya, atau saya orang mana. Tapi mereka kayak cukup tau aja kalau saya dokter, saya yang akan menolong mereka sakit, memberi obat, konsultasi dan sebagainya sebagaimana memang kapasitas saya sebagai dokter. Saya juga dulu pernah gabung di acara sunat masal disini.

Walaupun bukan saya yang melakukan tindakan, tapi saya ambil andil untuk screening kesehatan adik-adik disana sebelum masuk ke bilik tindakan.”

Kerjasama yang telah terbangun dan terjalin di antara dua kelompok masyarakat ini menjadi indikator negosiasi yang berjalan dengan baik.

Terdapat kegiatan lain yang melibatkan perwakilan dari penduduk pendatang dan penduduk dalam organisasi formal, yaitu Forum Kerukunan Umat Beragama atau disingkat sebagai FKUB. Ibu SM

(32)

87

sebagai pemuka agama Islam menjadi salah satu anggota FKUB yang sering melakukan diskusi-diskusi terkait kerukunan umat beragama di Pulau Bali.

“Umi biasanya ketemu untuk berkegiatan di FKUB mbak.

Tau kan? Itu Forum kerukunan umat beragama. Umi sama abah termasuk yang menjadi anggota di forum itu. Disana Umi kenal banyak orang dari berbagai kalangan dan berbagai agama. Di forum itu biasanya kita bahas isu-isu yang lagi rame di luar, di pemberitaan.”

Ibu SM menjelaskan, dalam forum tersebut sering membahas dan mencari solusi terkait pemberitaan simpang siur terkait SARA yang kini mudah tersebar ke seluruh lapisan masyarakat. Penyebaran berita-berita hoaks oleh satu atau dua orang oknum ini disinyalir dapat memicu konflik di antara kedua kelompok masyarakat sehingga harus segera ditemukan solusinya.

“Karena ada media sosial ini kan jadi mudah berita simpang siur masuk ke masyarakat. Apalagi yang berbau agama, masih banyak warga kita yang mudah terprovokasi. Nah, di forum ini lah dibahas isunya apa saja, kita cari kebenarannya. Kalau Cuma isu mentah aja, kita cari caranya bagaimana supaya masyarakat kita, terutama dari kelompok kita ini warga muslim biar nggak tersulut terprovokasi terus ikut-ikutan menyebarkan info hoax. Ini lah yang bikin situasi kadang nggak enak sama orang Bali sini. Jadi banyak salah pahamnya. Padahal itu ulah oknum aja pingin bikin rebut-ribut. Umi kadang sedih, hidup berdampingan udah baik-baik aja selama ini tapi karna satu dua orang jadi kisruh.”

Pertemuan rutin yang dilakukan setiap satu bulan sekali ini juga membangun kedekatan antara kelompok penduduk pendatang dan penduduk asli, sehingga jika terdapat isu di masyarakat yang mungkin menyebabkan perpecahan dapat diakomodasikan oleh antar opinion leader untuk selanjutnya disampaikan pada anggota kelompoknya sehingga tidak sampai menimbulkan konflik secara aktual.

(33)

88 b. Experiencing freedom and success

Membangun kebebasan dan kesuksesan bersama di antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu) terlaksana setelah melalui proses panjang di antara keduanya. Terdapat fase naik-turun dalam kehidupan yang berdampingan di antara kebiasaan dan kesempatan yang berbeda antar keduanya. ZN berpendapat bahwa dirinya merasa hidup di dunia ini saling membutuhkan satu sama lain, maka tidak ada salahnya jika memberikan kebebasan bagi penduduk asli maupun penduduk pendatang dalam bertutur, bertindak, beribadah, dan sebagai selama masih berada dalam koridor aturan adat yang berlaku.

“Saya merasa nyamannya ya kalau lawan bicara saya atau circle ngobrol saya isinya orang-orang yang bisa menghargai perbedaan satu sama lain. Di circle yang seperti itulah biasanya kita kan bisa jadi diri kita sendiri.

Atau kita bisa membahas apa saja diluar hal-hal sensitif yang mungkin bisa melukai perasaan satu dan lainnya.

Intinya ya kalau bisa gak ribut kenapa musti ribet. Toh juga kan kita hidup di muka bumi ini membutuhkan satu sama lain. Untungnya sih selama saya hidup disini hampir tidak pernah ada apa-apa yang fatal begitu lah mbak.”

Di sisi lain, sebagai seorang pendakwah, ibu SM menceritakan bahwa untuk mencapai tingkat toleransi yang tinggi seperti kondisi di masyarakat saat ini, ada proses panjang dan berliku.

“Iya mbak. Memang kalau dibayangkan yaa tidak mudah.

Ada proses panjang pengenalan, adaptasi kebiasaan, norma-norma adat, dan sebagainya. Inilah yang kita petik sekarang. Walaupun ada aja slentingan-slentingan SARA diluaran sana, kepercayaan kita satu sama lain tetep lebih kuat disbanding isu yang beredar. Yaa meski tetep aja ada satu dua yang terpancing, tidak begitu banyak mempengaruhi kehidupan bermasyarakat kami disini.”

SM mengungkapkan, proses panjang ini dilalui dari waktu ke waktu sehingga tercipta nuansa kehidupan yang harmoni di antara kedua

(34)

89

kelompok masyarakat beda etnis yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama ini.

“Sejauh ini selama saya hidup disini Alhamdulillah sih bisa menyesuaikan sesuai kebutuhan dan sesuai tempatnya.

Kalau menengok lagi kebelakang, sebelum era yang sekarang ini, mungkin memperlihatkan identitas kita sebagai Muslim diluaran terasa agak canggung. Dulu masjid belum banyak, perempuan berjilbab belum banyak, pendatang masih sedikit, jadi masih sukar lah kalau hanya dengan melihat saja dari penampilan. Kecuali kalau sudah duduk bareng, ngobrol, baru kita semakin tau latar belakangnya. Kalau sekarang kan anak-anak, remaja, ibu- ibu, nenek-nenek sudah banyak yang berjilbab, jadi lebih mudah orang mengenali kita sebagai muslim. Masjid, mushola atau tempat sholat di tempat-tempat umum juga sudah banyak, warung-warung yang halal sudah berlabel halal, warung-warung orang bali sudah berlabel sukla. Jadi kita kalo mau jajan diluar juga milih-milihnya lebih mudah sekarang. Tapi terkadang ada juga kondisi-kondisi tertentu yang memang tidak perlu menunjukkan identitas kesukuan kita sih mbak. Jadi ya orang nggak tau atau nggak mau tau ya nggak masalah.”

SM juga memaparkan hal lain yang dapat dinegosiasikan bersama, yaitu berkenaan dengan waktu beribadah di antara dua kelompok masyarakat beda budaya ini.

“Sebagai seorang muslim kita juga punya kewajiban beribadah sholat 5 waktu yang waktunya sudah ditentukan tiap harinya. Nah, kalau urusan pekerjaan atau kegiatan- kegiatan di masyarakat yang durasi pelaksanaannya bisa seharian utuh, tentu kan akan melewati jam-jam sholat kita ini. Nah, kalau di awal sudah saling mengetahui, tentu aka nada toleransi jeda waktu untuk kita menunaikan kewajiban sholat 5 waktu kita. Menurut Umi sih ini principal ya mbak. Selain itu, kalau dalam kehidupan sehari-hari, ini juga berhubungan dengan bagaimana kita harus memperlakukan orang lain.”

Hal tersebut juga menunjukkan adanya keterampilan empati verbal dan sensitivitas non verbal di antara penduduk pendatang dengan

(35)

90

penduduk asli karena keduanya telah menegosiasikan waktu beribadah yang berbeda. Sehingga kewajiban manusia dengan Tuhannya dapat dipenuhi baik dari kelompok masyarakat Muslim maupun Hindu.

“Yaa memang sih kalau latar belakang budayanya berbeda, kebiasaan berbeda, kewajiban beribadah juga berbeda, kita memang harus menyesuaikan aja satu sama lain. Kalau memang lagi ada kegiatan bersama, kita sama-sama saling toleransi. Pas waktunya sembahyang masing-masing ya kita break dulu. Kalau di lingkungan sini pun begitu mbak.

Jamnya adzan ya dibunyikan lewat speaker masjid. Kalau pas Tri Sandya ya dibunyikan juga lewat speaker Banjar.

Adzan maghrib dan Tri Sandya yang sore jam 6 itu pernah saut-saut-an mbak. Kan berdekatan yaa waktunya. Kita disini sudah biasa. Saling mendengarkan aja. Toh tidak mengganggu satu sama lain. Selama tidak saling mengganggu maka silahkan saja. Begitu.”

Penduduk pendatang dan penduduk asli di lingkungan Dusun Wanasari dan sekitarnya memilih untuk mengedepankan persamaan dibandingkan perbedaan demi membangun kebebasan bersama, kebebasan dalam beribadah, berpendapat, dan berkegiatan sehingga di antara keduanya dapat memperoleh kesuksesan terbaik dalam versi masing-masing.

c. Positive comparison

Setelah membangun kebebasan serta kesuksesan bersama, kemudian muncul perbandingan-perbandingan positif di antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali- Hindu). Perbandingan-perbandingan positif merupakan cara pandang yang baik di antara kedua kelompok masyarakat beda etnis terhadap kebiasaan dan kesempatan untuk meraih kesuksesan satu sama lain.

Wacana positif ini dikemukakan guna tetap menjaga toleransi dan kebersamaan hidup berdampingan yang telah terjalin selama ini. ZN menegaskan bahwa, selama setiap individu bisa menempatkan diri dengan sesuai, maka kesuksesan hidup berdampingan akan dapat diraih.

(36)

91

“Jadi, menurut saya yaa yang penting saya bisa menempatkan diri yang baik di tempat saya tinggal sesuai aturan adat yang ada. Kalau itu sudah dijalankan ya pasti hidup ini akan ayem-ayem saja.”

Selaras dengam ZN, FN juga memaparkan bahwa sebagai kelompok minoritas, lebih baik selalu menjunjung tinggi norma-norma dimana kita tinggal sehingga kehidupan yang rukun dapat tercipta. Ia merasa aturan-aturan adat setempat tidak ada yang merugikannya dan masyarakat Jawa-Muslim khususnya sebagai umat beragama dan berbudaya, sehingga tidak ada rasa keberatan dalam menjalankannya.

SM menambahkan, bahwa persamaan adalah di atas segalanya agar tercipta kehidupan yang harmoni.

“Yang penting itu kita lebih baik mengedepankan persamaan dibandingkan perbedaan yang ada di antara kita. Persamaan yang bagaimana? Ya kan kita sama- sama pengen hidup aman, tentram, nyaman. Yaudah kita saling menghormati aja kepercayaan satu sama lain.

Bagiku agamaku, bagimu agamamu, gitu kan kata Al Quran. Jadi, selama kita diberi kelonggaran untuk memakai tempat ibadah, menyelenggarakan sholat Jumat, yaudah kita hidup berdampingan aja menjalani rutinitas masing-masing.”

Ia merasa, mengedepankan persamaan daripada perbedaan menjadi kunci agar dapat hidup berdampingan dengan aman, tentram dan nyaman.

“Kita ini harus lebih mengedepankan persamaan daripada perbedaan. Banyak belajar, bertanya, melihat keadaan sekitar. Apa yang perlu apa yang tidak perlu kita ikuti kita yakini. Kita sama-sama pengen hidup aman, tentram, nyaman begitu normalnya manusia hidup berdampingan. Maka, kita harus saling menghormati kepercayaan satu sama lain.”

Di sisi lain, SM menambahkan, meskipun harus mengutamakan persamaan dibandingkan perbedaan, sebagai penduduk pendatang tetap harus memahami batas-batas yang ada antara tradisi budaya dan agama, dalam hal ini khususnya adalah agama Hindu. SM mengungkapkan,

(37)

92

tentu ada batasan sebagai umat Muslim dalam mengikuti aturan adat sesuai kaidah Islam yang mereka anut.

“Kayak kebiasaan-kebiasaan tradisi misalnya. Disini (Bali) itu kan tradisi dan agama seperti tidak ada jarak.

Nah, kita harus paham mana yang memang tradisi budaya, mana yang kepentingan agama atau kepercayaan. Jangan sampai kita kebablasan. Kitanya salah, orang sini juga bisa jadi tersinggung. Padahal kan mungkin aja itu bukan sesuatu yang sengaja, melainkan ketidaktahuan kita sebagai penduduk pendatang. Nah, makanya mbak, Umi kalo keliling (ceramah) sering bilang ke jamaah, kita sebagai muslim harus punya toleransi yang tinggi, tapi juga harus mengerti batasan- batasan sejauh mana kita bisa ikut andil di dalam kebudayaan atau tradisi sini (Bali). Betul-betul harus hati-hati sekali.”

Toleransi beragama adalah sikap menghormati, menghargai terhadap kepercayaan atau agama yang berbeda dan tidak mencampuri urusan masing-masing dalam rangka membangun kehidupan bersama serta hubungan sosial yang lebih baik. Toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang telah mempunyai keyakinan kemudian berpindah atau merubah keyakinannya untuk mengikuti dan berbaur dengan keyakinan atau peribadatan agama-agama lainnya (sinkretisme); tidak pula dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/

kepercayaan; melainkan bahwa ia tetap pada suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya, serta memandang benar keyakinan orang lain, sehingga dalam dirinya terdapat kebenaran yang diyakininya sendiri menurut suara hatinya sendiri yang tidak diperoleh atas dasar paksaan orang lain atau diperoleh dari pemberian orang lain.

4.3 Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan kecenderungan bahwa relatif banyak kebiasaan-kebiasaan yang dapat dinegosiasikan di antara penduduk pendatang

(38)

93

dengan penduduk asli. Sedangkan beberapa penelitian terdahulu, seperti penelitian yang dilakukan Oomen pada tahun 2012 menunjukkan kecenderungan bahwa terdapat kecenderungan kecemasan dan tingkat keprihatinan yang positif dari mahasiswa pendatang (internasional). Hasil menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan individu, dalam kondisi tekanan mental, secara aktif terlibat dalam pengelolaan konflik dan menampilkan perilaku yang mengintegrasikan keprihatinan diri dan lainnya.

Artinya, mahasiswa asing yang berada di sana memiliki kecemasan yang tinggi terhadap integritas dirinya dalam lingkup kelompok yang berbeda latar belakang dengan dirinya. Berbeda halnya dengan penelitian tersebut, penelitian ini berasumsi bahwa hanya terdapat sedikit kecemasan yang hadir dalam proses komunikasi yang terjadi antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu).

Teori negosiasi identitas (INT) yang diusulkan oleh Stella Ting-Toomey (1993, 2005) digunakan untuk menjelaskan transaksi dan interaksi di mana individu berusaha untuk membangun citra diri mereka seperti yang diinginkan oleh diri mereka sendiri dan orang lain. Individu memperoleh dan mengembangkan identitas mereka melalui interaksi dengan orang lain dalam kelompok budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari atau dapat dikatakan sebagai presentasi diri.

Penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dan penduduk asli (Bali-Hindu) telah menegosiasikan beberapa identitas budaya masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari. Kebiasaan demi kebiasaan yang berhasil dinegosiasikan satu sama lain telah melewati proses panjang sebelumnya.

4.3.1 Identitas budaya mempengaruhi komunikasi dan sebaliknya a. Bahasa menjadi jembatan komunikasi antar budaya

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi oleh antar individu. Bahasa terdiri dari simbol-simbol yang saling ditukarkan untuk menyamakan persepsi satu sama lain.

Terdapat dua bidang yang meliputi pengertian Bahasa. Pertama, alat

(39)

94

ucap manusia menimbulkan bunyi, dan arus bunyi tersebut menimbulkan arti atau makna yang tersirat. Kedua, reaksi terhadap apa yang didengar merupakan hasil dari arti atau makna yang terkandung dalam arus bunyi yang diucapkan (Ritonga, 2012).

Terdapat sistem atau lambang yang sebelumnya telah disepakati bersama sehingga dapat digunakan sehari-hari dalam proses komunikasi baik antar individu maupun antar kelompok masyarakat.

Individu yang berperan dalam proses komunikasi menjadikan sistem tanda atau lambang ini sebagai nilai dan acuan yang sama dalam setiap interaksinya. Keberhasilan penggunaan bahasa dalam proses komunikasi dapat diukur apabila komunikan dan komunikator memiliki kesamaan pikiran, gagasan, konsep yang diacu atau diungkapkan lewat kesatuan dan hubungan yang bervariasi dari sistem simbol itu sendiri (Alwasilah, 1990).

Bahasa dianggap menjadi jembatan komunikasi antar budaya karena melalui Bahasa yang diaplikasikan dalam kehidupan sehari- hari, setiap individu yang terlibat dalam interaksi dapat menyamakan persepsi satu sama lain. Bahasa yang berbeda kerap menjadi penyebab terjadinya kesalahpahaman antar individu beda etnis yang saling berinteraksi. Kesalahpahaman terjadi karena adanya perbedaan persepsi dari tutur Bahasa yang terucap antara satu dengan yang lainnya. Individu beda etnis yang memiliki keahlian dalam memahami Bahasa satu sama lain cenderung lebih mudah menempatkan diri baik ketika berada di dalam kelompok dengan etnis yang sama, maupun dengan kelompok beda etnis. Bapak ZN misalnya, sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS), ia mengungkapkan bahwa Bahasa yang dipergunakannya dalam kehidupan bermasyarakat disesuaikan dengan siapa komunikannya. Sebagai penduduk pendatang yang notabene berdialek Jawa, ZN menguasai Bahasa Bali yang merupakan Bahasa asli di tempat ia tinggal dan bekerja sekarang.

(40)

95

Hal yang disampaikan ZN tersebut memiliki kesesuaian dengan asumsi teoritis yang dikemukakan oleh Ting-Toomey (2005).

Pernyataan ZN sesuai dengan asumsi yang berbunyi “Individu cenderung merasa nyaman berkenaan dengan keamanan identitas saat berada di lingkungan budaya yang akrab dan menjadi emosional dalam kerentanan identitas saat berada di lingkungan budaya yang tidak dikenal”. ZN sebagai komunikator merasa nyaman dan aman ketika menyampaikan maksud atau pesan dengan menyesuaikan dialek kepada siapa ia berbicara (komunikan). Keterampilan berdialek yang ia miliki menjadi kelebihan tersendiri sehingga ia dengan mudah menyesuaikan dialek komunikannya, baik dengan sesama penduduk pendatang, maupun dengan penduduk asli. Keterampilan merupakan satu dari beberapa komponen yang menunjukkan bagaimana negosiasi identitas terjadi di suatu wilayah tertentu.

Keterampilan adalah kemampuan operasional yang aktual untuk melakukan tindakan atau perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam menghadapi situasi budaya tertentu. Keterampilan- keterampilan tersebut diantaranya keterampilan interaksi adaptif, keterampilan pengamatan yang penuh perhatian, keterampilan mendengarkan yang penuh perhatian, keterampilan empati verbal, keterampilan sensitivitas nonverbal, serta keterampilan kompetensi lintas budaya. Beberapa keterampilan tersebut melibatkan pendengaran yang responsif, penglihatan yang aktual, dan hati yang terfokus pada bunyi, nada, gerakan, nuansa nonverbal, penjedaan, keheningan, serta memaknai identitas melalui perspektif pembingkaian identitas dari pihak lain. Keterampilan-keterampilan tersebut kemudian akan membantu efektivitas proses negosiasi identitas di antara budaya yang berbeda (Ting-Toomey, 2005). Dalam hal ini, ZN mengaplikasikan keterampilan interaksi adaptif serta keterampilan kompetensi lintas budaya setelah mengalami pengamatan yang penuh perhatian. Keterampilan ZN tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Tradisi atau kebiasaan dengan kaitannya sosial budaya masyarakat Brantak Sekarjati masih seperti masyarakat desa lain pada umumnya. Masyarakat desa Brantak Sekarjati juga

Standar Kompetensi : Memecahkan masalah yang berkaitan dengan sistem persamaan linear dan pertidaksamaan satu variabel Kompetensi Dasar : Menyelesaikan sistem persamaan

Wawancara dengan informan bahwa dalam tradisi batumbang apam ini juga sebagai ajang silaturahim antara masyarakat yang satu dengan yang lain yang ingin melaksanakan

Serupa dengan data tentang peraturan tertulis di atas, hasil observasi yang penulis lakukan berkaitan dengan hukuman bagi yang melanggar peraturan kebersihan di MIN Amparaya

Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) Semarang merupakan salah satu pusat rujukan yankes bagi masyarakat yang tidak hanya melaksanakan upaya kesehatan perorangan,

Tradisi brokohan sapi ini sebenarnya tradisi yang tidak wajib dilakukan oleh masyarakat, namun masyarakat Desa Manggihan memiliki kepercayaan bahwa sapi-sapi yang mereka

Berkaitan dengan Tradisi Dhawuhan persiapan dilaksanakan 1 hari sebelum upacara berlangsung. Langkah yang diambil yaitu membentuk kesepakatan antara 3 desa yaitu; Desa Cukil,

Hal yang berkaitan yang diungkapkan oleh bapak Baharudding sebagai tokoh agama di Dusun Kandiawang, beliau mengungkapkan bahwa: “dalam pelaksanaan pembacaan Barazanji terkadang kami