• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum 1. Letak Geografis

Desa Manggihan terletak di Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Luas wilayah Desa Manggihan 75.038,66 Ha pada posisi 1100 14’ 54,75’’ – 1100 39’ 3’’ Bujur Timur dan 70 3’ 57’’

– 70 30’ 0’’.

Desa Manggihan memiliki 6 (enam) dusun, terdiri dari Dusun Manggihan, Pendem, Seturun, Gowongan, Sengon, dan Manggiharjo yang terdiri dari lahan pertanian dan lahan bukan pertanian dengan batas-batas administratif sebagai berikut :

Sebelah Timur : Desa Sumogawe;

Sebelah Barat : Desa Ngrawan;

Sebelah Utara : Desa Polobogo;

Sebelah Selatan : Desa Getasan.

Jenis tanah di Desa Manggihan ini adalah Andosol coklat tua, tanah jenis ini sangat cocok untuk ditanami tanaman padi, pinus, bunga, teh, sayur-mayur, dan buah. Namun kebanyakan dari masyarakat Desa Manggihan ini tidak memanfaatkan jenis tanah Andosol coklat tua ini untuk menanam jenis tanaman tersebut, masyarakat desa kebanyakan memanfaatkan tanah yang mereka punya untuk menanam rumput yang digunakan untuk pakan sapi.

2. Kependudukan

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Kepala Desa Manggihan, Bapak Supriyadi pada 29 Juni 2018 jumlah penduduk di Desa Manggihan adalah 1722 jiwa dengan jumlah 506 KK yang terdiri dari enam dusun yaitu Dusun Manggihan, Dusun Pendem, Dusun Seturun, Dusun Gowongan, Dusun Sengon, dan Dusun

(2)

Manggiharjo. Keadaan penduduk berdasarkan kondisi pendidikan, mata pencaharian, dan kepercayaan dapat dilihat sebagai berikut :

a. Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat Desa Manggihan dapat dikatakan masih sangat rendah karena sebagian besar masyarakat hanya lulus pada tingkat Sekolah Dasar (SD) dan tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Jadi dapat disimpulkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya menempuh jejang pendidikan masih sangat kurang.

Masyarakat belum memahami pentingnya pendidikan dalam persaingan perkembangan zaman.

b. Mata Pencaharian

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari Kantor Kelurahan Desa Manggihan, mayoritas penduduk Desa Manggihan bekerja sebagai petani, pedagang, konstruksi/bangunan, dan banyak pula masyarakat yang belum bekerja atau tidak bekerja. Namun masyarakat yang belum atau tidak bekerja ini menurut Kepala Desa Manggihan, masyarakat ini mengurus sapi-sapi dan kesibukan sehari-hari masyarakat ini adalah mencari pakan rumput untuk sapi mereka.

c. Kepercayaan

Dari hasil observasi dan wawancara dengan Kepala Desa Manggihan, sebagian besar masyarakat menganut agama Islam, namun ada beberapa warga yang menganut agama Kristen. Walaupun terdapat dua kepercayaan yang berbeda di Desa Manggihan, masyarakat tetap saling menghargai dan menghormati. Masyarakat juga tetap saling bergotong royong dan rukun melaksanakan adat isitiadat dan tradisi, salah satunya adalah tradisi brokohan sapi yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun.

(3)

3. Adat Istiadat dan Tradisi Desa Manggihan

Masyarakat Desa Manggihan sangat melestarikan adat istiadat dan tradisi yang diturunkan oleh para leluhur mereka. Hampir seluruh masyarakat desa hingga saat ini melaksanakan adat istiadat dan tradisi tersebut. Beberapa contoh dari adat istiadat dan tradisi tersebut adalah upacara pernikahan, upacara kematian, merti desa, tradisi ruwahan, tradisi nyadran, tradisi rejepan, tradisi tanggal 1 sura, tradisi tanggal 10 sura, tradisi brokohan bayi, dan tradisi brokohan sapi.

Semua tradisi tersebut sampai saat ini masih dilaksanakan oleh masyarakat Desa Manggihan. Salah satu tradisi yang masih dilakasanakan yaitu tradisi brokohan sapi. Alasan mengapa masyarakat Desa Manggihan masih melakukan tradisi brokohan sapi adalah ada keyakinan bahwa sapi-sapi yang dibrokohi akan mendapatkan berkah keselamatan, kesehatan, dan masyarakat percaya bahwa sapi-sapi tersebut tidak akan terkena penyakit ataupun bahaya lainnya. Tradisi brokohan sapi ini sebenarnya juga wujud dari rasa syukur para pemilik sapi, karena sapi-sapi yang mereka rawat dapat berkembang-biak.

Tradisi brokohan sapi ini sebenarnya tradisi yang tidak wajib dilakukan oleh masyarakat, namun masyarakat Desa Manggihan memiliki kepercayaan bahwa sapi-sapi yang mereka brokohi ini akan mendapatkan berkah dari Sang Maha Kuasa. Oleh sebab itu sampai saat ini masyarakat Desa Manggihan masih melakukan tradisi yang telah diturunkan dari nenek moyang mereka.

B. Sejarah Singkat Tradisi Brokohan Sapi

Menurut hasil observasi dan wawancara penulis dengan Kepala Desa Manggihan, Kepala Dusun Pendem, Moden Dusun Pendem dan beberapa pemilik sapi di Dusun Pendem dan Dusun Manggihan pada 29 Juni 2018, sampai saat ini belum diketahui sejak tahun berapakah tradisi brokohan sapi dilakukan di Desa Manggihan. Hal ini disebabkan karena tidak ada bukti ataupun catatan mengenai kapan tradisi brokohan sapi dilakukan oleh nenek

(4)

moyang mereka dan mengapa nenek moyang mereka melakukan tradisi tersebut.

Meskipun masyarakat Desa Manggihan tidak mengetahui alasan pasti mengenai mengapa tradisi brokohan sapi harus dilakukan dan kapan tradisi tersebut dilakukan, masyarakat Desa Manggihan tetap percaya dan terus melaksanakan tradisi tersebut hingga saat ini. Masyarakat Desa Manggihan hanya memiliki anggapan dan kepercayaan bahwa pada zaman dahulu kala nenek moyang mereka melakukan tradisi tersebut karena jika ada sapi-sapi yang dibrokohi/diselamati, sapi-sapi tersebut akan mendapatkan berkah dari yang Maha Kuasa terkhusus berkah dari Kanjeng Nabi Sulaiman yang menguasai semua hewan-hewan yang ada di muka bumi ini. Berkah yang akan didapatkan oleh sapi-sapi tersebut berupa berkah keselamatan, kesehatan, kelancaran air susu dari induk sapi, bagi anak sapi akan tumbuh dengan baik dan tidak mengalami kecacatan. Selain itu masyarakat Desa Manggihan percaya bahwa sapi-sapi yang dibrokohi/diselamati tidakakan mendapatkan penyakit ataupun bahaya lainnya.

Masyarakat Desa Manggihan mempercayai bahwa berkah dari tradisi brokohan sapi ini tidak hanya bagi sapi-sapi saja namun juga ada berkah bagi pemilik sapi. Berkah tersebut berupa kesehatan dan kekuatan bagi pemilik sapi agar dapat terus mencari rumput bagi sapi-sapi mereka. Pemilik sapi berharap agar mereka dapat terus merawat sapi-sapi tersebut sampai sapi itu tumbuh dewasa dan dapat dikembangbiakkan.

Sebenarnya tradisi brokohan sapi ini tidak wajib dilakukan oleh masyarakat Desa Manggihan, namun semua warga desa yang memiliki sapi tetap melakukan tradisi ini karena terkadang ada sapi yang tiba-tiba saja mati tanpa sakit terlebih dahulu. Oleh sebab itu para pemilik sapi ini tetap melakukan tradisi tersebut karena di dalam tradisi brokohan sapi ini, pemilik sapi dapat memanjatkan doa kepada Kanjeng Nabi Sulaiman agar sapi-sapi yang mereka pelihara dapat tumbuh dengan baik dan tidak ada bahaya dari luar yang menyerang sapi-sapi mereka.

(5)

Di Desa Manggihan ini terdapat banyak hewan-hewan selain sapi yang dipelihara oleh warga desa, contohnya ayam, bebek, burung, kambing dll. Namun brokohan/selamatan ini hanya dilakukan pada sapi saja. Hal ini terkait dengan sapi sebagai barang aji, maksudnya adalah sejak jaman nenek moyang sapi sudah menjadi barang berharga dan memiliki nilai jual yang tinggi. Maka dari itu sejak jaman dahulu, nenek moyang sudah memiliki kepercayaan dan naluri untuk melakukan brokohan atau selamatan, yang pada akhirnya oleh masyarakat Desa Manggihan sampai saat ini masih dilakukan.

Walaupun saat ini banyak daerah-daerah sudah mengikuti perkembangan zaman yang luar biasa dan mulai mengesampingkan warisan adat istiadat dari nenek moyang, namun bagi masyarakat Desa Manggihan warisan adat istiadat ini tidak dilupakan dan terus dilestarikan. Maka dari itu sikap masyarakat Desa Manggihan terhadap budaya ini patut dicontoh oleh masyarakat luas terutama bagi masyarakat yang didaerahnya memilki keunikan. Di Pulau Jawa ini banyak sekali daerah-daerah yang memilki adat istiadat, namun kebanyakan dari daerah ini sedikit demi sedikit menghilangkan beberapa tradisi yang mungkin bagi mereka sudah tidak perlu dilakukan. Padahal setiap uba rempe dalam tradisi adat Jawa mengandung makna-makna yang dapat dipelajari bagi kehidupan bermasyarakat. Namun banyak masyarakat yang sudah mulai tidak peduli dengan arti dari tradisi- tradisi adat Jawa tersebut.

Dalam tradisi brokohan sapi yang masih dilakukan dan dilestarikan oleh masyarakat Desa Manggihan ini terdapat nilai-nilai budaya yang dapat dilihat dari setiap uba rampe atau bahan-bahan yang disajikan dalam tradisi.

Masing-masing uba rampe tersebut memiliki makna yang sampai saat ini menjadi pedoman kehidupan bermasyarakat warga Desa Manggihan.

(6)

C. Prosesi dan Pelaksanaan Tradisi Brokohan Sapi 1. Tahap Persiapan

Tradisi brokohan sapi dilaksanakan di rumah pemilik sapi, biasanya tradisi ini dilakukan sekitar tiga hari setelah sapi melahirkan.

Untuk persiapannya pemilik sapi membuat uba rampe yang dibutuhkan pada saat tradisi. Uba rampe tersebut terdiri dari tumpeng, sayur mayur, lauk pauk, dawet santan, bubur atau jenang abang puteh, dan ingkung atau ayam yang direbus, biasanya ingkung ini tidak wajib tergantung dengan keadaan ekonomi dari pemilik sapi dan tergantung dari kerelaan pemilik sapi. Pembuatan dari uba rampe ini tidak membutuhkan waktu yang lama, biasanya setengah hari saja uba rampe sudah jadi.

Waktu pelaksanaan tradisi brokohan sapi biasanya pada pukul 18:30 WIB, setelah sholat magrip. Sehari sebelum pelaksanaan tradisi brokohan sapi, pemilik sapi mengundang secara lisan Moden untuk memimpin jalannya tradisi dan mengundang beberapa tetangga untuk hadir dalam tradisi brokohan sapi.

2. Tahap Pelaksanaan

Pertama, moden dan warga yang sudah diundang berkumpul di rumah pemilik sapi. Setelah semuanya berkumpul uba rampe yang telah dibuat dikeluarkan.

Kedua, uba rampe diwujudkan oleh moden. Jadi setiap bagian dari uba rampe akan dimaknakan oleh moden selaku pembawa jalannya acara.

Contohnya arti dari adanya tumpeng, ingkung, dawet santan, sayur-mayur, dan lauk-pauknya dan maknanya dalam kehidupan sehari-hari yang dalam dijadikan pedoman bermasyarakat warga Desa Manggihan.

Ketiga, doa yang tujuannya yaitu meminta berkah kepada Kanjeng Nabi Sulaiman yang dipimpin oleh moden. Namun sebelum doa moden akan memberikan pengantar doa yang bunyinya, “mugi-mugi pikhantuk berkah Kitab Alquran, berkahipun Allah, para Nabi lan Wali, lan pikanthuk berkah saking Kanjeng Nabi Sulaiman, lenggahipun dinten 7

(7)

pasaran 5 mugi-mugi angselo………(disebutkan nama hari dan pasarann Jawanya, contoh brokohan tersebut dilaksanakan pada hari senin pahing), sedaya kathuran nyekseni hajatipun Bapak………(nama pemilik sapi, contoh Bapak Triyono), anggemipun brokohan lembu. Arti dari pengantar doa tersebut adalah moden sedang meminta berkah dari Kitab Alquran, berkah dari Allah, para Nabi dan Wali, serta berkah dari Kanjeng Nabi Sulaiman yang memiliki semua jenis hewan di muka bumi, pada hari dan pasaran Jawa, dalam hajatan (nama pemilik) sapi yang sedang melaksanakan brokohan sapi.

Setelah pengantar doa selesai, moden akan memimpin para warga yang datang untuk doa Sulaiman dan doa Selamat. Doa-doa yang dibawakan pada saat tradisi brokohan sapi semuanya berasal dari Kitab Alquran, dan yang terakhir akan ditutup doa oleh moden. Pada saat doa- doa dipanjatkan, warga hadir dalam tradisi brokohan sapi akan mengamini setiap doa yang diucapkan.

Kemudian setelah semua rangkaian acara pada tradisi selasai, uba rampe yang sudah didoakan akan dibagi-bagikan kepada warga yang datang dan semua yang hadir akan makan bersama pada saat itu juga.

Seandainya uba rampe tersisa, maka akan dibagi-bagikan kepada warga yang datang untuk dibawa pulang.

D. Uba Rampe dan Nilai-nilai Budaya yang Terkandung didalamnya

Dalam pelaksanaan Tradisi Brokohan Sapi harus ada uba rampe sebagai sajian dalam tradisi tersebut. Selain itu uba rampe tersebut memiliki nilai-nilai budaya berupa nilai religiusitas, nilai pendidikan, dan nilai sosial yang selalu ditanamkan masyarakat Desa Manggihan dalam kehidupan bermasyarakat. Uba rampe tersebut adalah sebagai berikut :

1. Tumpeng dan sayur serta lauknya

Syarat khusus dalam uba rampe adalah tumpeng yang didalamnya berisikan sayur yang direbus yaitu kol, kacang, bayam, wortel, dan kecambah, serta terdapat lauk-pauk seperti tempe, tahu, telur, dan gereh

(8)

atau ikan asin. Sebenarnya yang paling utama dalam hidangan tumpeng ini adalah cambah dan gereh.

Keberadaan tumpeng dalam tradisi brokohan sapi amatlah penting, pasalnya tumpeng inilah yang menjadi perantara antara permohonan pemilik sapi dengan Kanjeng Nabi Sulaiman. Tumpeng diartikan sebagai wujud permohonan atau harapan kepada Sang pemilik semua hewan di muka bumi, agar mendapatkan keselamatan dari tumbuh dan berkembangnya anak sapi, sehingga mampu memberi penghidupan yang lebih layak lagi.

Maknanya sendiri yaitu tumpeng yang berbentuk kerucut melambangkan hubungan dan posisi kita dengan Tuhan Sang Pencipta.

Artinya kita makhluk ciptaan Tuhan wajib menghormati dan selalu memandang Tuhan bahwa kita tidak sebanding dengan Tuhan Sang Pencipta. Oleh karena itu kita sebagai makhluk ciptaannya wajib menyembah Tuhan dan selalu mentaati apa yang telah diajarkannya.

Makna cambah dan gereh yang wajib dalam tumpeng ini adalah dalam bahasa Jawa terdapat kerata basa yaitu singkatan dari satu kalimat ke dalam satu kata tertentu, sehingga satu kata tersebut dapat menyiratkan makna kalimatnya. Kerata basa dari cambah adalah ngecam ben okeh artinya adalah berharap menjadi lebih banyak, sedangkan untuk gereh yaitu seger lan gureh, artinya adalah segar, sehat.

Jadi makna dari adanya tumpeng, cambah, dan gereh dalam tradisi brokohan sapi adalah supaya pemilik sapi selalu ingat akan Tuhan Sang Pencipta karena atas berkat rahmatnya sapi-sapi mereka boleh berkembang-biak dengan baik, selain itu dalam tradisi ini terpanjatkan doa agar sapi-sapi mereka boleh beranak-pinak dan dapat bertumbuh dengan sehat tanpa ada kecacatan sedikitpun.

Nilai budaya yang dapat diambil dari adanya tumpeng, cambah, dan gereh dalam tradisi brokohan sapi adalah nilai religiusitas, hal ini dibuktikan dengan adanya penggunaan doa-doa yang dipimpin oleh moden. Selain itu pembiasaan doa dalam tradisi brokohan sapi ini

(9)

membuktikan adanya peranan dalam penanaman nilai-nilai agama pada generasi muda. Pasalnya dalam tradisi brokohan sapi ini tidak hanya dihadiri oleh orang-orang tua saja, namun juga dihadiri oleh beberapa orang muda yang biasanya menggantikan ayah mereka yang berhalangan hadir. Dari pembiasaan doa inilah generasi muda diajarkan bahwa menghormati Tuhan dapat dilakukan dengan cara berdoa. Nilai religiusitas lainnya adalah mengajarkan generasi muda untuk bersyukur atas berkah yang sudah mereka terima, hal ini dibuktikan dari tradisi brokohan sapi yang dilakukan oleh pemilik sapi sebagai wujud ucapan syukur atas kelancaran sapi mereka yang melahirkan.

Bentuk tumpeng kerucut juga membawa nilai budaya Ketuhanan pasalnya dengan bentuk tumpeng yang kerucut inilah melambangkan posisi manusia berada di bawah dan posisi atas yang ditempati oleh Tuhan.

Dalam hal ini manusia yang tidak ada tandingannya dengan kuasa Tuhan, memusatkan dirinya ke atas menuju pengharapan kepada Tuhan.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa nilai budaya yang terkandung dalam uba rampe tumpeng, cambah, dan gereh adalah nilai religiusitas dan nilai budaya Ketuhanan. Kedua nilai ini sama-sama berhubungan dan berkaitan erat, pasalnya kedua nilai budaya ini sama- sama berfokus pada posisi Tuhan yang harus dihormati dan berada diatas segala-galanya.

2. Dawet santan

Satu hal yang membedakan antara tradisi brokohan sapi dengan tradisi brokohan bayi yang ada di Desa Manggihan ialah adanya penggunaan dawet santan. Dalam tradisi brokohan sapi, dawet santan adalah suatu hal yang wajib, sedangkan dalam tradisi brokohan bayi tidak menggunakan dawet santan. Hal ini disebabkan karena dawet santan adalah simbol kelancaran air susu dari induk sapi. Sebenarnya yang menjadi simbol dari kelancaran air susu induk sapi adalah santan, karena

(10)

menurut masyarakat Desa Manggihan pada zaman dahulu nenek moyang mereka melambangkan putihnya air santan sebagai putihnya air susu.

Terkadang terdapat sapi-sapi yang dapat melahirkan namun tidak dapat memproduksi air susu, oleh karena itu penggunaan dawet santan adalah simbol permohonan atau harapan dari pemilik sapi agar sapi-sapi mereka dapat menghasilkan susu dengan jumlah yang cukup bagi anak- anak sapinya. Anak sapi yang dilahirkan harus mengonsumsi air susu dari induk sapi dengan jumlah yang cukup, karena apabila anak sapi tidak mengonsumsi dengan cukup maka anak sapi ini akan terganggu kesehatannya. Selain itu untuk menyusui anak sapi air susu tersebut dapat dimanfaatkan oleh pemilik sapi, contohnya pemilik sapi dapat menjual hasil dari air susunya.

Dalam tradisi brokohan sapi ini, dawet harus dipasangkan dengan santan, tidak dapat dawet itu berdiri sendiri dan santan itu berdiri sendiri.

Artinya dawet santan ini dua hal yang saling melekat dan saling melengkapi. Dalam hal ini dapat diambil nilai budaya berupa nilai sosial dibuktikan dari dawet santan yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Dari sinilah masyarakat Desa Manggihan mengajarkan kepada anak cucu mereka tentang keharmonisan hidup bersama, artinya bahwa hidup akan menjadi lebih bahagia apabila tidak ada percekcokan dan terjalin secara harmonis. Keharmonisan dapat dirasakan apabila warga saling melengkapi, saling membantu dan mau hidup rukun.

Nilai sosial selain keharmonisan hidup bersama adalah budaya saling memberi atau berbagi. Hal ini dibuktikan pada saat pelaksanaan tradisi brokohan sapi, dawet santan yang disiapkan oleh pemilik sapi akan dibagikan kepada tamu-tamu yang diundang. Generasi muda yang mengikuti pelaksanaan tradisi ini dapat belajar tentang sikap saling berbagi antar warga, mereka dapat mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari pada saat sedang bergaul dengan teman sebaya mereka.

Jadi dalam uba rampe dawet santan ini, terkandung nilai sosial berupa keharmonisan hidup bersama dan sikap saling berbagi. Masyarakat

(11)

Desa Manggihan mengajarkan kepada anak cucu mereka untuk berbuat baik seperti berbagi, hidup rukun, saling membantu, dan saling melengkapi demi tercapainya sebuah keharmonisan hidup.

3. Bubur atau Jenang Merah Putih

Dalam tradisi brokohan ini pemilik sapi diwajibkan untuk membuat bubur atau jenang merah putih. Sesuai dengan namanya, bubur merah putih adalah perpaduan dari bubur beras berwarna merah dan putih, namun yang dimaksud bukanlah merah terang melainkan lebih kecoklatan.

Hal ini disebabkan perwarnaan bubur merah dibuat dengan gula merah.

Sedangkan bubur putih hanya berupa beras yang dimasak bersama dengan santan dan daun pandan. Bubur atau jenang merah putih ini memiliki makna tersendiri. Makna tersebut dibagi menjadi dua yaitu makna bubur atau jenang merah dan bubur atau jenang putih.

Secara rinci makna dari bubur atau jenang merah melambangkan darah dan benih dalam cecair merah yang dikeluarkan oleh induk sapi.

Sedangkan makna dari bubur atau jenang putih merupakan simbol dari sperma dalam cecair putih yang dikeluarkan oleh sapi jantan. Adanya perpaduan dari benih dan sperma inilah yang akhirnya melahirkan benih anak sapi yang kemudian dilahirkan oleh induk sapi.

Sebenarnya keberadaan dari bubur merah putih ini adalah sikap dari masyarakat Desa Manggihan untuk kembali kepada Tuhan Sang Pencipta. Artinya bahwa sapi-sapi yang dilahirkan tersebut merupakan pemberian dari Tuhan lewat merahnya darah induk sapi dan putihnya sperma yang dihasilkan oleh sapi jantan.

Selain itu bagi masyarakat Desa Manggihan makna dari bubur merah adalah jasmani, sedangkan makna dari bubur putih adalah rohani.

Dengan adanya bubur merah putih dalam tradisi brokohan sapi ini, pemilik sapi juga memanjatkan doa kepada Tuhan agar selama merawat sapi-sapinya pemilik sapi beroleh keselamatan dan kesejahteraan secara jasmani, rohani, dunia dan akhirat.

(12)

Dalam hal ini nilai budaya yang terkandung adalah nilai pendidikan. Karena dalam uba rampe bubur merah putih ini sebenarnya tersirat makna tentang pelambangan dari kedua orang tua yaitu putihnya sperma ayah dan merahnya darah ibu. Dalam hal ini mereka mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk bersikap baik kepada orang tua, menghormati, menghargai, dan tidak berkata kasar.

Pewarnaan dari bubur atau jenang merah putih ini juga tersirat nilai budaya berupa nilai sosial, pasalnya perwarnaan yang berbeda ini melambangkan perbedaan karakter dalam diri manusia dimana setiap manusia memiliki sisi baik dan sisi buruk yang melekat dalam hati. Sama seperti masyarakat Desa Manggihan setiap warga pasti memiliki karakter yang berbeda-beda, namun dari perbedaan karakter ini masyarakat desa mengajarkan kepada anak cucu mereka untuk hidup saling toleransi menerima perbedaan-perbedaan.

Jadi dalam uba rampe bubur atau jenang merah putih ini mengajarkan kepada masyarakat Desa Manggihan mengenai penerapan nilai pendidikan dan nilai sosial. Generasi muda di Desa Manggihan ini diajarkan tentang bagaimana menghormati orangtua dan cara bersikap menerima setiap perbedaan karakter dalam diri setiap warga desa. Tidak hanya itu generasi muda di desa ini juga diajarkan tentang toleransi umat beragama karena Desa Manggihan ini tidak hanya terdapat warga yang beragama Islam saja namun juga ada beberapa warga yang menganut agama Kristen. Oleh karena itu para orang tua di Desa Manggihan ini selalu mengajarkan kepada anak cucu mereka bahwa siapapun yang mengalami kesulitan baik warga Islam maupun Kristen tetap harus dibantu, mereka mengajarkan kepada anak cucu mereka bahwa perbedaan karakter dan perbedaan agama bukanlah halangan untuk membantu sesama warga.

(13)

4. Ingkung atau ayam yang direbus utuh

Dalam bahasa Jawa ingkung memiliki makna Ingsun tansah manekung yang artinya Aku selalu menyembah dan memohon kepada Tuhan yang Maha Esa. Sama halnya dengan tumpeng, gereh, dan cambah, ingkung mengandung nilai religiusitas yaitu memberikan pembelajaran kepada generasi muda untuk selalu menghormati dan menyembah Tuhan sebagai wujud ucapan syukur atas berkah yang sudah diterima.

Keberadaan ingkung dalam tradisi ini sebenarnya tidak bersifat wajib. Terkadang ada tradisi brokohan yang memakai ingkung, namun ada juga yang tidak. Menurut hasil observasi dan wawancara penulis dengan moden pada 3 Juli 2018, hal ini disebabkan oleh keadaan dari pemilik sapi itu sendiri. Dapat dikatakan jika pemilik sapi berada dikategori ekonomi menengah ke atas pasti akan menyediakan ingkung dalam uba rampe tradisi brokohan sapi, sedangkan jika pemilik sapi dikategorikan pada posisi ekonomi menengah ke bawah biasanya tidak menyediakan ingkung dalam tradisi tersebut.

Selain itu keberadaan ingkung juga pengaruh dari pengucapan pemiliki sapi, misalnya sebelum sapi itu hamil terkadang ada beberapa pemilik sapi yang mengucap kepada sapi-sapinya jika suatu saat sapinya hamil dan melahirkan pada saat brokahan akan dipotongkan ayam.

Seandainya sapi-sapi tersebut benar-benar hamil dan melahirkan, maka pemilik sapi harus menepati janji tersebut. Contoh hal seperti ini biasanya terjadi pada pemilik sapi yang ekonominya rendah maupun tinggi, bagi pemilik sapi yang ekonominya rendahpun janji tersebut tetap harus dilaksanakan karena menurut masyarakat Desa Manggihan itu dapat dikatakan sama seperti nazar yang sudah mejadi kewajiban dan harus ditepati. Jadi dapat dikatakan bahwa ingkung hanyalah pelengkap dalam tradisi brokohan sapi.

Selain nilai religiusitas, nilai budaya yang dapat diambil dari tradisi brokohan sapi ini adalah nilai sosial. Pasalnya nilai sosial ini dapat dibuktikan dengan posisi duduk dari warga, dimana warga yang

(14)

menghadiri tradisi tersebut berasal dari status sosial yang berbeda-beda.

Walaupun terdapat status sosial yang berdeda, warga tetap menjalin kebersamaan dengan baik dan tidak membeda-bedakan posisi duduk dari warga yang datang. Artinya semua warga yang hadir berada di satu posisi duduk yang sama. Masyarakat Desa Manggihan mengajarkan kepada anak-anak mereka untuk menghargai perbedaan dan menjaga kebersamaan.

Selain itu nilai budaya yang terkandung dalam ingkung adalah tentang keutuhan, kebulatan, dan totalitas. Hal ini terbukti dari ayam yang direbus utuh, mengajarkan kepada masyarakan Desa Manggihan untuk totalitas dalam mengerjakan suatu hal. Mereka juga diajarkan bahwa kebulatan dan keutuhan tekat sangan diperlukan pada saat mengerjakan suatu hal karena dengan kebulatan dan keutuhan tekat ini segala sesuatu yang dikerjakan akan memberikan hasil yang baik.

Jadi dalam uba rampe, ingkung mengandung nilai religiusitas dan nilai sosial tentang tidak adanya perbedaan status sosial dan pengajaran tentang hidup bertotalitas serta pengajaran tentang keutuhan tekat dalam merngerjakan segala sesuatu yang diajarkan kepada generasi muda di Desa Manggihan.

Referensi

Dokumen terkait

Makna yang dipadukan dengan warna merah dan kuning memiliki makna tersendiri melalui pandangan dari orang Manado, Tionghoa dan Batak' Orang Manado mengatakan"

adalah sebuah ruang terbuka yang bersifat egalitarian—seperti sebuah agora atau ruang publik (public space) di dalam budaya politik Yunani, yang di dalamnya setiap

Dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten Aceh Besar sudah melakukan fungsinya untuk melindungi tambang batuan sesuai dengan amanah Undang-Undang negara dan

Untuk mengetahui kecenderungan ketergantungan keluarga Nelayan Tangkap terhadap usaha penangkapan dalam memperoleh pendapatan perikanan keluarga seperti yang menjadi tujuan

memberi saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah sosiodrama selesai. Bila mahasiswa jurusan Sosiologi belum terbiasa perlu dibantu Dosen dalam

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, BPTP menyelenggarakan fungsi: (a) pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan teknologi pertanian tepat guna

6. Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Periode Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang

Perencanaan tourist friendly city di pusat Kota Pontianak ini adalah sebuah upaya untuk meningkatkan kualitas kegiatan pariwisata dengan cara penambahan fasilitas yang