• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TA 2018 KAJIAN KEEFEKTIVAN KELEMBAGAAN FUNGSIONAL PENELITI- PENYULUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM AKSELERASI INOVASI PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TA 2018 KAJIAN KEEFEKTIVAN KELEMBAGAAN FUNGSIONAL PENELITI- PENYULUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM AKSELERASI INOVASI PERTANIAN"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN ANALISIS KEBIJAKAN TA 2018

KAJIAN KEEFEKTIVAN KELEMBAGAAN FUNGSIONAL

PENELITI-PENYULUH DALAM MENDUKUNG PROGRAM AKSELERASI

INOVASI PERTANIAN

Oleh:

Syahyuti Rita Nur Suhaeti Cut Rabiatul Adawiyah

Rizma Aldilah

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Kementerian Pertanian

(2)

ii

KATA PENGANTAR

Permasalahan keterkaitan penelitian dan penyuluhan (research-extension linkage) telah lama berlangsung dan tetap dibicarakan sampai saat ini karena belum efektif. Dalam upaya mendekatkan dan mengefektifkan fungsi penelitan dan penyuluhan pertanian, sejak tahun 1993 Kementerian Pertanian membentuk Balai Pengkajian Penyuluhan Pertanian (BPTP) di tingkat provinsi di seluruh Indonesia.

Untuk memeplajari hilirisasi teknologi dan diseminasi hasil pengkajian khususnya di BPTP, pada tahun 2018 Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan studi dengan judul “Kajian Keefektivan Kelembagaan Fungsional Peneliti-Penyuluh Dalam Mendukung Program Akselerasi Inovasi Pertanian”. Studi mengmabil kasus pada dua propisni yakni di provinsi Jawa Barat dan Banten. Tujuan penelitian adalah: (1) Mempelajari kinerja dan permasalahan keterkaitan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian, (2) Mempelajari keefektifan relasi fungsional penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian, dan (3) Merumuskan kedudukan dan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan, sebagai bahan penataan dan penyempurnaan organisasi lingkup Kementerian Pertanian.

Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada Kementan untuk melakukan perbaikan kelembagaan dan manajemen keterkaitan penelitian dan penyuluhan ke depan, dan khususnya mengefektifkan fungsi yang diemban BPTP.

Bogor, Desember 2018 Kepala Pusat

(3)

iii DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...ii

DAFTAR ISI ... iiii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

RINGKASAN EKSEKUTIF ……….……….………… vii

Bab I. PENDAHULUAN ... vi 1.1. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined. 1.2. Tujuan penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.3. Keluaran Penelitian ... Error! Bookmark not defined. 1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak ... Error! Bookmark not defined. Bab II. TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined. 2.1. Konsep Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan ... Error! Bookmark not defined. 2.2. Kedudukan dan Peran BPTP dalam Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan ... Error!

Bookmark not defined.

Bab 3. METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined. 3.1. Kerangka Pemikiran ... Error! Bookmark not defined. 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan ... Error! Bookmark not defined. 3.3. Lokasi Penelitian dan Responden ... Error! Bookmark not defined. 3.4. Data dan Metode Analisis ... Error! Bookmark not defined. Bab IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined.

4.1. Kinerja dan Permasalahan Keterkaitan Fungsi Penelitian dan Pengkajian dengan Penyuluhan Di BPTP ... Error! Bookmark not defined.

4.1.1. Kebijakan terhadap Struktur Dan Keterkaitan Penelitian-Penyuluhan . Error! Bookmark not defined.

4.1.2. Kinerja Keterkaitan Fungsi Penelitian dan Penyuluhan .. Error! Bookmark not defined.

4.2. Keefektifan Relasi Fungsional Penelitian dan Pengkajian dengan Penyuluhan .... Error! Bookmark not defined.

4.2.1. Tingkat Keefektifan Keterkaitan dari Aspek Struktural ... Error! Bookmark not defined.

4.2.2. Tingkat Keefektifan Keterkaitan dari Aspek Manajerial .. Error! Bookmark not defined.

4.2.3. Penyebab Ketidakefektifan Keterkaitan ... Error! Bookmark not defined. 4.3. Rumusan Kedudukan dan Fungsi untuk Kegiatan Penelitian dan Pengkajian dengan

Penyuluhan ... Error! Bookmark not defined. 4.3.1. Solusi Struktural: posisi, fungsi, dan jaringan di daerah . Error! Bookmark not

defined.

4.3.2. Solusi Manajerial: redefinisi Tupoksi, komunikasi dan koordinasi horizontal di daerah ... Error! Bookmark not defined. Bab V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... Error! Bookmark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.

(4)

iv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1. Sasaran, indikator, dan target kinerja kegiatan Balitbangtan

2015-2019 24

Tabel 4.2. Perkembangan SDM penelitian dan Penyuluhan di badan

Litbang Pertanian, tahun 2006-2017 27

Tabel 4.3. Komposisi tenaga peneliti dan penyuluh pertanian di BPTP,

tahun 2018 28

Tabel 4.4. Perkembangan anggaran diseminasi teknologi di badan Litbang

Pertanian, tahun 2006-2017 29

Tabel 4.5. Rekapitulasi teknologi spesifik lokasi lingkup BBP2TP 31 Tabel 4.6. Rekapitulasi Output Teknologi yang Didiseminasikan 31 Tabel 4.7. Jumlah pegawai fungsional lingkup BBP2TP 38 Tabel 4.8. Matrik Sistem Hierarkhi Kegiatan Litkajibang 40 Tabel 4.9. Rekapitulasi bimbingan teknis oleh BPTP Banten Tahun 2017 42 Tabel 4.10. Rekapitulasi bimbingan teknis oleh BPTP Banten Tahun 2018 43 Tabel 4.11. Penyebab ketidakefektifan dari sisi struktur dan keorganisasian,

khususnya pada lokasi studi di Jawa Barat dan Banten, tahun

2018 56

Tabel 4.12. Penyebab ketidakefektifan dari sisi insentif, khususnya pada

lokasi studi di Jawa Barat dan Banten, tahun 2018 59 Tabel 4.13. Penyebab ketidakefektifan dari sisi sumberdaya manusia,

khususnya pada lokasi studi di Jawa Barat dan Banten, tahun

2018 60

Tabel 4.14. Penyebab ketidakefektifan dari sisi masalah komunikasi, khususnya pada lokasi studi di Jawa Barat dan Banten, tahun

(5)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1. Keterkaitan peneliti dan Penyuluhan di Kementerian Pertanian 11

Gambar 3.1. Kerangka pemikiran penelitian 13

Gambar 4.1. Perbandingan jumlah tenaga peneliti dan penyuluh di lingkup

Badan Litbang Pertanian, 2006-2017 27

Gambar 4.2. Perbandingan jumlah tenaga peneliti dan penyuluh di lingkup

BPTP, 2006-2017 28

Gambar 4.3. Keterkaitan visi sampai dengan sasaran Program di Badan

Litbang Pertanian 30

Gambar 4.4. Diagram Alir Diseminasi Inovasi dalam teknologi komoditas

hortikultura 37

Gambar 4.5. Peningkatan dan proporsi tenaga penyuluh dan peneliti di

(6)

vi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Pertanyaan untuk BPTP 78

Lampiran 2. Panduan Pertanyaan untuk Dinas Pertanian dan BPP 83 Lampiran 3. Panduan Pertanyaan untuk Petani (Kelompok Tani) 87

(7)

vii

EXECUTIVE SUMMARY

1. In general, the research-extension linkage (REL) in the Ministry of Agriculture has not been implemented effectively. Theoretically, strong linkages are shown by three characteristics, namely: good communication, strong interaction, and effective collaboration. At least there are four issues causing ineffectiveness of these linkages, namely structure and organization, motivation and incentives, limited resources, and communication problems.

2. In order to make agricultural research and extension service’s functions be effective, since 1993 the Ministry of Agriculture has formed Assessment Institute for Agricultural Technology (AIAT/BPTP) in all provinces of Indonesia. This institution was formed by merging two prior agencies namely commodity regional research institution located in the area with the Agricultural Information Center (BIP). The BPTP’s was in accordance to the Presidential Decree No. 83 of 1993.

3. However, the assessment result dissemination has not yet conducted in a synergized and optimal manner between researchers and extension workers within the IAARD with the task of extension coordinated by the Indonesian Agency for Agricultural Extension and Human Resource Development (BPSDMP). The organization and management of research and extension has been less conducive to accelerate the agricultural innovation. Therefore, as also an effort to evaluate the working unit within the Ministry of Agriculture, where the bureaucratic reform program encourages the improvement and refinery of the state administration system, so that bureaucracy would be more efficient, effective, and it has professional human resources. Hence an in-depth and up-to-date study on relationship between researcher and extension worker in agricultural technology innovations down-streaming at field level is required. 4. The objectives of the study are to: (1) identify performance and issues related to

function of research and assessment with extension in the down-streaming process of agricultural innovation, (2) identify the functional effectiveness of research and assessment relationships with extension in the down-streaming process of agricultural innovation, and (3) formulate positions and the function of research and assessment with extension, as a material for structuring and refining the organization within the Ministry of Agriculture.

5. The main objects of this study are performance and effectiveness of technology dissemination, namely the process following the research/assessment producing ready-to-use technology. This study uses two scientific approaches at once, namely: (1) the science of bureaucratic administration, and (2) Theory of REL.

(8)

Administrative-viii

bureaucratic approach was conducted by scrutinizing regulations and guidelines for establishing organizations within the Ministry of Agriculture along with their duties and functions. The study scrutinizes how the all guidelines are implemented, their effectiveness, and also their issues. The analysis starts from a government bureaucratic reform program encouraging the improvement and refining of the state administrator systems to be more efficient, more effective and have more professional human resources.

6. Furthermore, in the second approach, namely the agricultural extension science approach, especially the Research Extension Linkage Theory, which reveals effectiveness of inter-subsystem relations of research and agricultural extension. A strong REL relation is shown by three main characteristics, namely good communication, strong interaction, and effective collaboration. Information extracting related to three main parties, which in the REL process are mutually sequential from upstream to downstream, namely BPTP, regional extension institutions (District Level Agricultural Technical Service Office/Dinas Pertanian and Agricultural Extension Service Office/Balai Penguluhan Pertanian), and farmers.

7. Study sites were in two provinces, namely West Java Province and Banten Province. Data collection consisted of primary and secondary data. Secondary data in the form of institutional aspects and programs related to on-going research and extension services, while the primary data were mainly the perceptions of researchers and extension agents as the main actors in the study along with other stakeholders. Data and information analysis was conducted descriptively by displaying generalities and various trends and comparing between the two provinces covering technological innovation groups, and institutional "maturity". This study was based on the guideline of relations in accordance to the regulations issued by the Ministry of Agriculture and with the theories developing the REL.

8. The results of field-level data and information collection showed that the actual performance and related issues of the function of the research and assessment with extension in the down-streaming process of agricultural innovation of BPTP have not yet been satisfactory. The reason were related to organizational structure and managerial aspects.

9. Essencially, technology dissemination activities in the IAARD, which BPTP as the main institution in charge, has not been implemented in a structured and systematic manner. From an organizational perspective, the problem started from the institutional design of BPTP, for example from the main tasks and functions that were limited and biased more towards assessment activities. For this reason, the new Agriculture

(9)

ix

Minister Decree/Permentan (Permentan No 19 of 2017 on Main Tasks) has added the task of "dissemination" for BPTPs.

10. In terms of implementing HR, the composition of researchers and extension agents is less balanced and has not changed much since BPTP was initially established. The capacity of extension workers in general was still considered lower as compared to researcher’s, so it could not contribute optimally the activity implementations. The extension worker’s involvement portion in assessment activities was insufficient, as the portion of the dissemination activities also was.

11. The functional relationship effectiveness between research/assessment with extension (REL) in the down-streaming process of agricultural innovation was confined by various factors. The effectiveness of inter-agency relations, namely between BPTP as a technology provider and extension institutions in regional level was very poor, especially since the Provincial Level Agricultural Extension Service Office (Bakorluh) and District Level Agricultural Extension Service Office (Bapeluh) were omitted. The lower structural position of the extension institution led to inter-parties’ communication ineffectiveness.

12. In relation to the above conditions, the position and function of research and assessment with extension in BPTP requires various changes in the future. The position of echelon BPTP, which was not equal to/lower than the other Provincial Level Technical Service Offices (SKPD) as BPTP’s working partners, was considered as a minor obstacle in carrying out communication and coordination, but an increase in echelon would also raise various implications, which may be difficult to be fulfilled in the internal IAARD’s scope.

13. In the near future, the world of agricultural extension, where BPTP is an important component, would require a change from the "extension system" approach to "innovation system". The application of Agricultural Innovation System (AIS) concept, where innovation process aspect has been more important, the role of functional HR (researchers and extension workers) also became more important. The innovation was measured not only at the end of the activities (output measurement), but also in the process of its activities. This new challenge required more flexible involvement of the officers (researchers and extension workers), depending on their capital of knowledge and skills. Actually, there were adequate researcher’s and extension worker’s modalities for regional dissemination activities.

14. BPTP must develop networks both upward and downward. Especially for relations to the upward/"top", in an effort to encourage the synergy of BPTP with the activities of the research institutions (Research Centers/Puslit and Research Institutes/Balit), it needed channels and continuity of intensive and structured communication. The Balit

(10)

x

and BPTP need to improve the synchronization and coordination of each main task implementation in a more structured manner. For the downward, the existence of the Technology Commission in the province was a necessity. So far, the results of the assessment and assembly of technology of BPTP were only up to "recommended technology", while the mass dissemination was not welcomed by the Local Government due to the limited institutional extension in the region.

(11)

xi

RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Secara umum, keterkaitan penelitian dan penyuluhan (research-extension linkage) di Kementerian Pertanian belum dijalankan dengan efektif. Secara teori, keterkaitan yang kuat ditunjukkan oleh tiga karakter yaitu: komunikasi yang baik (good communication), interaksi yang kuat (strong interaction), dan kerjasama yang efektif (effective collaboration). Paling sedikit terdapat empat penyebab ketidakefektivan keterkaitan tersebut, yaitu struktur dan keorganisasian, motivasi dan insentif, keterbatasan sumberdaya, dan persoalan komunikasi.

2. Dalam upaya mengefektifkan fungsi penelitan dan penyuluhan pertanian, sejak tahun 1993 Kementerian Pertanian membentuk Balai Pengkajian Penyuluhan Pertanian (BPTP) di seluruh provisni di Indonesia. Kantor ini dibentuk dengan melebur dua instansi sebelumnya yaitu lembaga penelitian regional dan komoditas yang berlokasi di daerah dengan Balai Informasi Pertanian (BIP). Pembentukan BPTP sesuai dengan Keputusan Presiden No. 83 tahun 1993.

3. Namun demikian, diseminasi hasil pengkajian dirasakan belum bersinergi secara optimal antara tugas peneliti dan penyuluhan di Badan Litbang Pertanian dengan tugas penyuluhan yang dikoordinasikan oleh Badan Penyuluhan dan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPSDMP). Organisasi dan tata laksana penelitian dan penyuluhan selama ini kurang kondusif untuk akselerasi inovasi pertanian. Berdasarkan alasan ini dan sebagai upaya melakukan evaluasi terhadap unit kerja lingkup Kementerian Pertanian, dimana program reformasi birokrasi mendorong perbaikan dan peningkatan sistem penyelenggara negara, agar birokrasi lebih efisien, efektif, dan sumber daya manusia yang profesional; maka dibutuhkan studi secara mendalam dan terbaru (update) bagaimana relasi peneliti-penyuluh dalam hilirisasi inovasi teknologi pertanian di lapangan.

4. Tujuan penelitian adalah: (1) Mempelajari kinerja dan permasalahan keterkaitan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian, (2) Mempelajari keefektifan relasi fungsional penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian, dan (3) Merumuskan kedudukan dan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan, sebagai bahan penataan dan penyempurnaan organisasi lingkup Kementerian Pertanian.

5. Objek utama studi ini adalah kinerja dan keefektivan diseminasi teknologi, yakni proses setelah penelitian/pengkajian menghasilkan teknologi siap pakai. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan keilmuan sekaligus yaitu: (1) ilmu birokrasi, dan (2) Teori Research Extension Linkage (REL). Pendekatan administrasi-birokrasi bertolak dari regulasi dan pedoman pembentukan organisasi di internal

(12)

xii

Kementan beserta tugas dan fungsinya. Studi mempelajari bagaimana seluruh pedoman tersebut dijalankan, keefektivan, serta permasalahannya. Analisis bertolak dari program reformasi birokrasi pemerintahan yang mendorong perbaikan dan peningkatan sistem penyelenggara negara agar lebih efisien, efektif, dan sumber daya manusia yang profesional.

6. Selanjutnya, pada pendekatan kedua, yakni pendekatan ilmu penyuluhan pertanian khususnya pada Teori REL, dipelajari keefektivan relasi antar-subsistem penelitian dan penyuluhan pertanian. Relasi REL yang kuat ditunjukkan oleh tiga karakter pokok yaitu komunikasi yang baik (good communication), interaksi yang kuat (strong interaction), dan kerjasama yang efektif (effective collaboration). Penggalian informasi berkaitan dengan tiga pihak utama, yang dalam proses REL saling berurutan dari hulu ke hilir, yaitu BPTP, kelembagaan penyuluhan daerah (Dinas Pertanian dan Balai Penyuluhan Pertanian), dan petani.

7. Lokasi studi pada dua wilayah, yaitu BPTP Jawa Barat dan Banten. Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data sekunder berupa aspek kelembagaan dan program keterkaitan penelitian dan penyuluhan yang sedang berjalan, sedangkan data primer utamanya persepsi peneliti dan penyuluh sebagai aktor utama dalam kajian ini beserta stakeholders lain. Analisis data dan informasi dilakukan secara deskriptis analitis dengan menampilkan generalitas dan berbagai kecenderungan serta mengkomparasikan antar-wilayah, kelompok inovasi teknologi, dan “kematangan” kelembagaan. Kajian ini didasarkan atas pedoman relasi sesuai dengan regulasi yang telah dikeluarkan Kementan serta dengan teori-teori yang berkembang tentang REL.

8. Hasil pengumpulan data dan informasi di lapangan mendapatkan bahwa sesungguhnya kinerja dan permasalahan keterkaitan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian di BPTP belum memuaskan. Penyebabnya terletak pada aspek struktur keorganisasian maupun manajerial.

9. Pada hakekatnya, kegiatan diseminasi teknologi di Badan Litbang Pertanian, dimana BPTP sebagai penanggung jawab utamanya, belum dijalankan secara terstruktur dan sistematis. Dari sisi keorganisasian, permasalahannya dimulai dari rancangan kelembagaan BPTP, misalnya dari tugas pokok dan fungsi yang terbatas dan bias lebih kepada kegiatan pengkajian. Karena itulah, Permentan yang baru (Permentan No 19 tahun 2017 tentang Tugas) telah menambahkan tugas “diseminasi” dalam Tupoksi BPTP.

10. Dari sisi SDM pelaksana, komposisi peneliti dan penyuluh kurang berimbang dan tidak banyak berubah semenjak BPTP dibentuk. Kapabilitas penyuluh secara umum masih

(13)

xiii

dianggap lebih rendah dibandingkan peneliti, sehingga tidak dapat membantu secara optimal pelaksanaan kegiatan. Pelibatan penyuluh dalam kegiatan pengkajian tidak diberikan porsi yang cukup, demikian pula porsi kegiatan diseminasinya.

11. Keefektifan relasi fungsional penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan (research and extension linkages) dalam proses hilirisasi inovasi pertanian terkendala oleh berbagai penyebab. Keefektifan relasi antar-lembaga, yakni antara BPTP sebagai penyedia teknologi dengan lembaga penyuluhan di Pemda sangat rendah, terutama semenjak kelembagaan penyuluhan Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) di tingkat provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh) di tingkat kabupaten dihilangkan. Posisi struktural penyuluhan yang rendah menyebabkan ketidakefektifan komunikasi antar-pihak.

12. Menghadapi kondisi di atas, kedudukan dan fungsi penelitian dan pengkajian di BPTP dengan penyuluhan, membutuhkan berbagai perubahan ke depan. Posisi eselon BPTP yang tidak setara dengan SKPD mitranya di level provinsi sedikit banyak menjadi kendala dalam komunikasi dan koordinasi, namun peningkatan eselon menimbulkan berbagai implikasi yang sulit dipenuhi di lingkup internal Badan Litbang Pertanian.

13. Ke depan, dunia penyuluhan petanian, dimana BPTP merupakan satu komponen penting di dalamnya, membutuhkan perubahan dari pendekatan “sistem penyuluhan” ke sistem inovasi (“innovation system”). Penerapan konsep Agricultural Innovation System (AIS) ini dimana aspek proses terjadinya inovasi menjadi penting, maka peran SDM fungsional (peneliti dan penyuluh) menjadi lebih penting. Inovasi diukur tidak hanya diakhir pelaksanaan kegiatan (pengukuran output), namun juga dalam proses aktivitasnya. Tantangan baru ini membutuhkan keterlibatan petugas (peneliti dan penyuluh) secara lebih fleksibel, dengan mengandalkan modal pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Untuk kegiatan diseminasi di daerah, modalitas peneliti dan penyuluh di BPTP sesungguhnya cukup memadai.

14. BPTP harus mengembangkan jaringan baik ke atas maupun ke bawah. Khusus untuk relasi ke “atas”, dalam upaya mendorong sinergi BPTP dengan kegiatan lembaga penelitian di atasnya (Puslit dan Balit penelitian), perlu saluran dan kontinyuitas komunikasi yang intensif dan terstruktur. Balit dan BPTP perlu meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi pelaksanaan Tupoksi masing-masing secara lebih terstruktur. Untuk ke bawah, maka keberadaan Komisi Teknologi di provinsi menjadi keniscayaan. Selama ini, hasil pengkajian dan perakitan teknologi dari BPTP berhenti pada status “teknologi yang direkomendasikan”, sedangkan diseminasinya secara massal tidak disambut oleh Pemerintah Daerah karena keterbatasan kelembagaan penyuluhan di daerah.

(14)

1

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perhatian terhadap keterkaitan penelitian dan penyuluhan (research-extension linkage) telah lama berlangsung, dan sampai saat ini masih tetap dibicarakan karena belum efektif dijalankan. Research-extension linkage adalah “In a system, people play different and often complementary roles, with differing responsibilities. Their actions can be consciously linked and carefully managed to achieve the goals of the agrotechnology system” (FAO, 1997). Relasi yang kuat ditunjukkan oleh tiga karakter yaitu: komunikasi yang baik (good communication), interaksi yang kuat (strong interaction), dan kerjasama yang efektif (effective collaboration). Ada empat penyebab ketidakefektivan keterkaitan tersebut, yaitu dari aspek struktur dan keorganisasian, motivasi dan insentif, keterbatasan sumberdaya, dan persoalan komunikasi.

Dalam upaya mendekatkan dan mengefektifkan fungsi penelitan dan penyuluhan pertanian, sejak tahun 1993 Kementerian Pertanian membentuk Balai Pengkajian Penyuluhan Pertanian (BPTP) di tingkat provinsi di seluruh Indonesia. Kantor ini dibentuk dengan melebur dua instansi sebelumnya yaitu lembaga penelitian regional dan komoditas yang berlokasi di daerah dengan Balai Informasi Pertanian (BIP) yang ada di tiap provinsi. Pembentukan BPTP sesuai dengan Keppres No. 83 tahun 1993 yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Khusus untuk Badan Litbang Pertanian, setelah lebih dari empat dasawarsa berdiri mendukung Kemnterian Pertanian, program yang dijalankan oleh Badan Litbang Pertanian mengikuti perkembangan konsep dan teori keilmuan diseminasi teknologi pertanian yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Hal ini antara lain terkait dengan penciptaan inovasi pertanian dan penyusunan model kelembagaan untuk mendiseminasikannya. Hilirisasi inovasi yang dihasilkannya menjadi salah satu perhatian penting di Badan Litbang Pertanian, sebagaimana dirangkum dalam Buku “40 Inovasi Kelembagaan Diseminasi Teknologi Pertanian: Catatan Perjalanan 40 Tahun Balitbangtan (Syahyuti et al. 2014). Selanjutnya, rumusan kelembagaan diseminasi inovasi ini dimassalkan oleh BPTP sesuai dengan kebutuhan di wilayah kerjanya.

Sesuai dengan Permentan No 43/Permentan/Ot.010/8/2015 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, pasal 841 menyebutkan bahwa Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian. Dalam konteks ini, juga dilakukan penyebarluasan hasil penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian. Selanjutnya, Balai Pengkajian

(15)

2

Teknologi Pertanian (BPTP) yang tersebar di setiap provinsi mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan perakitan teknologi tepat guna spesifik lokasi bagi semua komoditas pertanian. Tupoksi BPTP adalah sebagai UPT yang melaksanakan pengkajian, perakitan pengembangan teknologi tepat guna spesifik lokasi untuk disebarkan kepada petani.

Di sisi lain, fungsi penyuluhan pertanian dikoordinasikan di bawah Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPSDMP). Pasal 935 Permentan No 43/Permentan/Ot.010/8/2015 menyebutkan salah satu fungsi BPSDMP adalah pelaksanaan penyuluhan pertanian, terutama di Pusat Penyuluhan Pertanian yang bertugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis, serta penyelenggaraan penyuluhan pertanian.

Namun demikian, hilirisasi teknologi dan diseminasi hasil pengkajian dirasakan belum bersinergi secara optimal antara tugas peneliti dan penyuluhan di Badan Litbang Pertanian dengan tugas penyuluhan yang dikoordinasikan oleh BPSDMP. Organisasi dan tata laksana penelitian dan penyuluhan selama ini menggunakan pendekatan sistem linier yang konvesional sehingga kurang kondusif untuk akselerasi inovasi pertanian. Dengan bertolak dari kondisi demikian dan disertai dengan upaya melakukan evaluasi terhadap unit kerja lingkup Kementerian Pertanian, dimana program reformasi birokrasi mendorong perbaikan dan peningkatan sistem penyelenggara negara, agar birokrasi lebih efisien, efektif, dan SDM yang profesional; maka dibutuhkan kajian secara mendalam dan terbaru (update) bagaimana relasi peneliti-penyuluh dalam hilirisasi inovasi teknologi pertanian di lapangan.

1.2. Tujuan penelitian

1. Mempelajari kinerja dan permasalahan keterkaitan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian.

2. Mempelajari keefektifan relasi fungsional penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian.

3. Merumuskan kedudukan dan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan, sebagai bahan penataan dan penyempurnaan organisasi lingkup Kementerian Pertanian.

1.3. Keluaran Penelitian

1. Informasi dan pengetahuan tentang kinerja dan permasalahan keterkaitan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian.

2. Informasi dan pengetahuan tentang keefektifan relasi fungsional penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan dalam proses hilirisasi inovasi pertanian.

(16)

3

3. Rumusan rekomendasi kebijakan tentang kedudukan dan fungsi penelitian dan pengkajian dengan penyuluhan, sebagai bahan penataan dan penyempurnaan organisasi lingkup Kementerian Pertanian.

1.4. Perkiraan Manfaat dan Dampak

Dari penelitian ini akan mampu diungkap bagaimana keefektivan keterkaitan fungsional antara penelitian dengan penyuluhan dalam mendiseminasikan teknologi ke petani. Di tengah lemahnya kondisi kelembagaan penyuluhan saat ini, maka hasil penelitian ini akan mampu memberikan solusi kepada Pemerintah Daerah utamanya dan juga pengambil kebijakan di level Kementerian Pertanian, untuk menciptakan tata hubungan kerja yang efektif antara peneliti dan penyuluh.

(17)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan

Konsep Research Extension Linkage (REL) merupakan hubungan kerja yang terjalin antara dua subsistem untuk meningkatkan kinerja adopsi inovasi teknologi. Research-extension linkage adalah “In a system, people play different and often complementary roles, with differing responsibilities. Their actions can be consciously linked and carefully managed to achieve the goals of the agrotechnology system” (FAO, 1997). Sistem REL tergantung pada kebijakan negara bersangkutan, dimana aktivitas penyuluhan dikelola di berbagai tingkat administrasi mulai dari tingkat nasional, regional, dan lokal. Dalam REL Pertanian, penelitian dan sistem penyuluhan mengidentifikasi keluarga petani sebagai target REL. REL yang efektif diukur dari sejauh mana para petani dapat meningkatkan output mereka melalui ketersediaan inovasi pertanian (Agbamu dan van den Ban 2000).

Hamper semua negara berbasi pertanian menerapkan pendekatan REL dalam pembangunannnya, namun keberhasilannya bervariasi. Pengalaman dari berbagai lokasi menenmukan ada empat penyebab ketidakefektivan keterkaitan tersebut, yaitu dari aspek struktur dan keorganisasian, motivasi dan insentif, keterbatasan sumberdaya, dan persoalan komunikasi.

Agbamu (2000) mengungkapkan bahwa mekanisme hubungan peneliti-penyuluh (REL) secara formal, khusus di berbagai negara yang diteliti (Indonesia, Thailand, Korea, Tanzania, dan Nigeria) meliputi: 1. Manajemen teratas dengan penelitian, penyuluhan dan pelatihan di lembaga yang sama; 2. manajemen matriks yaitu penelitian dan perpanjangan sebagai badan semi-otonom di bawah kementerian yang sama; 3. koordinasi komite atau rapat; 4. unit komunikasi atau departemen penghubung; 5. penggunaan satuan tugas; 6. pertukaran staf; 7. kerja sama antara program penelitian universitas dan organisasi penyuluhan.

Selain itu, mekanisme hubungan informal berdasarkan persahabatan dan minat bersama termasuk promosi kegiatan sosial bersama dan penggunaan ikatan pribadi yang ada. Khususnya di Indonesia, REL adalah seperti kekuatan pengambilan keputusan yang terkonsentrasi di manajemen atas, sedangkan ppenelitian berada di tangan lembaga penelitian nasional. Untuk memperkuathubungan, sistem di Indonesia harus memiliki lembaga penelitian di setiap provinsi, yang mana lembaga tersebut harus memiliki eksperimen sendiri; peneliti dan penyuluh harus bertemulebih sering; dan pengambil kebijakan di Balitbangtan harus lebih aktifterlibat dalam mengidentifikasi masalah petani. Relasi antara kegiatan atau aktor dalam penelitian dan penyuluhan (Research Extension Linkage) merupakan titik perhatian penting dalam ilmu penyuluhan pertanian. Penyuluh membutuhkan dukungan sumber teknologi dan pengetahuan sebagai bekal untuk

(18)

5

didiseminasikan ke petani pengguna. Meskipun banyak sumber lain, namun sumber dari lembaga penelitian dipandang sebagai sumber yang utama.

Menurut Belay dan Alemu (2017), pada teori REL tradisional sesungguhnya menggunakan model top down one-way communication, dimana petani dipandang sebagai objek yang pasif atau memiliki opsi yang terbatas dalam memilih dan mengaplikasi teknologi. Berbagai riset mendapatkan bahwa lemahnya kaitan antara penelitian dan penyuluhan menjadi penyebab utama lemahnya sistem ini secara keseluruhan.

Selanjutnya, Agbamu (2000) menemukan ada lima bentuk format REL yang dirumuskannya melalui riset dari berbagai negara. Klasifikasi tersebut didasarkan atas dua aspek yaitu status organisasi penelitian dan penyuluhan secara relatif terhadap satu sama lain (the status of agricultural research and extension organisations relative to one another) dan metode transfer mulai dari problem penelitian, penetapan objek penelitian, dan hasil riset yang lalu dibedakan atas topdown ataukah bottom up. Status lemebaga penelitian dan penyuluhan dapat sejajar atau tidak, sedangkan keterkaitan dapat berupa bottom up atau top down.

Studi ini mempertimbangkan lima faktor dalam mengidentifikasi bentuk keterkaitan yaitu: ukuran sistem penelitian nasional, ukuran dari layanan penyuluhan, tingkat literasi masyarakat, organisasi dan administrasi pertanian, dan kebijakan pertanian dalam hal penelitian dan penyuluhan. Lima indikator digunakan untuk mengukurnya yaitu: (1) jumlah lembaga penelitian di tingkat nasional,(2) rasio SDM penyuluhan untuk keluarga petani,; (3)persentase penduduk dewasa terhadap pendidikan, (4)sifat organisasional dari administrasi pertanian, (5)anggaran penelitian dan penyuluhan sebagai persentase dari anggaran pertanian nasional.

Penerapan inovasi teknologi dalam kegiatan pertanian selama ini mengandalkan kepada pihak penyuluhan pertanian yang tugas utamanya adalah transfer teknologi baru kepada petani yang berasal dari lembaga penelitian. Pola seperti ini berlangsung secara masif di seluruh dunia di bawah program besar Revolusi Hijau. Dalam kondisi ini, penyuluh menjadi agen utama yang membawa dan menyampaikan teknologi kepada petani binaannya.

Sementara, ilmu dan teori penyuluhan pertanian juga berkembang. Konsep yang berkembang di dunia keilmuan terkait dengan inovasi perdesaan di awal tahun 1900 adalah teknologi sebagai faktor utama untuk terjadinya inovasi. Konsepsi Technology Supply Push (TSP) atau pendekatan transfer teknologi (technology transfer approach) (Ingram et al. 2018) di masa revolusi hijau meyakini bahwa inovasi perdesaan akan terjadi dengan introduksi teknologi yang dihasilkan melalui aktivitas penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset. Selanjutnya, hasil penelitian ini diyakini merupakan sumber inovasi. Konsepsi TSP atau pendekatan transfer teknologi berhubungan erat dengan penyuluh sebagai agen

(19)

6

penyampai informasi dalam aktivitas latihan dan lunjungan (Laku). Penyuluh berperan sangat besar untuk menyampaikan teknologi baru yang dapat meningkatkan produksi pertanian.

Selanjutnya, konsepsi TSP ini kemudian disempurnakan dengan konsep Participatory Technology Development (PTD), dimana dalam PTD diharapkan ada umpan balik penyempurnaan teknologi dari petani (Chambers and Jiggins 1987). Bentuk kegiatan yang dilakukan antara lain(on-farm adaptive research) dan penelitian sistem usahatani (farming system research - FSR). Penelitian Roling et al (2010) menunjukkan bahwa PTD juga tidak sepenuhnya mengubah atau menjadikan inovasi berkelanjutan karena banyak faktor diluar kendali petani yang tidak dapat dikontrol oleh petani misalnya, kebijakan, value chain, norma, prosedur.

Disadari bahwa pembangunan berkelanjutan tidak hanya tergantung kepada inovasi teknologi. Dalam kenyataannya, permasalahan yang dihadapi petani tidak hanya aspek teknis semata, namun meliputi perubahan sosial, dan melalui proses ko-innovasi dan berlangsung secara sistemik. Inovasi merupakan kombinasi antara aspek teknologi (hardware), interaksi dan partisipasi antarstakeholders (software), serta kondisi soscial dan institutional yang mempengaruhi inovasi (orgware).

Konsep inovasi dengan kompleksnya permasalahan yang ada, memerlukan pemikiran inovasi dari berbagai aspek, sehingga pemikiran ini dikenal dengan Agricultural Innovation System (AIS) atau Sistem Inovasi. Konsep sisteminovasi, yang muncul di awal tahun 2000-an menekankan bahwa terjadinya inovasi memerlukan sentuhan kebijakan secara menyeluruh, baik dari aspek teknologi, kelembagaan, dan manusianya. Berdasarkan konsepsi AIS, inovasi terjadi melalui ‘collective interplay or network among many actors – including farmers, researchers, extension officers, traders, service providers, processors, development organizations (Leeuwis 2004).

Kunci dari Sistem Inovasi adalah interkoneksi antara para pihak yang bekerja sama untuk terjadinya inovasi sesuai dengan yang diharapkan. Implikasi dari pendekatan sistem inovasi ini mengandung makna bahwa inovasi tidak hanya sebatas introduksi teknologi. Inovasi memerlukan keterlibatan atau interkoneksi antarpihak, sesuai dengan kebutuhan inovasi yang akan digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, dibutuhkan penghubung bagi pihak-pihak yang akan terlibat untuk terjadinya proses inovasi. Penghubung, atau dalam bahasa sistem inovasi disebut ‘intermediary’ (Kristjansonet al. 2009). Mereka adalah orang atau lembaga yang dapat mensupport terjadinya inovasi, termasuk insentif untuk bekerja sama.

Sesuai dengan panduan FAO (Asopa, Beye 1997), keberhasilan mekanisme REL mencakup dua aspek penting yaitu aspek struktural dan aspek manajerial. Berbagai variabel berkenaan dengan aspek struktural adalah:

(20)

7

1. Menggabungkan fungsi penelitian dan penyuluhan ke dalam satu unit (combining research and extension functions into one unit),

2. De-sentralisasi penelitian dan kegiatan penyuluhan ke daerah (de-centralizing research and extension activities into regional),

3. Membagi spesialis subjek dalam kegiatan penyuluhan (fielding subject-matter specialists in extension),

4. Memulai posisi penghubung penyuluhan di lembaga penelitian (starting extension liaison positions in research institutions),

5. Menetapkan bagian komunikasi dan informasi (establishing communication-cum-information departments),

6. Perjanjian untuk kolaborasi (agency agreements for collaboration),

7. Mendefinisikan kembali peran dan tanggung jawab antara unit penelitian dan penyuluhan (redefining roles and responsibilities between research and extension units)

8. Menciptakan komite atau dewan antar-lembaga (creating inter-agency committees or councils),

9. Mengembangkan perjanjian antar-lembaga untuk kolaborasi (developing inter-agency agreements for collaboration),

10. Lokasi unit penelitian yang secara fisik berdekatan dengan unit penyuluhan (physically locating research units adjacent to extension units),

11. Menyediakan ruang untuk partisipasi petani dalam kegiatan penelitian (providing for farmer participation in research activities), dan

12. Hubungan dengan organisasi swasta dan non-pemerintah (liaison with private and non-governmental organizations).

Sedangkan berbagai variabel berkenaan dengan aspek menejemen adalah:

1. Mendefinisikan ulang deskripsi pekerjaan untuk memperkuat hubungan (redefining job descriptions to strengthen relationships),

2. Membuat tinjauan bersama atas kegiatan penelitian dan penyuluhan (establishing joint reviews of research and extension activities),

3. Meningkatkan insentif individu (pribadi, profesional dan keuangan) untuk kolaborasi (improving individual incentives (personal, professional and financial) for collaboration),

4. Pertukaran sumber daya personel, misalnya dengan menempatkan staf penyuluhan dalam organisasi penelitian (exchange of personnel resources, e.g., posting extension staff in a research organization),

5. Pelatihan bersama untuk peran yang diperluas dalam sistem teknologi (joint training for expanded roles in a technology system),

(21)

8

6. Penggunaan bersama fasilitas dan layanan, misalnya pengujian tanah, demonstrasi (joint use of facilities and services, e.g., soil testing, demonstrations),

7. Promosi hubungan informal (promotion of informal linkages), dan

8. Pertukaran informasi menggunakan protokol yang dikembangkan bersama (information exchange using jointly developed protocols)

Ada empat penyebab ketidakefektivan keterkaitan tersebut, yaitu dari aspek struktur dan keorganisasian, motivasi dan insentif, keterbatasan sumberdaya, dan persoalan komunikasi. Secara lebih detail adalah sebagai berikut: Satu, Masalah struktural dan organisasi, yaitu: (1) tidak ada yang ditugaskan untuk melakukan fungsi seperti penelitian adaptif atau memberikan umpan balik kepada peneliti, (2) penugasan kepada lembaga atau departemen yang tidak sesuai, atau dibagi sedemikian rupa untuk mengurangi keefektifan, (3) sentralisasi atau desentralisasi yang berlebihan, (4) tidak cukupnya otoritas untuk memastikan bahwa satu lembaga harus mengkoordinasikan kegiatan mereka dan melaksanakan tanggung jawab mereka, dan (5) ketidaksesuaian institusi, seperti penelitian berdasarkan komoditas dan ekstensi menurut wilayah; pelanggan yang berbeda; atau jadwal waktu yang berbeda untuk perencanaan dan penganggaran

Dua, motivasi dan masalah insentif yaitu: (1) rendahnya insentif dari manajemen untuk melakukan keterkaitan, (2) pemeliharaan otoritas lembaga harus diperkuat, dan (3) reward untuk publikasi jurnal yang lebih tinggi daripada untuk aktivitas transfer teknologi. Tiga, masalah sumberdaya yaitu: (1) sumber daya keuangan kurang memadai untuk fungsi hubungan seperti publikasi, pengujian hasil penelitian dan pelatihan staf penyuluhan, dan (2) staf yang kelebihan beban pekerjaan dan tidak tersedia untuk fungsi keterkaitan. Empat, Masalah komunikasi yaitu: (1) sistem nilai, latar belakang pendidikan, dan pola komunikasi yang berbeda antara peneliti dan penyuluh, dan (2) sarana komunikasi fisik lemah atau tidak ada di daerah-daerah tertentu.

2.2. Kedudukan dan Peran BPTP dalam Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan Pendekatan Keterkaitan Penelitian dan Penyuluhan

Penanggung jawab kegiatan penelitian dan penyuluhan di Kementerian Pertanian berada di abwah Badan Litbang Pertanian dan Badan SDM Pertanian. Dalam skala terbatas, Badan Litbang Pertanian juga melakukan diseminasi teknologi pertanian, yang ditugaskna kepada BPTP. Untuk selanjutnya, akselerasi secara massal pemasyarakatan inovasi teknologi pertanian yang telah dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian dilakukan oleh para penyuluh pertanian. Fungsi koordinasi dan pembinaan terhadap BPTP

(22)

9

dilaksanakan BBP2TP dengan memanfaatkan jaringan penelitian dan pengembangan lingkup Badan Litbang Pertanian dan/atau lembaga litbang lainnya.

Penelian dan penyuluhan merupakan dua tugas pemerintahan yang dibebankan kepada Kementan, yang dalam pelaksanaannya diletakkan pada beberapa institusi. Fungsi penelitian pertanian secara umum berada di bawah Badan Litbang Pertanian, sedangkan fungsi penyuluhan pertanian berada di bawa Badan Penyuluhan dan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPSDMP). Untuk fungsi peneltian, peran tersebut dibagi secara berjenjang sesuai dengan alur penciptaan dan perekayaan teknologi mulai dari Puslit dan Puslibang sampai dengan BPTP. Selanjutnya, tugas penyuluhan pertanian juga dibagi atas berbagai institusi yang melibatkan unsur Pemerintah Pusat (Kementan) sampai dengan Pemerintahan Daerah (lingkup dinas bidang pertanian).

Sesuai dengan Permentan No 43/Permentan/Ot.010/8/2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, yaitu Pasal 841, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian. Selanutnya, Pasal 842 menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyelenggarakan fungsi: (a) penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian; (b) pelaksanaan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian; (c) penyebarluasan hasil penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian; (d) pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian; (e) pelaksanaan administrasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian; dan (f) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Di sisi lain, yakni sisi penyuluhan pertanian, sesuai Pasal 934, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian mempunyai tugas menyelenggarakan penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian. Selangkapnya pada Pasal 935 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya, BPSDMP menyelenggarakan fungsi: (a) penyusunan kebijakan teknis, rencana, dan program di bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian; (b) pelaksanaan pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia pertanian; (c) pelaksanaan penyuluhan pertanian; (d) penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyelenggaraan penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan pertanian; (e) pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan di bidang penyelenggaraan penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan pertanian; (f) pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan penyuluhan pendidikan, dan pelatihan sumber daya manusia pertanian; (g) pelaksanaan administrasi Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian; dan (h) pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

(23)

10

Tanggung jawab kegiatan penyuluhan pertanian di BPSDMP ada di Pusat Penyuluhan Pertanian yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan kebijakan teknis, serta penyelenggaraan penyuluhan pertanian. Selengkapnya dalam Pasal 959 disebutkan bahwa Pusat Penyuluhan Pertanian menyelenggarakan fungsi: (a) penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program, serta pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelenggaraan penyuluhan pertanian; (b) penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyuluhan pertanian; (c) pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang penyuluhan pertanian; (d) pelaksanaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian; dan (e) pelaksanaan pengembangan kelembagaan dan ketenagaan penyuluhan pertanian.

Di level pelaksana, fungsi penelitian berada di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang tersebar di setiap provinsi. BPTP mempunyai tugas melaksanakan pengkajian dan perakitan teknologi tepat guna spesifik lokasi bagi semua komoditas pertanian. Fungsi BPTP dalam konteks REL ini adalah: (a) Melaksanakan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi; (b) Melaksanakan penelitian, pengkajian dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi; (c) Melaksanakan pengembangan teknologi dan diseminasi hasil pengkajian serta perakitan materi penyuluhan; (d) Melakukan kerjasama, informasi, dokumentasi, serta penyebarluasan dan pendayagunaan hasil pengkajian, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi; serta (e) Memberikan pelayanan teknik kegiatan pengkajian, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi.

Relasi fungsional antara peneliti dan penyuluh berlangsung melalui berbagai saluran, baik secara reguler maupun tidak. Saluran atau medan sosial tersebut di antaranya adalah: Temu Lapang, Bimbingan Teknis, Pelatihan di BPP, Pelatihan tematik, Pendampingan Program, dll. Seluruh kegiatan ini menjadi objek yang dipelajari dalam studi ini. Selngkapnya keterkaitan fungsi penelitian dan penyuluhan di Kementerian Pertanian adalah sebagai berikut:

(24)

11

Gambar 2.1. Keterkaitan penelitian dan penyuluhan di Kementerian Pertanian Peran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

BPTP merupakan UPT Badan Litbang Pertanian yang berkedudukan di provinsi berhubungan langsung dengan pengguna di daerah. Lembaga pengkajian ini juga menjadi mitra kerja bagi Pemerintah Daerah (Pemda) Provinsi dalam mendukung Pembangunan Pertanian Wilayah. Kehadiran BPTP di tiap provinsi merupakan perwujudan kebijakan pemerintah untuk mempercepat alih teknologi dan arus informasi dari sumber teknologi (peneliti) kepada sasaran (pelaku utama dan pelaku usaha). Harapan tersebut dapat terwujud melalui BPTP karena sumberdaya pendukung dalam lembaga tersebut terdiri dari peneliti dan penyuluh. Dengan demikian institusi BPTP memperkuat keterkaitan penelitian dan penyuluhan pertanian.

Kelahiran BBP2TP merupakan bagian dalam sejarah pembangunan pertanian yang diawali pada tahun 2002 dengan nama Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BP2TP) sesuai dengan Kepmentan No. 77/Kpts/OT.210/1/2002). Seiring dengan tuntutan perubahan lingkungan internal dan eksternal Badan Litbang Pertanian, pada pertengahan 2005 status BP2TP ditingkatkan menjadi Balai Besar P2TP. BBP2TP merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian yang berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Kepala Badan Litbang Pertanian.

Program pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian dirancang untuk meningkatkan peran dan kemampuan institusi BBP2TP dalam mengkoordinasikan dan membina pelaksanaan pengkajian, pengembangan dan perakitan teknologi spesifik lokasi yang dilakukan oleh BPTP; serta mempercepat pemasyarakatan inovasi teknologi yang telah dihasilkan oleh UK/UPT lingkup Badan Litbang Pertanian.

(25)

12

Peran tersebut dijalankan oleh BBP2TP dengan menetapkan visinya untuk menjadi institusi pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian nasional terkemuka yang mampu memberikan pelayanan prima dalam penyediaan dan fasilitasi informasi teknologi pertanian spesifik lokasi kepada berbagai pemangku kepentingan. Misinya adalah: (1) Melaksanakan percepatan diseminasi kepada para pengguna serta meningkatkan penjaringan umpan balik inovasi pertanian, (2) Melaksanakan pengkajian dan pengembangan model teknologi pertanian regional dan nasional; (3) Melaksanakan pengkajian dan pengembangan norma dan standard metodologi pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian; (4) Membangun jaringan kerja sama dan mendayagunakan hasil pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian; dan (5) Meningkatkan kapabilitas dan optimalisasi sumberdaya pengkajian dan pengembangan teknologi pertanian.

Visi dan misi yang diembannya kemudian dijabarkan dalam tugas pokok dan fungsi yaitu, di antaranya yang terkait dengan diseminasi adalah adalah berupa pendayagunaan hasil pengkajian, pengembangan paket teknologi unggulan, serta pengembangan model teknologi pertanian regional dan nasional.

Kebijakan pemerintah membangun lembaga pengkajian di provinsi juga merupakan respon terhadap berlangsungnya otonomi daerah yang berimplikasi terjadinya desentralisasi dan reorientasi pembangunan pertanian dari yang bersifat umum ke arah spesifik lokasi. Kementerian Pertanian memperkuat implementasi desentralisasi tersebut dengan cara dekonsentrasi kegiatan penelitian dan pengkajian (litkaji). Keberadaan BPTP akan mendorong pemberdayaan SDM dan pemanfaatan sumberdaya lokal (local genius) di setiap provinsi.

Pelaksanaan litkaji oleh BPTP dalam operasionalnya dimediasi oleh BBP2TP bekerjasama dengan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang), Balai Besar Pengembangan (BBP) dan Balai Penelitian (Balit) Komoditas yang melaksanakan penelitian hulu (upstream research).

(26)

13

III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran

Objek utama studi ini adalah kinerja dan keefketifan diseminasi teknologi, yakni penyampaian setelah penelitian/pengkajian menghasilkan teknologi siap pakai. Penelitian ini menggunakan dua pendekatan keilmuan sekaligus yaitu: (1) ilmu administrasi-birokrasi, dan (2) Teori Research Extension Linkage (REL). Pendekatan administrasi-birokrasi bertolak dari regulasi dan pedoman pembentukan organisasi di internal Kementan beserta tugas dan fungsinya. Studi ini akan mempelajari bagaimana seluruh pedoman tersebut dijalankan, keefektivannya, serta permasalahannya. Analisis bertolak dari program reformasi birokrasi pemeirntahan yang mendorong perbaikan dan peningkatan sistem penyelenggara negara agar lebih efisien, efektif, dan SDM yang profesional.

Selanjutnya, pada pendekatan kedua, yakni pendekatan ilmu penyuluhan pertanian khususnya pada Teori Research Extension Linkage, akan dipelajari keefektifan relasi antar subsistem penelitian dan penyuluhan pertanian. Relasi REL yang kuat ditunjukkan oleh tiga karakter pokok yaitu komunikasi yang baik (good communication), interaksi yang kuat (strong interaction), dan kerjasama yang efektif (effective collaboration). Secara sederhana, kerangka pemikiran penelitian divisualisasikan pada gambar berikut.

Subsistem Penciptaan teknologi/ pengkajian Proses diseminasi di BPTP Proses diseminasi di penyulusan (Dinas Pertanian) Adopsi teknologi oleh petani Informasi yang digali Jumlah dan jenis kegiaiatan, Jumlah teknologi rekomendasi, Teknologi unggulan Ragam kegiatan (Temu lapang, Bimtek,, pelatihan, pendampingan program, dll) Skala kegiatan keefektifan Jumlah penyuluh Kelembagaan Kapasitas penerimaan relasi dan persepsi dengan peneliti Kebutuhan teknologi tingkat adopsi relasi dan persepsi dengan peneliti dan penyuluh

Rumusan Bentuk kelembagaan dan relasi penelitian dan penyuluhan yang efektif

(27)

14

Penggalian informasi berkaitan dengan tiga pihak utama, yang dalam proses REl saling berurutan dari hulu ke hilir, yaitu BPTP, kelembagaan penyuluhan daerah (Dinas Pertanian dan BPP), dan petani. Jenis data dan informasi yang digali dipaparkan pada gambar di atas.

Relasi fungsional antara peneliti dan penyuluh berlangsung melalui berbagai saluran, baik secara reguler maupun tidak. Saluran atau medan sosial tersebut di antaranya adalah: Temu Lapang, Bimbingan Teknis, Pelatihan di BPP, Pelatihan tematik, Pendampingan Program, dll. Seluruh kegiatan ini menjadi objek yang dipelajari dalam studi ini.

Relasi antara kegiatan atau aktor dalam penelitian dan penyuluhan (Research Extension Linkage) merupakan titik perhatian penting dalam ilmu penyuluhan pertanian. Penyuluh membutuhkan dukungan sumber teknologi dan pengetahuan sebagai bekal untuk didiseminasikan ke petani pengguna. Meskipun banyak sumber lain, namun sumber dari lembaga penelitian dipandang sebagai sumber yang utama.

Penerapan inovasi teknologi dalam kegiatan pertanian selama ini mengandalkan kepada pihak penyuluhan pertanian yang tugas utamanya adalah transfer teknologi baru kepada petani yang berasal dari lembaga penelitian. Pola seperti ini berlangsung secara masif di seluruh dunia semenjak dahulu di bawah program besar Revolusi Hijau. Dalam kondisi ini, penyuluh menjadi agen utama yang membawa dan menyampaikan teknologi kepada petani binaannya.

Kunci dari keberhasilan diseminasi adalah interkoneksi antara para pihak yang bekerja sama untuk terjadinya inovasi sesuai dengan yang diharapkan. Inovasi memerlukan keterlibatan atau interkoneksi antarpihak, sesuai dengan kebutuhan inovasi yang akan digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi. Dengan demikian, dibutuhkan penghubung bagi pihak-pihak yang akan terlibat untuk terjadinya proses inovasi. Penghubung, atau dalam bahasa sistem inovasi disebut ‘intermediary’ (Kristjansonet al. 2009). Mereka adalah orang atau lembaga yang dapat mensupport terjadinya inovasi, termasuk insentif untuk bekerja sama.

3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

Selengkapnya ruang lingkup studi ini, yang diusun secara krnologis dalma keseluruhan proses studi, adalah sebagai beikut:

1. Penggalian data dan informasi kinerja dan permasalahan kelembagaan penelitian dan pengkajian serta penyuluhan, baik pada lingkup jajaran Kementerian Pertanian maupun instansi daerah misalnya Komisi Teknologi Pertanian tingkat provinsi.

(28)

15

2. Penggalian data program relasi penelitian-penyuluhan yang telah dijalankan dalam tahun-tahun terakhir, serta keefektivan dan permasalahannya.

3. Melakukan penelusuran (tracking) diseminasi paket-paket teknologi unggulan dari Badan Litbang khususnya BPTP kepada penyuluh pertanian dan petani di berbagai wilayah.

4. Mengidentifikasi permasalahan dan persepsi peneliti dan penyuluh berkenaan dengan efektiftivitas dan peermasalahan kelembagaan dan program keterkaitan penellitian dan penyuluhan pertanian.

5. Menggali informasi stakeholders berkenaan dengan efektiftivitas dan permasalahan kelembagaan dan program keterkaitan penellitian dan penyuluhan pertanian serta saran untuk penyempurnaannya.

3.3. Lokasi Penelitian dan Responden

Lokasi studi pada dua wilayah, yaitu BPTP Jawa Barat dan Banten. Objek penelitian adalah relasi peneliti dan penyuluh pertanian di tingkat lapang, yakni yang terjadi antara peneliti dan penyuluh di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) dengan penyuuh di Dinas Pertanian provinsi dan kebupaten. Penelitian dilakukan pada dua wilayah yang memiliki keragaman kondisi yang berbeda dilihat dari perkembangan teknologi. Lokasi penelitian dipilih secara purposive adalah Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten.

3.4. Data dan Metode Analisis

Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Data sekunder berupa aspek kelembagaan dan program keterkaitan penelitian dan penyuluhan yang sedang berjalan, sedangkan data primer utamanya persepsi peneliti dan penyuluh sebagai aktor utama dalam kajian ini beserta stakeholders lain.

Analisis data dan informasi dilakukan secara deskriptis analitis dengan menampilkan generalitas dan kecenderungan-kecenderungan serta mengkomparasikan antar wilayah, kelompok inovasi teknologi, dan “kematangan” kelembagaan. Kajian ini didasarkan atas pedoman relasi sesuai dengan regulasi yang telah dikeluarkan Kementan serta dengan teori-teori yang berkembang tentang research-extension linkage.

(29)

16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi pada bab ini disusun atas tiga tujuan studi secara berurutan menggunakan pendekatan Research Extension Linkage (REL). Dengan demikian, di awal bab disampaikan gambaran faktual REL, dilanjutkan dengan analisis keefektifan keterkaitannya, dan diakhiri dengan bagaimana rumusan ke depan.

4.1. Kinerja dan Permasalahan Keterkaitan Fungsi Penelitian dan Pengkajian Dengan Penyuluhan Di BPTP

4.1.1. Kebijakan terhadap Struktur Dan Keterkaitan Penelitian-Penyuluhan Pengkutuban Peran Penelitian dan Penyuluhan di Tingkat Kementerian

Pedoman pokok kegiatan keterkaitan penelitian dan penyuluhan bertolak dari UU No 25 Tahun 2014 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Regulasi ini menjadi panduan untuk seluruh kegiatan di seluruh kementerian, bahkan juga untuk kalangan perguruan tinggi, khususnya untuk kegiatan pertanian yang juga terlibat dalam penelitian pertanian dan diseminasinya. Selain UU tersebut, aktivitas penelitian-penyuluhan juga berpedoman kepada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2015-2045, Renstra Kementan 2015-2019, dan Renstra Badan Litbang Pertanian 2015-2019, termasuk Renstra Pemda provinsi dan kabupaten/kota.

Kebijakan berkenaan dengan hal ini dapat kita uraikan secara berurutan mulai dari atas sampai ke bawah. Khusus di level kementerian, sesuai dengan Permentan No 43/Permentan/OT.010/8/2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Pertanian; tugas penelitian berada di bawah Badan Litbang Pertanian, sedangkan diseminasinya oleh Badan SDM Pertanian.

Sebagaimana Pasal 841, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian mempunyai tugas menyelenggarakan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian. Pasal selanjutnya menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugasnya Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian menyelenggarakan fungsi:

a. penyusunan kebijakan teknis, rencana dan program penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian;

b. pelaksanaan penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian;

c. penyebarluasan hasil penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian; d. pemantauan, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penelitian, pengembangan dan

inovasi di bidang pertanian;

e. pelaksanaan administrasi Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian; dan f. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

(30)

17

Selanjutnya, berkenaan dengan aspek diseminasinya, Pasal 934 menyatakan bahwa Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian mempunyai tugas menyelenggarakan penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian menyelenggarakan fungsi:

a. penyusunan kebijakan teknis, rencana, dan program di bidang penyuluhan dan pengembangan sumber daya manusia pertanian;

b. pelaksanaan pengkajian dan pengembangan sumber daya manusia pertanian; c. pelaksanaan penyuluhan pertanian;

d. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penyelenggaraan penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan pertanian;

e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan di bidang penyelenggaraan penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan pertanian;

f. pemantauan, evaluasi dan pelaporan penyelengaraan penyuluhan pendidikan, dan pelatihan sumber daya manusia pertanian;

g. pelaksanaan administrasi Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian; dan

h. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Secara lebih khusus, fungsi penyuluhan dijalankan oleh Pusat Penyuluhan Pertanian, yang bertugas menyelenggarakan penyuluhan pertanian (Pasal 958). Dalam melaksanakan tugas tersebut, Pusluhtan menyelenggarakan fungsi di antaranya adalah pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang penyuluhan pertanian, dan pelaksanaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian.

Kebijakan ini memperlihatkan bahwa kegiatan penelitian dan penyuluhan ditempatkan pada bidang yang terpisah, atau terjadi polarisasi (pengkutuban), dimana penelitian di Badan Litbang Pertanian dan penyuluhan di BPSDMP. Namun demikian, secara terbatas Badan Litbang juga ditugaskan melakukan “penyebarluasan hasil penelitian, pengembangan dan inovasi di bidang pertanian” (Pasal 842 ayat c). Tugas ini ditempatkan pada institusi di bawahnya yakni di Pusat dan Balai Penelitian, namun terlebih lagi pada BPTP yang disebar di tiap provinsi.

Peran Ganda BPTP: Pengkajian dan Penyuluhan

Dalam konteks REL, relasi antara kegiatan penelitian dan penyuluhan berlangsung pada dua aras, yakni di dalam BPTP sendiri dan antara BPTP dengan Dinas Pertanian daerah. Dalam internal BPTP terjadi relasi antara peneliti dan penyuluh, atau antara

(31)

18

kegiatan pengkajian dengan diseminasinya. Selain itu, relasi bentuk kedua adalah antara BPTP (peneliti dan penyuluh) dengan petugas penyuluh pertanian di Dinas Pertanian.

Berkaitan dengan istilah “pengkajian: sesungguhnya UU No 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi; tidak mengenal istilah tersebut. Dalam terminologi UU ini kegiatan penelitian dan pengembangan secara berurutan dari hulu ke hilir dimulai dari penelitian, lalu pengembangan, perekayasaan, inovasi, dan difusi teknologi. Secara lebih detail, pemaknaan yang dikembangkan adalah sebagai berikut:

1. Penelitian adalah kegiatan yang dilakukan menurut kaidah dan metode ilmiah secara sistematis untuk memperoleh informasi, data, dan keterangan yang berkaitan dengan pemahaman dan pembuktian kebenaran atau ketidakbenaran suatu asumsi dan/atau hipotesis di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta menarik kesimpulan ilmiah bagi keperluan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Pengembangan adalah kegiatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan memanfaatkan kaidah dan teori ilmu pengetahuan yang telah terbukti kebenarannya untuk meningkatkan fungsi, manfaat, dan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada, atau menghasilkan teknologi baru.

3. Perekayasaan adalah kegiatan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk desain dan rancang bangun untuk menghasilkan nilai, produk, dan/atau proses produksi dengan mempertimbangkan keterpaduan sudut pandang dan/atau konteks teknikal, fungsional, bisnis, sosial budaya, dan estetika.

4. Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau proses produksi.

5. Difusi teknologi adalah kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya. Selain konsep “difusi”, UU ini juga memuat konspe yang mirip yakni “alih teknologi”. Alih teknologi adalah pengalihan kemampuan memanfaatkan dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi antar lembaga, badan, atau orang, baik yang berada di lingkungan dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri ke dalam negeri dan sebaliknya.

BPTP diberikan tugas sekaligus dalam aras penelitian sekaligus penyuluhan. Untuk tugas penelitian disebut dengan “pengkajian”, sedangkan untuk penyuluhan secara resmi

(32)

19

dinyatakan dengan “pemasyarakatan inovasi teknologi”. BPTP tidak melakukan pemassalan teknologi, karena ini menjadi tugas lembaga penyuluhan pertanian daerah.

Kebijakan tentang organisasi dan tata kerja BPTP telah dikeluarkan setidaknya sebanyak tiga kali. Berdasarkan Permentan No. 16/Permentan/OT.140/3/2006, BPTP merupakan unit pelaksana teknis di bidang penelitian dan pengembangan pertanian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.

BPTP mempunyai tugas melaksanakan pengkajian, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, BPTP menyelenggarakan fungsi: (a) pelaksanaan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi; (b) pelaksanaan penelitian, pengkajian dan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi; (c) pelaksanaan pengembangan teknologi dan diseminasi hasil pengkajian serta perakitan materi penyuluhan; (d) penyiapan kerjasama, informasi, dokumentasi, serta penyebarluasan dan pendayagunaan hasil pengkajian, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi; (e) pemberian pelayanan teknik kegiatan pengkajian, perakitan dan pengembangan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi; dan (f) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Balai.

Tugas utama diseminasi di BPTP pada kelompok jabatan fungsional peneliti dan penyuluh pertanian. Pembagian peran di antara mereka adalah Kelompok Jabatan Fungsional Peneliti melakukan perakitan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi, sedangkan Kelompok Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian melakukan pengembangan teknologi dan diseminasi hasil pengkajian serta perakitan materi penyuluhan

Sejalan dengan tugas pokok dan fungsi yang diemban BPTP sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Pertanian, tujuan utama yang ingin dicapai dalam kurun waktu lima tahun ke depan sebagaimana tercantum dalam Rencana Operasional Renstra BPTP 2015-2019 adalah: (1) Meningkatkan ketersediaan inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi mendukung bioindustri, dan (2) Meningkatkan penyebarluasan dan pemanfaatan inovasi pertanian spesifik lokasi.

Di lain pihak, target atau sasaran BPTP adalah: tersedianya inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi, model-model pengembangan inovasi pertanian bioindustri spesifik lokasi, terdiseminasinya inovasi pertanian spesifik lokasi yang unggul.

Tugas pokok BPTP secara berurutan dalam proses adalah melaksanakan pengkajian, dilanjutkan pengembangan dan perakitan teknologi spesifik lokasi, dan terakhir adalah pemasyarakatan inovasi teknologi yang telah dihasilkan (baik oleh BPTP maupun oleh UK/UPT lainnya lingkup Badan Litbang Pertanian).. Selanjutnya, output BPTP adalah:

Gambar

Gambar 2.1. Keterkaitan penelitian dan penyuluhan di Kementerian Pertanian  Peran Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Gambar 3.1. Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 4.1. Sasaran, indikator, dan target kinerja kegiatan Balitbangtan 2015-2019
Gambar 4.1.. Perbandingan jumlah tenaga peneliti dan penyuluh di lingkup Badan Litbang  Pertanian, 2006-2017 (dalam persen)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model keberhasilan fast food atau restoran cepat saji Burger King dengan memeriksa faktor penentu utama kualitas

Rancangan penelitian yang dilakukan dalam Studi Identifikasi Pencemaran Logam Timbal (Pb) dan Merkuri (Hg) di Udara Ambien pada Lokasi Industri Pengguna Bahan

(2) Pusat Pengembangan Bisnis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Kepala yang diangkat oleh Rektor, berada di bawah dan bertanggung jawab

Bagi yang bukan multalaf, penerimdaan harta Hibah boleh dibuat oleh wali, wasi atau penjaga, Syarat lain, Hibah mesti dilakukan dengan pengetahuan penerima Hibah disebabkan

Hasil pengujian delay dari Firebase sampai ke mobile application menujukan nilai rata - rata terendah pada sesi 2 dengan nilai 0.239s, sedangkan untuk nilai rata-rata

belokKeSudut(atas); wallKananTunda(20); belokKeSudut(kiri); majuKompasSampaiKiri1Dekat(); wallKiriSampaiDepanDekat(); belokKeSudut(atas); wallKiriSampaiKiri1Jauh();

Dari pembahasan tentang persamaan diferensial Cauchy-Euler yang homogen dengan koefisien konstanta dengan menggunakan Teorema Residu pada bab III, maka dapat disimpulkan bahwa

Manfaat penelitan ini bagi mahasiswa adalah melatih kemampuan mahasiswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh departemen Teknik Industri FT-USU dalam menghasilkan para