• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solusi Manajerial: redefinisi Tupoksi, komunikasi dan koordinasi horizontal di daerah

4.3. Rumusan Kedudukan dan Fungsi untuk Kegiatan Penelitian dan Pengkajian dengan Penyuluhan

4.3.2. Solusi Manajerial: redefinisi Tupoksi, komunikasi dan koordinasi horizontal di daerah

Restrukturisasi program diseminasi di BPTP

Pada tataran BPTP, sebagai objek utama studi ini, lemahnya kaitan REL terlihat pula misalnya dari keragaan umum penyusunan matrik kegiatan selama ini. Objek pengkajian cukup beragam namun kurang fokus, dan ada kerancuan memahami spesifikasi kegiatan yakni antara pengkajian (RPTP) dengan diseminasi (ROPP). Ketajaman kegiatan seringkali kurang terlihat, yang terlihat dari justifikasi pengkajian yang kurang kuat dan kurang lengkap. Demikian pula, output kegiatan seringkali kurang kongkrit serta tidak terukur, tingkat novelti yang lemah, dan kurang memperhatikan state of the art yakni teknologi inovasi eksisting; serta tidak berbasis rancangan prioritas.

Disayangkan pula dimana banyak kegiatan sering bersifat pengulangan dan masih bernuansa reaseach for researcher, kurang berbasiskan rekognasi ilmiah atau pertimbangan keunggulan dan kemanfaatan (outcome). Demikian pula, kegiatan lanjutan sering kurang memperlihatkan keterkaitan kontinyuitasnya. Teknologi spesifik lokasi dan unggulan daerah kurang ditonjolkan, sehingga pengkajian dan diseminasi lebih bernuansa penelitian Balit. Namun, sayangnya apa yang dilakukan banyak tertinggal dari Balit dari sisi metodologi dan outputnya, karena kapasitas dan metode serta dukungan fasillitas penelitian yang kurang. Khusus untuk SDM pelaksana, perlu diperhatikan keseimbangan dan proporsi peran antara peneliti dan penyuluh.

Banyak kajian di BPTP yang tergolong lebih rendah dibandingkan yang dilakukan oleh Balit dan Puslit, misalnya penelitian penggunaan benih bawang merah (TSS), Jarwo Super, teknologi budidaya bawang merah dan cabai merah. Demikian pula, banyak kegiatan yang berada di area “abu-abu” apakah merupakan domain BPTP ataukah Balit/Puslit.

67

Sementara, kegiatan diseminasi belum terkait dengan hasil kajian/teknologi unggul yang dihasilkan, berjalan sendiri dan tidak terstruktur. Dari penelusuran di BPTP Jabar dan Banten, setelah “teknologi yang sudah direkomendasikan” dihasilkan justeru tidak ada lagi program yang sistematis. Penyebabnya adalah karena secara struktural mestinya menjadi tanggung jawab institusi penyuluhan daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang tenaga dan cakupannya luas.

Sementara itu, juga dihadapi masalah pada pengkajian. Ketidakjelasan antara kegiatan kajian dengan diseminasi, serta banyak usulan kajian yang sebenarnya tidak perlu dikaji lagi, tetapi seharusnya sudah pada tahap diseminasi. Selain itu juga ditemukan kajian belum utuh misalnya belum adanya kajian kelayakan teknis-sosek nya, sehingga sesungguhnya belum layak sebagai materi penyuluhan. Beberapa kegiatan kajian dan diseminasi relatif dangkal karena kurang dukungan referensi.

Untuk itu dibutuhkan reorientasi program pengkajian dan diseminasi di BPTP. Pelaksanaan kegiatan BPTP dimulai dengan penyusunan Rencana Penelitian Tingkat Peneliti (RPTP), Rencana Operasional Pelaksanaan Penelitian (ROPP), dan Rencana Diseminasi Hasil Penelitian (RDHP). Tahun 2018 sebagai contoh, jumlah RPTP seluruh BPTP se Indonesia berjumlah 265 unit, sedangkan RDHP sebanyak 392 unit kegiatan; sehingga total 657 unit kegiatan. Khusus untuk Jawa Barat berjumlah 42 unit yang terbagi atas 22 RPTP dan 20 RDHP. Sedangkan untuk Banten berjumlah 17, dengan pembagian 10 untuk RPTP da 7 RDHP.

Peningkatan keterkaitan antara penelitian dan penyuluhan dalam lingkup BPTP sesungguhnya dapat dilakukan melalui penajaman matrik kegiatan in-house dan diseminasi BPTP. Untuk itu, program dari atas dan Reorientasi Kegiatan BPTP harus mempertimbangkan pentingnya integrasi dan sinergi antara program strategis Kementan dan Balitbangtan dengan kegiatan in-house di BPTP. Pedoman yang mendasar dibutuhkan adalah rancang bangun Program Litkaji di BPTP. Jumlah dan sebaran kegiatan perlu diperhatikan. Matrik kegiatan BPTP tahun 2018 misalnya, rata-rata terdapat 19,9 kegiatan baik berupa RPTP, RDHP, maupun BPTP di seluruh BPTP.

Untuk perbaikan ke depan, BPTP harus mengembalikan penyusunan program nya berdasarkan Tupoksi dalam Permentan, target pada teknologi spesifik lokasi yang terekomendasi atau sudah dinyatakan direkomendasikan, menghidupkan kembali Komisi Teknonoligi (Provinsi Banten belum pernah membentuknya), dan reformulasi matriks kegiatan. Kegiatan perlu lebih disederhanakan, focus, dan bertitik tolak dari bench mark teknologi dengan berbasiskan kualitas dan kebaruannya.

Tujuan reoerintasi kegiatan Litkaji ke depan pada hakekatnya adalah menselaraskan antara hasil kegiatan penelitian di Balit/BB dengan pengkajian dan diseminasi di BPTP.

68

Berbagai output yang dihasilkan BPTP perlu diklasifikasikan menjadi: komponen teknologi spesifik lokasi, paket teknologi yang lebih lengkap, model pengembangan teknologi, serta materi diseminasi.

Ke depan, bagaimana menjadikan seluruh kegiatan bisa diposisikan secara struktural dan saling mendukung ke arah pengembangan. Selama ini terpisah antara program strategis Kementan, Strategis Badan Litbang dan in-house program. Perbaikan ke depan adalah bagaimana caranya sehingga in-house program di BPTP merupakan inti dari kegiatan, yang berada dalam koridor Badan Litbang dan selanjutnya seluruh kegiatan tersebut berada dalam lingkup program strategis Kementan.

Pengembangan “sistem inovasi” (innovation system) di daerah

Indonesia sudah begitu lama bergantung kepada sistem dan pendekatan penyuluhan untuk mentransfer teknologi ke petani. Ini bermula dari tahun 1964 pada program Bimas, lalu Inmas, Insus dan Supra Insus sampai awal tahun 2000. Selanjutnya, sejak 15 tahun terakhir ini tidak ada kemajuan berarti dalam ide dan pendekatan penyuluhan pertanian. Pendekatan training and visit (Latihan dan kunjungan) masih menjadi andalan, yang sesungguhnya sudah banyak ditinggalkan.

Dunia keilmuan dan prkatke penyuluhan terus bergerak. Secara keilmuan, paradigma penyuluhan pertanian konvensional sesungguhnya sudah lama ditinggalkan, dan beralih ke Innovation System. Transfer teknologi dalam sistem lama mengandalkan kepada pihak penyuluhan pertanian yang menggunakan teknologi dari lembaga penelitian. Pola seperti ini dulu berlangsung secara masif di seluruh dunia di bawah program besar Revolusi Hijau. Penyuluh menjadi agen utama yang membawa dan menyampaikan teknologi kepada petani binaannya. Teknologi datang secara searah.

Penyuluhan konvensional ini banyak menuai kritik. Hadirnya sosok penyuluh “kebetulan” bersamaan dengan ramainya Revolusi Hijau, sehingga kritik terhadap revolusi hijau dianggap juga merupakan tanggung jawab dari penyuluh. Revolusi Hijau dikritik karena menghasilkan polusi kimia berlebihan, penyeragaman komoditas, memperbesar ketergantungan petani, dan sering paket-paket yang disampaikan tidak cocok dengan kebutuhan petani.

Dampak negatif Revolusi Hijau membuat para ahli mulai mempersoalkan pula pendekatan “penyuluhan”, misalnya konsep “komunikasi untuk inovasi” yang digulirkan oleh Leuwis (2006) yang melontarkan konsep baru dalam bukunya “Communication for Rural Innovation: Rethinking Agricultural Extension”. Ia mentranformasi pemikiran “from diffusion to systems of agricultural innovation”, dengan menghindari istilah “penyuluhan” karena berbagai alasan, dan menggunakan istilah baru “komunikasi untuk inovasi”.

69

Ada banyak alasan mengapa konsep dan pendekatan ini muncul, yang utama adalah karena inovasi teknologi bisa datang dari banyak sumber, tidak hanya dari tenaga penyuluh secara tunggal. Bersamaan pula berlangsung perubahan paradigma dari sustainable agriculture and progress menuju ecological knowledge system, berkembangnya interdependence model dan innovation system framework, dimana yang terlibat tidak hanya peneliti dan penyuluh tetapi juga pengguna teknologinya, perusahaan swasta, NGO, dan juga supportive structures (pasar dan kredit). Selain itu, pentingnya proses belajar (learning processes), yang dimaknai adalah “….a way of evolving new arrangements specific to local contexts”. (Leeuwis, 2006).

Konsep lama ini menjadikan teknologi sebagai faktor utama untuk terjadinya inovasi, maka kita mengenal konsepsi Technology Supply Push (TSP) atau pendekatan transfer teknologi (technology transfer approach) (Ingram et al. 2018). di masa revolusi hijau meyakini bahwa inovasi perdesaan akan terjadi dengan introduksi teknologi yang dihasilkan melalui aktivitas penelitian (Inter-Academy Council 2004) yang dilakukan oleh lembaga riset. Selanjutnya, hasil penelitian ini diyakini merupakan sumber inovasi. Ukuran inovasi yang terjadi dalam pembangunan perdesaan berdasarkan konsepsi ini adalah meningkatnya produksi dan produktivitas usahatani akibat dari penerapanteknologi unggul tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi yang diintroduksi tersebut telah dimanfaatkan oleh petani. Apakah teknologi yang diintroduksi tersebut sepenuhnya diadopsi secara berkelanjutan atau berkesinambungan atau hanya sebagian, diukur dari tingkat adopsinya yaitu late adoption, early adoption, partial adoption, maupun persepsi terhadap kesesuaian teknologi dengan kebutuhan pengguna (Rogers, 2003).

Pembangunan pertanian tidak hanya tergantung kepada inovasi teknologi, karena permasalahan yang dihadapi petani lebih kompleks dari sekedar aspek teknis semata. Akibatnyam inovasi tidak hanya tentang introduksi teknologi, namun meliputi perubahan sosial, dan melalui proses ko-innovasi dan berlangsung secara sistemik (Leeuwis and van den Ban 2004). Inovasi merupakan kombinasi antara aspek teknologi (hardware), interaksi dan partisipasi antarstakeholders, serta kondisi soscial dan institutional yang mempengaruhi inovasi. Konsep inovasi dengan kompleksnya permasalahan yang ada, memerlukan pemikiran inovasi dari berbagai aspek, sehingga pemikiran ini dikenal dengan Agricultural Innovation System (AIS) atau Sistem Inovasi.

Konsep sistem inovasi, yang muncul di awal tahun 2000-an menekankan bahwa terjadinya inovasi memerlukan sentuhan kebijakan secara menyeluruh, baik dari aspek teknologi, kelembagaan, dan manusianya. Berdasarkan konsepsi AIS, inovasi terjadi melalui ‘collective interplay or network among many actors – including farmers, researchers, extension officers, traders, service providers, processors, development organizations and it is influenced by factors such as technology, infrastructure, markets, policies, rules and

70

regulations, and cultural practices (actors’ values and norms)” (Leeuwis 2004). Selain itu, konsep AIS melihat bahwa inovasi memerlukan penanganan secara menyeluruh dari keseluruhan input dan output usahatani, termasuk aspek pemasarannya, supporting policy framework, financial incentives, and credit access.

Pertanyaannya adalah bagaimana kesiapan BPTP untuk menerapkan paradigma baru ini? Sistem inovasi baru berjalan bila tercapai interkoneksi antara para pihak yang bekerja sama untuk terjadinya inovasi sesuai dengan yang diharapkan. Inovasi memerlukan keterlibatan atau interkoneksi antarpihak, sehingga dibutuhkan penghubung bagi pihak-pihak yang akan terlibat untuk terjadinya proses inovasi. Penghubung, atau dalam bahasa sistem inovasi disebut ‘intermediary’, adalah orang atau lembaga yang dapat mensupport terjadinya inovasi, termasuk insentif untuk bekerja sama.

Pihak PPL di lapangan, semestinya dapat menjadi pelaku penghubung tersebut. Namun, dalam kondisi hambatan struktural yang dihadapi saat ini, peran tersebut tidak mudah untuk dijalankan. Namun, dalam konteks peran sebagai penghubung, maka fungsi penyuluh sebagai sumber teknologi telah akan tergeser oleh berbagai sumber informasi lainnya misalnya media massa dan perusahaan swasta.

Pengembangan diseminasi secara massal membutuhkan peran strategis Komisi Teknologi. Ketidakberfungsian Komisi Teknologi telah menyebabkan putusnya sistem untuk menditribusikan teknologi-teknologi yang dianggap sudah matang (BPTP menyebutnya “Teknologi yang Direkomendasikan”). BPTP hanya berrtugas sampai merakit teknologi spesifik lokasi siap pakai, namun tidak sanggup memasalkannya. Semestinya Pemda dengan para PPL di dalamnya yang melanjutkan upaya ini. Di tengahnya ada Komisi Teknologi, sebagai mata rantai penting.

Namun, Komisi Teknologi tidak berjalan, bahkan tanpa rapat koordinasi sekalipun. Pemda tidak dapat membiarkan kondisi ini terus berlanjut. Untuk itu, selain merevitalisasi keorganisasiannya, perlu dukungan dana dari daerah. Alternatif adalah dukungan dana bagi pelaksanaan komisi dapat berasal dari dana sharing APBD kabupaten, provinsi dan APBN. Selain itu, perlu dilakukan identifikasi stakeholder dilihat dari proses komunikasi dan koordinasi yang lebih efektif. Pihak-pihak yang kurang relevan fungsinya dapat dihilangkan dan dapat diganti oleh dinas atau badan lain, bahkan dapat pula legislatif.

Persoalan mendasarnya adalah belum ada kesamaan persepsi tentang pentingnya teknologi sebagai sumber perubahan dalam pembangunan pertanian. Untuk itu ke depan misalnya, dalam upaya peningkatan kinerja komisi teknologi, dapat dengan melibatkan tim teknis pada kegiatan perencanaan dan Monev untuk kegiatan pengkajian dan pengembangan diseminasi di BPTP.

71

Salah satu jejaring yang perlu digalang oleh BPTP dalam pengembangan pengkajian adalah perguruan tinggi dan swasta. Keberadaan dan potensi kedua lembaga ini sangat besar, dan semestinya menjadi mitra utama BPTP.

Meskipun tidak memuaskan, BPTP sesungguhnya sudah berada pada jalur yang tepat dalam mendekatkan penelitian-penyuluhan (REL) dan untuk menghasilkan teknologi spesifik lokasi. Meskipun program yang dijalankan banyak yang kurang fokus dan kurang terstruktur, namun secara lambat laun ada banyak kemajuan yang dicapai. Beberapa teknologi yang didiseminasikan melalui berbagai kegiatan (temu lapang, temu teknis, seminar, Bimtek, pelatihan, dll) sudah menyebar dan sebagian disukai petani. Namun demikian, persoalan yang sering dijumpai adalah lemahnya dukungan material teknologi tersebut. Suplai benih dan berbagai input yang sudah mulai disukai tidak tersedia di lapangan, sehingga adopsi teknologi menjadi rendah.

72