• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.3. Rumusan Kedudukan dan Fungsi untuk Kegiatan Penelitian dan Pengkajian dengan Penyuluhan

4.3.1. Solusi Struktural: posisi, fungsi, dan jaringan di daerah

Khusus pada aspek struktural, kegiatan REL di BPTP menghadapi berbagai kendala baik di lingkungan internal BPTP maupun relasi dengan luar. Tupoksi diseminasi di BPTP terbatas hanya pada pengenalan awal, sedangkan pemasalannya bergantung kepada penyuluh di Pemda yang kondisinya kurang kuat.

Lemahnya REL di tataran BPTP

Secara teoritis, lemahnya keterkaitan dalam REL (Research and Extension Linkages) bisa disebabkan oleh berbagai hal yang mencakup politik, teknis, dan keorganisasian (Kaimowitz et al., 1989). Persoalan politik berkenaan dengan kelembagaan politik dan perbedaan antara kelompok kepetingan (interest groups). Hal ini ditemukan juga di lapangan, yakni dalam hal perbedaan penentuan prioritas antara pusat dan daerah misalnya.

Pembangunan pertanian Indonesia juga menghadapi ini. Pada tataran lapang ditemukan terlalu kuatnya tekanan eksternal pada lembaga dan personil untuk mencapai

63

kinerja yang tinggi sesuai prioritas pusat. Sebaliknya, tekanan eksternal terlihat lemah, sehingga kurang diperhatikan; yakni yang datang dari petani dan sektor swasta.

Dengan lemahnya tekanan eksternal yang efektif dari daerah, institusi dan personel yang terlibat dalam aktivitas penelitian dan penyuluhan cenderung lebih termotivasi oleh kebutuhan sosial dan politik mereka sendiri daripada oleh kebutuhan petani. Hal ini mengakibatkan personil penyuluhan memusatkan apa yang mereka anggap sebagai kegiatan utama mereka, yang cenderung membuat mereka kurang terintegrasi dengan penelitian, sementara peneliti lebih berkonsentrasi pada penelitian di kantor sendiri. Kendala struktural akan menyebabkan persoalan teknis berkaitan dengan jenis kegiatan dan metodologi spesifik yang terkait dengan pengembangan dan penyampaian teknologi.

Kurangnya profesionalisme di tengah semangat de-sentralisasi, membutuhkan manajemen hirarkis yang tidak ketat agar efektif dalam lingkungan yang kurang produktif dan lebih beragam tersebut. Upaya penelitian dalam lingkungan ini harus lebih tersebar luas dan menimbulkan masalah teknis yang lebih kompleks, dan karenanya memerlukan lebih banyak diagnosis spesifik lokasi masalah dan adaptasi teknologi. Kurangnya infrastruktur yang diperlukan dapat membuat peneliti untuk mengadopsi teknologi alternatif yang mungkin tidak sesuai untuk wilayah tersebut.

Kendala struktural-organisasi terdiri dari hal yang berkaitan dengan masalah struktur, motivasi dan masalah insentif, masalah sumber daya dan masalah komunikasi (Kaimowitz, 1987). Tiap kantor memiliki perbedaan orientasi dan gaya kerja, kekhawatiran yang berkaitan dengan kompetensi, dan tingkat kontak antara penelitian dan penyuluh. Peneliti lebih berorientasi pada komunitas ilmiah umum, memiliki horizon waktu yang lebih panjang, dan ingin benar-benar yakin tentang rekomendasi; personel penyuluhan lebih fokus pada permintaan petani.

Permasalahan lain adalah lemahnya fleksibilitas dalam menentukan kegiatan pengkajian. Tanggung jawab melakukan penelitian adaptif, komunikasi hasil penelitian, atau umpan balik dari pengguna ke peneliti umumnya tidak ditugaskan kepada individu. Penyuluh membutuhkan peneliti untuk menghasilkan temuan penelitian yang lebih tepat waktu, menulis rekomendasi dan menyediakannya.

Kendala pada sisi keterkaitan adalah seringnya penugasan yang tidak sesuai dari atas. Sentralisasi masih teras berupa tugas-tupas “top down”. Otoritas atas masih berlebihan sehingga membatasi fleksibilitas. Akibatnya, relasi horizontal menjadi lemah. Sering ada penugasan dari otoritas yang lebih tinggi untuk memastikan bahwa program nasional telah dijalankan dan dikoordinasikan dengan baik. BPTP sebagai “instansi Pusat” di daerah menjadi andalan untuk tugas-tugas seperti ini.

Sebagai contoh, pada tahun 2018, ada tambahan anggaran Pusat untuk BPTP sekitar Rp 46 M, dimana setiap BPTP paing sedikit mendapat Rp 1 M. Di BPTP Banten dana

64

tersebut dibagikan untuk lima kegiatan yaitu: (1) Peningkatan kapasitas pennyuluh BPTP; (2) Peningkatan kapasitas penyuluh daerah; (3) Sinkronisasi Materi Penyuluhan; (4) Temu Teknis Materi Penyuluhan, dan (5) Kaji Terap dengan area yang lebih luas (minimal 20 Ha) dan melibatkan seluruh penyuluh yang ada di WKPP-BPP. Namun demikian, kegiatan-kegiatan ini tidak tuntas karena ada pemotongan anggaran untuk Program Bekerja (dipotong sekitar 50% atau Rp 500 juta) atau untuk pembelian ayam (1 juta ekor) pada Program Bekerja tersebut, sehingga walaupun semua kegiatan dilaksanakan, namun tidak mencapai target awal, misalnya dari luasan 20 Ha, hanya terlaksana 5 Ha saja. Untuk tahun 2019 tidak ada anggaran seperti itu lagi, karena anggarannya akan dibelikan 6 juta ekor ayam, untuk Program Bekerja.

Individu memiliki insentif yang lemah untuk melakukan relasi, di mana peneliti BPTP dan penyuluh Pemda terbatas dalam kegiatan seperti uji coba lapangan adaptif dan penyiapan bahan tertulis untuk penyuluh. Bagi peneliti, insentif untuk publikasi jurnal mungkin lebih tinggi daripada untuk melakukan kegiatan relasi horizontal dengan penyuluh pertanian.

Kendala struktural lain adalah adanya perbedaan dalam sistem nilai, latar belakang pendidikan dan metode komunikasi antara penelitian dan penyuluh. Pekerja penyuluh menganggap para peneliti bekerja di menara gading (karena mereka dianggap profesional, dengan kualifikasi dan pelatihan yang lebih akademis dan karena itu diberi status lebih tinggi. Pada saat yang sama, peneliti mempertanyakan kemampuan pekerja penyuluhan untuk memahami hasil penelitian, untuk berkomunikasi dengan baik dengan petani. Infrastruktur untuk komunikasi mungkin lemah atau tidak ada. Perputaran staf yang tinggi menyulitkan untuk menjalin hubungan jangka panjang.

Peningkatan positioning BPTP: peningkatan eselon versus apresiasi terhadap jabatan fungsional

BPTP memiliki eselon IIIB, sehingga tidak sejajar dengan SKPD provinsi yang lain yang umumnya eselon II. Posisi ini sedikit banyak menimbulkan kendala dalam komunikasi. Untuk relasi yang lebih efektif, ada ide untuk meningkatkan jenjang eselon tersebut.

Namun demikian, ide ini dihadapkan kepada paradigma baru manajemen pemerintahan dimana lebih pentingnya posisi fungsional. BPTP mengelola jabatan fungsional (yakni peneliti dan penyuluh), dan sejalan dengan reformasi birokrasi oleh Menpan RB.

Berikutnya, jika di level BPTP akan diterapkan konsep AIS dimana adopsi teknologi bukan sebagai ukuran keberhasilan tunggal, tapi lebih menekankan pada aspek proses terjadinya inovasi; maka posisi fungsional semestinya tidak menjadi kendala. Jadi, inovasi diukur tidak hanya diakhir pelaksanaan kegiatan (pengukuran output), namun juga dalam

65

proses aktivitasnya. Beberapa indikator misalnya adalah bagaimana kualitas interaksi antaraktor, bagaimana peran intermediary menghubungkan antarpihak yang bekerja sama, bagaimana peran institusi mendukung proses inovasi (kebijakan dan aturan), bagaimana perubahan perilaku aktor-aktor yang berinterasi dalam mewujudkan inovasi, serta bagaimana kualitas interaksi antara pengguna dan penyedia inovasi dalam hal kebutuhan inovasi.

Tantangan baru ini membutuhkan keterlibatan petugas (peneliti dan penyuluh) secara lebih fleksibel. Posisi sebagai petugas fungsional dengan mengandalkan modal pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya sesungguhnya sudah cukup.

Di daerah, berbagai pihak yang meliputi Balitbangda, DRD dan Komisi Teknologi; sesungguhnya merupakan “lembaga nonstruktural” yang bekerjasama berdasarkan atas konsep pelayanan profesionalnya atau dapat disebut sebagai “aktor-aktor fungsional”. Posisi dan perannya bergantung kepada layanan yang ditawarkan karena ilmu dan teknologi yang dimiliki masing-masing, bukan pada kedudukan setrukturalnya yang berjenjang. Prinsip kesetaraan dan kefungsian merupakan basis berlangsungnya nya sistem inovasi. Bahkan petani sekalipun diposisikan sederajat, dan dihargai sama misalnya bila memberikan teknologi yang secara teknis kelimuan dianggap lebih baik.

Konsep lama “penyuluhan pertanian” atau pun konsep baru “Sistem inovasi” belum dapat dipalikasikan secara penuh di BPTP. Posisi struktural sebagai eselon IIIB di bawah Badan Litbang Pertanian dan Kementerian Pertanian, sedikit banyak mengganggu pencapaian program pengkajian dan diseminasi serta REL yang telah disusun BPTP.

Jika bermaksud menerapkan perspektif konsep sistem inovasi, dimana lembaga penelitian bukan menjadi satu-satunya sumber inovasi, dibutuhkan sikap yang demokratis dan kesetaraan antar aktor. BPTP dituntut tidak hanya mendiseminasikan teknologi, namun juga sebagai fasilitator dalam penggalian kebutuhan teknologi, sekaligus sebagai sebagai penghubung antar aktor. Di lingkungan pemerintah, dimana eselon menjadi pedoman dan etika berkomunikasi, maka posisi eselon BPP yang “rendah” cukup menjadi kendala. Pemikiran untuk meningkatkan eselon BPTP sudah ada sejak lama.

Berbagai pihak mengakui bahwa eselon yang “rendah” memang menjadi salah satu persoalan dalam relasi dengan SKPD di daerah. Jika eselon BPTP akan ditingkatkan, maka perlu perubahan pada kedudukan serta tugas dan fungsi BPTP sekaligus BBP2TP. Kedudukan BBP2TP dapat berupa penyempurnaan atau penyesuaian karena perubahan Tupoksi BPTP, atau bahkan dapat ditingkatkan menjadi Unit Kerja setingkat eselon IIa, yaitu sebagai “Pusat”.

Sementara, berkenaan dengan mekanisme operasional, sesuai dengan Permen PAN No. PER/18/M.PAN/11/2008, prosedur pengubahan struktur organisasi dan peningkatan eselon harus dilaksanakan secara berjenjang yang membutuhkan beberapa langkah di

66

antaranya adalah penyusunan Naskah Akademis, rekomendasi dari Kepala Daerah, dan pengusulan ke Menpan RB.

Dalam kondisi transisi kelembagaan penyuluhan di daerah, dimana kondisinya masih lemah, BPTP perlu mengambil peran yang lebih penting dalam mengawal implementasi UU No. 16 tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan Dan Kehutanan. Dari sisi SDM, perlu rioritas untuk peningkatan dan keseimbangan jumlah dan kualitas penyuluh di BPTP. Permentan yang baru berkenaan dengan Tupoksi BPTP telah memberikan tambahan untuk tugas “diseminasi”.

Khusus untuk relasi ke “atas”, dalam upaya mendorong sinergi BPTP dengan kegiatan lembaga penelitian di atasnya (Puslit dan Balit penelitian), perlu saluran dan kontinyuitas komunikasi yang intensif dan terstruktur. Balit dan BPTP perlu meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi pelaksanaan masing-masing secara lebih terstruktur.

4.3.2. Solusi Manajerial: redefinisi Tupoksi, komunikasi dan koordinasi horizontal di