Penelitian ini menggunakan pendekatan komunikasi identitas budaya interpretif dengan teori negosiasi identitas untuk melihat indikator
115
identitas budaya apa saja yang terlihat, serta faktor-faktor apa yang memberikan dampak pada komunikasi harmoni antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu). Indikator identitas budaya terseput meliputi: (1) pernyataan dan anggapan; (2) mode ekspresi; (3) identitas individu, relasional dan komunal; serta (4) aspek identitas yang abadi dan berubah. Penelitian ini akan berfokus pada bagaimana proses negosiasi identitas yang terjadi antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dengan penduduk asli (Bali-Hindu), unsur-unsur identitas apa yang dilibatkan, serta faktor-faktor identitas apa yang dapat merujuk pada hasil negosiasi identitas yang memuaskan seperti perasaan dipahami, dihormati, dan dihargai secara afirmatif. SM mengungkapkan, adanya proses panjang sehingga tercipta nuansa kehidupan yang harmoni di antara kedua kelompok masyarakat beda etnis yang tinggal dalam satu lingkungan yang sama ini.
SM menambahkan, jika menengok kembali ke belakang, sebelum era sekarang, ada kecanggungan dalam mengungkap identitas diri sebagai seorang Muslim. Hal ini terjadi karena minimnya oengetahuan masyarakat tentang keanekaragaman dan banyaknya stereotip yang beredar di masyarakat. Tempat ibadah seperti, masjid, mushola, ataupun langgar juga belum banyak ditemukan di penjuru Pulau Dewata ini karena memang minimnya penduduk Muslim yang tinggal disini. Perbedaannya dengan sekarang, identitas diri sebagai seorang Muslim mudah dikenali karena anak-anak, remaja, ibu-ibu, serta lansia pun sudah banyak yang berhijab, jadi penduduk asli lebih mudah mengenali penduduk pendatang sebagai muslim. Masjid, mushola atau tempat sholat di tempat-tempat umum pun mulai mudah ditemui, begitu juga dengan warung-warung yang sudah berlabel halal. Di sisi lain, bilik usaha atau warung-warung penduduk asli (Bali-Hindu) juga sudah dilengkapi dengan label sukla. Hal ini memudahkan penduduk sekitar dalam memilah dan memilih makanan sesuai dengan kebutuhan masing-masing.
116
Langgengnya hubungan bermasyarakat penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dan penduduk asli (Bali-Hindu) merupakan hasil dari pertemuan rutin antar opinion leader dari masing-masing kelompok yang tergabung dalam Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB.
Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat dijelaskan bahwa Forum Kerukunan Umat Beragama, yang selanjutnya disingkat FKUB, adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana FKUB itu berada. FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kotadibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Keanggotaan FKUB terdiri atas pemuka-pemuka agama setempat. Jumlah anggota FKUB provinsi paling banyak 21 orang dan jumlah anggota FKUB, kabupaten/kota paling banyak 17 orang.
FKUB dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua, 2 (dua) orang wakil ketua, 1(satu) orang sekretaris, 1 (satu) orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh anggota (kemenag.go.id).
Di Indonesia terdapat 3 konsep kerukunan umat beragama yang dinamakan “Tri Kerukunan Umat Beragama” sebagai berikut: (1) kerukunan intern umat beragama yaitu kerukunan yang terjalin antar masyarakat penganut agama; (2) kerukunan antar umat beragama yaitu kerukunan yang terjalin antar masyarakat yang memeluk agama yang berbeda, dan (3) kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah yaitu bentuk kerukunan semua umat-umat beragama dengan pemerintah. Oleh karena itu, semua umat beragama wajib saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain.
117
SM sebagai pemuka agama dari kelompok penduduk pendatang (Jawa-Muslim), mengungkapkan bahwa dalam setiap pertemuan yang dilakukan oleh FKUB selalu membahas isu-isu terkini, khususnya yang menyangkut keberadaan dua kelompok beda budaya di Dusun Wanasari dan sekitarnya. Pertemuan rutin yang dilakukan setiap satu bulan sekali ini juga membangun kedekatan antara kelompok penduduk pendatang dan penduduk asli, sehingga jika terdapat isu di masyarakat yang mungkin menyebabkan perpecahan dapat diakomodasikan oleh antar opinion leader untuk selanjutnya disampaikan pada anggota kelompoknya sehingga tidak sampai menimbulkan konflik secara aktual. SM juga memaparkan hal lain yang dapat dinegosiasikan bersama, yaitu berkenaan dengan waktu beribadah di antara dua kelompok masyarakat beda budaya ini. Sebagai seorang Muslim yang memiliki kewajiban shalat 5 waktu, tentu membutuhkan dispensasi waktu untuk melaksanakan kewajiban tersebut di tengah-tengah kegiatan yang sedang berlangsung baik secara formal maupun non-formal. SM mengungkapkan jika dirinya serta umat Muslim lain dalam forum akan diberikan jeda waktu untuk melaksanakan kewajiban beribadah tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan pendekatan behavioris yang dikemukakan oleh Swann dan Bosson (2008) yang menekankan peran faktor lingkungan dan situasional dalam membentuk kecenderungan perilaku. Berbagai pendekatan behavioris memiliki perbedaan dalam perhatian yang mereka curahkan untuk proses internal seperti endowmen genetik, dorongan dasar, dan kognisi. Namun, mereka berbagi asumsi bahwa sebagian besar perilaku berada di bawah kendali lingkungan eksternal. Dengan demikian, untuk memahami perilaku yang stabil, perspektif ini menunjukkan bahwa seseorang harus melihat pada sejarah individu tertentu tentang reaksi yang terkondisi, tertekan, dan reaksi saat dihukum (Swann&Bosson, 2008).
Hal yang disampaikan SM juga selaras dengan berita yang diungkap oleh kominfo.go.id bahwa FKUB juga memiliki peran strategis
118
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.
FKUB menjadi sebuah wadah resolusi konflik yang efektif dan dipercaya oleh masyarakat. Harapan besar yang ditujukan pada FKUB adalah untuk memelihara dan merawat kerukunan beragama yang diwujudkan dalam tugasnya yaitu melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, menampung aspirasi ormas (organisasi massa) keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan gubernur, dan melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. FKUB dan para tokoh agama juga diharapkan mampu menjadi jembatan strategis bagi umat untuk menggerakkan moderasi beragama, baik dalam keyakinan dan pemahaman keagamaan maupun tindakan konkret dalam melakukan pencegahan, mediasi, dan penyelesaian konflik antar umat beragama. Para tokoh agama memiliki peran strategis bagi umat dalam menggerakkan moderasi beragama untuk mewujudkan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Oleh sebab itu, tugas penguatan kerukunan umat beragama di samping dilakukan oleh pemerintah, juga harus dilakukan oleh para tokoh agama.
Selain itu, tolerasi beribadah yang terjadi di antara penduduk Dusun Wanasari dan sekitarnya ini juga sesuai dengan asumsi teoritis Ting-Toomey mengenai negosiasi identitas, yaitu “Proses negosiasi identitas yang kompeten menekankan pentingnya integrasi, diperlukan pengetahuan berbasis identitas antarbudaya, perhatian, dan keterampilan interaksi untuk berkomunikasi secara tepat, efektif, dan adaptif dengan orang lain secara budaya berbeda”. Pernyataan SM tersebut menunjukkan adanya pengetahuan berbasis identitas antarbudaya yang dimiliki kedua kelompok masyarakat ini. Pengetahuan adalah fakta, kebenaran atau informasi yang diperoleh melalui pengalaman atau pembelajaran disebut posteriori, atau melalui introspeksi diebut priori.
119
Pengetahuan adalah informasi yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan juga diartikan berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan akal. Pengetahuan terlihat pada saat seseorang menggunakan akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Maier, 2007). Berdasarkan pengetahuan inilah penduduk pendatang dan penduduk asli dapat memupuk toleransi dalam hal pelaksanaan ibadah wajib di antara keduanya.
Dalam tradisi teori verifikasi diri, Swann dan Bosson mengasumsikan bahwa identitas orang (terutama pandangan diri mereka yang stabil) memandu pilihan mereka atas pola dan situasi sosial, tujuan hubungan yang mereka kejar dalam interaksi sosial, dan interpretasi mereka terhadap reaksi umpan balik yang mereka dapatkan serta mereka terima. Dalam tradisi pendekatan interaksionis simbolik dan teori ekspektasi, kami mengasumsikan bahwa reaksi orang lain terhadap diri sendiri memberikan pengaruh yang kuat pada identitas orang, baik dalam jangka pendek maupun lebih permanen (Swann&Bosson, 2008). Terkait hal tersebut, SM memaparkan jika kebiasaan Jumat Berkah oleh umat Muslim dapat dinegosiasikan oleh penduduk asli (Bali-Hindu). SM mengaku jika dirinya kerap diberikan titipan “Jumat Berkah” baik berupa uang tunai, makanan, maupun barang-barang lainnya yang berasal dari penduduk asli yang notabene adalah seorang Hindu. “Jumat Berkah”
adalah kegiatan sedekah atau pemberian sukarela yang dilakukan seseorang kepada orang lain, bisa berupa apa saja, sedikit atau banyak, utamanya untuk fakir miskin yang dilakukan khususnya ketika Hari Jumat. Hari Jumat dipilih oleh umat Muslim berdasarkan Hadist Riwayat Imam Syafi’I yang berbunyi, “Perbanyaklah bersedekah sebagai amalan hari Jumat. Sedekah bisa berupa uang, makanan, atau lainnya. Jangan takut uang menjadi habis jika bersedekah. Karena Allah akan melipatgandakan pahala sedekah. Bahkan Allah akan menambah rezeki
120
jika kita bersedekah. Nabi bersabda, ‘Dan di hari Jumat pahala bersedekah dilipatgandakan”.
SM menambahkan, penduduk asli yang ingin berpartisipasi dalam kegiatan “Jumat Berkah” ini mengaku tergerak hatinya karena merasa jika berbagi itu adalah hal mulia, bertujuan baik, sehingga ia percaya jika dengan berpartisipasi dalam Jumat Berkah maka kehidupannya juga akan dilancarkan oleh Tuhan. Hal tersebut menunjukkan adanya tujuan hubungan yang dikejar oleh dua kelompok masyarakat berbeda budaya ini dalam interaksi sosial, dan interpretasi mereka terhadap reaksi umpan balik yang mereka dapatkan serta mereka terima satu sama lain. Tujuan kebaikan antar sesama umat manusia menjadi alasan utamanya.
Selanjutnya, hal lain yang negosiasikan adalah pakaian adat. Bapak RM yang merupakan guru sekolah dasar negeri di lingkungan Dusun Wanasari mengungkapkan bahwa siswa di sekolah dasar tempatnya mengajar menjalankan peraturan yang telah didtetapkan oleh pemerintah Provinsi Bali, yaitu mengenakan pakaian adat Bali setiap hari Kamis tanpa memandang suku, agama, ras, dan antargolongan. Penggunaan pakaian adat setiap hari Kamis pada jam kerja tidak hanya diperuntukkan bagi siswa sekolah dasar saja, melainkan diterapkan pada seluruh instansi baik negeri maupun swasta di seluruh penjuru Provinsi Bali. Hal tersebut telah diatur dalam Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 tentang Hari Penggunaan Busana Adat Bali yang menuliskan bahwa busana adat ini wajib dilakukan setiap Kamis, hari Purnama, hari Tilem, dan hari jadi Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selain peraturan mengenai penggunaan pakaian adat, terdapat juga peraturan Gubernur yang menyebutkan adanya Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali Secara Serentak di Seluruh Bali yang tertulis pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 79 Tahun 2018 (jdihn.go.id).
RM menambahkan, baik penduduk pendatang, maupun penduduk asli dengan antusias dan tertib menerapkan Peraturan gubernur tersebut. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan budaya yang dapat dinegosiasikan di
121
antara kedua kelompok budaya tersebut. Hal yang diungkapkan RM juga selaras dengan artikel milik Kompas.com yang menyebutkan bahwa dalam budaya, umat Islam Bali telah "berbaur" dengan budaya setempat, terlihat dari lembaga adat yang tumbuh di masyarakat muslim Bali sama dengan lembaga adat masyarakat Bali Hindu.
Hal yang diungkapkan RM mengenai penggunaan atribut budaya setempat pada hari-hari tertentu ini selaras dengan asumsi teoritis negosiasi identitas Ting Toomey (2005), yaitu “Dinamika inti identitas keanggotaan kelompok seseorang (misalnya, Budaya dan keanggotaan etnis) dan identitas pribadi (misalnya, atribut unik) dibentuk melalui komunikasi simbolik dengan orang lain”. Maksudnya dalam hal ini atribut dilibatkan untuk membentuk komunikasi simbolik yang terjadi di seluruh penjuru Pulau Dewata, khususnya juga di Dusun Wanasari dan sekitarnya.
Asumsi lain mengatakan bahwa “Individu cenderung merasa nyaman berkenaan dengan keamanan identitas saat berada di lingkungan budaya yang akrab dan menjadi emosional dalam kerentanan identitas saat berada di lingkungan budaya yang tidak dikenal”. Asumsi tersebut terelakkan dengan terlaksananya penggunaan busana adat Bali pada hari-hari tertentu tanpa penolakan dari penduduk pendatang. Meski berada pada budaya yang berbeda, penduduk pendatang tidak merasakan kerentanan identitas budayanya dengan tetap mematuhi peraturan pemerintah untuk mengenakan busana adat Bali sesuai yang tercantum pada Pergub Bali No.79 Tahun 2018.
Selain Peraturan Gubernur secara tertulis, masyarakat di Dusun Wanasari dan sekitarnya juga memiliki tradisi berkaitan dengan busana adat yang telah dinegosiasikan satu sama lain, yaitu penggunaan pakaian adat saat memenuhi undangan upacara adat dari kerabat, baik penduduk asli (Bali-Hindu) maupun penduduk pendatang (Jawa-Muslim). Jika penduduk asli (Bali-Hindu) sedang menyelenggarakan upacara adat seperti pernikahan, pemakaman, syukuran rumah baru, dan lain sebagainya, dan penduduk pendatang (Jawa-Muslim) mendapat undangan
122
untuk berkunjung, maka sebagai tamu yang menghormati tuan rumahnya, penduduk pendatang kerap datang memenuhi undangan dengan mengenakan pakaian adat Bali sederhana yaitu mengenakan kebaya untuk perempuan / kemeja untuk laki-laki dan kamen atau kain untuk bawahannya. Berbeda dengan sebaliknya, jika penduduk pendatang yang memiliki hajat besar, penduduk asli kerap datang tetap dengan menggunakan pakaian adat Bali untuk menunjukkan identitasnya. Hal tersebut telah menunjukkan adanya kegiatan presentasi diri seperti yang dikemukakan oleh Swan&Bosson (2008) karena kedua kelompok penduduk telah melakukan kumpulan taktik perilaku yang dirancang untuk mencapai berbagai tujuan interaksional. Saling memberi dan menerima yang terjadi antara penduduk asli dan penduduk pendatang, berarti proses negosiasi identitas adalah fenomena yang secara fundamental bersifat interaksionis. Seperti halnya pendekatan interaksionis lainnya, proses negosiasi identitas menggabungkan dua tema yang bersaing yang mendominasi psikologi yaitu behaviorisme dan teori kepribadian.
Kehidupan sehari-hari penduduk asli (Bali-Hindu) dan penduduk pendatang (Jawa-Muslim) didasari dengan budaya serta karakter yang berbeda. Perbedaan budaya, perbedaan karakter, perbedaan kebiasaan, serta perbedaan Bahasa ini dapat menjadi potensi munculnya kesalahpahaman-kesalahpahaman. Penduduk asli (Bali-Hindu) yang memiliki banyak kegiatan-kegiatan agama yang juga bernuansa budaya kerap mengikutsertakan penduduk pendatang untuk ngayah atau gotong royong pada kegiatan-kegiatan tertentu seperti upacara pernikahan atau kematian. Tentu saja kegiatan yang diambil tidak mengikutsertakan penduduk pendatang dengan ritual agama, hanya sekedar membantu menyiapkan makanan, atau lokasi kegiatan. Hal tersebut tentu saja membutuhkan adaptasi dari penduduk pendatang agar dapat mengikuti kebiasaan-kebiasaan penduduk asli sehingga tercipta kehidupan yang harmoni.
123
Teori negosiasi identitas memiliki komponen ketrerampilan yang menunjukkan bagaimana negosiasi itu terjadi. Keterampilan adalah kemampuan operasional yang aktual untuk melakukan tindakan atau perilaku yang dianggap sesuai dan efektif dalam menghadapi situasi budaya tertentu. Keterampilan-keterampilan tersebut diantaranya keterampilan interaksi adaptif, keterampilan pengamatan yang penuh perhatian, keterampilan mendengarkan yang penuh perhatian, keterampilan empati verbal, keterampilan sensitivitas nonverbal, serta keterampilan kompetensi lintas budaya. Salah satu praktek keterampilan tersebut yang terjadi di antara penduduk pendatang (Jawa-Muslim) dan penduduk asli (Hindu-Bali) adalah adanya keterampilan empati verbal dan sensitivitas non verbal karena keduanya telah menegosiasikan waktu beribadah yang berbeda. Sehingga kewajiban manusia dengan Tuhannya dapat dipenuhi baik dari kelompok masyarakat Muslim maupun Hindu.
PJ sebagai penduduk asli mengungkapkan, negosiasi waktu beribadah di antara keduanya ditunjukkan dengan diperbolehkannya kumandang adzan melalui speaker luar Masjid Baiturrahman, begitu juga dengan Puja Tri Sandya dari Pura setempat. Pernyataan PJ tersebut menunjukkan adanya keterampilan yang melibatkan pendengaran yang responsif, penglihatan yang aktual, dan hati yang terfokus pada bunyi, nada, gerakan, nuansa nonverbal, penjedaan, keheningan, serta memaknai identitas melalui perspektif pembingkaian identitas dari pihak lain.
Keterampilan-keterampilan tersebut kemudian membantu efektivitas proses negosiasi identitas di antara budaya yang berbeda (Ting-Toomey, 2005). Meski demikian, PJ juga mengungkapkan bahwa masih ada oknum yang belum dapat menerapkan keterampilan-keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari hari, yang diduga karena kurangnya pemahaman mengenai konsep toleransi.
Seperti yang dilansir laman berita online, lokasi berdirinya masjid Baitur Rahmah dulunya merupakan pemberian dari Raja Pemecutan, yang melihat perkembangan Islam di Kampung Jawa Denpasar semakin pesat,
124
tapi tempat ibadahnya masih kecil. Sebelum dibangun menjadi masjid, lokasi tersebut merupakan tempat angker dengan pura Pelinggih kecil.
Akhirnya pura tersebut dipindahkan atas perintah Raja Pemecutan.
Toleransi beragama di “Kampung Jawa” Denpasar ini sudah berlangsung sejak zaman dulu. Raja Pemecutan yang beragama Hindu mengajarkan masyarakatnya untuk bisa hidup rukun dengan kepercayaan masing-masing. Hingga saat ini, umat Islam di “Kampung Jawa” Denpasar tetap bisa mengumandangkan azan tiap waktu salat, sementara saat Hari Raya Nyepi mereka bisa menyesuaiakan dengan kondisi Umat Hindu (hipwee.com).
Hal-hal berkenaan dengan pembangunan tempat-tempat lbadah di wilayah Provinsi Bali harus mendapat ijin tertulis dari Gubernur Bali (Pura, Mesjid, Mushola, Langgar, Surau, Gereja, Kapela, Pos Pelayanan lman, Wihara, Cetiya, Arama). Ijin tersebut dapat diperoleh dengan memenuhi beberapa persyaratan yang telah diatur dalam Keputusan Gubernur Bali Nomor 33 Tahun 2003, yaitu:
a. Persetujuan Lingkungan. Dusun/Banjar Dinas dan Banjar Adat/Pekraman melalui rapat/paruman dimana akan dibangun Tempat Ibadah.
b. Persetujuan Desa Pakraman melalui rapat/paruman di wilayah atau lokasi akan dibangun Tempat Ibadah;
c. Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah setempat mengenai lokasi tanah yang akan dibangun benar ada dalam wilayahnya.
d. Daftar jumlah umum yang akan menggunakan tempat ibadah yang berdomisili ditempat itu (Desa/Lurah) yaitu sekurang-kurangnya 100 (seratus) KK.
e. Surat Keterangan tentang status tanah dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat.
f. Peta situasi dati Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/Kota setempat g. Rencana gambar bangunan yang disahkan oleh Kepala Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten/Kota setempat:
125
h. Ijin Mendirikan Bangunan dari Bupati/Walikota setempat Cq.Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/Kota setempat:
i. Daftar Susunan Pengurus/Panitia Pembangunan Tempat Ibadah tersebut:
j. Rekomendasi dari Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten setempat:
k. Rekomendasi dari Bupati/Walikota setempat.
l. Dalam mewujudkan pembangunan Tempat Ibadah harus
menyesuaikan dengan citi-ciri khas dati bentuk bangunan Tempat Ibadah masing-masing agama.
Persamaan perlakuan dalam pembangunan tempat ibadah tersebut juga merupakan bagian dari toleransi beragama. Toleransi beragama adalah sikap menghormati, menghargai terhadap kepercayaan atau agama yang berbeda dan tidak mencampuri urusan masing-masing dalam rangka membangun kehidupan bersama serta hubungan sosial yang lebih baik.
Toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang telah mempunyai keyakinan kemudian berpindah atau merubah keyakinannya untuk mengikuti dan berbaur dengan keyakinan atau peribadatan agama-agama lainnya (sinkretisme); tidak pula dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama/ kepercayaan; melainkan bahwa ia tetap pada suatu keyakinan yang diyakini kebenarannya, serta memandang benar keyakinan orang lain, sehingga dalam dirinya terdapat kebenaran yang diyakininya sendiri menurut suara hatinya sendiri yang tidak diperoleh atas dasar paksaan orang lain atau diperoleh dari pemberian orang lain.
Kerukunan antara umat Hindu dan umat Islam di “Kampung Jawa Denpasar” merupakan simbul toleransi antar umat beragama di Bali.
Tanpa retorika dan basa basi mereka mengimplementasikan makna kerukunan tersebut dalam kehidupan sehari hari (ngopibareng.com)
Namun, hal tersebut dinilai mempengaruhi kehidupan penduduk pendatang dan penduduk asli yang telah terjalin dengan harmonis. Kedua kelompok masyarakat ini berhasil memanajemen makna identitas bersama
126
sehingga tujuan identitas yang diinginkan dapat tercapai. Proses yang membutuhkan kriteria kompetensi komunikasi (sasaran pencapaian melalui interaksi yang sesuai), seperti adanya ketepatan dan efektivitas telah dilakukan sehingga proses negosiasi identitas dapat dipenuhi.
Kompetensi ketepatan merupakan kemampuan melihat sejauh mana perilaku dianggap tepat dan sesuai dengan harapan yang dihasilkan oleh budaya. Sedangkan efektivitas adalah sejauh mana komunikator dapat mencapai makna bersama dan hasil yang diinginkan dalam situasi tertentu. Proses negosiasi identitas dapat dikatakan berhasil apabila pada komunikator dan komunikan menimbulkan perasaan dipahami, dimengerti dan dihargai secara afirmatif. Perasaan dipahami berkonotasi dengan suara pemahaman yang reflektif untuk pemikiran, perasaan, dan perilaku seseorang, serta berdampak pada emosional empati. Sementara itu, perasaan dihormati berarti perilaku dan praktik berbasis identitas yang diinginkan dianggap sah, kredibel, dan sejajar dengan anggota kelompok lain. Mengonotasikan pemantauan penuh perhatian dari sikap verbal dan nonverbal seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain yang berbeda.
Sedangkan perasaan dihargai secara afirmatif merupakan perasaan yang didukung secara positif dan dirangkul secara positif sebagai individu yang berharga meskipun memiliki identitas berbasis kelompok yang berbeda atau identitas yang distigmakan. Perasaan ini diekspresikan melalui pesan konfirmasi verbal dan nonverbal, dikonfirmasi melalui proses ketika individu diakui dan disahkan, serta menyampaikan penilaian positif tentang identitas diri orang lain yang bernilai (Ting-Toomey, 2005).
127 4.4 Matriks Hasil Analisis Data
Tabel 4.2 Matriks Hasil Analisis Data Keterkaitan Identitas Budaya dan Komunikasi
Identitas Budaya dan Komunikasi
Identitas Budaya Tampak
Bahasa menjadi jembatan komunikasi antar budaya. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi disesuaikan dengan komunikannya. Perasaan nyaman akan timbul apabila penduduk pendatang dan penduduk asli berkomunikasi menggunakan bahasa atau dialek kedaerahan.
Simbol keagamaan dan kebudayaan menunjukkan pengungkapan rasa hormat antar budaya. Adanya label
Simbol keagamaan dan kebudayaan menunjukkan pengungkapan rasa hormat antar budaya. Adanya label