• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

1. Identitas

a. Pembentukan Identitas Ketionghoaan di Keluarga

Sebagai warga keturunan Tionghoa di Pontianak pada umumnya, para subjek dibesarkan dengan tradisi tionghoa yang masih dijalankan di keluarga mereka, terutama oleh generasi yang lebih tua seperti orangtua atau nenek-kakek mereka. Beberapa hal seperti berbicara bahasa Tionghoa, merayakan hari raya seperti imlek, sembayang kubur, upacara pernikahan, upacara pemakaman masih dijalankan meskipun juga tidak lagi serumit dan sekental tradisi asli.

“Tradisi chinese masih. Orangtua masih menjalankan tradisi konghucu.Semacam sembayang di kelenteng setiap tanggal 1 dan 15 tahun imlek, kalender lunar.Imlek, sembayang kubur juga masih.”

(Noel, 39 – 45)

“Udah berkurang, tapi masihlah, makan bareng, terus kayaknya ada sembahyang kubur…”

(Le, 26 – 29)

“…yang termasuk tradisi apalagi ya?karena udah kebiasaan jadi ya kayak kebiasaan keluarga sih… Terus imlekan sih masih, malam imlek makan bareng keluarga, terus imleknya ke rumah saudara-saudara.”

(Le, 34 – 40)

“Ya. Dalam keluarga besarku, banyak tradisi masih dilakukan, seperti sembahyang leluhur, makan bakcang, dan serangkaian tradisi rumit kayak dalam perkawinan dan hari raya imlek.”

(Tiff, 39 – 45) Dari penuturan ketiga subjek, beberapa upacara dan tradisi tionghoa tersebut pun sudah mulai berkurang intensitasnya mulai dari generasi para subjek sendiri. Seperti yang dituturkan Noel, meskipun tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi tersebut tapi dirinya sendiri

sudah kurang menguasai dan memahami makna dari berbagai tradisi tersebut serta lebih cenderung mengarah kepada ritual agama yang dipeluknya.

“Kalau saya sendiri kurang ngerti juga soal sembayang soalnya jarang ikut hehehe… ya sebenernya pengen juga sih supaya tau, kan sebagai orang chinese minimal harus tau lah. Tapi kadang ya, makin ke sini makin jarang, ya orangtua juga membebaskan mau pegang agamanya apa.”

(Noel, 50 – 60)

“Udah berkurang, tapi masihlah, makan bareng, terus kayaknya ada sembahyang kubur walaupun 7 tahun belakangan ga serutin dulu.”

(Le, 26 – 31) Subjek Tiff mengatakan bahwa mulai berkurangnya tradisi tersebut dikarenakan beberapa hal dirasa sudah tidak relevan bahkan tidak praktis untuk kehidupan di zaman modern ini.

“Tapi dalam keluarga kecilku, cuma sebagian aja tradisi yang kami lakukan. Ya mungkin karena ada hal-hal tertentu dirasa kurang relevan lagi dengan kehidupan modern, atau ya semacam dirasa kurang praktis, kayak gitu-gitu.”

(Tiff, 45 – 52) Orangtua berperan dalam membentuk identitas dan sikap sebagai orang Tionghoa bagi para subjek. Beberapa hal yang diajarkan oleh orangtua mereka yakni watak pekerja keras dan kemampuan dalam mengelola keuangan. Noel beranggapan bahwa orang Tionghoa pada umumnya memiliki watak pekerja keras yang sekaligus menurunkan kemampuan untuk bertahan hidup di segala situasi.

“Ada. Orangtua termasuk keras dalam mendidik anak-anaknya, dan pekerja keras juga ya… aku rasa mereka itu seperti itu masih bawaan leluhur saya dari Cina haha… mungkin ya, mungkin… haha. Karena di Cina setau saya,

situasi dan kehidupan di sana keras, kayak yang ya contohnya aja aku pernah kenal sama orang Cina. Dia guruku les bahasa mandarin, dan sangat ketat kalau di kelas. Ga masuk les aja ditanyain, ketawa di kelas aja diomelin. Bahkan dia cerita bahwa dia dari dulu kalau sekolah, sakit dikit ya tetap berangkat sekolah. Kalau bisa dibandingin sama guru les lainnya yang bukan asli, bukan native itu kan beda banget. Ga ada disiplinnya juga kadang. Ya itu… mungkin aja hehe, saya punya asumsi kayak gitu. Jadi banyak orang Cina bisa survive di mana-mana karena mereka mampu menghadapi persaingan yang keras. Ohya tapi soal dagang sih jujur saya ga jago haha.Soalnya bukan keluarga pedagang. Dan mm… apa ya… soal cina itu pelit, engga banget, itu salah… kalau aku bilang cina itu memang ada yang pelit, bahkan sama keluarganya sendiri aja pelit. Tapi orangtuaku engga pernah ngajarin pelit, Cuma lebih berhati-hati dalam membuat pengeluaran, begitu. Terus… apa lagi ya… ohya, soal bahasa chinese, jujur juga aku ga gitu sering ngomong bahasa chinese, dari kecil aku ga ngomong bahasa chinese selalu pake bahasa Indonesia kalau ngomong dengan siapapun. Kan ingat kata bu guru waktu masih kecil, gunakan bahasa Indonesia di tempat umum. Hehe…

(Noel, 608 – 663) Le diajarkan tentang nilai budaya Tionghoa dari orangtuanya dan juga prinsip berwirausaha.

“Diajarkan mengenai budaya sebagai etnis ya, misalkan tradisi imlek atau sembahyang kubur, lalu tata krama dan semacamnya juga mengenai ujung-ujung harus dagang, jangan mau kerja sama orang”

(Le, 468 – 475) Sedangkan Tiff meskipun juga tidak lepas dari pengaruh orangtuanya dalam mengembangkan identitasnya sebagai orang Tionghoa, ia lebih banyak belajar dari pengalamannya berorganisasi bersama dengan para tokoh dan pemuda-pemudi Tionghoa selama di Pontianak.

“Ya, tetapi gak terlalu. Aku lebih banyak belajar tentang identitas sebagai orang Tionghoa lewat kegiatan organisasi kepemudaan Tionghoa.”

(Tiff, 430 – 434) Selain itu, ketiga subjek mengakui bahwa masih ada pandangan generasi tua, baik orangtua maupun kakek-nenek mereka, bahwa tionghoa lebih baik daripada pribumi. Hal ini sedikit banyak dapat mempengaruhi generasi yang lebih muda sehingga menurunkan pola pikir yang sama dengan generasi tua.

“Bagi mereka tu Chinese lebih baik daripada pribumi. Chinese itu punya masa depan yang prospektif daripada pribumi, chinese itu pinter ngelola uang kalau pribumi tu ya biasanya karena ga pinter dagang atau make uang. Misalnya punya uang dikit terus langsung dihabisin atau dipake untuk apa, gitu, ngga diinvestasiin dulu. Ya sampe sekarang juga gitu… masih sering ngomong begitu.”

(Noel, 679 – 692)

“Masih, orangtua saya, terutama kakek dan nenek masih cenderung rasis dan membedakan. Yah, seperti membahas kekurangcerdasan pribumi.”

(Le, 487 – 492)

“Ya, sebagaimana orang Tionghoa pada umumnya, mereka juga memiliki paradigma tertentu mengenai orang pribumi.”

(Tiff, 450 – 454) b. Pandangan Terhadap In-Group

Para subjek umumnya menilai orang Tionghoa sendiri secara objektif, yakni secara seimbang dari sisi baik dan buruknya. Tiff menilai ada hal positif dari masyarakat Tionghoa Pontianak yakni adanya solidaritas dalam kelompok mereka. Hal ini ditunjukkan umumnya lewat berbagai acara besar seperti dalam penyelenggaraan pawai imlek dan capgomeh.

“Tapi, secara umum, ada kekuatan-kekuatan, persatuan, ada kebersamaan yang bisa ditemukan ya dalam masyarakat Tionghoa, contohnya kayak bahu-membahu dalam acara besar, dan.. ya itu sih.”

(Tiff, 360 – 367) Dari sisi negatif subjek menilai Tionghoa di Pontianak masih eksklusif dan punya prasangka negatif kuat terhadap pribumi. Selain itu ada pula kecenderungan untuk meninggikan derajatnya lebih daripada etnis lain, khususnya dalam hal material dan ekonomi.

“Secara objektif memang terkadang orang tionghoa itu ada sifat suka sombong, menyombongkan diri, biasanya dari segi materiil. Ya, terlalu menonjolkan kekayaan semacam itu. Dan kalau dibilang kurang percaya dengan orang pribumi, iya.”

(Noel, 351 – 359)

“Eksklusif dan kurang mau membaur. Masih berprasangka negatif terhadap pribumi secara general.”

(Le, 334 – 337)

“Yah, terlahir di keluarga Tionghoa, ga bisa menutupi fakta juga bahwa di kalangan orang tionghoa sendiri, ada pandangan-pandangan tertentu yang melecehkan atau merendahkan orang pribumi pula…”

(Tiff, 242 – 249)

“Seperti yang aku katakan tadi, secara umum keliatannya rukun, harmonis, tapi di baliknya itu ada rasa benci, iri, perasaan negatif lainnya antar etnis dan agama ya...”

(Tiff, 355 – 360)

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 73-77)

Dokumen terkait