• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

C. Hasil Penelitian

2. Relasi

a. Lingkungan Tempat Tinggal

Para subjek dibesarkan dan tinggal di daerah yang para pemukimnya saling berbaur antara etnis Tionghoa dan Pribumi. Hal ini

menunjukkan bahwa dalam situasi sehari-hari di tempat tinggal mereka mereka cukup familiar dengan warga Pribumi.

“Di masyarakat, seperti misalnya di daerah tempat tinggal saya, memang etnis tionghoa dan pribumi tinggal berdekatan ya.”

(Noel, 123 – 27)

“Selain itu, keluarga saya memiliki toko dan kebanyakan karyawannya adalah pribumi.”

(Le, 261 – 264)

“Di lingkungan sekitar rumah saya, yang mendominasi adalah orang Melayu dan orang Tionghoa.”

(Tiff, 67 – 70)

Di sekitar tempat tinggalnya subjek Noel termasuk jarang berinteraksi dengan tetangga di sekitar pemukimannya, terutama warga pribumi.

‘Tetangga sih kalau aku sendiri jarang, hehe… tapi mama atau papa itu masih ada, beberapa yang mereka kenal, karena mereka kan udah lama tinggal di situ, ada yang mereka udah kenal lama jadi masih nyapa, ngobrol-ngobrol… soalnya sering juga kan kalau suka jalan-jalan misalnya kayak ke pasar, atau jalan-jalan sore, ketemu ibu yang ini bapak yang itu ya nyapa”

(Noel, 529 – 542) Subjek Le dan Tiff beserta keluarga mereka masing-masing memiliki komunikasi yang cukup baik dengan warga pribumi di sekitar tempat tinggal mereka sehingga hal ini semakin menambah interaksi mereka dengan warga sekitar.

“masih menjalin hubungan baik dengan keluarga kami, walaupun tidak semua demikian. Akan tetapi itu cukup bagi saya bahwa tanpa ikatan pekerjaan pun mereka mau bergaul dengan etnis yang berbeda. Terkadang mereka mengantarkan

kue atau makanan lain bahkan saat mereka sudah tidak bekerja di tempat kami lagi.”

(Le, 269 – 280)

“Kalau dengan tetangga, kami hidup sangat rukun kok.”

(Tiff, 70 – 72) Meskipun tinggal di pemukiman di mana antara warga tionghoa dan pribumi saling berdekatan dan ada komunikasi, salah satu subjek mengaku masih ada rasa tidak suka terhadap warga pribumi walaupun tidak ditunjukkan terang-terangan. Bagi Noel kepercayaan orang Tionghoa lebih besar pada sesama orang Tionghoa sendiri.

“Tapi kalau dipikir-pikir ya dibilang akur ya akur, dibilang akur sekali ya gak juga.Sebagai tetangga kami ya basa basi, tapi ya jeleknya kami juga ada rasa gak percaya. Istilahnya ya, gini… orang tionghoa ya tetap lebih percaya dengan sesama tionghoa dibandingkan dengan orang pribumi, meskipun di sehari-hari kami biasa-biasa aja. Mungkin karena perbedaan itu ya. Saya kurang paham juga.”

(Noel, 127 – 141) Subjek Tiff menambahkan bahwa di sekitar lingkungan tempat tinggalnya etnis Tionghoa dan pribumi memiliki kemampuan ekonomi yang setara, yakni ekonomi menengah ke atas.

“Ya secara umum sih, tetangga-tetangga itu orang-orang yang secara ekonomi bisa dibilang menengah ke atas.”

(Tiff, 72 – 75) b. Lingkungan Masyarakat Pontianak

Warga di kota Pontianak terdiri dari berbagai macam etnis. Beberapa di antaranya adalah suku lokal seperti Melayu dan Dayak sedangkan selain itu adalah suku-suku pendatang seperti Tionghoa,

Jawa, Batak, Bugis, Madura. Suku yang disebut-sebut mendominasi di masyakat adalah Melayu.

“komposisi penduduknya kalau di Pontianak itu banyak suku melayu, dayak, jawa, batak beberapa juga ada, Tionghoa, Madura juga. Kalau Tionghoa biasanya berdagang, cukup banyak ya di Pontianak. Jawa paling banyak berprofesi sebagai guru. Orang Madura biasanya supir angkot, oplet semacam itu, atau banyak juga biasanya sebagai pedagang sayur dan buah di pasar. Kalau melayu sepertinya banyak bekerja jadi pejabat di pemerintahan. Sedangkan, Dayak sepertinya juga banyak yang di pemerintahan.”

(Noel, 66 – 84)

“yang utama Melayu, mungkin 50% atau lebih,terus tionghoa, dayak, baru suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Madura dan lainnya. Kalau sekolahan biasa suku lain-lain seperti tionghoa, dayak dan jawa di sekolah swasta. Sekolah negeri kebanyakan terdiri dari suku melayu tetapi sekolah seperti SMK lebih tercampur. Beberapa tahun ini sudah banyak dari suku melayu yang di sekolah swasta juga.”

(Le, 53 – 66)

“Sejujurnya saya kurang tahu ya, tapi secara umum tiga suku dominan itu Melayu, Dayak, dan Tionghoa. Yang pasti jumlah orang Melayu paling banyak.”

(Tiff, 57 – 62) Interaksi antara warga Tionghoa dan pribumi sehari-hari pada umumnya terjadi di lingkungan sekolah, urusan dagang, dan birokrasi. Sedangkan hal-hal lainnya seperti urusan politik dan festival kebudayaan juga menjadi ruang sosial terjadi interaksi antara kedua etnis meskipun frekuensinya lebih minim.

“Ya… pernah. Tapi paling sering dengan teman-teman di sekolah.”

(Noel, 234 – 236)

“Seringnya sih… dalam hal dagang, maksudnya jual beli. Terus, birokrasi, urusan surat surat penting itu.”

“Urusan dagang maupun hubungan dengan pemerintahan ya saya rasa. Pedagang besar umumnya tionghoa, pedagang kecil maupun yang bekerja di pemerintahan umumnya dari pribumi walaupun tidak selalu demikian.”

(Le, 105 – 112)

“Biasanya dalam perdagangan, atau juga festival-festival yang diadakan bersama… terus... semacam acara politik dan organisasi tertentu, gitu aja sih... Sisanya, sepertinya dan sepengetahuanku juga sangat jarang.”

(Tiff, 186 – 193) Minimnya interaksi antara kedua etnis di kehidupan sehari-hari menjadikan hubungan antara keduanya rawan akan konflik. Tampak dari penuturan salah satu subjek di atas yang menyatakan bahwa di luar urusan dagang, pertemanan di sekolah, dan sebagainya, kedua kelompok tersebut jarang melakukan interaksi sebagaimana halnya warga yang tinggal berdekatan di masyarakat.

“Seingat saya pernah ada beberapa kejadian. Jadi saat itu perayaan capgomeh biasanya di kota saya ada arak-arakan naga yang dimainkan di jalan-jalan protokol. Pada saat itu entah kenapa ada larangan mungkin dari pemerintah, semacam larangan bahwa naga itu cuma boleh dimainkan di dalam lapangan PSP, semacam stadion untuk pertandingan sepak bola”

(Noel, 168 – 181)

“Waktu itu saya tidak di Pontianak dan hanya mengikuti dari forum maupun website Kompas dan TV. Tapi yang saya tahu adalah ketika itu ada arak-arakan pawai naga yang berpapasan dengan rombongan warga yang merayakan maulid nabi, lalu entah bagaimana terjadi”

(Le, 117 – 135)

“yang Gang 17 aku uda rada lupa... coba cari di internet. Intinya itu, ada 2 orang berbeda suku yang bermasalah. Kalo gak salah awalnya kebakaran atau pencopetan atau apa, bener-bener lupa. Lalu jadi masalah antar etnis yang bersangkutan, masing-masing membela orang yang sesuku dengannya... Oh, engga denk, pokoknya awalnya ada tabrakan

gitu... hehe… Bukankebakaran atau pencopetan. Jadi, mobil orang Tionghoa serempet mobil orang melayu yang katanya masih keturunan Keraton Kadariyah.”

(Tiff, 112 – 129) Akan tetapi, subjek menuturkan bahwa konflik antara tionghoa dan pribumi akhir-akhir ini sudah semakin berkurang atau setidaknya demikian yang dapat diketahui oleh subjek mengingkat subjek sudah lama tidak menetap di Pontianak sejak 5 tahun yang lalu.

“Kurang tahu… Sepertinya sih sudah berkurang.”

(Noel, 198 – 199) Layanan birokrasi yang kurang baik telah lama menjadi momok bagi para warga Tionghoa di Indonesia. Meskipun penghapusan peraturan yang bersifat diskriminatif sudah lama dihapuskan, oleh pemerintah, diakui oleh warga tionghoa masih ada pembedaan dalam layanan yang mereka alami sampai saat ini. Demikian pula yang diinformasikan oleh subjek tentang layanan birokrasi di Pontianak.

“Sudah jauh lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya ya, tapi masih ada ketidakadilan setahuku...”

(Tiff, 328 – 331)

“Yah, dalam pembuatan surat seperti KTP, paspor, dan lain-lain…apa ya… dirasanya tuh ada aja berbagai kesulitan seperti lebih lama, proses wawancara lebih rumit dan kurang bersahabat, gitu-gitu…”

(Tiff, 334 – 340) Sebagai warga Tionghoa di Pontianak subjek mengaku bahwa masih ada stereotip negatif yang ia rasakan. Stereotip yang dimaksud di sini adalah pandangan kurang baik yang didapatkan oleh warga

Tionghoa di masyarakat Pontianak, terutama yang berkaitan tentang kemampuan finansial dan ekonomi.

“Mungkin mereka selama ini masih menganggap bahwa orang tionghoa itu ya kaya, secara ekonomi mapan, jadi bagi mereka tionghoa itu sombong, merasa berkuasa, merasa lebih dalam segala hal.”

(Noel, 295 – 301) Meskipun demikian, ada pula subjek yang menuturkan harapan bahwa masyarakat Pontianak dapat semakin terbuka terhadap kemajemukan, menjalin hubungan yang akrab, dan semakin berbaur terutama antara warga Tionghoa dan pribumi.

“Ketika saat itu saya merasa bahwa ya, masih ada harapan bahwa rasisme di Pontianak bisa berkurang bahkan mudah-mudahan bisa terhapus, bahwa suatu kejadian salah adalah salah dan benar adalah benar tidak memandang siapa pelakunya.”

(Le, 253 – 261)

“Saya masih berharap bahwa di masa yang akan datang etnis tionghoa bisa lebih menghargai pribumi, juga pribumi bisa lebih menerima etnis tionghoa sebagai bagian dari sesama bangsa Indonesia.”

(Le, 345 – 351)

“….Yang penting generasi kedepannya harus lebih baik.”

(Le, 508 –509) c. Dalam Kehidupan Bernegara

Berdasarkan informasi dan pengamatan mereka, para subjek selaku bagian dari masyarakat di negara Indonesia berpendapat bahwa Tionghoa masih mendapatkan perlakuan tidak adil. Meskipun berbagai peraturan yang mendiskreditkan orang Tionghoa sudah dihapuskan oleh pemerintah, masih saja dirasakan adanya ketidaksetaraan hak

sebagai warga negara dalam berbagai bidang, seperti kesempatan untuk bekerja di lembaga pemerintahan, mengekspresikan tradisi dan kebudayaan, ketidakadilan dalam layanan birokrasi dan pendidikan.

“Kalau saya rasa sih lumayan aman.Tapi kalau dibilang sangat harmonis sih belum. Contohnya ya seperti pas ahok terpilih sebagai wagub Jakarta ya, kan banyak yang gak suka, lalu ngata-ngatai si ahok cina, gak layak, dan sebagainya semacam merendahkan seperti itu. Farhat Abass, Rhoma Irama… Seakan-akan warga keturunan Tionghoa gak boleh mendapatkan hak yang sama dalam membangun kemajuan negara ini. Ya itu yang terekspos ya.”

(Noel, 207 – 223)

“Berapa banyak tionghoa yang bisa bekerja di pemerintahan, kepolisian, TNI, PNS dan semacamnya? Saya rasa tidak banyak, dipersulit dengan berbagai cara.”

(Le, 198 – 203)

“Kayaknya sih, sebenernya… engga ya, belum. Masih banyak kesulitan yang dialami orang, maksudnya warga Tionghoa dalam hal-hal kayak kebebasan berekspresi dan merayakan hari-hari raya secara meriah…, dalam hal birokrasi, dalam hal pendidikan juga.”

(Tiff, 281 – 289) Selain itu, di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, hubungan antara warga Tionghoa dan pribumi masih diwarnai rasa curiga dan tidak suka sama halnya dengan di Pontianak. Perasaan tersebut tidak ditunjukkan secara terang-terangan tetapi hanya berupa perilaku dan sikap yang tersamarkan.

“Di berbagai daerah mereka masih saling menjaga jarak, padahal dahulu begitu dekat sampai banyak budaya yang jika kita telusuri merupakan perpaduan budaya tionghoa dengan budaya lokal. Saya rasa semakin lama hubungan antara tionghoa dengan pribumi di indonesia memang semakin baik, akan tetapi masih banyak yang harus diperbaiki seperti kalangan tionghoa yang cenderung eksklusif, kemanapun pergi ingin berkumpul dengan sesama tionghoa dan kurang mau

berbaur dengan kaum lainnya. Juga kaum pribumi yang terkadang pemikirannya hanya jangka pendek dan mudah curiga. Secara umum ya, antara pribumi dan tionghoa memang berjarak dan saling curiga…”

(Le, 157 – 180) Demikian pula yang diutarakan Tiff mengenai keadaan yang ada di Indonesia secara umum berkaitan dengan hubungan antara Tionghoa dan pribumi.Tidak ada perbedaan yang mencolok antara keadaan di Pontianak dengan di Indonesia saat ini.

“Kalo di tempat-tempat lain sih kayaknya juga kurang lebih.Maksudku, secara umum dan eksplisit tampak baik-baik saja padahal tidak demikian.”

(Tiff, 153 – 157) Akan tetapi, meskipun dilihat secara umum mengenai adanya rasa curiga dan ketidakadilan yang ditujukan kepada Tionghoa di Indonesia, berdasarkan pengalaman subjek Noel dan Tiff dirasakan ada perbedaan tingkat diskriminasi dari satu daerah dan daerah lainnya.Hal ini diungkapkan berdasarkan pengalaman mereka ketika berkuliah dan menetap di Yogyakarta.

“…Terus juga kalau dibandingkan dengan keadaan saya di Jogja, seperti lebih terlihat ada jarak yang lebih dekat dan lebih berbaur antara tionghoa dengan warga lokal ya. Itu sih yang saya rasakan.”

(Noel, 223 – 229)

“Tapi kalo di daerah di luar Pontianak, khususnya di Jawa rasanya tidak terlalu terasa diskriminasinya. Bahkan, di jogja ini saya merasa diterima dengan baik di antara teman-teman saya yang pribumi. Entah mungkin karena di sini memang banyak orang-orang yang datang dari luar daerah sehingga semua orang dapat berbaur dengan baik atau mereka memang tidak memandang rendah orang-orang yang berbeda suku.”

Sedangkan Le berpendapat bahwa kecurigaan antara kedua etnis dikarenakan masih ada rasa enggan untuk berbaur dan juga dikarenakan ada latar belakang sejarah yang panjang yakni adanya politik devide et impera ketika masa penjajahan hingga berbagai agenda politik yang menjadikan Tionghoa sebagai sasaran ketika masa Orde baru.

“Menyedihkan ya, mereka tidak mau belajar dari sejarah bahwa akar permasalahan mereka karena diadu domba, mereka tidak ingat bahwa awal pertemuan mereka itu berawal dari perbuatan-perbuatan serta itikad baik, hubungan dagang, hubungan kebudayaan bahkan pernikahan.Di berbagai daerah mereka masih saling menjaga jarak, padahal dahulu begitu dekat sampai banyak budaya yang jika kita telusuri merupakan perpaduan budaya tionghoa dengan budaya lokal. Saya rasa semakin lama hubungan antara tionghoa dengan pribumi di indonesia memang semakin baik, akan tetapi masih banyak yang harus diperbaiki seperti kalangan tionghoa yang cenderung eksklusif, kemanapun pergi ingin berkumpul dengan sesama tionghoa dan kurang mau berbaur dengan kaum lainnya. Juga kaum pribumi yang terkadang pemikirannya hanya jangka pendek dan mudah curiga. Secara umum ya, antara pribumi dan tionghoa memang berjarak dan saling curiga, tetapi pendidikan bahwa semua itu setara harus lebih ditingkatkan, rasa cinta tanah air indonesia itu sangat-sangat kurang, masing-masing sibuk dengan bangga akan kelompoknya sendiri.”

(Le, 148 – 187)

“Bawaan manusia yang cenderung lebih nyaman bergaul dengan yang memiliki kemiripan semirip mungkin dengan dirinya.Serta dampak dari masa lalu dimana antara tionghoa dan pribumi dipisahkan oleh penjajah yang diteruskan pada zaman orde baru. Etnis tionghoa dan pribumi dipisahkan sedemikian rupa agar saling curiga dan tidak berbaur, dampaknya masih terjadi sampai sekarang.”

(Le, 316 – 329) Menurut Le, di dalam kehidupan bernegara masih ada ketidakadilan yang ditujukan kepada warga Tionghoa terutama bagi

mereka yang ingin berkarier di lembaga pemerintahan. Akan tetapi, pembedaan tersebut juga dilakukan juga kepada para warga pribumi yang ingin bekerja di perusahaan-perusahaan milik warga Tionghoa. Hal ini terjadi sebagai tanggapan akan diskriminasi yang warga Tionghoa alami. Maka, dapat dikatakan bahwa ada justifikasi diskriminasi di sini.

“Kalau ketidakadilan berlaku untuk semua warga, bukankah hal tersebut jadinya adil? Berapa banyak tionghoa yang bisa bekerja di pemerintahan, kepolisian, TNI, PNS dan semacamnya? Saya rasa tidak banyak, dipersulit dengan berbagai cara. Begitu pula dengan pribumi yang ingin bekerja di perusahaan-perusahaan milik tionghoa, banyak saya dengar dari teman-teman saya yang sudah bekerja maupun relasi, bahwa banyak diskriminasi terhadap non tionghoa. Atau terkadang non tionghoa memang tidak dipersulit, akan tetapi untuk etnis tionghoa dipermudah.”

(Le, 197 – 214) d. Pengalaman Hidup di Masyarakat Pontianak

Selama tinggal di kota Pontianak, para subjek dapat membangun hubungan yang baik dengan warga pribumi. Noel tidak merasa ada permasalahan dalam menjalin pertemanan dengan teman-temannya yang pribumi selama ia duduk di bangku sekolah.

“Dengan teman-teman baik-baik aja ya. Kami juga gak pernah ada masalah. Semuanya sama.”

(Noel, 244 – 247) Sedangkan Le juga berhubungan baik dengan para karyawan toko milik keluarganya. Mereka saling menjalin silaturahmi yang baik selama menjadi karyawan ataupun setelah tidak lagi bekerja di toko

keluarga Le. Ada hubungan yang mutual di antara Le sekeluarga dan para karyawan.

“Saya sendiri merasa cukup nyaman dengan keberadaan mereka, tidak membeda-bedakan, bahkan setelah mereka tidak bekerja lagi, masih menjalin hubungan baik dengan keluarga kami”

(Le, 264 – 270) Subjek Noel dan Le juga mengungkapkan kebiasaan berkomunikasi mereka baik di dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Keduanya mengatakan bahwa mereka memahami dan menggunakan bahasa Tionghoa, akan tetapi juga menguasai dan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa daerah ataupun bahasa Indonesia ketika di lingkungan masyarakat umum. Hal ini menunjukkan bahwa mereka sebagai warga Tionghoa mampu menyesuaikan dengan kebiasaan berkomunikasi di masyarakat Pontianak.

“Di rumah biasanya bahasa Indonesia, tapi campur-campur juga. Kalau papa mama pakai bahasa Chinese, bahasa Khek. Kalau kami anak-anak pakai bahasa Indonesia campur-campur logatnya, campur-campuran logat melayu dan chinese. Makanya kalau kami anak-anak gak begitu lancar berbahasa khek”

(Noel, 24 – 34)

“Kalau di Pontianak sih tiociu, atau Indonesia. Bahasa Melayu juga iya.”

(Le, 46- 48) Meskipun demikian, para subjek pun pernah mengalami ataupun menemukan situasi di mana orang Tionghoa dijadikan bahan ejekan atau cemoohan. Ejekan atau cemoohan tersebut tidak selalu

diungkapkan atau ditujukan secara terang-terangan. Ada pula yang dilakukan secara diam-diam atau terselubung. Seperti yang diungkapkan Noel dan Le berikut, meskipun mereka tidak mengalami dicemooh secara langsung, mereka mengingat ada ejekan-ejekan yang ditujukan kepada orang Tionghoa seperti sindiran ataupun bisikan.

“Ga ingat sih, tapi kalau sikap orang pribumi yang ga suka sama chinese kayak mengejek gitu aku pernah menemukan. Dulu waktu masih kecil, ada aja bahkan itu beberapa guru yang suka dengan gak langsung merendahkan orang cina, tapi dulu masih kecil kan ga ngerti apa-apa, ga diinget-inget terus juga, jadi ya gitu… ga notice.”

(Noel, 547 – 558)

“Secara verbal seingat saya sih tidak, terlebih sudah tidak tinggal menetap di kota pontianak kurang lebih 5 tahun. Akan tetapi dari non verbal seperti tatapan mata, atau sindiran tidak langsung pernah.”

(Le, 379 – 385)

“…seperti misalkan bisik-bisik, atau tatapan sinis.”

(Le, 389 – 390)

“Kurang jelas, tapi biasa ada selipan kata-kata ‘cina… cina…’ seperti itu.”

(Le, 394 – 396) Tiff mengungkapkan ejekan yang pernah ia dapatkan sebagai orang Tionghoa berupa ejekan yang menyinggung orientasi orang Tionghoa pada ekonomi.

“Pernah. Yang paling sering misalnya mendengar celetukan seperti ‘Cina sih, gak mau rugi’, ya yang seperti itu lah…”

(Tiff, 270 – 274) Sebagai bagian dari masyarakat, ketiga subjek hidup di lingkungan yang majemuk sehingga dalam pergaulan tumbuh kesadaran mereka untuk menerima kemajemukan dalam hidup di

masyarakat Pontianak. Hal ini salah satunya didorong oleh situasi saat bersekolah dulu, yakni adanya teman-teman pribumi dari berbagai suku.

“Kalau aku sih, dibilang pemilih engga, karena di sekolah juga kan tadi aku bilang sama teman-teman yang dayak, apa batak juga kita becanda bareng dan seru-seru aja, sama kayak dengan yang lainnya.”

(Noel, 443 – 450) Bagi Le, selama ada kenyamanan di dalam suatu pertemanan ia cenderung tidak melihat dari perbedaan suku atau etnis seseorang dalam bergaul.

“Saya sih tidak pemilih, dengan siapa saja selama nyaman ya saya bergaul.”

(Le, 405 – 407) Tiff memanfaatkan situasi ketika bergaul dengan teman-temannya yang pribumi untuk menepis pandangan negatif terhadap orang Tionghoa.

“…ya mungkin caranya dengan banyak bergaul dengan mereka.”

(Tiff, 421 – 423) Selain itu, para subjek juga tidak terpengaruh oleh adanya diskriminasi di masyarakat untuk terlibat dalam interaksi dengan pribumi. Menurut Noel, perilaku diskriminasi itu ada tetapi tidak berarti akan dilakukan oleh semua orang pribumi terhadap dirinya.

“Hmm… rasa sungkan engga sih ya… Kalau mereka welcome ya saya juga dengan senang hati ngobrol atau berteman bahkan ya… saya rasa engga sampai sejauh itu kesimpulannya kalau dalam hal ini. Ga semata-mata semua orang pribumi yang saya temui kan bakal mendiskriminasi saya.”

Sikap untuk tidak cepat berprasangka buruk terhadap pribumi juga dilakukan oleh Le yang sering bergaul dengan para karyawan toko, tukang parkir atau siapapun yang ia temui di masyarakat.

“Saya sih tidak… Saya senang ngobrol dengan karyawan toko yang rata-rata non Chinese, juga dengan tukang parkir atau siapa saja, selama mereka juga nampaknya senang bergaul dengan saya.”

(Le, 429 – 435) Tiff menambahkan penjelasan sebelumnya mengenai niatnya untuk menghapuskan rasa curiga dan parsangka buruk antara Tionghoa dan pribumi lewat meningkatkan interaksi dengan warga pribumi di Pontianak.

“Gak sih... aku malah merasa tertantang gimana sih aku bisa mematahkan berbagai pandangan mereka yang salah mengenai orang Tionghoa.”

(Tiff, 417 – 421) Meskipun Noel menghindari prasangka buruk terhadap orang pribumi, akan tetapi prasangka terhadap individu tetap ia rasakan. Prasangka tersebut tidak semata-mata dikarenakan oleh etnis melainkan cenderung dipengaruhi oleh kesan dari penampilan dan sikap seseorang. Biasanya kesan yang kurang baik terhadap pribumi timbul karena tingkah laku yang ditampilkan kurang bersahabat baginya.

“Kalau di jalan, bertemu dengan supir truk, atau ya istilahnya abang-abang seperti itu ya ada rasa takut dan gak nyaman. Meskipun mereka gak melakukan apapun terhadap saya, tapi entah ya rasanya kadang gak nyaman begitu.

“Tapi kalau dengan, … mungkin kalau aku liat lebih ke sikapnya mereka juga ke aku gimana. Aku pikir sih mungkin beda ya di sekolah sama di lingkungan di jalanan, itu orang

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 77-97)

Dokumen terkait