• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik

BAB IV FORMASI IDEOLOGI TOKOH-TOKOH DAN IDEOLOG

4.1 Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideologi Institusi Publik

Pada era Orde Baru kerap ditemukan orang-orang animis, seperti halnya tokoh Simbok dan Marni dalam novel Entrok yang menganut Animisme. Hal inilah yang mengakibatkan mereka takut kepada pemerintah, terutama kepada tentara-tentara. Sebab kalangan tentara melabelisasi orang-orang di atas sebagai orang-orang PKI atau organisasi terlarang yang menjadi musuh negara. Sebagaimana yang dikatakan Dhakidae (2003: 204), bahwasanya perwira dalam kategori alat negara dengan tujuan utama menjadi pelayan negara yang sama sekali tidak politis, mereka anti-PKI, anti- kiri, dan anti-Islam, kanan, bukan karena keyakinan mendalam dan pemahaman mendalam tentang keduanya, akan tetapi hanya bermodalkan keyakinan bahwa kedua-duanya akan menghancurkan tata tertib priyayi abangan Jawa. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

"Tumpeng dan panggang itu kubuat untuk sesajen dewamu. Agar kau kembali ingat masih ada Dia di sana yang dulu selalu kau puja. Ayo minta ke Dia! Minta agar Dia kembali membuatmu punya jiwa!” (Entrok: 12).

Percakapan di atas merupakan ucapan Rahayu yang ditujukan kepada Marni agar Marni menyadari bahwa hal di atas merupakan kebiasaan yang kerap dilakukannya ketika jiwanya belum terganggu.

36

“Aku sebenarnya tidak tahu apa yang harus kulakukan. Sekadar mengikuti perintah Simbok, kuucapkan permintaanku dalam hati, “Gusti Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa, berkatilah usahaku. Aku mau punya uang, memiliki seperti yang dimiliki Nyai Wedana. Biar nggak ngrepoti orang lain.” Permintaan itu kuulangi terus, sampai Simbok menyentuh bahuku dan mengajakku masuk rumah.” (Entrok: 43).

Monolog di atas merupakan permintaan Marni dalam hati yaitu nyuwun kepada Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Semua peristiwa dapat terjadi jikalau Dia yang menginginkan.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA agama, meskipun dalam cerita Marni dan Simbok belum mempunyai agama atau animisme, tetapi hal tersebut menunjukkan aktivitas transendental. Kutipan-kutipan tersebut merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, kemudian merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi dalam mempercayai sesuatu, elemen solidaritas-identitas sebagai rakyat biasa, serta elemen kebebasan hak warga negara.

Tentara-tentara senantiasa melakukan tradisi ronda keliling kampung dengan dalih menjaga keamanan. Di dalam menjalankan tradisi ronda tersebut, para tentara kerap melakukan pengutipan uang keamanan. Adapun orang-orang yang menjadi target utama bagi para tentara tersebut adalah orang-orang yang mempunyai banyak uang atau orang-orang usahawan. Di samping itu juga orang-orang animis dan orang- orang yang tidak disukai atau kontradiktif terhadap pemerintah. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui data sebagai berikut.

“Dulu, aku pernah bertanya pada Ibu kenapa orang-orang berseragam datang ke rumah kami. Kata Ibu, untuk keamanan. Lalu kenapa Ibu selalu memberikan uang pada mereka? tanyaku lagi. Namanya keamanan ya bayar, jawab Ibu. Orang-orang berseragam loreng sering datang ke rumah. Mereka selalu datang pada hari Senin dua minggu sekali. Kadang-kadang ada juga yang datang di luar hari itu. Katanya kebetulan lewat atau cuma mampir. Tapi sudah tahulah Ibu apa yang harus dilakukannya setiap orang-orang itu datang. Apalagi kalau bukan menyerahkan setumpuk uang.” (Entrok: 53).

Percakapan di atas menunjukkan keberadaan institusi publik dalam hal ini tentara, yang dinyatakan melalui ‘orang-orang berseragam loreng’ yang rutin datang mengambil uang keamanan dari Ibu, yaitu Marni.

“Ada banyak petugas berseragam loreng-loreng. Mereka memegang pistol, mengatur orang-orang. Meneriaki kalau ada yang nyolong antrean atau pulang sebelum masuk ke kamar coblosan.” (Entrok: 61).

Gambaran situasi di atas menunjukkan institusi publik atau tentara, hal ini dinyatakan melalui ‘petugas berseragam loreng dengan pistol’ mengatur orang-orang dalam pemilu.

Kedua kutipan di atas menunjukkan RSA yang mengatur lewat kekerasan dan represi terutama kepada orang-orang yang lemah dan bodoh. Kutipan-kutipan tersebut merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, dan juga merupakan elemen kesadaran yaitu tradisi untuk melakukan represi dan kekerasan.

Masa-masa sulit dalam perekonomian yang terjadi sebelum rezim Orde Baru berkuasa, menjadikan rakyat Indonesia sulit untuk mengingat berbagai peristiwa penting dalam kehidupan mereka, seperti halnya momen kelahiran mereka atau sejarah berdirinya sebuah monumen nasional. Pada masa itu mereka hanya fokus pada upaya-upaya pemenuhan kebutuhan pangan sehari-hari bagi keluarganya masing-masing. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui data sebagai berikut.

“Tak juga kutahu kapan tepatnya aku dilahirkan. Simbok hanya berkata aku lahir waktu zaman perang. Saat semua orang menggunakan baju goni dan ramai-ramai berburu tikus sawah untuk digoreng.” (Entrok: 15).

Monolog di atas merupakan pernyataan Marni yang berkaitan dengan ingatannya atas waktu atau momen kelahirannya, yakni ketika orang-orang menjalani hidup dengan dilanda kesulitan pangan.

“Orang tak pernah tahun kapan persisnya Pasar Ngranget mulai ada. Mbah Noto, kuli paling tua yang bekerja paling awal dibanding kuli lain, hanya ingat dia sudah nguli pada zaman Jepang. Waktu zaman susah itu, barang dagangan sudah dicari. Singkong saja susah dicari di pasar. Semua hasil bumi petani diminta sama Jepang, buat bekal perang. Mbah Noto masih ingat rasa daging tikus hasil buruannya di sawah.” (Entrok: 36).

Gambaran situasi di atas menjelaskan tentang riwayat berdirinya Pasar Ngranget yang dirunut melalui kisah hidup Mbah Noto yang dikaitkannya dengan zaman Jepang, zaman susah, dimana orang berburu tikus di sawah untuk dimakan.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA keluarga. Hal ini dapat dilihat melalui Simbok, Mbah Noto, dan orang-orang lain pada zaman tersebut, zaman perang, baju goni dan berburu tikus di sawah untuk dimakan. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, yaitu berburu tikus di sawah, di samping itu juga merupakan elemen kesadaran tradisi hidup susah, elemen solidaritas identitas rakyat biasa serta elemen kebebasan hak warga negara.

Tokoh Marni yang menganut Animisme senantiasa menjadi bulan-bulanan kaum militer. Marni berupaya untuk selalu menuruti segala permintaan komandan tentara terhadapnya, namun satu hal yang tetap dipertahankannya dari paksaan dan hasutan kaum militer adalah kepercayaannya terhadap Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Marni kerap melakukan aktivitas transendental yang kontradiktif dengan kepercayaan yang dianut oleh putrinya, Rahayu dan Pak Waji, guru agama Rahayu di sekolah. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Kata Ibu itu namanya berdoa, tirakat. Ibu mengajariku untuk nyuwun. Katanya, semua yang ada di dunia milik Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Dialah yang punya kuasa untuk memberikan yang kita inginkan. “Nyuwun supaya menjadi orang pintar. Bisa jadi pegawai,” kata Ibu.” (Entrok: 55-56).

Percakapan di atas menunjukkan ucapan Rahayu tentang kebiasaan Ibu atau Marni, yang kerap melakukan tirakat atau nyuwun kepada Pemilik dunia dan seisinya, yang diyakini Marni sebagai Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa.

“Kata Pak Waji, guru agamaku di SD, Ibu berdosa. Di depan kelas dia berkata, ibuku tak beragama. Ibuku sirik. Masih menyembah leluhur, memberi makan setan setiap hari. Pak Waji juga bilang ibuku punya tuyul.” (Entrok: 57).

Percakapan di atas menunjukkan ucapan Rahayu mengenai omongan- omongan Pak Waji, guru agamanya, yang kerap mengumpat tingkah laku Ibunya atau Marni.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA agama. Hal ini diperlihatkan dengan adanya pendapat yang berlawanan, yaitu antara Islam dan Animisme. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, yaitu Marni dengan kepercayaannya dan Pak Waji juga dengan agama Islamnya, yang nyata saling berseberangan. Di samping itu juga merupakan elemen kesadaran yang ditunjukkan melalui tradisi masing-masing, serta elemen solidaritas yang berwujud rakyat biasa.

Sesuai dengan harapan pemerintah Orde Baru, bahwasanya dalam setiap Pemilu dimenangkan oleh partai pemerintah, dengan tujuan agar pemerintahan Orde

Baru tetap berkuasa. Oleh sebab itu sebelum pelaksanaan pemilu, dilakukan berbagai upaya untuk memenangkan partai pemerintah. Untuk lebih jelas dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Partai Beringin menang. Hanya ada dua orang yang nyoblos partai lain. Orang-orang bilang itu pasti Mbah Sholeh, imam di masjid. Dia pasti yang nyoblos Partai Islam. Satunya lagi diperkirakan pasti Pak Ratmadi, kepala sekolahku. Orang-orang bilang dia abangan. Di rumahnya ada gambar besar Soekarno yang sedang menunjuk. Dulu, gambar itu dipasang di dinding luar rumah. Lalu tentara datang dan meminta gambar itu dicopot. Pak Ratmadi menuruti, dan memindahkan gambar itu ke dinding kamarnya.” (Entrok: 66).

Gambaran situasi di atas memperlihatkan kemenangan sebuah partai, yaitu partai kuning, sedang partai hijau dan partai merah masing-masing memperoleh satu suara dari sekian banyak penduduk tempat praktik sosial berlangsung.

“Aku juga diajari untuk mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah, artinya partaiku nomor dua. Dua jari itu katanya juga menyimbolkan perdamaian. Kebalikannya adalah tiga jari, jempol, telunjuk, dan kelingking. Katanya itu tanda metal, orang-orang yang suka bikin onar, orang-orang partai nomor tiga. Aku sudah diwanti-wanti untuk tidak pernah mengacungkan tiga jari di mana pun.” (Entrok: 86).

Monolog di atas merupakan pernyataan Rahayu yang menjelaskan bahwa terjadi persuasi terhadap dirinya agar mencoblos partai nomor dua atau partai kuning pada pemilu, dan mengabaikan partai politik lainnya.

Kedua kutipan di atas merupakan ISA politik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya partai-partai politik yang berbeda, Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan

elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, yang ditunjukkan dengan kebiasaan mengacungkan dua jari di mana pun berada.

Tentara-tentara sebagai institusi publik secara rutin melakukan ronda di Desa Singget, tempat praktik sosial berlangsung. Dengan berlandaskan dalih untuk menjaga keamanan, para tentara bersama Pak Lurah yang juga merupakan institusi publik kerap melakukan ancaman terhadap penduduk desa tersebut. Untuk lebih jelas dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Mohon maaf, Ndan. Istri saya ini memang tidak tahu mana yang benar mana yang salah. Maaf, Ndan. Beribu maaf, Ndan. Monggo datang lagi saja minggu depan, Ndan. Nanti kami siapkan jatah buat keamanannya.”

“Hei, Kang! Kowe kok kurang ajar begitu! Kami ini petugas. Ke sini bukan mau minta jatah. Kami hanya mau menjaga keamanan!” kata Sumadi dengan keras. Jarinya menunjuk-nunjuk muka Bapak. Bapak pucat pasi, tak mampu lagi bicara.” (Entrok: 71).

Percakapan di atas merupakan dialog antara Teja, suami Marni, dengan Sumadi, komandan dari institusi publik (militer).

“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to? Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” (Entrok: 80).

Percakapan di atas merupakan ucapan Pak Lurah sebagai petinggi dan sebagai institusi publik yang bertujuan mengancam dan mendiskreditkan Marni yang berprofesi sebagai rentenir.

“Hari-hari terasa mudah dan begitu teratur bagi Ibu. Sejak dia mengikuti kemauan Komandan dan Pak Lurah, tak ada lagi orang- orang bersarung yang datang saat subuh dan menyebutnya rentenir langsung di depan hidungnya. Orang-orang hanya berani berbicara di balik punggung, dan bermanis-manis di depan muka.” (Entrok: 87).

Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa Marni atau tokoh Ibu semakin lancar dalam menjalankan usahanya sejak dia mengikuti segala kehendak komandan dan Pak Lurah sebagai petinggi dan sebagai institusi publik di tempat praktik sosial berlangsung.

Ketiga kutipan di atas menunjukkan ISA hukum. Dapat dikatakan bahwa apabila Marni tidak mau menuruti kehendak para petinggi atau institusi publik setempat, maka Marni bisa saja mendapat masalah, meskipun pada kenyataannya tidak bersalah. Hal seperti ini bisa membuatnya berhadapan dengan penegak hukum. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian sebagai petinggi atau sebagai institusi publik yang sering mengancam warganya, juga Marni sebagai warga yang selalu mengikuti kemauan petinggi, agar dia tidak mendapat masalah. Di samping itu kutipan-kutipan di atas juga merupakan elemen kesadaran yaitu sebagai warga yang kerap menjalankan tradisi untuk mengikuti kemauan petinggi atau institusi publik.

Berbagai aktivitas transendental warga Desa Singget merupakan reaksi terhadap pemerintah Orde Baru yang senantiasa menindas mereka, para warga tersebut meminta keselamatan dan petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dirinya terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan juga dari perlakuan sewenang-wenang aparat pemerintah Orde Baru, dalam hal ini tentara-tentara dan juga institusi publik lainnya. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan berikut ini.

“Koh Cayadi menceritakan salah satu kebiasaan keluarganya yang diyakini terbukti membantu kelancaran usaha mereka. Sejak bertahun- tahun lalu, tepatnya saat ia masih kanak-kanak di Surabaya, orang tuanya rutin mengajaknya ke Gunung Kawi. Gunung Kawi ada di Malang, kota di selatan Surabaya. Mereka biasa pergi ke sana naik bus, dengan lama perjalanan dua jam. Di gunung itu ada makam, yang bisa memberi berkat bagi orang yang menziarahinya.

Ibu mendengarkan itu secara antusias. Ia sangat percaya upaya batin diperlukan untuk membantu seseorang mencapai kemakmuran dan kejayaan. Selama ini ia hanya mengenal Mbah Ibu Bumi Bapa Kuasa. Upaya batinnya baru sebatas memohon di tengah malam, membawa panggang ke makam penguasa desa, dan selamatan setiap hari kelahiran.” (Entrok: 92).

Kutipan di atas menunjukkan ISA agama. Hal ini dapat dilihat melalui kepercayaan yang dianut Koh Cayadi dan Marni yang cenderung digolongkan ke dalam Animisme, akan tetapi meskipun demikian, hal ini tetaplah merupakan aktivitas transendental yang rutin dilakukan oleh mereka. Di samping itu kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian mereka, elemen kesadaran berupa tradisi dalam

kepercayaan dan tradisi untuk kaya, elemen solidaritas-identitas sebagai rakyat biasa, dan elemen kebebasan berupa adat dan harta.

Pemerintah Orde Baru kerap kali menghadirkan tontonan budaya untuk meminimalisasi kejenuhan rakyat terhadap hal-hal monoton yang muncul akibat tindakan-tindakan represif aparatur negara. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Di dekat bilik, tentara-tentara berjaga. Seperti sudah menjadi pakem, halaman balai desa sudah dipersiapkan untuk gambyong. Nanti sore, setelah suara dihitung, Gong akan ditabuh dan orang akan gambyongan sampai pagi untuk merayakan kemenangan partai pemerintah.” (Entrok: 86).

Gambaran situasi di atas menunjukkan berlangsungnya sebuah tradisi pementasan gambyong yang kerap dilakukan setelah pemilu diadakan dan disusul dengan kemenangan partai pemerintah.

“Jam tujuh pagi di Glodok. Orang-orang sudah berdesak-desakan di halaman Pabrik Gula Purwadadi. Aku dan Teja ikut berdesak-desakan, sambil mencari-cari jalan, siapa tahu bisa mendapat tempat paling depan. Kami semua ingin bisa melihat iring-iringan Temanten Tebu. Iring-iringan muncul dari samping bangunan paling besar di pabrik gula itu. Paling depan terlihat seorang laki-laki berpakaian seperti pemain ketoprak dengan baju warna hijau mencolok dan hiasan kepala warna emas. Dia menjadi cucuk lampah, pemandu langkah orang- orang yang ikut dalam iring-iringan. Cucuk lampah menari-nari dalam setiap langkahnya, mengikuti irama gamelan dari bagian belakang iring-iringan. Di belakang cucuk lampah ada empat laki-laki mengusung tandu. Mereka berpakaian Jawa, beskap dengan kepala ditutup blangkon. Tandu itu dihiasi dengan janur dan melati, persis seperti tandu pengantin. Tapi yang ada di dalam tandu bukan manusia,

melainkan dua tebu yang juga dihias dengan kantil dan melati. Itulah Temanten Tebu.” (Entrok: 104).

Gambaran situasi di atas menunjukkan prosesi ritual temanten tebu, yaitu suatu pesta besar untuk menyambut masa panen tebu dan giling tebu untuk menjadi gula.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA budaya, yaitu gambyongan dan temanten tebu. Di samping itu juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis.

“Putaran waktu kuhitung dengan sekat-sekat yang berasal dari kegiatan sekolah. Setengah tahun berlalu kuhitung dengan setiap rapor yang kuterima setiap kuartal. Rapor kuartal ketiga kelas satu SD menandakan akan segera berakhirnya tahun 1970.” (Entrok: 60).

Monolog di atas menunjukkan ucapan Rahayu yang mengungkapkan tentang gambaran pemikiran Rahayu dalam perhitungan waktu.

Pembuatan Waduk Kedung Merah berdampak pada penggusuran lahan- lahan di Desa Singget. Di atas lahan tersebut terdapat ladang, pohon, rumah-rumah, sekolah dan lain-lain. Waduk ini dibangun dengan tujuan untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Sekolah ini belum bisa menggantikan sekolah mereka yang dulu. Sekolah ini hanya penyelamat darurat untuk anak-anak yang haknya telah terenggut untuk mendapatkan ilmu. Sekolah ini juga akan

menjadi jalan keluar sementara atas hari-hari tanpa harapan yang dilalui anak-anak ini. Di sekolah baru, mereka akan kembali memiliki cita-cita, kembali memelihara mimpi. Mereka tidak akan lagi hanya keluyuran seharian hanya untuk memperebutkan neker atau engklek. Sekolah ini akan meyakinkan mereka lagi, hidup bukan hanya hari ini, tapi juga masih ada masa depan.” (Entrok: 221-222).

Gambaran situasi di atas menunjukkan bahwa sekolah baru telah didirikan untuk menggantikan sekolah lama (pesantren) yang telah roboh karena digusur alat- alat berat yang digerakkan oleh pemerintah daerah perihal tempat tersebut akan dijadikan waduk.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA pendidikan, karena memperlihatkan adanya sistem sekolah privat dan sekolah publik yang berbeda. Kutipan-kutipan tersebut juga merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, elemen kesadaran yaitu tradisi untuk bersekolah, oleh karenanya sekolah itu harus tetap didirikan, untuk menjadikan manusia-manusia yang cerdas serta generasi yang lebih baik.

Profesi penebang tebu adalah pekerjaan yang banyak dilakukan oleh kaum pria di Desa Singget. Mereka kerap menerima upah dari Marni sebagai pemilik kebun tebu. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Pekerja-pekerja itu duduk mengelilingiku sambil menuang teh dari cerek ke gelas. Aku berdiri di tengah mereka yang semuanya laki-laki. Dan aku sekarang akan mengupahi mereka. Simbok, lihatlah anakmu ini sekarang. Kita dulu kerja memeras keringat seharian, diupahi telo, bukan uang, hanya karena kita perempuan. Lihatlah sekarang, anakmu yang perempuan ini, berdiri tegak di sini mengupahi para laki-laki.” (Entrok: 102).

Monolog di atas merupakan ucapan Marni yang mengungkapkan keberhasilannya sebagai perempuan pekerja yang meniti karier dari seorang pengupas singkong. Kutipan tersebut juga mengungkapkan kesedihan seorang Marni karena kesuksesan yang tengah diraihnya tidak sempat disaksikan oleh Simbok.

“Sayangnya tidak ada buruh perempuan di sini, betapapun ingin aku mengupahi mereka dengan uang sebesar buruh laki-laki. Upah yang besarnya sama, tidak lebih kecil hanya karena dia perempuan, lebih- lebih hanya diupahi dengan telo. Tapi tak ada perempuan yang ikut menebang tebu. Tebu hanya menjadi jatah buruh-buruh laki-laki. Bagian buruh perempuan hanya nderep atau mbethot kacang.” (Entrok: 103).

Monolog di atas mengungkapkan pemikiran Marni tentang ambisinya untuk memberi upah setara antara buruh laki-laki dan buruh perempuan. Hal ini disebabkan adanya pengalaman pahit ketika Marni masih bekerja sebagai pengupas singkong bersama Simbok, yakni bekerja hanya dengan imbalan ubi.

Kedua kutipan di atas menunjukkan ISA serikat buruh. Hal ini ditunjukkan melalui pemaparan aktivitas para buruh tebu di Desa Singget. Selanjutnya merupakan elemen material yang berwujud aktivitas praktis yang terjelma dalam kehidupan keseharian dan elemen kesadaran yaitu tradisi menjadi buruh dan tradisi menjadi juragan.

Kekejaman pemerintah Orde Baru melalui kekuasaan kaum militer senantiasa menindas masyarakat sipil, dan hal ini berdampak pada terjadinya

peristiwa penculikan bahkan pembunuhan. Peristiwa ini menimbulkan keresahan bagi penduduk Desa Singget hingga akhirnya peristiwa ini dipublikasikan melalui media massa oleh tokoh-tokoh aktivis. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kutipan sebagai berikut.

“Amri dan Taufik menambah informasi tentang Mehong dengan berita yang ditulis Taufik di koran. Dimulai dari kesewenangan di malam itu, pemuatan berita di koran, lalu penculikan pada hari yang sama dengan penerbitan koran. Istri Mehong sendiri berkata orang yang membawa

Dokumen terkait