• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat-sifat Formasi Ideologi Para Tokoh

BAB IV FORMASI IDEOLOGI TOKOH-TOKOH DAN IDEOLOG

4.2 Sifat-sifat Formasi Ideologi Tokoh-tokoh dan Ideolog

4.2.2 Sifat-sifat Formasi Ideologi Para Tokoh

Adapun sifat-sifat formasi ideologi para tokoh yang dianalisis adalah sebagai berikut:

 Marni sebagai Ibu dengan Rahayu sebagai anak adalah formasi bersifat bertentangan. Data (Entrok: 58)=lihat tesis hal.52 dan (Entrok: 59)=lihat tesis hal.52 dan (Entrok: 100-101)=lihat tesis hal.53.

 Marni sebagai Ibu dengan Pak Waji sebagai guru Rahayu adalah formasi bersifat bertentangan. Data (Entrok: 55-56)=lihat tesis hal.40 dan (Entrok: 57)=lihat tesis hal.41.

 Marni sebagai Ibu dengan Koh Cahyadi sebagai pemilik toko elektronik adalah formasi bersifat korelatif. Data (Entrok: 92)=lihat tesis hal.45.

 Marni dengan Mbah Noto sebagai kuli yang paling tua di Pasar Ngranget adalah formasi bersifat korelatif. Data (Entrok: 15)=lihat tesis hal.39 dan (Entrok: 36)=lihat tesis hal.39.

 Marni sebagai anak dengan Simbok sebagai ibu Marni adalah formasi bersifat korelatif. Data (Entrok: 12)=lihat tesis hal.36 dan (Entrok: 43)=lihat tesis hal.37.

 Marni sebagai istri dan Teja sebagai suami adalah formasi bersifat korelatif. Data (Entrok: 53)=lihat tesis hal.54, (Entrok: 60)=lihat tesis hal.47, dan (Entrok: 69)=lihat tesis hal.54.

 Marni sebagai Ibu dengan Kyai Hasbi sebagai guru di pesantren adalah formasi bersifat bertentangan. (Entrok: 214)=lihat tesis hal.55.

 Marni sebagai istri Teja dengan Sumadi sebagai komandan tentara atau institusi publik adalah formasi bersifat subordinatif. (Entrok: 71)=lihat tesis hal.43.

 Marni sebagai Mbakyu dengan Pak Lurah sebagai institusi publik adalah formasi bersifat subordinatif. (Entrok: 80)=lihat tesis hal.43.

Keterangan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut :

Bertentangan Mbah Noto Simbok Teja Sumadi (Komandan) Pak Lurah Korelatif Korelatif Korelatif Bertentangan Subordinatif Subordinatif Kyai Hasbi Korelatif Koh Cahyadi Bertentangan Pak Waji Rahayu Marni

4.3 Kelompok Ideologi

Studi Gramsci selanjutnya adalah subaltern, dikemukakan tahun 1934 oleh Loomba (2003: 68). Istilah subaltern merupakan sebutan bagi para perwira di bawah kapten, kemudian mengacu pada orang-orang yang tertindas, deskripsi kolektif berbagai macam kelompok yang didominasi dan dieksploitasi serta kurang memiliki kesadaran kelas. Dalam perkembangannya kemudian digunakan untuk menggambarkan para petani yang secara periodik muncul melawan Kolonialis Inggeris atau orang-orang tertentu pada umumnya (Ratna, 2005: 189-190).

Sedangkan kelompok dominan adalah kelompok yang mewakili kepentingan yang harus berkoordinasi, memperluas, dan mengembangkan interest-nya dengan kepentingan-kepentingan umum kelompok subaltern (Siswadi, 2010). Selanjutnya formasi ideologi dapat ditelusuri melalui beberapa elemen yaitu: (1) elemen material, yang berwujud berbagai aktivitas praktis dan terjelma dalam kehidupan keseharian, cara hidup kolektif masyarakat, lembaga, serta organisasi tempat praktik sosial berlangsung, (2) elemen kesadaran, yaitu suatu tradisi yang berlaku pada setiap individu, juga kedudukan dan hak, (3) elemen solidaritas-identitas, yaitu posisi pada setiap individu yang membedakannya dengan individu lain, (4) elemen kebebasan, yaitu kedudukan individu-individu yang bernaung di bawah eksistensi individu yang dibanggakan oleh individu lainnya (Siswadi, 2010).

Ada empat hal yang patut dicatat dari teori Gramsci dalam bandingannya dengan teori Marx. Pertama, di dalam masyarakat selalu terdapat pluralitas ideologi. Kedua, konflik tidak hanya antarkelas, tetapi konflik antara kelompok-kelompok

dengan kepentingan-kepentingan yang bersifat global (umum) untuk mendapatkan kontrol ideologi dan politik terhadap masyarakat. Ketiga, jika Marx menyebut kelas sosial harus menyadari keberadaan dirinya dan memiliki semangat juang sebagai kelas, Gramsci menyatakan bahwa untuk kelompok dominan, kelompok harus mewakili kepentingan. Keempat, Gramsci berpandangan bahwa seni atau sastra berada dalam superstruktur (Siswadi, 2010). Jadi ada dua kelompok ideologi yang dapat ditemukan dari studi Gramsci. Kelompok pertama adalah kelompok dominan yang mewakili kepentingan, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok subaltern yaitu kelompok tertindas, dieksploitasi dan masyarakat yang kurang memiliki kesadaran kelas.

Kata kunci dalam pemahaman teori hegemoni Gramsci adalah negosiasi yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus semua kelompok ideologi sebagai berikut: kelompok ideologi dominan yang dalam hal ini adalah ideologi kapitalisme yang mendapat dukungan dari ideologi otoriterisme dan ideologi militerisme. Kelompok ideologi subaltern adalah ideologi sosialisme, feodalisme, rasialisme, vandalisme, dan anarkisme. Apabila kedua kelompok ideologi tersebut dengan ideologi-ideologi di atas bernegosiasi hasilnya adalah ideologi kapitalisme, sosialisme, demokrasi dan humanisme (Siswadi, 2010).

Kapitalisme adalah kaum bermodal, orang yang bermodal besar, golongan orang yang sangat kaya atau juga birokrat yang mempunyai kedudukan di lembaga pemerintah atau di organisasi politik yang menyalahgunakan kekuasaan dan kedudukan untuk memperkaya golongan atau diri sendiri yang membuat sistem dan

paham ekonomi (perekonomian) yang modalnya (penanaman modalnya, kegiatan industrinya) bersumber pada modal pribadi atau modal perusahaan swasta dengan ciri persaingan di pasar bebas. Otoriterisme adalah paham yang berkuasa sendiri, tindakan yang sewenang-wenang dalam menjalankan kekuasaan, membuat peraturan untuk memerintah orang lain.

Militerisme adalah paham yang berdasarkan kekuatan militer sebagai pendukung kekuasaan, pemerintah yang dikuasai oleh golongan militer, pemerintah yang mengatur negara secara militer (keras, disiplin dan sebagainya). Feodalisme adalah sistem sosial atau politik yang memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan atau sistem sosial yang mengagung-agungkan pangkat jabatan dan bukan mengagung-agungkan prestasi kerja.

Rasialisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa, perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda yaitu paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Vandalisme adalah perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang berharga lainnya (keindahan alam, dan sebagainya), perusakan dan penghancuran secara kasar dan ganas.

Anarkisme adalah paham yang menentang setiap kekuatan negara. Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara atau bentuk pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya.

Humanisme adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik atau paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting. Sosialisme adalah ajaran atau paham kenegaraan dan ekonomi yang berusaha supaya harta benda, industri dan perusahaan menjadi milik negara.

Marni digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi ideologi feodal, kapitalis-sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk kaya, elemen solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan adat dan harta.

Rahayu digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen solidaritas-identitas aktivis, elemen kebebasan hak warga negara.

Pak Waji digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori intelektual, formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen solidaritas-identitas guru, elemen kebebasan hak warga negara.

Koh Cayadi digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi ideologi feodalis dan kapitalis-sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk kaya, elemen solidaritas-identitas wiraswasta, elemen kebebasan adat dan harta.

Mbah Noto digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk miskin, elemen solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan hak warga negara.

Simbok digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk miskin, elemen solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan hak warga negara.

Teja digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori rakyat, formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk tidak bekerja, elemen solidaritas-identitas rakyat biasa, elemen kebebasan hak warga negara.

Kyai Hasbi digolongkan ke dalam kelompok subaltern, kategori intelektual, formasi ideologi demokratis dan sosialis, elemen kesadaran tradisi untuk mengajar, elemen solidaritas-identitas kyai dan guru, elemen kebebasan hak warga negara.

Sumadi atau Komandan digolongkan ke dalam kelompok dominan, kategori pemimpin, formasi ideologi otoriter, militerisme, kapitalis, elemen kesadaran kedudukan dan tradisi otoriter, elemen solidaritas-identitas pemimpin militer, elemen kebebasan kekuasaan dan harta.

Pak Lurah digolongkan ke dalam kelompok dominan, kategori pemimpin, formasi ideologi kapitalis-humanis, elemen kesadaran kedudukan dan tradisi berkuasa, elemen solidaritas-identitas kepala desa, elemen kebebasan kekuasaan dan harta.

Tabel 4.1

Kelompok Ideologi Para Tokoh dalam Novel Entrok

Nama  Kelompok  Kategori  Ideologi  Elemen  Kesadaran  Elemen  Solidaritas‐ Identitas  Elemen  Kebebasan 

Marni  Subaltern  Rakyat  Feodalis 

Kapitalis‐

Sosialis 

Tradisi 

untuk kaya 

Rakyat biasa  Adat dan 

Harta 

Rahayu  Subaltern  Rakyat  Demokratis 

–Sosialis 

‐  Aktivis  Hak Warga 

Negara 

Pak Waji  Subaltern  Intelektual  Demokratis 

–Sosialis 

‐  Guru  Hak Warga 

Negara 

Koh Cayadi  Subaltern  Rakyat  Feodalis 

Kapitalis‐

Sosialis 

Tradisi 

untuk kaya 

Wiraswasta  Adat dan 

Harta 

Mbah Noto  Subaltern  Rakyat  Demokratis 

–Sosialis 

Tradisi 

untuk 

miskin 

Rakyat Biasa  Hak Warga 

Negara 

Simbok  Subaltern  Rakyat  Demokratis 

–Sosialis 

Tradisi 

untuk 

miskin 

Rakyat Biasa  Hak Warga 

Negara 

Teja  Subaltern  Rakyat  Demokratis 

–Sosialis 

Tradisi 

untuk tidak 

bekerja 

Rakyat Biasa  Hak Warga 

Negara 

Kyai Hasbi  Subaltern  Intelektual  Demokratis 

‐Sosialis 

Tradisi 

untuk 

mengajar 

Kyai, Guru  Hak Warga 

Negara 

Sumadi 

(komandan) 

Dominan  Pemimpin  Otoriter 

Kapitalis  Militeris  Kedudukan  tradisi  otoriter  Pemimpin  Militer  Kekuasaan  dan Harta 

Pak Lurah  Dominan  Pemimpin  Kapitalis‐

Humanis 

Kedudukan 

tradisi 

berkuasa 

Kepala Desa  Kekuasaan 

dan Harta 

Dari uraian di atas dapat disederhanakan bahwa ideologi dominan, yaitu kapitalisme mendapat dukungan dari ideologi otoriterisme dan militerisme, sedangkan ideologi subaltern adalah ideologi sosialisme, feodalisme, rasialisme, vandalisme dan anarkisme (Siswadi, 2010).

Terjadi negosiasi ideologi yang dilakukan oleh ideologi kapitalisme yang humanis, sosialis dan demokratis (dapat dilihat pada tabel di bawah ini).

Tabel 4.2 Negosiasi Ideologi

Kelompok Dominan  Negosiasi  Kelompok Subaltern 

  Kapitalisme    Otoriterisme    Militerisme      Kapitalisme  Sosialisme  Demokratisme    Humanisme      Sosialisme  Feodalisme  Rasialisme  Vandalisme  Anarkisme   (Sumber: Siswadi, 2010)

BAB V

POLITIK DAN KEKUASAAN YANG BERKAITAN DENGAN IDEOLOGI DALAM NOVEL ENTROK

5.1 Ideologi dalam Novel Entrok

Ideologi yang terdapat dalam novel Entrok merupakan ideologi kelompok dominan dan ideologi kelompok subaltern. Sumadi atau Komandan adalah pimpinan tentara yang digolongkan ke dalam tokoh institusi publik dan dikategorikan sebagai kelompok dominan. Begitu juga halnya dengan Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati yang digolongkan ke dalam institusi publik dan dan dikategorikan sebagai kelompok dominan. Sedangkan Marni sebagai tokoh sentral digolongkan ke dalam kelompok subaltern. Demikian juga halnya dengan Rahayu, Pak Waji, Koh Cayadi, Mbah Noto, Simbok, Teja, dan Kyai Hasbi. Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Kapok bikin masalah dengan orang-orang negara. Dengan mereka itu yang penting nurut saja, biar urusan beres. Sama seperti setoranku ke Komandan. Asal dikasih duit, urusan keamanan beres. Tidak ada orang yang berani mengganggu, paling hanya berani ngrasani dari belakang.” (Entrok: 105).

Dipengaruhi oleh pandangan Althusserian, Poulantzas (Fatah, 2010: 53) beranggapan bahwa kelas memang ditentukan oleh peran ekonomi, tetapi sangat dipengaruhi pula unsur-unsur politik dan ideologi. Dalam kerangka ini, Poulantzas dapat disebut sebagai seorang Neo-Marxis pertama yang secara tegas merumuskan

pengaruh politik dan ideologi terhadap pembentukan kelas. Konsep hegemoni Gramsci dekat dengan konsep ideologi Louis Althusser dalam buku “Tentang Ideologi”, Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies (terjemahan Essays on Ideology) (2004 : 18-24) membedakan adanya dua jenis aparat negara, yaitu Repressive State Apparatus (RSA) atau aparat negara represif dan Ideological State Apparatus (ISA) atau aparat negara ideologis. Yang pertama bersifat represif dengan pengertian, ia berfungsi melalui kekerasan dan paksaan serta bersifat monolitik (pemerintah, angkatan bersenjata, polisi, penjara, dan sebagainya). Yang kedua bersifat tanpa paksaan, persuasif, dan plural. Lembaga-lembaga yang termasuk aparat negara ideologis adalah lembaga agama, pendidikan, keluarga, hukum, politik, serikat buruh, komunikasi (pers, radio, tv, iklan), dan kebudayaan (seni, sastra, olahraga) (Surbakti, 2008).

Sekalipun Nicos Poulantzas melangkah lebih jauh dibanding para Marxis terdahulu, Poulantzas justru mengakui bahwa pendefinisian kelas yang dilakukannya sebetulnya masih mendasarkan diri pada pandangan para Marxis termasuk di dalamnya Marx. Pada pandangan para Marxis terdahulu itulah menurut Poulantzas ia menemukan kriteria-kriteria yang kemudian dipakainya untuk mendefinisikan kelas secara lebih jelas dan rinci. Sebagaimana dikatakan oleh Poulantzas : “Bahkan ketika Marx Engels, Lenin atau Mao menganalisis kelas sosial, mereka jelas tidak membatasi diri pada kriteria ekonomi semata-mata, melainkan secara tegas mengacu kepada kriteria politik dan ideologi.” (Fatah, 2010: 53).

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat dilihat bahwa kelompok dominan merupakan kelas sosial atas yang kerap menindas kelompok subaltern sebagai kelas sosial bawah. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Ahh . . . sudahlah, Yu, kami semua di desa ini kan sudah sama-sama tahu. Siapa to yang nggak tahu Marni Juragan Renten . . .? Semua tahu. Kami diam saja, karena kami mau mbantu sampeyan. Sampeyan jadi bisa mbangun rumah kayak gini juga karena kami semua. Iya, to? Apa sampeyan mau mendapat masalah?” kata Pak Lurah. Suaranya yang meninggi memperlihatkan kekesalan.” (Entrok: 80).

5.2 Politik dan Kekuasaan

Superstruktur menurut Gramsci dapat dikelompokkan menjadi dua level struktur utama, yaitu:

1. Masyarakat sipil yang mencakup seluruh aparatus transmisi yang lazim disebut swasta seperti universitas, sekolah, media massa, gereja dan lain sebagainya. 2. Masyarakat politik atau negara adalah semua institusi publik yang memegang

kekuasaan untuk melaksanakan perintah secara yuridis seperti tentara, polisi, pengadilan, birokrasi dan pemerintahan.

Kedua level struktur ini merepresentasikan dua ranah yang berbeda yaitu ranah persetujuan dalam masyarakat sipil dan ranah kekuatan dalam masyarakat politik (Sugiono, 1999: 35). Hal tersebut dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Surat itu tiba. Surat pemecatan dari rektorat. Amri dipecat sebagai dosen. Aku, Iman, dan Arini dikeluarkan sebagai mahasiswa. Kami dianggap telah menyebabkan terjadinya kerusuhan. Tak ada sedikit pun yang menyinggung tentang peristiwa di Kali Manggis atau kematian Mehong. Taufik juga dipecat dari pekerjaannya. Dia dituduh mengarang berita. Kami orang-orang kalah.” (Entrok: 161).

Berdasarkan gambaran situasi di atas, maka dapat dilihat bahwa kekuasaan masyarakat politik atau negara yang senantiasa bertindak represif, dan kerap berujung pada kekalahan masyarakat sipil.

“BRAK! Polisi itu menggebrak meja. Semua orang di ruangan itu terkejut, termasuk aku. Apakah omonganku keterlaluan? Tapi bukankah aku benar? Aku tidak tahu apa-apa, aku meminjamkan kendaraan tanpa dapat uang untuk urusan kampanye, roda empatku remuk, sekarang malah aku yang diperas.”

“Sampeyan jangan sembarangan kalau ngomong! Siapa yang meres- meres? Ini memang aturannya seperti itu. Mau kalian masuk penjara?” “Tidak, Pak, tidak. Bukan begitu maksud istri saya, Pak. Kami ini nurut pada negara. Kami cuma tidak tahu aturannya saja, kami bodoh, buta huruf.” (Entrok: 118).

Berdasarkan percakapan di atas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat sipil dalam hal ini Marni dan Teja mengalami kekalahan atas masyarakat politik atau negara dalam hal ini polisi.

“Kebetulan ini begini, Yu. Aku diutus Pak Camat dan Pak Bupati minta sampeyan ikut membantu kampanye hari Rabu besok.”

“Wah, membantu gimana ya, Pak Lurah? Kalau sumbangan, kemarin sudah saya titipkan sama pamong.”

“Iya, sumbangan sudah saya terima. Tapi ini bukan soal uang kok, Yu. Soal uang, kita semua sudah beres. Begini, Pak Camat dan Pak Bupati

kan minta orang-orang desa kita ikut arak-arakan keliling Kabupaten, terus nanti siangnya dangdutan di lapangan Singget.”

“Lha terus, maksudnya saya harus ikut arak-arakan atau bagaimana?” “Ndak harus ikut, Yu. Kita cuma mau minta dipinjami mobil sehari itu. Namanya buat negara, jadi ya hitungannya sumbangan. Bisa to, Yu?” (Entrok: 113).

Percakapan di atas menunjukkan bahwa Marni sebagai masyarakat sipil harus mengalah kepada Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati sebagai masyarakat politik atau negara.

Menurut Simon (Siswadi, 2010) hegemoni menurut titik awal konsep Gramsci adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas- kelas dibawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Dalam novel Entrok terlihat bahwa kelas atas dalam hal ini kaum dominan yaitu Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati sekaligus tentara dan polisi memperlihatkan kekuasaannya dan kekuatannya terhadap orang-orang kelas bawah atau kelompok subaltern. Ketika pemerintah Orde Baru yang berkuasa secara otoriter dan atas nama pembangunan menggusur tanah dan rumah rakyat untuk dijadikan waduk. Dalam menyelesaikan pembebasan tanah ini, pemerintah menggunakan kekerasan, kekuasaan dengan menggunakan militer, juga aparat-aparat lain seperti Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati, apalagi bila menemukan hambatan atau menemukan perlawanan rakyatnya, hal ini tampak jelas bahwa masyarakat politik atau negara menunjukkan kekuasaannya terhadap masyarakat sipil. Untuk lebih jelas dapat dilihat melalui kutipan sebagai berikut.

“Mun, sekarang semuanya terserah kowe. Yang jelas, minggu depan ini giliran desamu yang dikeruk. Mesin-mesin keruk akan mengangkat tubuh kalian semua. Kowe akan mati tertimbun tanah sendiri. Atau kalau untung, bisa saja kalian selamat. Tapi hari itu seluruh pasukan akan ada di daerah ini. Kalian semua akan tertangkap. Seumur hidup masuk penjara bersama orang-orang PKI itu. Kalian semua sudah jadi PKI.”

“Wagimun tak mengeluarkan kata apa-apa. Dia bahkan tidak memandang wajah tentara itu. Pandangannya jauh ke depan, ke tempat mesin keruk yang ada di desa seberang.” (Entrok: 226-227).

Berdasarkan percakapan di atas dapat dilihat bahwa tentara atau masyarakat politik melakukan perdebatan dengan Wagimun atau masyarakat sipil. Sehingga hal ini menyebabkan Wagimun tidak dapat bertindak dan berkata apa-apa.

“Segera pindah dari sini sebelum kalian mati tertimbun tanah atau di penjara sampai mati. Kalian telah jadi PKI.”

“Selama tentara-tentara itu hanya bicara, kami hanya diam. Komandan pasukan tahu kami mengikutinya. Dia tak keberatan. Malah seperti bangga, karena orang-orang asing ini telah melihat bagaimana tentara yang punya kuasa menyampaikan ancaman pada orang-orang desa.” (Entrok: 227).

Berdasarkan gambaran situasi di atas dapat dilihat bahwa politik yang disampaikan tentara tersebut tampak pada tiga baris pertama dari data di atas, sedangkan selebihnya menunjukkan kekuasaan kepada orang-orang desa tersebut. Hal ini dengan jelas mengungkapkan bahwa masyarakat politik atau negara menunjukkan kekuasaannya pada masyarakat sipil.

“Tentara-tentara itu datang. Salah seorang dari mereka berteriak di corong pengeras suara. Masih ada waktu sepuluh menit untuk segera meninggalkan desa ini. Tak ada yang beranjak. Semua orang berdiri mematung dan mengacungkan tulisan “Jangan Ambil Tanah Kami”. Sepuluh menit itu habis. Tentara-tentara bergerak ke semua rumah. Menggebuk semua orang yang berdiri di depan rumahnya. Mereka tetap bertahan, lalu menyerang. Gebukan, pukulan, teriakan, juga tembakan. Anak-anak kecil menangis sambil berlari-lari. Aku melihat tongkat hitam memukul kepala Wagimun yang berdiri di sebelahku. Aku masih melihat darah keluar dari keningnya, juga tengkuknya. Aku ingat dia berteriak kesakitan. Tapi aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelah itu.” (Entrok: 254).

Berdasarkan gambaran situasi di atas dapat dilihat bahwa pemerintah menunjukkan kekuasaannya lewat tentara-tentara yang meneriaki orang-orang desa agar segera pindah. Akan tetapi, orang-orang desa tetap bertahan. Hal ini ditunjukkan melalui tulisan pada umbul-umbul yang mereka buat. Namun aksi penduduk desa tersebut tetap tidak meluluhkan hati tentara-tentara itu. Kekuasaan masyarakat politik terhadap masyarakat sipil pada data di atas ditunjukkan melalui penggebukan, pemukulan, dan penembakan.

Hegemoni adalah suatu konsensus dengan persetujuan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Dengan demikian dalam wacana politik kenyataan tersebut sebagai realitas kekuasaan negara dalam masyarakat (Patria, Andi Arief, 2003: 23). Selanjutnya dapat dijelaskan melalui kutipan sebagai berikut.

“Orang itu memang tentara. Tapi kita tidak akan mati tenggalam di sini. Sudah, lupakan apa yang dikatakan orang itu tadi…”

“Dor! Terdengar tembakan. Gusti Allah! Aku berlari meninggalkan anak-anak itu menghambur ke dalam rumah Wagimun. Amri sudah tergeletak di lantai. Ada darah menggenang di samping tubuhnya.” (Entrok: 230).

Berdasarkan gambaran situasi di atas, maka dapat dilihat bahwa masyarakat sipil dalam hal ini Wagimun dan Amri, merupakan korban dari kekuasaan politik dan ideologis dari masyarakat politik atau negara.

“Seperti PKI?” Aku tahu orang-orang bekas PKI mendapat ciri di KTP-nya. Mereka tidak akan bisa jadi pegawai. Tidak akan bisa hidup enak. Selamanya bakal jadi kere.

Rahayu mengangguk. “Ya.”

“Lha kowe kan bukan PKI to, Nduk. Buyutmu, mbah-mu, ibu- bapakmu, ndak ada yang PKI. Kowe masih bayi waktu ada geger PKI. “Nyatanya sekarang ada tanda ini di KTP-ku, Bu.”

“Oalah, Nduk… kok begini jadinya nasibmu… salah apa orang tuamu dulu, Yuk?” (Entrok: 275).

Berdasarkan kutipan di atas dapat dilihat bahwa politik digambarkan pada dua baris pertama, lalu kekuasaan pada baris ketiga, sedangkan ideologi digambarkan pada baris keenam. Maka dapat ditelaah dengan jelas bahwa politik dan kekuasaan berkaitan dengan ideologi. Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan masyarakat politik atau negara senantiasa berada di atas masyarakat sipil.

Menurut Faruk (Siswadi, 2010), teori hegemoni Gramsci membuka dimensi baru dalam studi sosiologis mengenai kesusastraan. Kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh masyarakat kelas sebagai infrastrukturnya, melainkan dipahami sebagai kekuatan dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem sendiri meskipun tidak terlepas

Dokumen terkait