• Tidak ada hasil yang ditemukan

Iga Mawarni : Memeluk Islam Karena Berdebat Islam lebih Realistis

Dalam dokumen KisahNyataSejutaMualaf (Halaman 79-82)

MALAM mulai turun di sebuah kamar kost di bilangan Depok, Jawa Barat, tahun 1993. Seorang perempuan cantik, hatinya bergejolak. Malam itu, seorang mahasiswi Sastra Belanda Universitas Indonesia (UI), baru saja berdiskusi antarteman, masing-masing mempertahankan pendapatnya. Sharing pendapat ini bukan hal baru dilakukan, tetapi sudah sering berlangsung.

Hingga akhirnya, perdebatan itu menyisakan kepenasaran dan melahirkan sebuah pemikiran logis. Di suatu malam itulah, wanita bersuara merdu itu harus mengambil sebuah keputusan penting dalam hidupnya. Perempuan yang dimaksud adalah artis penyanyi terkenal, Iga Mawarni, putri kelahiran Bogor, tetapi berdarah Solo. Lagu ”Kasmaran” sempat melambungkan nama Iga Mawarni di tahun 1991. Tanpa dipengaruhi orang ketiga, penyanyi bersuara jezzi ini, akhirnya memutuskan meninggalkan kepercayaan lamanya dan memeluk Islam dengan pendekatan rasional. Ia melakukannnya dengan sepenuh hati, tanpa emosi sedikit pun.

”Tidak ada pengalaman khusus yang saya temui untuk pindah keyakinan ini, misalnya mendengarkan azan sayup-sayup lalu hati saya bergetar. Bukan peristiwa itu. Keyakinan mengkristal justru berangkat dari lingkungan di mana saya tinggal. Sebagai anak kost kami sering berdebat, ketika kami masih kuliah di UI,” cerita Iga Mawarni mengenang masa lalunya, ketika dihubungi ”PR”, Rabu (13/10), ia tengah berlibur di Yogyakarta bersama anaknya Rajasa (3.5).

Setelah berikrar memeluk Islam, persoalan pun muncul, terutama dari keluarganya. ”Tadinya saya tidak ingin mengatakannya terus terang, tetapi semakin saya tutupi, justru perasaan bersalah saya muncul,” desahnya.

Keputusan untuk berterus terang kepada kedua orang tuanya itu, bukan tanpa risiko. ”Semua orang tua pasti tidak rela anaknya berkhianat terhadap agamanya. Saya memakluminya ketika ayah dan ibu saya menjauhi saya. Saya harus kuat, Allah sedang menguji kekuatan saya saat itu. Dan saya berhasil menerima ujian itu,” kata Iga sedikit tersendat.

”Yang membuat saya terharu, ketika pikiran saya mengingat mereka sebagai orang tua yang telah melahirkan saya. Begitu kuat rasa hormat itu muncul, tetapi di sisi lain saya seperti memperoleh kekuatan yang maha dahsyat untuk tetap bersikukuh, berdiri berseberangan dalam menegakkan keyakinan. Tadinya ada keinginan, semoga apa yang telah saya lakukan ini ditiru lingkungan keluarga besarku di Solo, tetapi tentu itu tidak mudah, tetapi Alhamdulillah adik kandung saya, sejak dua tahun silam telah mengikuti jejak saya menjadi pengikut Muhammad saw.,” kisah pengagum tokoh B.J. Habibie ini bahagia.

Dianggap tersesat

Konsekuensi memeluk Islam secara sadar, adalah perlakuan dari keluarga di Solo yang tidak lagi ramah. Hubungan komunikasi pun nyaris putus, bahkan suplai dana untuk biaya hidup di Jakarta dihentikan. ”Padahal saya butuh biaya untuk kuliah, skripsi, biaya hidup. Tetapi Tuhan selalu memberi jalan pada umatnya. Saat itu saya terus berdoa, semoga diberi kekuatan. Maka timbul ide untuk bekerja secara part time di Jakarta. Tawaran nyanyi juga mengalir meski tidak gencar. Dari sana saya semakin meyakini kebenaran itu selalu ada,” tegas Iga.

Tujuh tahun, ia harus saling menjaga jarak dengan keluarga. Jika tidak dihadapi dengan kepala dingin, mungkin segalanya bisa porak poranda. Iga berhasil meredam semuanya dengan tanpa gembar-gembor. ”Tujuh tahun saya lewati hari-hari saling menjaga perasaan, tidak pernah ada rasa gentar, atau takut. Saya pernah dianggap sebagai anak tersesat oleh keluargaku di Solo. Saya tetap menikmatinya sambil terus mempelajari kedalaman keyakinan saya lewat Alquran, buku-buku

penunjang lainnya, sehingga saya mengetahui mana yang menjadi larangan dan mana yang dibolehkan,” terang Iga.

Dalam pencarian memahami Islam itulah pada akhirnya ia dipertemuakan dengan seorang laki-laki yang kemudian menjadi suaminya sekarang, Charlie R. Arifin (pengusaha) yang satu ihwan. ”Saya bersyukur Tuhan mengutus laki-laki pendamping yang setia, saleh dan punya masa depan. Saat itu semakin teguh keyakinan saya memeluk Islam secara tulus ihlas.”

Iga tak lagi sendiri mendirikan salat, atau berpuasa. Ia sudah menemukan imam dalam rumah tangganya. Bersama Charlie dan Rajasa, buah kasih mereka, terkadang melakukan salat berjamaah di rumah. Bila bulan Ramadan tiba, mereka melaksanakan salat tarawih di masjid raya. Dipilihnya Masjid At-Tien TMII Jakarta Timur, sebagai tempat salat terdekat dari rumah tinggalnya, di kawasan Jakarta Timur.

”Saat puasa tiba, sebenarnya bukan hal asing bagi saya. Karena ketika masih menganut Nasrani, ada juga instruksi mendirikan puasa. Saya juga suka melakukan puasa, hanya caranya yang berbeda,” papar Iga yang mengaku semoga tahun ini ia bisa melaksanakan puasa dengan tanpa kekalahan yang berarti dan mendapat ampunan dosa-dosa dari Allah SWT. (Ratna Djuwita/”PR”)*** Ignatius Vincsar Hadipraba : Bisa Musik membawa kepada Cahaya Islam

SEJAK kecil, saya sudah mengenal Islam. Ketika itu, saya sering melihat pembantu kami sedang melakukan shalat. Meskipun saya dan kedua orang tua saya beragama Kristen Katolik, namun kakek saya adalah seorang muslim. Harus saya akui, saat mendengar gema azan dan lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an, hati saya terasa damai. Pernah suatu ketika, seorang teman kuliah berkata kepada saya bahwa Tuhan itu satu, la tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Mendengar itu, saya acuh tak acuh saja. Hati saya belum tergerak untuk mencari kebenaran ajaran Islam

Semasa kuliah di Riau, saya aktif di gereja. Pernah, saya mengajukan permohonan kepada seorang pastur, agar saya bisa menjadi pengiring organ gereja. Tapi, apa yang terjadi? Permohonan saya itu ditolak mentah-mentah, bahkan pastur bertanya kepada saya, apakah saya punya sertifikat dari sekolah musik atau tidak? Tujuannya, untuk membuktikan saya bisa bermain organ dengan baik. Karena memang tidak punya sertifikat, saya hanya menjawab apa adanya bahwa saya bisa bermain organ secara otodidak. Tapi, lagi-lagi, pastur malah berkata kasar, "Bila tidak punya sertifikat, bisa-bisa permainan musikmu malah bikin kacau dan suasana ibadah di gereja menjadi tidak khusyu" Akibat penolakan itu, saya kecewa berat, sekaligus benci kepada pastur itu. Sampai pada akhirya, saya mencari kegiatan lain di luar gereja.

Pada tahun 1996 saya pindah ke Jakarta. Di kota metropolitan inilah saya mendapat pekerjaan di McDonald. Pada akhir 1998, saya kos di gang H. Sairnin, Ciputat. Di lingkungan kos, saya sering nimbrung dengan teman-teman yang beragama Islam. Seorang pemuda bemama Hans adalah salah satu teman terdekat saya. Biasanya, saat kumpul kami selalu diskusi tentang agama. Selain ngobrol, kami berlatih bermain musik di sebuah garasi. Karena sering berlatih, kami membentuk grup musik yang diberi nama "Garasi".

Suatu hari, kami kedatangan H. Sofwan Muzamil, temannya Bang Hans tadi. Saat itu, saya nimbrung saat mereka berdiskusi tentang ajaran Islam. Entah mengapa, saya tiba-tiba mulai tertarik dengan Islam. Karena tertarik, saya berterus terang kepada Pak Haji (panggilan H. Sofwan) bahwa saya ingin masuk Islam.

Mendengar keterusterangan saya itu, Pak Haji malah mengatakan, "Sebelum masuk Islam, kamu harus mempelajari agama Islam lebih dulu. Lagi pula Islam itu bukan agama paksaan."

Beberapa hari kemudian, saya memutuskan untuk bertemu lagi dengan Pak Haji untuk berdiskusi soal Islam. Sebelum berdiskusi, saya memang sudah mempersiapkan diri. Melalui buku-buku agama Islam yang saya baca, ditambah dengan seringnya saya berdiskusi dengan Pak Haji, membuat keinginan saya masuk Islam begitu kuat.

Masuk Islam

Menjelang Lebaran, tepatnya pada 17 Januari 1999, di sebuah mushala di Ciputat, dengan dibimbing oleh H. Sofwan Muzamil, saya mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat. Tanpa sepengatahuan keluarga, saya masuk Islam secara resmi. Nama baptis saya yang semula Ignatius diganti menjadi Ikhsan Nur Ramadhan.

Resmi menjadi muslim, saya menghadapi cobaan yang luar biasa. Saya ditolak habis-habisan oleh keluarga saya. Terutama sekali oleh ibu dan kakak. Ceritanya, begitu kakak saya melihat nama baptis di KIP saya sudah tidak ada lagi, karena telah saya ganti menjadi Ikhsan Nur Ramadhan, ia betul-betul terkejut.

Karena kaget, kakak menginterogasi saya secara kasar. "Mengapa namamu kau ganti?" hardiknya ketus. Dengan tenang saya hanya menjawab ringkas bahwa saya sudah masuk Islam. Sejak itulah, oleh kakak, diri saya dianggap tidak menghargai orang tua lagi. Padahal, tak sedikit pun saya bermaksud untuk menyakiti ibu.

Meski akidah kami kini berbeda, namun saya tetap menaruh hormat kepada mereka. Bukankah ajaran Islam mengajarkan demikian? Apa pun yang terjadi, saya pasrah Saya tetap dengan keislaman saya. Saya pun yakin, Allah akan menolong hamba-Nya. Saya senantiasa berdoa agar Allah meneguhkan pendirian dan kesabaran kepada saya. Setelah masuk Islam, saya bergabung dengan tim nasyid Snada yang namanya lumayan populer bagi pecinta nasyid. (Adhes/Albaz)

Sumber: "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/) oleh Mualaf Online Center http://www.mualaf.com/

Dalam dokumen KisahNyataSejutaMualaf (Halaman 79-82)