• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sulaiman Dufford : Dianggap Pengkhianat

Dalam dokumen KisahNyataSejutaMualaf (Halaman 194-197)

Nama saya Sulaiman Dufford, sebagaimana tertera dalam semua ijazah saya. Saya biasa dipanggil Sulaiman atau Mr. Dufford. Nama yang terakhir ini adalah nama keluarga saya. Ayah saya bemama John S. Dufford, seorang warga negara Amerika Serikat keturunan Prancis. Sedangkan ibu saya, Mary Louise Foscue, campuran Turki-lnggris. Dengan demikian, dalam diri saya mengalir darah tiga bangsa, Turki, Inggris, dan Prancis. Saya sendiri banyak menghabiskan masa kecil di Texas. Sedangkan, masa muda saya banyak saya lalui di California, Los Angeles. Tepatnya di Stanford University, tempat saya menuntut ilmu.

Ayah saya seorang insinyur mesin dan bekerja di perusahaan swasta di Texas. Sedangkan, ibu saya seorang ibu rumah tangga yang aktif ikut kegiatan sosial dan gereja. Semasa kecil, ibu selalu mengajak saya ke gereja, terutama pada hari Minggu untuk mengikuti kebaktian.

Di sana kami mendengarkan khutbah pendeta yang menyanyikan lagu-lagu kerohanian. Ketika usia saya beranjak dewasa, saya mulai tidak puas dengan doktrin yang says terima dari pendeta. Terutama mengenai konsep trinitas-paham mengenai Yesus Kristus, Roh Kudus, dan Bapa. Mengapa saya harus menyembah Yesus Kristus, manusia ciptaan Tuhan?

Kebingungan saya mengenai konsep trinitas ini lalu saya sampaikan kepada pendeta. Tetapi, ternyata pendeta malah menyuruh saya untuk menerima konsep/doktrin itu tanpa boleh meneliti kebenarannya. Jawaban itu membuat saya berpikir, mengapa saya harus menganut agama yang tidak bisa diselidiki kebenarannya ?

Membaca Buku-Buku Islam

Sementara itu, sedikit banyak saya sudah mengenal Islam dari buku-buku yang saya baca. Ini membuat saya tertarik dengan ajaran Muhammad itu. Agama Islam mempunyai peraturan yang tegas dan lugas mengenai segala hal, mulai dari cara berpakaian, makan, berbicara, sampai cara membuang hajat.

Selain itu, saya sangat terkesan dengan cara orang-orang Islam berkomunikasi kepada Tuhan, yaitu melalui ibadah shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan dalam agama yang saya anut itu, cara berkomunikasi kepada Tuhan hanya dengan conversation, talking and talking.

Perkenalan saya dengan Islam dilanjutkan dengan mengadakan perjalanan ke Timur Tengah pada tahun 1960. Di Turki saya melihat Masjid Sultan Salim. Sultan Salim adalah ayah Sultan Sulaiman, pemimpin Turki. Masjid itu mempunyai arsitektur yang luar biasa indahnya. Keindahannya mengundang saya untuk masuk ke dalamnya. Di dalam masjid saya rasakan kesejukan menyusup relung hati. Saya tergetar menyaksikan kemegahannya.

Peristiwa kedua yang membuat hati saya tergetar adalah ketika mendengar alunan azan subuh di Istambul. Suara itu walaupun artinya tidak saya mengerti -- menyentuh hati, membuat saya merasa dekat dengan Sang Pencipta alam semesta. Dari dua peristiwa itu, saya mulai mencari guru agama Islam yang akan menunjukkan jalan menuju Islam.

Pada tahun 1966, seorang dai dari Indonesia, namanya Muhammad Subuh Sumohadiwidjojo kebetulan berkunjung ke California. Dari beliau saya banyak belajar tentang Islam. Semakin banyak pengetahuan saya tentang Islam, semakin bertambah keyakinan saya terhadap kebenarannya. Tetapi, pada saat itu saya belum memeluk Islam.

Merupakan kebiasaan yang umum di Barat, bila orang orang Barat terutama kaum ilmuwan ingin masuk Islam., mereka mempelajari dahulu ajaran-ajarannya sebelum akhirnya menjadikan Islam sebagai agamanya. Dengan demikian, mereka masuk Islam bukan berdasarkan sentimentalitas saja,

melainkan setelah melakukan penyelidikan yang panjang. Sebut Cat Steven, atau Yusuf Islam, Maryam Jameelah atau Margaret Marcus, Leopold Weiss (Muhammad Asad) dan juga seorang filsuf Prancis Frithjof Schaun atau dikenal dengan nama Islamnya Muhammad Isa Nuruddin. Demikian juga saya.

Menerima Hidayah Allah dengan masuk Islam

Pada tahun 1969, untuk pertama kalinya saya berkunjung ke Indonesia atas undangan Ustadz Muhammad Subuh tadi. Waktu itu bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sengaja saya pilih bulan suci umat Islam agar dapat merasakan bagaimana syahdunya suasana Ramadhan. Meskipun belum masuk Islam, saya dapat menjalankan puasa sebulan penuh. Sejak itu tekad saya untuk masuk Islam semakin bulat.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya tanggal 5 Juli 1970 pada usia saya ke-30, saya mengucapkan dua kalimat syahadat dituntun oleh Dr. El Bialy, Direktur Islamic Foundation California Selatan, Los Angeles. Saya segera memberitahukan keislaman saya pada orang tua. Tentu saja ibu saya terkejut mendengar berita ini. Tapi, beliau tidak bisa melarang saya memeluk Islam yang saya yakini kebenarannya.

Mulanya teman-teman saya bersikap biasa-biasa saja terhadap keislaman saya. Tetapi, ketika saya mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan masjid, mereka mulai membenci dan menjauhi saya. Bukan hanya itu cobaan yang saya terima. Saya sulit mendapatkan pekerjaan yang sepadan dengan pendidikan saya (S2 dalam bidang teknologi komunikasi). Untuk mempertahankan hidup, selama enam tahun saya bekerja sebagai supir taksi, satpam, salesman dan sejenisnya.

Pendidikan, keahlian, dan intelegensia saya sia-sia. Semuanya itu disebabkan perasaan antimuslim yang melanda orang-orang Amerika. Berapa banyak muslim Amerika yang mengalami nasib seperti saya. Kami dianggap sebagai pengkhianat. Lain halnya kalau saya mau menyembunyikan keislaman saya. Misalnya dengan tetap memakai nama Barat atau tidak pemah melakukan shalat di kantor atau di masjid.

Harus diakui, media massa Amerika, baik berbentuk koran maupun televisi telah berhasil menciptakan image yang buruk tentang Islam. Semua orang Islam dianggap sebagai teroris, pengacau, suka berperang, dan predikat-predikat buruk lainnya. Keluarga saya yang mulanya dapat menerima keislaman saya, akhirnya karena pengaruh media massa dan propaganda gencar yang menyudutkan umat Islam menganggap saya sebagai pengkhianat dan teroris. Mereka tidak melihat saya. Bahkan ketika ibu saya meninggal dunia, mereka tidak memberitahu saya.

Untuk menambah pengalaman dan pengetahuan tentang Islam, saya menetap di beberapa negara Islam, seperti Saudi Arabia, Iran, Turki, dan Malaysia. Sejak tahun 1986 saya tinggal di Indonesia. Saya merasa Amerika sudah tidak cocok lagi dengan saya, karena itu saya akan menghabiskan sisa umur saya di negara-negara yang wama keislamannya masih kental.

Sumber: "Saya memilih Islam" Penyusun Abdul Baqir Zein, Penerbit Gema Insani Press website : http://www.gemainsani.co.id/ oleh Mualaf Online Center (MCOL) http://www.mualaf.com/

87. T.H. McBarkli (Irlandia)

Saya hidup dalam lingkungan para penganut aliran Protestan, dan sejak kecil saya merasa tidak puas dengan ajaran-ajaran ke-Kristenan. Maka sesudah saya masuk universitas, keraguan saya itu menjadi kenyataan, sebab agama Kristen --seperti yang saya lihat-- sedikit sekali artinya, atau bahkan bukan apa-apa buat saya. Dalam keputusasaan saya untuk menemukan kepercayaan yang mengandung segala nilai yang saya cita-citakan, saya telah mencoba memberi kepuasan kepada jiwa saya dengan cara menggambarkan suatu kepercayaan yang tidak begitu jelas memancar dari dalam jiwa saya.

Pada suatu hari saya mendapat sebuah buku yang berjudul 'Islam and Civilization.' Belum selesai saya membaca buku itu, sudah ternyata bagi saya bahwa aliran yang ditunjukkan oleh buku itu hampir semuanya mengandung apa yang telah saya khayalkan mengenai kepercayaan.

Toleransi Islam bertentangan dengan fanatisme aliran-aliran Kristen, ilmu pengetahuan dan kemajuan negeri-negeri Islam pada abad pertengahan berlawanan dengan kebodohan dan khurafat yang merajai negeri-negeri lain pada waktu yang sama, dan teori logis dari Islam mengenai pembalasan atau hukuman terhadap segala amal perbuatan manusia merupakan tantangan terhadap teori penebusan dosa manusia yang diajarkan oleh Kristen. Semua itu merupakan soal-soal yang meyakinkan saya.

Akhirnya saya yakin atas kebenaran ajaran Islam yang luas meliputi seluruh alam kemanusiaan, untuk yang kaya dan yang miskin secara sama rata, bisa dan mampu melenyapkan segala rintangan yang ada antara segala aliran dan warna kulit.

Sumber : Mengapa Kami Memilih Islam, Rabithah Alam Islamy Mekah, Alih bahasa: Bachtiar Affandie, Cetakan Ketiga 1981, Penerbit: PT. Alma'arif, Bandung

Dalam dokumen KisahNyataSejutaMualaf (Halaman 194-197)