• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Simbol Sebutan Istilah Sistem Peraturan Adat

4.4.1 Ijab Kabul

“Pendekar Sutan bersih keras hendak menggadaikan setumpak sawah, untuk belanjanya beristri, karena sudah besar dan dewasa belum juga di panjat ijab kabul” (TKvdW:5).

Representament:

Ijab kabul merupakan simbol sebutan untuk orang yang sedang melakukan ucapan di kebudayaan Minangkabau saat melakukan penyerahan dan perjanjian untuk melakukan acara resepsi pernikahan. Ijab yang artinya perjanjian di dalam KBM (2015:155). Ijab dapat

diartikan juga, ucapan tanda penyerahan dari pihak yang menyerahkan dalam suatu perjanjian kontrak dan jual beli serta kata-kata yang diucapkan oleh wali mempelai perempuan pada waktu menikahkan mempelai perempuan dalam KBBI (2001:418). Kabul artinya ucapan tanda setuju (terima) dari pihak yang menerima dalam suatu akad perjanjian atau kontrak dalam KBBI (2001:485).

Interpretant:

Ijab kabul sering dilakukan pada acara akad nikah dalam acara perkawinan kebudayaan Minangkabau yakni menurut syarak (agama), apabila acara perkawinan menurut syarak (agama) maka mengucapkan ijab kabul dalam akad nikah harus dihadapan kadhi. Ijab kabul juga sering dilakukan umat Islam dalam berdagang maupun melakukan acara akad nikah.

4.4.2 Gadai

“…inilah anak muda yang tidak ada malu selalu hendak menggadai, hendak mengagun” (TKvdW:5).

Representamen:

Gadai merupakan simbol sistem lembaga keuangan di masyarakat kebudayaan Minangkabau yang berarti sebuah sistem dan merupakan lembaga hukum adat Minangkabau dalam sebutan lembaga keuangan non-bank untuk mengatasi kesulitan sementara tanpa menghilangkan hak milik gadai dalam KBM (2015:124).

Interpretant:

Di masyarakat Minangkabau gadai disebut pegang gadai yang merupakan pindah tangan pemilikan harta di Minangkabau tidak dikenal sistem jual beli. Di masyarakat Minangkabau tidak ada orang yang mau dan dapat menjual hartanya, seperti sawah, ladang, atau rumah, karena selain harta demikian merupakan milik bersama, hukum adat pun tidak membenarkannya. Menurut falsafah masyarakat Minangkabau dijual tak dimakan bali,

digadai tak dimakan sando (dijual tidak dimakan beli, digadai tidak dimakan sandiri), apabila harta pusaka itu hendak dipindahtangankan untuk mengatasi kesulitan harta pusaka tersebuta hanya bisa digadaikan.

Masyarakat Minangkabau hanya memiliki empat alasan dalam melakukan pegang gadai, itu pun harus atas kesepakatan semua warga kaum (ahli waris). Keempat alasan itu ialah seperti berikut.

1. Maik tabajua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah). Untuk biaya upacara kematian seorang anggota kaum yang dihormati harus sama agungnya dengan upacara perkawinan ataupun penobatan penghulu. Upacara berlangsung bertahap- tahap,seperti pada waktu tiga hari, tujuh hari, tiga kali tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari, dan akhirnya tiga kali seratus hari. Setiap upacara senantiasa mengadakan kenduri makan minum.

2. Managakkan gala pusako (mendirikan gelar pusaka), yaitu mendirikan penghulu baru menggantikan penghulu yang tidak dapat berfungsi lagi, karena mengundurkan diri atau karena meninggal.

3. Gadih ladang indak balaki (gadis desa belum bersuami), yaitu biaya persiapan dan pelaksanaan perkawinan seorang gadis yang biasanya mahal karena perjamuan yang berlarut-larut.

4. Rumah gadang katirisan (rumah gadang ketirisan), yaitu biaya memperbaiki rumah gadang yang telah rusak.

Syarat pegang gadai sangat berat bagi pihak yang menggadaikan di Minangkabau, karena nilai gadaian hampir seperti harga jual, sehingga akan sulit menebusnya kembali dan selama tergadai hasil atau sebagian hasil dari harta pusaka itu tidak diperoleh lagi. Jikalau bukan karena alasan berat yang akan dapat memberi malu seluruh kaum kerabat, maka pegang gadai tidak akan pernah dilakukan.

Syarat dalam perjanjian pegang gadai ialah sebagai berikut:

1. Pegang gadai dianggap sah apabila semua ahli waris telah menyetujuinya, seandainya masih ada salah seorang saja yang keberatan maka pegang gadai tidak sah.

2. Jangka waktu perjanjian pegang gadai sekurang-kurangnya sampai si pemegang telah memetik hasil harta yang digadaikan, yakni sekali panen.

3. Pihak penggadai mempunyai hak pertama untuk menggarap tanah (sawah) yang tergadai dengan sistem sedua, jika ia tidak hendak menggarapnya pemegang boleh menyerahkan ke orang lain.

4. Pemegang gadai tidak boleh menggadaikan lagi tanah atau sawah yang dipegangnya ke pihak ke tiga tanpa persetujuan penggadai pertama dan sebaliknya penggadai pertama wajib menyetujui penggadaian ke pihak ketiga apabila pemegang memerlukan uangnya kemudian si penggadai belum dapat menebus gadaian itu langsung kepada pihak ketiga.

5. Nilai harga harta gadaian boleh diperdalam. Artinya, si penggadai boleh meminta tambahan harga gadaian dalam masa perjanjian pegang gadai berjalan. Sebaliknya, penebusannya tidak dapat dilakukan dengan cicilan.

6. Jika salah satu pihak yang membuat perjanjian pegang gadai meninggal atau keduanya meninggal, maka hak pegang atau hak tebus diwariskan kepada ahli warisnya masing-masing.

7. Jika dalam masa perjanjian itu terjadi kerusakan terhadap harta gadaian, umpanya karena bencana alam, kedua belah pihak tidak terikat pada masalah ganti rugi. Pemegang berhak memperbaiki kerusakan itu serta menggarapnya terus sebagaimana biasa, andai kata si pemegang tidak hendak memperbaikinya maka harta gadaian itu kembali menjadi hak penggadai.

8. Jika yang digadaikan itu tanaman keras, seperti kelapa atau cengkih pemegang berhak mengambil hasilnya, tetapi tidak boleh menebang pohonnya (Navis, 2015:189-194).

4.4.3 Pusaka

“Karena dia seorang beradat, gelar pusaka Datuk Mantari Labih tidak ada yang akan memakai” (TKvdW:13).

Representamen:

Pusaka merupakan suatu simbol aturan yang terdapat di kebudayaan Minangkabau, pusaka dalam tulisan bahasa Minangkabau adalah pusako. Arti dari kata pusako adalah pusako salingka kaum, adat salingka nagari (pusaka sepenuhnya wewenang kaum, urusan adat terbatas hanya dalam nagari masing-masing) dalam KBM (2015:321).

Interpretant:

Pusako juga merupakan warisan yang menurut adat Minangkabau diterima dari mamak oleh kemanakan. Bagi masyarakat Minangkabau yang berstelsel matrilineal, warisan diturunkan kepada kemanakan, baik warisan gelar maupun warisan harta yang biasanya disebut sako dan pusako (saka dan pusaka). Sebagai warisan harta yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak.

Setiap harta yang telah jadi pusako selalu dijaga agar utuh, demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan hukum adat mereka. Pada gilirannya diturunkan pula kepada kemanakan berikutnya. Kemanakan laki-laki dan perempuan yang berhak menerima warisan memiliki wewenang berbeda. Kemanakan laki- laki berhak mengusahakan sedangkan kemanakan perempuan berhak memiliki. Dalam mamangan disebut warih dijawek, pusako ditolong (waris dijawat, pusaka ditolong). Maksudnya bahwa sebagai warisan harta itu diterima dari mamak, dan sebagai pusaka harta itu harus dipelihara baik-baik.

Dalam tambo dikisahkan alasan sako dan pusako (saka dan pusaka) diwaiskan kepada kemanakan. Ada berbagai versi kisahnya. Di antaranya ialah bahwa pada waktu Datuk Parpatih nan Sabatang masih bernama Sutan Balun, ia terpaksa ke Negeri Tiku. Pada waktu itu Raja Tiku, Tuanku Rajo Tuo, menyuruh anak buahnya membuat perahu besar. Kesulitan ditemui, setelah perahu tersebut siap dan tidak dapat diturunkan ke air meskipun telah ditarik beramai-ramai. Sutan Balun diminta membantu, ia mencoba menarik seorang diri juga tidak berhasil kemudian katanya bahwa perahu bisa ditarik apabila digalang dengan tubuh manusia.

Tuanku Rajo Tuo menyuruh anaknya menjadi penggalang, anaknya tidak mau atas perintahnya lalu disuruhnya kemakannya. Si kemanakan menyanggupi perintahnya, kemudian Sutan Balun melecut ke perahu yang telah digalangi oleh kemanakan Tuanku Rajo Tuo serta merta meluncurlah perahu itu ke air tanpa mencederai tubuh yang menggalanginya. Sejak itu diputuskanlah oleh Cati Bilang Pandai bahwa pusako diwariskan kepada kemanakan.

Versi lainnya mengisahkan bahwa Datuak Ketumanggungan dan Datuak Parpatih nan Sebatang melakukan pelayaran. Suatu ketika perahunya terdampar ke karang, pada mulanya disuruh semua anak untuk menarik perahu di atas karang itu dan tidak seorangpun yang mau. Ketika semua kemanakan disuruh, maka mereka semua terjun ke laut untuk menarik perahu tersebut. Oleh karena itu, kesetiaan kemanakan diakui dan dari situlah kemanakan yang berhak mewarisi warisan mamaknya (pamannya).

Pusako di Masyarakat Minangkabau dibagi atas dua bagian yaitu pusako rendah dan pusako tinggi. Pusako rendah adalah warisan yang ditinggalkan seseorang pada tingkat pertama. Maksudnya ahli warisnya masih berjumlah kecil, ahli waris dapat membuat kesepakatan untuk mengolah harta warisan itu. Misalkan pusako tersebut untuk dijual atau untuk dibagi-bagi antara mereka, meskipun tindakan itu tidak terpuji. Di samping itu, karena orang yang mewarisinya masih sedikit, maka statusnya masih dipandang rendah.

Sebagai status yang dipandang pusako tinggi, apabila para ahli waris tetap menjaga keutuhan warisan itu dan kemudian pada gilirannya mewariskan pula kepada ahli warisnya sehingga tidak mudah lagi mengadakan kesepakatan untuk pengolaannya. Apabila pusako tinggi digadaikan, maka memerlukan persetujuan penghulu kaum untuk mengubah statusnya. Persetujuan penghulu juga tidak akan mudah didapat, karena penghulu hanya akan menyetujui apabila seluruh ahli waris sepakat (Navis,2015:182-187).

Dokumen terkait