• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.4 Simbol Sebutan Istilah Sistem Peraturan Adat

4.4.5 Rumah Gedang

“Hayati telah rusak binasa semenjak berkenalan dengan engkau dan kalau diperturutkan agaknya badannya akan kurus kering, dan kalau dia terus binasa, bukanlah segenap persukuan dan perlindungan di rumah gedang kehilangan mustika” (TKvdW:62). Representamen:

Rumah Gedang yang ditulis dalam bahasa Minangkabau ialah rumah gadang. Rumah gadang merupakan simbol tugu hasil kebudayaan suatu suku Minangkabau yang hidup di daerah Bukit Barisan yang menjajar di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera Barat. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa yang dibangun di atas tiang, rumah gadang mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas serta yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di edaran garis katulistiwa itu. Sebagai tugu kebudayaan suku Minangkabau, ia dinyatakan dengan rasa bangga, dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Rumah gadang juga diucapkan dengan gaya yang beralun pada pidatonya dalam situasi yang tepat. (Navis, 2015:195)

Interpretant:

Rumah gadang di Minangkabau mempunyai nama yang beraneka ragam menurut bentuknya, ukuran, serta gaya kelarasan dan gaya luhak. Menurut bentuknya, rumah gadang lazim pula disebut rumah gonjong atau rumah bagonjong (rumah bergonjong), karena bentuk atapnya yang bergonjong runcing menculang. Namalah yang membedakannya dengan rumah yang beratap biasa. Menurut ukurannya, rumah gadang tergantung pada jumlah lanjarnya. Lanjar ialah ruangan dari depan ke belakang, sedangkan ruangan yang berlanjar dua dinamakan lipek pandan (lipat pandang). Umumnya lipek pandan memakai dua gonjong, rumah yang berlanjar tiga disebut belah bubuang (belah bubung) dan atapnya bergonjong empat. Rumah yang belanjar empat disebut gajah maharam (gajah mengeram), lazimnya gajah maharam memakai gonjong enam atau lebih.

Menurut gaya kelarasan, rumah gadang aliran koto Piliang disebut si tinjau laut. Kedua ujung rumah diberi beranjung, yakni sebuah ruang kecil lantainya lebih tinggi karena beranjung itu disebut juga rumah bananjuang (rumah barangjueng). Rumah dari aliran Bodi Caniago lazimnya disebut rumah gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi sebagai mana rumah dari aliran koto Piliang seperti halnya yang terdapat di Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Koto. Rumah yang tidak termasuk aliran keduanya, seperti dalam kisah tambo bahwa ada kaum yang tidak di bawah pimpinan Datuk Kutumanggungan dan Datuk Parpatih nan Sabatang, yakni dari aliran Datuk nan Sekelap Dunia di wilayah Lima Kaum, memakai hukumnya sendiri.

Menurut tipe rumah gadang koto Piliang, yaitu memakai anjungan pada kedua ujung rumahnya. Namun sistem pemerintahannya menurut aliran Bodi Caniago. Rumah gadang dari tuan gadangi di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima, disebut rumah batingkok (rumah bertingkap). Tingkapnya terletak di tengah puncak atap. Mungkin tingkap itu digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyediakan kewaspadaannya. Apabila menurut gaya luhak, tiap luhak mempunyai gaya dengan namanya tersendiri.

Rumah gadang dikatakan gadang (besar) bukan karena fisiknya yang besar melainkan karena fungsinya. Dalam nyanyian atau pidato dilukiskan juga fungsinya rumah gadang yang antara lain sebagai berikut.

Rumah gadang basa batuah, Tiang banamo kato hakikaik, Pintunyo banamo dalia kiasannya, Banduanyo sambah-menyambah. Bajanjang naiak batanggo turun, Dindiangnyo panutuik malu,

Biliaknyo alung bunian.

Artinya rumah gadang besar betuah, tiangnya bernama hakikat, pintunya bernama dalil kiasan, bendulnya sembah-menyembah, berjenjang naik, bertangga turun, dindingnya penutup malu, biliknya alung bunian. Selain sebagai tempat kediaman keluarga, fungsi rumah gadang juga sebagai lambang kehadiran suatu kaum serta sebagai pusat kehidupan dan kerukunan, seperti tempat mufakat dan melaksanakan berbagai upacara. Bahkan sebagai tempat merawat anggota keluarga yang sakit.

Sebagai tempat tinggal bersama, rumah gadang mempunyai ketentuan-ketentuan tersendiri. Setiap perempuan yang sudah bersuami memperoleh sebuah kamar di tengah. Perempuan yang termuda memperoleh kamar di ujung. Perempuan tua dan anak-anak memperoleh kamar di dekat dapur, sedangkan laki-laki tua, duda, dan bujangan tidur di surau milik kaumnya masing-masing. Penempatan pasangan yang baru menikah diberi tempat kamar yang paling ujung agar tidak terganggu kesibukan rumah tangganya.

Rumah gadang memiliki tata hidup dan pergaulan di dalamnya karena rumah gadang sangat mulia, bahkan dipandang suci. Oleh karena itu, orang yang mendiaminya adalah darah turunan yang murni dari kaum yang bermartabat, konsep matrilineal yang dianut memberi cukup peluang bagi penyegaran darah turunan ahli rumah bersangkutan, yakni memberi kemungkinan bagi pihak perempuan untuk memperkasai suatu perkawinan dengan cara meminang seseorang laki-laki pilihannya. Laki-laki pilihan ditentukan kekayaannya, ilmunya dan jabatannya. Oleh karena jabatannya penghulu itu sangat terbatas dan ditentukan dengan cara “patah tumbuh, hilang berganti” maka orang lebih menempu kea rah memperoleh ilmu atau kekayaan.

Sebagai milik bersama, rumah gadang dibangun di atas tanah kaum dengan bergotong-royong sesama mereka serta dibantu kaum lain. Ketentuan adat menetapkan bahwa rumah gadang yang bergonjong empat dan selebihnya hanya boleh didirikan pada

perkampungan yang berates nagari atau koto. Semua rumah gadang di Minangkabau terbuat dari papan, terkecuali dinding belakangnya dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal, pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dena bendul terdapat papan bingkai lurus dan berelung. Semua papan yang menjadi dinding diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak ditengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya.

Sesuai dengan ajaran falsafah Minangkabau yang bersumber dari alam takambang, sifat ukiran nonfiguratif, tidak melukiskan simbol atau lambang-lambang. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akarnya itu berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjainan, dan juga sambung- menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk keluar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang berisi dengan daun, bunga, dan buah (Navis, 2015:198-208).

Dokumen terkait