• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KERANGKA TEORI

C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundametalisme Islam

1. Ijtihad

Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan

hadis. Namun, hasil ijtihad tetap tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan hadis. Hadis yang menunjukkan bolehnya berijtihad adalah hadis nabi yang

mengisahkan tentang sahabat Mu‟adz bin Jabal ketika di utus ke Yaman44 .

42

Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme dan

Modernis), (Jakarta, Yayasan Indonesia Tera, 2001), hal. xvi-xvii 43

Ibid, h. xvi-xvii. 44

Abu Yasid, Islam Akomodatif “Rekonstruksi Pemahaman Islam Sebagai Agama Universal”, (Yogyakarta, LKIS, 2004), h. 64.

نع ن ح مَس ه ع هَ ا َص هَ ا س َّأ عم قف نم ا إ هثعب

ك ع ّإ عن ت ف ك م ّإف ق هَ ا تك ف مب ضقأ ق ء ضق

ن هَ ا َص هَ ا س ةَنسبف ق هَ ا تك ف م ّإف ق مَس ه ع

هَ ا س ةَنس ف ن آ أ تجأ ق مَس ه ع هَ ا َص ق

ص مَس ه ع هَ ا َص هَ ا س ضف َا هَ مح ا ق َمث

هَ ا س س قَف هَ ا س ض م مَس ه ع هَ ا َص

َص مَس ه ع هَ ا

Artinya :“Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz

ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra‟yu ku dan aku tidak akan

menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi

Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah”

Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa, ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Adapun menurut istilah, al-ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau beberapa orang ulama tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu tempat dan waktu tertentu untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu atau beberapa perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan positif, baik dalam Al-Qur‟an maupun al-Hadis45. Dan secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari syariat melalui metode tertentu.

45 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 55

Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, perbedaan kecenderungan penafsiran dalam melihat doktrin agama aliran pemikiran modernisme Islam yang cenderung elastic dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang cenderung rigid dan literalis dalam melihat doktrin agama, menghasilkan perbedaan dalam memaknai masalah ijtihad. Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Sesuai dengan kecenderungan penafsiran yang elastic dan fleksibel terhadap doktrin, modernisme Islam melihat bahwa dalam masalah-masalah mu‟amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberi ketentuan umum yang bersifat universal. Karena itu ijtihad harus digalakkan. Itjihad memunggkinkan corak pengaturan doktrin yang berisi ketentuan-ketentuan umum itu dapat diimplementasikan kedalam suasana konkret, yaitu suasana masyarakat yang ada pada suatu zaman dan tempat terentu.”46

Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra Fundamentalisme Islam melihat bahwa:

“Kaum Fundamentalis seiring dengan kecenderungan penafsirannya terhadap doktrin yang bersifat rigid dan literalis, fundamentalisme memandang bahwa corak pengaturan doktrin bersifat total dan serba mencakup. Tidak ada masalah-masalah yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini yang luput dari jangkauan doktrin yang serba mencakup itu. Karena itu itjihad dengan sendirinya di batasi hanya kepada masalah-masalah diantara doktrin tidak memberikan petunjuk dan pengaturan sampai detail-detail persoalan.”47

Dari uraian diatas, antara modernisme dan fundamentalisme keduanya bersepakat tentang perlunya ijtihad dalam membuat dan merumuskan hukum-hukum Islam (syariah Islam) sesuai dengan doktrin agama. Namun ada perbedaan tentang doktrin agama (Al-Qur‟an dan hadis) mana saja yang perlu dilakukannya

46

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 29

47

ijtihad. Modernisme Islam membatasi diri pada doktrin agama yang berkaitan dengan masalah muamalah (kemasyarakatan). Karena menurut mereka dalam masalah muamalah doktrin-doktrin hanya menerangkan prinsip-prinsip universal48. Sementara itu, fundamentalisme tidak membatasi diri pada masalah muamalah, tapi langsung membatasi ijtihad pada doktrin agama, menurut mereka doktrin agama yang sudah memberikan petunjuk dan pengaturan sampai ke detail-detail persoalan, tidak perlu dilakukan ijtihad49.

Menurut Saiful Mujani dalam bukunya “Muslim Demokrat „Islam, Budaya

Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU” dikalangan

Islam, terdapat sejumlah nas-nas doktrin agama tentang hukum muamalah (kemasyarakatn) salah satunya adalah hukum potong tangan bagi pencuri. Dan

48

Kaum modernis membedakan doktrin agama kedalam dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Semua peraturan dalam bidang ibadah sudah di perinci oleh syariah, sedangkan dalam bidang muamalah, syariah memberikan prinsip-prinsip umum dan mendorong kreativitas, karena tanpa kreativitas (ijtihad) Islam akan kehilangan relevansinya denga zaman. Dalam Chirzin, Jihad Dalam Al-Qur‟an Persfektif Modernisme dan Fundamentalisme dalam jurnal Hermenia, Jurnal Kajian Interdisipliner Vol. 2 No. 1 Januari-Juni 2003: 95-115. Dalam buku Endang Saifuddin Anshari, “Wawasan Islam “Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, Secara definitif muamalah dapat diartikan dalam arti luas dan sempit. Dalam arti yang luas, yaitu tata aturan ilahi yang mengatur hubungan sesama manusia dan benda. Muamalah dalam arti luas ini, secara garis besar terdiri atas dua bagian besar. A. Al-Qanunul Khas „hukum perdata‟ yang meliputi: 1). Muamalah dalam arti sempit = hukum niaga, 2). Munakahah = hukum nikah, 3). Waratsah = hukum waris, 4). Dan lain sebagainya. B. Al-Qanunul‟Am‟ „hukum publik‟ yang meliputi: 1). Jinayah = hukum pidana, 2). Khilafah = ketatanegaraan, 3). Jihad = hukum perang dan damai, dan lain sebagainya. Endang Saifuddin Anshari, “Wawasan Islam “Pokok-Pokok

Pikiran Tentang Paradigma Dan Sistem Islam”, (Jakarta, Gema Insani, 2004), h. 45. 49

Ijtihad modernisme dan fundamentalisme Islam diatas berkaitan dengan sifat-sifat dari nas yang ada di Al-Quran dan Sunnah Nabi yang bersifat qath‟i dan zhanni yang sering digunakan oleh para ulama dan pemikir Islam dalam kaitannya dengan pembahasan kedudukan Al-Qur‟an dan sunnah Nabi dilihat dari wurud-nya (kedatangannya) atu tsubut-nya (penetapannya). Pembagian status qath‟i dan zhanni terhadap dalil-dalil naqli (al-qur‟an dan as-sunnah) itu mereka lakukan dalam upaya merumuskan dan menentukan “kawasan” ajaran Islam yang tidak dapat lagi dilakukan ijtihad dan masih dapat (bahkan ada yang harus) dilakukan ijtihad. Tentang sifat-sfat dari doktrin agama ini diterangkan dalam buku Syuhudi Ismail, Hadists Nabi “Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya”, (Jakarta, Gema Insani Press, 1995), h. 94. Dalam buku ini diterangkan bahwa, yang disebut dengan nas qath‟i (dharuri, yaqini, absolut, daan mutlak) dari segi dalalah-nya (petunjuk atau pengertiannya) ialah nas yang menunjukkan satu pengertian tertentu dan tidak mengandung kemungkinan takwil ataupun peluang untuk memberikan pengertian yang selainnya. Adapun yang dimaksud dengan nas yang berstatus zhanni (nazhari, relatif dan nisbi) di segi dalalah-nya (petunjuk dan pengertiannya) menurut penjelasan Khallaf ialah nas yang menunjukkan satu pengertian, namun terhadap nas itu masih dimungkinkan dilakukan takwil yang menghasilkan pengertian yang lain.

hukum ini, dapat dijadikan dukungan terhadap fundamentalisme Islam, karena kecenderungannya yang bersifat literalis dalam menafsirkan doktrin agama. Dan

sebaliknya yang sarjana muslim yang melalui “kritisisme historis-nya” melihat

bahwa semangat yang medasari penerapan hukum itu adalah untuk menciptakan tatanan keadilan dan keamanan dalam masyarakat50. Berikut adalah contoh nas Al-Qur‟an dan hadis tentang hukum jinayah (hukum pidana) potong tangan bagi

pencuri, hukum waris, dan hukum tentang kepemimpinan wanita:

a. Ayat Hukum Potong Tangan Bagi Pencuri.

ه ا بّك ب ءازج د أ ا عطق ف ةقر ّ ا ر ّ ا

ۗ

ز زع ه ا

ه ع ت ه ا ف ح صأ ه ظ دعب ت ف ح

ۗ

حر ر غ ه ا

Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima

taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

(al-Mâidah/5:38-39)

Dan nas Al-Qur‟an ini dipertegas kembali oleh hadis yang diriwayatkan

oleh Abdullâh Ib u U ar Radhiyallahu ‘a hu berkata:

هارد ةثاث هت ق ج ف قر س عطق س ه ع ه ا ص ه ا سر أ

50

Dalam bukunya ini, Saiful Mujani memakai istilah yang berbeda dalam melihat varian Islam tapi mempunyai makna yang sama dengan konsep varian Islam yang digunakan dalam penelitian ini. Syaiful mujani mengasosiasikan Modernisme Islam dengan Islam Liberal, sedangkan fundamentalisme Islam dengan Islamisme. Kalangan Islamis memahami ayat-ayat diatas cecara harfiah (rigid dan literalis) dan menuntut agar hukum itu diterapkan. Namun demikian banyak sarjana muslim, lagi-lagi melalui “kritisisme historis”, menegaskan bahwa semangat yang mendasari ayat itu adalah menciptakan tatanan keadilan dan ketentraman dalam masyarakat. Saeful Mujani, “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca ORDE BARU”, (Jakarta, Gramedia, 2007), h. 104

Artunya: Bahwa Rasûlullâh memotong tangan seseorang yang mencuri

tameng/perisai, yang nilainya sebesar tiga dirham (Muttafaqun „Alaihi).

b. Ayat Tentang Hukum Waris

ف هـ ا ص

ٓ

أ

ٰ

كدۖ

ث أ ا ظح ث ركّ

Artinya: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan (An-nisa ayat 11)

c. Ayat Tentang Hukum Kepemimpinan Wanita

ءّٓ ا ع ٰ ق جر ا

Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (An-nisa ayat 34)

Ayat Quran ini kemudian ditegaskan kembali dalam hadis berikut ini.

Hadits: Rasulullah SAW kemudian bersabda, “Tidak akan beruntung

suatu kaum yang menjadikan wanita sebagai pemimpin mereka.” (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan Nasa'i).

2. Preseden (Teladan) Tradisi Zaman Awal Islam

Kecenderungan penafsiran doktrin yang berbeda antara modernisme dan fundamentalisme, yang berakibat pada perbedaan dalam berijtihad, hal ini juga mengakibatkan perbedaan pula dalam memaknai masalah zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam. Modernis memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Sedangkan kaum fundamentalis memandang bahwa tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhammad dan para sahabat beliau terutama zaman Kkhulafa Rasyidin tidak hanya mengikat dalam hal

prinsip-prinsipnya saja, tapi juga dalam hal-hal perinciannya. Mengenai hal ini, menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Modernisme memandang tradisi awal Islam yang dicontohkan Nabi Muhamma dan para sahabat beliau-terutama zaman Kkhulafa Rasyidin hanyalah mengikat dalam hal prinsip-prinsipnya saja, bukan menyangkut hal-hal yang terperinci. Kaum modernis pada umumnya berdalih bahwa masyarakat manusia tidaklah statis, melainkan dinamis. Masyarakat terus berubah dan berkembang dari suatu zaman ke zaman lain tanpa seorangpun mampu menahannya. Namun demikian, prinsip-prinsip yang berhubungan dengan watak manusia yang menjadi anggota masyarakat itu, seperti norma-norma tentang kebaikan dan keburukan, pada hakekatnya tidak berubah. Tetapi perincian-perinciannyalah yang terus berkembang dari masa ke masa. Karena itu, preseden awal Islam di zaman Nabi dan para sahabat, tidak harus diikuti sampai kepada perincian-perincian berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang berlaku dalam masyarakat.”51

“Sedangkan perubahan perubahan itu menurut kaum modernis, adalah

“sunnah Allah” yang berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Kalau demikian, apalagi dengan warisan sejarah dan tradisi Islam dari zaman sesudah itu – yaitu generasi sesudah sahabat, tabiin dan tabi-i l-tabiin –

yang menurut pandangan kaum modernis, lebih banyak mencemaskan aspirasi-aspirasi yang hidup di zaman mereka. Warisan tradisi di zaman ini pun, dengan sendirinya tidaklah mengikat generasi-generasi kaum muslim yang hidup di jaman kenudian. Kaum modernis juga kurang membrikan aspirasi yang tinggi terhadap warisan tradisi pemikiran Islam dari zaman

yang lampau.”52

Sedangkan dalam memaknai preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam kaum fundamentalis, menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Fundamentalisme memandang, preseden zaman awal Islam adalah

mengikat secara keseluruhan, ini berarti bahwa preseden itu bukan hanya mengikat dalam prinsip, melainkan juga dalam perincian-perinciannya. Fundamentalisme memandang orang-orang yang hidup dizaman awal lebih memahami maksud-maksud doktrin. Zaman Islam awal itu, yaitu

51

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 30

52

zaman nabi dan para sahabat, adalah zaman yang ideal yang wajib

diwujudkan di segala zaman.”53

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, tradisi adalah adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan, dan atau penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang paling baik dan benar54. Sedangkan tradisi secara umum di pahami sebagai pengetahuan, doktrin, kebiasaan, praktek dan lain-lain yang diwariskan turun-temurun termasuk cara penyampaian pengetahuan, doktrin dan praktek tersebut55. Dari uraian diatas, kita dapat melihat bahwa terjadi perdebatan antara modernisme dan fundamentalisme Islam tentang tradisi-tradisi seperti apakah yang hendak di pelihara atau ditegakkan di dalam dunia dimana seseorang dihadapkan tidak hanya kepada satu kelompok tradisi tetapi kepada begitu banyak tradisi (pluralisme tradisi) dan juga dihadapkan dengan dunia yang berubah dengan cepatnya. Menurut Waqar Ahmed Husaini mengemukakan, Islam sangat memperhatikan tradisi dan konvensi masyarakat untuk dijadikan sumber bagi jurispedensi hukum Islam dengan penyempurnaan dan batasan-batasan tertentu. Prinsip demikian terus dijalankan oleh nabi muhammad. Kebijakan-kebijakan beliau yang berkaitan dengan hukum yang tertuang dalam sunnahnya banyak mencerminkan kearifan beliau terhadap tradisi-tradisi para sahabat atau masyarakat56.

Dalam sejarahnya, Islam dan tradisi merupakan dua substansi yang berlainan, tetapi dalam perwujudannya dapat saling bertaut, saling mempengaruhi,

53 Ibid., hal. 32 54 http://kamusbahasaindonesia.org/tradisi 55

Anisatun Mu;tiah dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya Di Indonesia, Vol. 1 (Jakarta, Balai Penelitian Dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15

56

Waqar Ahmad Husaini, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, (Bandung, Pustaka, 1983), h. 74.

saling mengisi dan saling mewarnai perilaku seseorang. Islam merupakan suatu normatir yang ideal, sedangkan tradisi bisa bersumber dari ajaran nenek moyang, adat istiadat setempat atau hasil pemikirannya sendiri. Islam berbicara mengenai ajaran yang ideal, sedangkan tradisi merupakan realitas dari kehidupan manusia dan lingkungan57. Dalam literatur kajian Islam banyak sekali tradisi (kebiasaan) yang dicontohkan nabi Muhammad yang tertuang dalam hadis seperti yang disebutkan Akaha dan Abduh Zulfidar dalam bukunya “160 Kebiasaan Nabi saw”58

. Contoh dari preseden (teladan) zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam adalah apakah tradisi hukum potong tangan bagi yang mencuir yang pernah di terapkan pada zaman Nabi Muhammad dan para sahabat. Tradisi hukum ini, menurut kalangan modernis harus di laksanakan hanya prinsip-prinsipnya saja, semangat ayat ini menurut mereka untuk menciptakan tatanan dan keamanan dalam masyarakat. Menurut kalangan modernis, hukum potong tangan boleh jadi merupakan sebuah instrumen yang efektif dan dapat diterima untuk menciptakan tatanan sosial. Dalam masyarakat modern, instrumen lain seperti penjara diyakini lebih manusiawi dan mendidik, dan karenanya bisa menjadi pengganti hukum Islam tersebut59. Akan tetapi menurut kalangan fundametalis Islam hukum potong tangan ini harus diterapkan sesuai apa yang dicontohkan nabi dan para sahabat, jadi tidak termakan oleh kondisi jaman60.

57 Ahmad Taufik Weldan dan M. Dimyati Huda, Metodologi Studi Islam “Suatu Tinjauan Perkembangan Islam Menuju Tradisi Islam Baru” (Malang, Bayumedia Publishing,2004), h. 29.

58

Dalam buku ini Akaha dan Abduh Zulfidar, menulis 160 kebiasaan nabi dalam hal ibadah. Akaha dan Abduh Zulfidar, 160 Kebiasaan Nabi saw, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta Timur, cetakan I, 2002)

59 Saeful Mujani, “Muslim Demokrat „Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik

di Indonesia Pasca ORDE BARU”, h. 104-106 60

Menurut Dwi Ratna Sari bahwa salah satu karakteeristik fundamentalisme Islam yaitu berpegang teguh pada kedaulatan syariat Islam. Tujuan utama umat Islam adalah menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi ini. Tujuan ini bisa dicapai dengan membangun tatanan Islam

3. Ijma

Dalam ensiklopedia umum, apabila ada kejadian atau peristiwa yang hukumnya tidak terdapat dalam Al-Quran atau hadis. Dalam hal demikian para alim ulama terkemuka mengambil suatu ketetapan atas kata sepakat. Cara penentuan hukum ini disebut ijma61. Ijma' (

ع ج ا

) adalah mashdar (bentuk) dari

ajma'a (

ع جأ

) yang memiliki dua makna:

1) Tekad yang kuat (

دك ا زع ا

) seperti:

ر س ع ف ع جأ

(sifulan bertekad kuat untuk melakukan perjalanan).

2) Kesepakatan (

ِتاا

) seperti: (

اّك ع ّ ا ع جأ

) kaum muslimin bersepakat tentang sesuatu.

Sedangkan makna Ijma' menurut istilah adalah:

رصع ف هت ف دعب س ه ع ها ص د ح ة أ د تج ِتا

ر أا ر أ ع ر صع ا

"kesepakatan para mujtahid ummat Muhammad saw setelah beliau wafat dalam masa-masa tertentu dan terhadap perkara-perkara tertentu pula" . Menurut Khaled M. Abou El Fadl, dalam kajian Islam ada beberapa permasalahan tentang teori dan praktek mengenai doktrin ijma dikalangan pemikir muslim. Meskipun mayoritas ahli hukum pada dasarnya menerima doktrin ijma,

(Nizham al-Islam) yang memosisikan syariat sebagai Undang-Undang tertinggi. Dari pemahaman ini, maka agenda formalisasi syariat Islam menjadi entry point bagi terbentuknya negara Islam sehingga syariat Islam benar-benar dapat diperlakukan dalam hukum positif, baik hukum perdata seperti perkawinan, perceraian, waris, maupun hukum jinayat seperti potong tangan dan lain sebagainya. Dwi Ratna Sari, Fundamentalisme Islam, Jurnal Komunika Vol.4 No.1 Januari-Juni 2010, h. 40-57.

61

Ada pendapat bahwa pada hakekatnya ijma ialah ijtihad dengan dasar yang lebih luas. Ijtihad mengenai (hasil) pemikiran oleh satu orang. Ijma mengenai kegiatan yang sama, tetapi oleh lebih dari satu orang. Karena ijtihadlah yang sebenarnya yaang menjadi sumber hukum. Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta, Kanisius, 1973), h. 478

62

mereka tidak sepakat menyangkut ijma siapa yang bisa dipedomani-apakah ijma para sahabat, para ahli ilmu hukum, atau masyarakat awam? Mereka juga berbeda pendapat tentang apakah semua ahli hukum harus diikuti, apakah hanya ahli hukum di wilayah tertentu, atau hanya ijma ahli hukum yang memiliki kualifikasi tingkatan tertentu. Selain itu menurut Khaled M. Abou El Fadl, mereka tidak sepakat tentang apakah ijma suatu generasi mengikat generasi lain, dan apakah ijma di sebuah wilayah tertentu mengikat wilayah lainnya63. Perbedaan dalam memanai masalah ijma ini, terlihat ketika aktivis modernisme dan fundamentalisme Islam dalam memaknai masalah ijma. Menurut Yuril Ihza

Mahendra, perbedaan dalam memaknai dan merumuskan masalah „ijma‟ anatara modernisme dan fundamentalisme Islam, merupakan akibat dari perbedaan kecenderungan penafsiran atas doktrin agama. Berikut adalah pandangan ijma menurut kalangan modernisme Islam:

“Erat hubungannya dengan dengan pandangan yang dinamis

terhadap masyarakat seperti dikemukakan diatas, modernisme juga memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatar belakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi. Kaum modernis juga juga memperluas konsep tradisional mengenai ijma - yaitu konsesus mayoritas para ulama fiqh mengenai suatu masalah hukum – menjadi konsensus mayoritas kaum muslim, atau wail-wakil mereka, pada suatu zaman dan tempat tertentu. Konsensus baru yang dibuat itu harus

diputuskan dengan berpedoman kepada “dasar-dasar doktrin”. Ijma seperti itu tentu saja tidak boleh melampaui hudud, yaitu batas-batas yang telah ditentukan oleh doktrin.”64

63 Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan “Dari Fiqh Otoriter Ke Fiqh Otoritatif”, (Jakarta, Serambi,2001), h. 118.

64

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 30

Sedangkan menurut Yusril Ihza Mahendra fundamentalisme Islam memaknai masalah ijma:

“Fundamentalisme memandang ijma zaman sahabat nabi adalah ijma yang mengikat generasi-generasi kaum muslim hingga akhir zaman. Ijma demikian tidak dapat di ubah oleh ijma-ijma yang dibuat oleh generasi yang hidup setelah mereka. Kaum fundamentalis juga-berbeda-dengan kaum modernis-pada umumnya memberikan apresiasi yang tinggi terhadap warisan sejarah dan tradisi Islam di zaman tabiin dan

tabi l-tabi‟in. Juga pada tradisi pemikiran Islam yang diwariskan oleh

para ulama di masa lampau yang dipandang mempunyai otoritas.”65 4. Pluralisme Dan Hikmah

Kecenderungan penafsiran modernisme yang bersifat elastis dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang rigid dan literalis dalam menghadapi doktrin agama, menghasilkan perbedaan pula dalam memahami beberapa masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan cara beritjihad yang, modernisme lebih menekankan pada kritisisme historis yang dilandasi oleh semangat perkembangan zaman, sedangkan fundamentalisme lebih pada keterangan dari teks doktrin agama. Selain itu, kecenderungan penafsiran ini juga mengakibatkan perbedaan dalam memaknai masalah preseden tradisi zaman awal nabi dan para sahabat, apakah mengikat secara keseluruhan atau hanya prinsip-prinsipnya saja. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan modernis dan fundamentalis Islam yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu dalam memaknai masalah pluralisme dan hikmah. Menurut Yusril Ihza Mahendra ada dua pandangan dasar modernis yang saling berhubungan dengan pandangan-pandangan diatas yaitu, sikapnya yang positif dalam melihat

65

pluralisme, dan keleluasaan untuk mengambil hikmah (kebijaksanaan) darimanapun asalnya. Menurut Yuril Ihza Mahendra:

“Kaum modernis yakin selama dunia itu ada, selama itu pula pluralisme tetap ada. Modernisme juga berkeyakinan bahwa kaum muslim adalah umat pertengahan dan umat terbaik yang ditonjolkan Allah kepada seluruh manusia. Mereka menjadi penengah antara kecenderungan-kecenderungan ekstrim yang terdapat pada umat-umat yang lain.”66

“Sikap yang positif dan optimis ini terhadap pluralisme ini selanjutnya mendorong modernis cenderung bersikap terbuka dan toleran. Bagi mereka hikmah (kebijaksanaan) akan ditemukan dimana saja termsuk pada kelompok-kelompok dari luar Islam. Dengan berpegang teguh kepada

salah satu hadis mengenai “hikmah” (kebijaksanaan), modernisme

cenderung bersikap terbuka untuk beradaptasi dan mengakulturasi

prnsip-prinsip doktrin dengan “hikmah” yang telah disumbangkan oleh

masyarakat-masyarakat yang mendukung peradaban lain. Dorongan mencari hikmah itu adalah seiring dengan kecenderungan kaum modernis yang lebih berorientasi pada penyelesaian masalah yang dihadapi secara

Dokumen terkait