• Tidak ada hasil yang ditemukan

Modernisme dan fundamentalisme Islam (studi kasus pada mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Modernisme dan fundamentalisme Islam (studi kasus pada mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta)"

Copied!
148
0
0

Teks penuh

(1)

MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME ISLAM

(Studi Kasus Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.sos)

Oleh:

Dede Eka Nurdiyansah

NIM : 104032201019

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Dede Eka Nurdiyansah

NIM : 104032201019

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Modernisme Dan Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan karya tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam skripsi. Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan aturan jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini diperbuat untuk dipergunakan seperlunya.

Jakarta, 28 September 2012

Yang menyatakan

(5)

ABSTRAK

Nama : Dede Eka Nurdiyansah

NIM : 104032201019

Fakultas : Ilmu Sosial dan Politik Jurusan : Sosiologi

Dengan sejarahnya yang panjang Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta telah menjadi salah satu ikon universitas Islam di Indonesia. ini di tandai dengan modernisasi pendidikan yang begitu intens dilakukan oleh para pimpinan UIN Syahid dengan cara mengintegrasikan ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama, dengan tujuan lebih mengembangkan Islam secara sosiologis daripada sekedar kental warna normatifnya. Efek dari modernisasi ini, dengan cara salah satunya pengintegrasian berbagai disiplin keilmuan, membuat khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya “para

pembaharu”.

Akan tetapi, hal ini seakan kontras, dengan ditemukannya beberapa beberapa mahasiswa dan alumni UIN Syahid Jakarta dalam kasus terorisme di Indonesia belakangan ini. Seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi, dan alumni UIN Syahid Jakarta Fajar Firdaus, ketiganya terbukti menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme Muhammad Sahrir dan Saefuddin Zuhri di kamar kosan-nya di Jl Semanggi II, Ciputat, pada akhir tahun 2009 dan masing-masing dijatuhi vonis empat tahun enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kecenderungan di kampus Islam UIN Syahid Jakarta yang lebih mengedepankan Islam yang modern, rasional dan kompatibel seolah linear dengan yang terjadi di perguruan tinggi umum seperti di Universitas Sriwijaya Palembang, yang menurut Kasinyo Harto yang dalam kesimpulan penelitiannya ternyata corak pemikiran keagamaannya cenderung fundamnetalis/radikalis.

Masalah inilah yang kemudian menggerakkan penulis untuk mengetahui kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, apakah mahasiswa UIN Syahid Jakarta pemikiran keagamaannya modernis atau lebih bersifat fundamentalis. Kajian pustaka pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam menggunakan kajian modernisme dan fundamentalisme dalam buku Yusril Ihza Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam

(6)

Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa:

Pertama, berkaitan dengan hal acuan atau dasar dalam membangun

masyarakat berdasarkan Al-Quran dan hadis, sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme dan fundamentalisme Islam bahwa Al-Quran dan hadis dapat dijadikan acuan atau dasar dalam membangun tatanan masyarakat dengan sebagian kecil mengatakan dengan pertimbangan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, Al-Quran dan hadis tidak bisa dipakai sebagai landasan dalam membangun masyarakat dan sisanya masih dilematis yaitu dalam masalah ibadah bisa Al-Quran dan hadis dijadikan pedoman tapi dalam masalah horizontal (hubungan sesama manusia/muamalah) masih dilematis.

Kedua, berkaitan dengan ijtihad, dalam hal hukum potong tangan, waris

dan kepemimpinan wanita, mahasiswwa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini selaras dengan modernisme Islam bahwa ayat-ayat Al-Quran seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita harus terus diijtihadkan. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, ayat-ayat Al-Quran tersebut sudah jelas maknanya jadi memang tidak perlu diijtihadkan lagi.

Ketiga, berkaitan dengan tradisi zaman awal Islam dalam hal hukum

potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan atau tidak menurut mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat dengan modernisme Islam bahwa tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita tidak relevan lagi untuk diterapkan dimasa sekarang. Sedangkan sebagian kecil lain mengatakan, tradisi-tradisi zaman awal Islam seperti hukum potong tangan, waris dan kepemimpinan wanita masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang.

Keempat, Berkaitan dengan ijma dalam penelitian ini menunjukkan bahwa

sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini sepakat dengan fundamentalisme Islam bahwa seorang muslim harus memberikan apresiasi-peghargaan terhadap ulama-ulama jaman para tabiin dan tabi l-tabi‟in. Akan tetapi sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini menyatakan bahwa ijma-ijma terdahulu dapat diperbaharui hal ini cenderung bersifat modernis karena aliran modernis memandang ijma (konsensus) yang dicapai oleh generasi terdahulu, dapat diperbaharui oleh generasi yang hidup di zaman kemudian. Hal ini dilakukan jika factor-faktor psikologis, social, politik dan ekonomi yang melatarbelakangi ijma itu berubah. Dalam hal ini termasuk juga kemungkinan memperbaharui ijma para sahabat nabi.

Kelima, berkaitan dengan pluralisme, dalam penelitian ini menunjukkan

bahwa sebagian besar mahasiswa UIN Syahid Jakarta dalam penelitian ini cenderung memandang positif terhadap pluralisme, dan hal ini selaras dengan modernisme Islam.

Keenam, berkaitan dengan hikmah (kebijaksanaan) dalam penelitian ini

(7)
(8)

KATA PENGANTAR Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabaraakatuhu

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT,

Tuhan Semesta Alam, yang telah memberikan segala kenikmatan-Nya kepada

penulis, baik itu nikmat iman, sehat , dan waktu serta nikmat kemudahan jalan

yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan

salam penulis haturkan kepada Nabi Besar umat manusia Muhammad SAW, yang

membawa risalah Allah SWT dan mengajarkannya kepada manusia sehingga

terhindar dari zaman kebodohan. Shalawat dan salam tidak lupa penulis haturkan

pula kepada para keluarga nabi, sahabat nabi, tabi‟in, tabi-tabi‟in, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulis melakukan penelitian ini untuk memenuhi persyaratan akan

kelulusan penulis untuk memperoleh gelar sarjana sosial di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Jurusan Sosiologi

Agama. Dan alhamdulillah penelitian ini dapat penulis selesaikan.

Dengan selesainya penelitian ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kedua Orang tuaku, kakak dan adiku tercinta, terima kasih atas segala

dukungannya dan ridhonya baik dari segi moril maupun materil, sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.

2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku pembimbing utama. Terima kasih

atas segala bimbingan, pendapat dan waktu yang diberikan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, Dr. Hendro Prasetyo. MA, dan seluruh staf

dekanat, terimakasih atas waktu yang telah diberikan kepada penulis selama

ini.

4. Dosen-Dosen UIN Jakarta FUF dan FISIP Reguler yang telah mengajar dan

mendidik penulis selama menjadi mahasiswa di FUF dan sekarang di FISIP

Reguler UIN Jakarta, terima kasih atas pengorbanan waktu dan ilmu yang

(9)

SWT mencatat semuanya sebagai amal ibadah yang tak akan terputus hingga

akhir zaman. Amin.

5. Mahasiswa/i UIN Syahid Jakarta, yang telah bersedia menjadi responden

dalam penelitian penulis. Terimakasih sekali lagi atas partisipasinya.

6. Keluarga besar penulis nenek teragung Hj. Nurnas, paman, bibi dan anak-anak

yang diridhoi Tuhan ”Agung, Yudha dan Salwa”, Bpk Hj. Sobari, istri dan

anak-anaknya, Bpk. Adang beserta keluarga, dll yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu disini, terima kasih atas doa dan motivasinya ya...!!!

7. Untuk Mahasiwa Sosiologi Agama FUF angkatan tahun 2004, terima kasih,

atas persahabatan dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis.

Dalam penelitian ini penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan

yang dilakukan penulis. Oleh karena itu penulis akan membuka diri untuk

menerima kritik dan saran dari semua pihak terkait penelitian ini sehingga penulis

dapat memperbaiki dan menyempurnakan penelitian ini. Akhir kata penulis

berharap semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada seluruh pihak

terkait.

Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 28 September 2012

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ... 1

B. Pertanyaan Penelitian ... 10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Tinjauan Pustaka ... 11

E. Metodologi Penelitian ... 14

1. Pendekatan ... 14

2. Metode... 14

3. Subjek ... 14

4. Jenis Data ... 15

5. Teknik Pengumpulan Data ... 15

6. Teknik Analisis Data ... 17

F. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II KERANGKA TEORI A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam ... 19

B. Landasan Historis Modernisme dan Fundametalisme Islam ... 21

C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundametalisme Islam ... 28

1. Ijtihad ... 30

(11)

3. Ijma ... 38

4. Pluralisme Dan Hikmah ... 40

BAB III GAMBARAN OBJEK PENELITIAN MAHASISWA UIN SYAHID JAKARTA A. Sejarah Singkat Lahirnya UIN Syahid Jakarta... 43

B. Visi, Misi Dan Tujuan ... 54

C. Motto Dan Arah Pengembangan ... 56

D. Kerja Sama Dan Pengembangan Jaringan ... 58

BAB IV ANALISIS DATA MODERNISME DAN FUNDAMENTALISME MAHASISWA UIN SYAHID JAKART A. Acuan Atau Dasar Dalam Membangun Masyarakat ... 60

1. Ijtihad ... 66

2. Preseden Tradisi Zaman Awal Islam ... 76

3. Ijma ... 82

4. Pluralisme ... 87

5. Hikmah ... 92

BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan ... 97

2. Saran ... 99

DAFTAR PUSTAKA

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Dengan sejarahnya yang panjang dalam sistem pendidikan Islam di

Indonesia dan perkembangan modernisasi pendidikan dilingkungan internal

kampus, UIN Syahid Jakarta telah memainkan peranan penting dan strategis

dalam spectrum pendidikan Islam di Indonesia dan sekarang ini telah menjelma

mejadi salah satu ikon universitas Islam terkemuka di Indonesia. Hal ini tidak

terlepas dari para perintis dan pemimpin UIN Syahid Jakarta sendiri, salah

satunya Harun Nasution. Ia merupakan salah satu pionir pembaharuan pendidikan

di UIN Syahid Jakarta. Ketika menjabat sebagai rektor pada tahun 1973 sampai

1984, Harun Nasution memfokuskan tentang pentingnya umat Islam untuk

berpikiran modern dalam mengembangkan keilmuan serta memahami khazanah

Islam, salah satunya, yaitu mengembangkan suasana dialogis antara berbagai

disiplin ilmu di lingkungan universitas, baik antara disiplin “sekuler” dengan

agama maupun diantara cabang-cabang ilmu agama itu sendiri. Basis penggunaan

pendekatan integrasi keilmuan ini untuk lebih mengembangkan Islam secara

sosiologis daripada sekedar kental warna normatifnya1. Gagasan integrasi

keilmuan Harun Nasution, kemudian dilanjutkan pada masa

kepemimpinan-kepemimpinan selanjutnya seperti Quraish Shihab, Said Agil Al-Munawar, dan

Azyumardi Azra. Menurut Raudah Agustiar:

(13)

“Integrasi keilmuan yang dikembangkan di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta adalah dalam pengertian adanya keterpaduan yang utuh antara ilmu-ilmu (termasuk nilai-nilai) keislaman dengan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi, dengan menjadikan Al-Qur‟an dan Al-Hadis sebagai sumner landasan yang utama2”.

Efek dari paradigma pendidikan yang dikembangkan oleh UIN Syahid

Jakarta, mempengaruhi cara mahasiwanya dalam menanggapi berbagai fenomena

kehidupan yang mereka hadapi. Seperti yang di kemukakan oleh Bachtiar Effendy

bahwa,:

“Mahasiswa UIN Jakarta pada awal 1980-an seperti Fachry Ali, Komarudin Hidayat, Azyumardi Azra, Mansoer Faqih, Kurniawan Zulkarnaen dan lain-lain, mereka sering menggunakan “ilmu-ilmu lain” dalam melihat berbagai fenomena keagamaan Islam atau sejumlah persoalan sosial politik yang berkembang di tanah air. Kegairan intelektual seperti ini sempat menimbulkan penilaian bahwa mahasiswa IAIN lebih

menekanan “ilmu-ilmu sekuler” daripada “ilmu-ilmu Islam”. Menurt Bachtiar, diskursus intelektual yang mereka bangun lebih sarat dengan rujukan-rujukan berbahasa inggris daripada berbahasa arab. Inilah yang memicu rekan-rekan mereka dari PT-PT umum untuk menganggap mahasiswa IAIN Jakarta mempunyai kecenderungan yang “sekularistis”.3 Selanjutnya, tindak lanjut dari proses modernisasi paradigma pendidikan

Islam di lingkungan IAIN, adalah dengan melakukan pengiriman para dosen dan

para calon dosen dari seluruh Indonesia ke McGill University, yang kemudian

menjadi pionir untuk modernisasi studi Islam khususnya di UIN Syahid Jakarta4.

Menurut M. Amin Abdullah, selain peran Harun Nasution dan pengiriman tenaga

pengajar ke McGill University, bahwa:

“Negara juga sangat berperan dalam peralihan tipe pendidikan Islam dari peran dakwah ke akademik, yaitu dengan melakukan berbagai perubahan

2

Raudah Agustiar, Perubahan IAIN Menjadi UIN Jakarta: “Antara Kenyataan dan

Harapan”, Jurnal Mimbar Agama Dan Budaya, Vol. XXX, No. 2, 2004, h. 175 3

Komarudin Hidayat dan Hendro Prasetyo, Problem dan Prospek IAIN “Antologi Pendidikan Tinggi Islam”, (Jakarta, Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Islam Dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, 2000), h. 103-114

4

Kusmana, Eva Nugraha dan Eva Fitriati, Paradigma Baru Pendidikan Islam “Rekaman

(14)

yang didorong oleh berbagai kebijakan seperti mengakui pendidikan yang dikembangkan masyarakat sendiri seperti pesantren dan lembaga pendidikan swasta, pengalihan status dari lembaga pendidikan swasta ke negeri, kebijakan arah pendidikan nasional, kebijakan perbaikan kurikulum dan kelembagaan sampai kebijakan transformasi kelembagaan dari institute ke universitas5.

Modernisasi pendidikan dengan pengintegrasian disiplin keilmuan,

pengiriman tenaga pengajar ke “Barat” dan kebijakan tipe pendidikan Islam,

membuat khususnya UIN Syahid Jakarta kemudian di kenal sebagai kampusnya

“para pembaharu” dan hal ini kemudian dikuatkan dengan Pola Ilmiah Pokok

(PIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sendiri yaitu pembaharuan dalam Islam

dengan menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan

perkembangan zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan

keindonesiaan6. Dari uraian singkat diatas, kita dapat melihat bahwa UIN Syahid

Jakarta telah “mensimbolkan” dirinya sebagai institusi pendidikan keislaman yang

dapat menghasilkan sarjana muslim yang memiliki keunggulan kompetitif dalam

persaingan global. Dalam pandangan teori interaksionisme simbolik, apa yang

dilakukan UIN Syahid Jakarta ini merupakan proses “simbolisasi bahasa”, yang

memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan dunia sosial diluar diri

mereka. Dan penggunaan simbol-simbol ini menurut pandangan teori

unteraksionisme simbolik salah satunya berfungsi untuk berhubungan dengan

dunia material dan sosial dengan membolehkan “mereka” memberi nama,

membuat kategori, dan mengingat objek-objek yang “mereka” temukan dimana saja, dan dalam hal ini bahasa mempunyai peran yang sangat penting, dan

5

Kusmana dan JM. Muslimin, Paradigma Baru Pendidikan “Restropeksi dan Proyeksi Pendidikan Islam di Indonesia”, (Jakarta, IIESP, 2008), hal. 35.

6

(15)

menurut pandangan teori interaksionisme simbolik bahasa merupakan sistem

simbol yang mahabesar7.

Akan tetapi, “simbolisasi” UIN Syahid Jakarta seolah sudah berubah dan mendapat tantangan dengan ditemukannya beberapa beberapa mahasiswa dan

alumni UIN Syahid Jakarta, seperti tertangkapnya Afham Ramadhan, Soni Jayadi,

dan alumni UIN Syahid Jakarta Fajar Firdaus, ketiganya terbukti

menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme yaitu Muhammad Sahrir dan

Saefuddin Zuhri8. Gagasan dan cita-cita kampus Islam UIN Syahid Jakarta yang

lebih mengedepankan Islam yang modern, rasional dan kompatibel seolah linear

dengan yang terjadi di perguruan tinggi umum seperti di Universitas Sriwijaya

Palembang, yang menurut Kasinyo Harto yang dalam kesimpulan penelitiannya

ternyata corak pemikiran keagamaannya cenderung fundamnetalis/radikalis9.

Dalam melihat fenomena ini, penting untuk melihat pandangan William James

salah satu pemikir interaksionisme simbolik yang mengembangkan konsep

tentang „self‟ (diri). Ia mengatakan bahwa:

“Manusia mempunyai kemampuan untuk melihat dirinya sebagai objek.

Dalam kemampuan itu, ia bisa mengembangkan suatu sikap dan persasaan terhadap terhadap dirinya sendiri. Lebih lanjut ia juga dapat membentuk tanggapan-tanggapan-tanggapan terhadap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu. James menyebutkan kemampuan-kemampuan ini sebagai „self‟. Dan dia mengakui pentingnya kemampuan-kemampuan ini dalam membentuk cara-cara seseorang menanggapi dunia di sekitarnya”10.

7

Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta, Prestasi Pustakakarya, 2007), hal. 110 8

http://news.detik.com/read/2010/08/03/192306/1413027/10/tiga-mahasiswa-uin-jakarta-divonis-4-tahun-6-bulan-penjara

9

Kasinyo Harto, Islam Fundamentalis Di Perguruan Tinggi Umum “Kasus Gerakan Mahasiswa Universitas Sriwijaya Palembang”, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2008)

10

(16)

Dan karena kemampuan untuk mengerti arti dan simbol-simbol, menurut

Herbert Blumer maka manusia bisa melakukan pilihan terhadap tindakan-tindakan

yang diambil. Manusia tidak perlu menerima begitu saja arti-arti dan

simbol-simbol yang dipaksakan kepada mereka. Sebaliknya mereka bisa bertindak

berdasarkan interpretasi yang mereka buat sendiri terhadap situasi itu. Dengan

kata lain, manusia mempunyai kemampuan untuk memberikan arti baru kepada

situasi itu11. Dalam melihat fenomena diatas, penting menyimak pendapat George

Herbert Mead tentang pranata sosial (sosial institutions). Menurutnya:

“Pranata didefinisikan sebagai “Tanggapan Bersama Dalam

Komunitas” atau “Kebiasaan Hidup Komunitas”. Proses ini disebut

“Pembentukan Pranata”. Kita membawa kumpulan sikap yang terorganisir ini kedekat kita, dan sikap kita itu membantu mengendalikan tindakan kita, sebagian besar melalui keakuan (me). Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor. Pendidikan adalah proses yang essensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya hingga mereka mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas. Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas atau melumpuhkan kreativitas. Mead

mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotif, dan

ultrakonservatif–seperti gereja–yang dengan kekakuan, ketidaklenturan, dan ketidakprogresifannnya, menghancurkan atau melenyapkan individualitas. Tetapi mead cepat-cepat menambahkan: “tidak ada alasan yang tak terelakan mengapa pranata sosial harus menindas atau konservatif, atau mengapa mereka itu tak selalu lentur dan progresif, lebih membantu perkembangan individualitas keetimbang menghalanginya. Menurut Mead pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam pengertian yang sangat luas dan umum saja, dan seharusnya menyediakan ruang yang cukup bagi

individualitas dan kreativitas”.12

Fenomena fundamentalisasi atau radikalisasi agama yang muncul

belakangan ini, menurut beberapa pengamat adalah salah satu bentuk aliran

11

Ibid, h. 112 12

(17)

pemikiran dan gerakan Islam yang ingin berusaha melahirkan arus penegasan

kembali identitas dan ideologi muslim dan berupaya mewujudkan cita-cita

politiknya kepentas kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia belakangan

ini. Dalam melihat fenomena ini, menurut Mambaul Ngadimah:

“Pemikiran dan gerakan Islam adalah fenomena sejarah sekaligus budaya

yang beragam, yang perkembangannya sangat terkait dengan latar sosiobudaya dan politik tertentu dari suatu masyarakat Islam yang hidup di kawasan tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Dan permasalahan yang menimbulkannya adalah pergumulan Islam dn modernitas, khususnya di negara-negara belahan Dunia Ketiga, terutama sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad ke 18. Persoalan ini menurut Mambaul Ngadimah, telah menyita banyak energi kalangan intelektual Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini boleh dikatakan belum ada suatu pembahasan yang tuntas baik dalam bentuk solusi maupun antisipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas. Ketegangan teologis ini secara tidak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum muslimin berupa aliran-aliran pemikiran keagamaan yang kemudian memperkaya khazanah intelektual-keagamaan Islam. Diantaranya, apa yang terkenal dengan sebutan Modernisme Islam, Fundamentalisme

Islam,”13 .

Perdebatan antara kalangan modernis dan fundamentalis tentang bagaiman

mensinergikan Islam dalam kondisi dewasa ini, telah memancing perdebatan dan

persaingan yang terus menerus, di seluruh dunia Islam termasuk di Indonesia.

Contohnya adalah di Pakistan. Di Pakistan kalangan nodernis dan fundamentalis

berdebat tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam pada zaman

aslinya, dan semangat zaman modern, hal ini berakibat pada persoalan serius

dalam mendefinisikan ke-Islaman-nya sejak berdiri pada 3 Juni 1947. Konflik

antara kalangan modernis dan fundamentalis ini juga terjadi di Afghanistan isunya

adalah sama yaitu tentang bagaimana menerapkan semangat hukum Islam

ditengah kondisi modern. Di Indonesia sendiri, penerapan syariat Islam di

daerahnya menimbulkan krisis konstitusi karena dipandang bertentangan dengan

13

(18)

undang-undang yang lebih tinggi14. Menurut Yusril Ihza Mahendra, perbedaan

pendapat dalam bagaimana mensinergikan antara Islam dan modernitas di

kalangan modernis dan fundamentalis Islam merupakan akibat dari

kecenderungan penafsiran dalam memahami doktrin agama yaitu Al-Quran dan

Sunnah Nabi yang dijadikan acuan dalam membangun tatanan masyarakat.

Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu. Namun demikian meskipun kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting. Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis.”15 Dijelaskan kembali oleh Yusril Ihza Mahendra bahwa:

“Perbedaan kecenderungan corak penafsiran ini, menghasilkan

perbedaan pula dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalah-masalah yang berhubungan dengan (a) itjihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan)

dan (e) hikmahi.”16

Aliran pemikiran dan gerakan kebangkitan Islam muncul dan mendapat

perhatian besar saat pada masa tiga kerajaan besar (Turki Utsmani, Safawai dan

Mughal), yang merupakan simbol kekuatan politik Islam yang tersisa, mengalami

kehancuran dan kemunduran yang berpuncak pada abad 18 dan sekarang semakin

menunjukkan intensitasnya dan mengkristal setelah negara-negara Muslim

14

Untuk memahami tentang perdebatan modernis dan fundamentalis dalam penerapan syariat Islam di berbagai belahan dunia Muslim, baca Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam “Dari Indonesia Hingga Nigeria”, (Jakarta, Alvabet, 2004), h. 138-168.

15

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 29.

16

(19)

terpecah kedalam negara–bangsa. Hancurnya kekuatan Islam sebagai sistem sosial, ekonomi dan politik, menurut Azyumardi Azra:

“Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan

“kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi,

sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”17 Dan selanjutnya akibat dari krisis yang muncul di negara-negara Muslim,

menurut Tarmizi Taher :

“Krisis yang muncul dalam negara-negara baru ini memberi ruang bagi sementara kalangan agamawan untuk membentuk gerakan-gerakan radikal. Mereka berusaha menolak tatanan yang ada, baik sistem negara, hukum dan kebudayaan, untuk kemudian diganti dengan sistem Islam. Penolakan mereka sangat radikal, dan begitu juga konsep kehidupan yang mereka tawarkan. Berbeda dengan kaum revivalis yang sekedar ingin mengembalikan kemurnian Islam atau kaum modernis yang bertujuan memodernisasi Islam, kalangan fundamentalis mempercayai kesempurnaan Islam bagi seluruh dimensi kehidupan. Oleh karenanya, mereka terus berusaha mengganti semua institusi sosial, ekonomi, budaya, dan politik dengan model Islam”.18

Aliran-aliran modernisme dan fundamentalisme Islam, selalu ditandai

dengan perdebatan persepsi dan pola berpikir, perbedaan-perbedaan itu tidak

jarang berujung pada kekerasan yang berlumuran darah, manakala kepentingan

politik terlibat didalamnya, namun kadangkala perbedaan-perbedaan itu seakan

menjadi tidak penting ketika kelompok-kelompok Islam tersebut merasa sedang

berhadapan dengan musuh bersama, atau pada masing-masing kelompok terasa

tidak berbenturan. Dari realitas diatas, menurut penulis yang menarik untuk di

cermati dan diteliti dalam kehidupan beragama pada umumnya tak terkecuali

17

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme

Hingga Post-Modernisme”,(Jakarta, Paramadina, 1996), h. vi.

18

Tarmizi Taher, Anatomi Radikalisme Keagamaan dalam Sejarah Islam, Dalam,

(20)

kehidupan beragama Islam adalah fenomena dan kenyataan yang menunjukkan

bahwasannya kehidupan umat beragama-baik kaum awam maupun

intelektual-dalam kehidupan mereka sehari-hari adalah sangat tergantung dan ditentukan oleh

teks-teks, nash-nash dan kepustakaan keagamaan yang mereka miliki, baik yang

terkait dengan persoalan ibadah semata, maupun tata hubungan sosial keagamaan,

sosial-ekonomi, dan budaya. Jika timbul persoalan dalam kehidupan sehari-hari

pada umumnya, mereka tidak segera menyelesaikan persoalan tersebut secara

“spontan” dengan menggunakan commensense tetapi selalu merujuk terlebih

dahulu darip ada wejangan uraian, petuah, nasehat/fatwa ustadz ulama, bhiku,

pendeta, pastor atau organisaasi-organisasi, pemuka-pemuka masyarakat dan

orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat. Para tokoh agama kemudian

berkonsultasi dahulu dengan teks-teks dan kitab keagamaan yang mereka miliki

dan yang pernah mereka telaah dan pelajari dahulu, tanpa mempertimbangkan

lebih jauh dalam onteks dan situasi apa dan bagaimana teks-teks, kitab-kitab,

fatwa-fatwa dahulu tersebut di tulis. Maka dari itu, penulis sangat tertarik untuk

mempelajari aliran-aliran pemikiran keagamaan Islam, dan kecenderungan

gagasan-gagasan pemikiran Islam yang berkembang di perguruaan tinggi Islam,

khusunya Universitas Islam Negari (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan

tema “Modernisme dan Fundamentalisme Islam (Studi Pada Mahasiswa UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta). Peneliti sangat yakin bahwa, sangatlah penting

untuk mendalami aliran-aliran pemikiran keagamaan dalam masyarakat, seperti

pemikiran-pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam Islam,

dan kemudian meminta reaksi atau tanggapan mahasiswa UIN Syahid Jakarta, hal

(21)

Hidayatullah Jakarta sendiri yaitu pembaharuan dalam Islam dengan

menampilkan Islam yang modern, rasional dan kompatibel dengan perkembangan

zaman agar tercipta integrasi keislaman, kemanusiaan dan keindonesiaan.

B. Pertanyaan Penelitian

Sesuai dengan pernyataan masalah diatas, maka dibuat pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1) Bagaimana kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa Universitas

Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta jika dilihat dari kerangkan

pemikiran keagamaan modernisme dan fundamentalisme dalam

religio-kultural Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan diatas, maka penelitian ini bertujuan, untuk

mengidentifikasi kecenderungan pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta dalam kerangka aliran pemikiran keagamaan modernisme

dan fundametalisme dalam religio kultural Islam.

2. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian yang akan dilakukan ini diharapkan memiliki manfaat,

(22)

a. Memberikan informasi mengenai kecenderungan pemikiran mahasiswa

UIN Syarif Hidayatullah dalam kerangka pemikiran keagamaan aliran

modernisme dan fundamentlisme Islam.

b. Memberikan gambaran arah kecenderungan mahasiswa apakah bersifat

modernis atau fundamentalis dalam kaitannya dengan doktrin agama.

c. Manfaat bagi peneliti, menambah khazanah pengetahuan tentang ragam

pemikiran keagamaan dalam Islam.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh pengamatan penulis, cukup banyak studi secara khusus yang

membahas kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang terhadap pemikiran

modernisme dan fundamentalisme Islam. Berikut adalah, penelitian tentang

modernisme dan fundamentalisme Islam dalam kaitannya dengan doktrin agama

yang kemudian digunakan untuk menganalisis berbagai arah kecenderungan

individu atau institusi sosial. Berikut adalah beberapa penelititan modernisme dan

fundamentalisme Islam.

1. Disertasi Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme

Dalam Politik Islam. Dalam Disertasi ini Yusril mencoba menghubungkan

kaitan pemahaman keagamaan modernisme dan fundamentalisme Islam

dalam pengaruhnya terhadap pembentukan partai politik Masyumi di

Indonesia dan partai Jama‟at Islami di Pakistan. Yusril mengatakan bahwa

modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas,

karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama

(23)

melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan

hikmah. Pandangan-pandangan dasar tersebut mempengaruhi tipologi

organisasi dan tipologi program partai modernis (Masyumi) dan partai

fundamentalis (Jama‟at-i-Islami). Dari disertasi ini, penulis mengambil kerangka awal perbedaan modernisme dan fundamentalisme Islam. Bahwa

modernisme dan fundamentalisme Islam dapat dibedakan secara tegas,

karena kecenderungan mereka dalam menafsirkan doktrin agama

berbeda-beda. Perbedaan ini kemudian, mengakibatkan perbedaan masalah dalam

melihat masalah Ijtihad, preseden zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan

hikmah. Disertasi Yusril Ihza Mahendra ini, merupakan pijakan awal

penulis dalam memetakan modernisme dan fundametalisme Islam untuk

melihat arah kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang, apakah

kecenderungannya bersifat modernis atau fundamentalis yang dilihat dari

bagaimana seseorang memaknai masalah ijtihad, preseden zaman awal

serta tradisi Islam, ijma, pluralisme dan hikmah.

2. Tesis Rihlah Nuraulia, Fundamnetalisme Islam Di Indonesia Studi Atas

Gerakan Dan Pemikiran Hizbut Tahrir. Dalam tesis ini Rihlah Maulia

ingin menggali pola-pola gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir yang

dikelompokkan dalam kalangan Islam fundamentalis. Dalam tesisnya ini,

Rihlah Nuraulia mengatakan bahwa, ciri utama fundamentalime adalah

pandangannya yang khas mengenai kedudukan ijtihad. Kaum

fundamentalis hanya membenarkan ijtihad yang dilakukan sepanjang

syariah tidak memberikan perincian yang lebih mendalam terhadap

(24)

Islam, ataupun pendapat para fuqoha terkemuka dari jaman silam tentang

persoalan-persoalan itu. Jika ijtihad dilakukan, ia hanya boleh dilakukan

oleh para mujtahid yaitu alim ulama yang telah memenuhi syarat-syarat

untuk melakukan ijtihad. Konsensus, meskipun diakui sebagai salah satu

sumber hukum Islam, tetapi terbatas pada ijma dari jaman para sahabat

nabi. Ijma pada zaman itu tidak boleh dihapuskan oleh ijma yang

disepakati oleh generasi-generasi yang hidup dijaman kemudian.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus yaitu

suatu tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu kasus

dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif19. Pendekatan

ini dipilih untuk dapat menjelaskan kecenderungan pemikiran keagamaan

mahasiswa UIN Syahid dalam kerangka pemikiran keagamaan modernisme dan

fundamentalisme Islam.

2. Metode

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka penelitian ini

menggunakan metode kualitatif, yang menghasilkan data deskriptif. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskirpsikan tentang pandangan keagamaan modernisme dan

fundamentalisme mahasiswa UIN Syahid Jakarta, sehingga dapat dilihat arah

kecenderungan pemikiran keagamaan seseorang. Maka metode yang akan

digunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut Bogdan dan

19 Sanafiah Faisak, “Format

(25)

Taylor, metode penelitian deskriptif kualitatif merupakan suatu prosedur

penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata dari orang-orang

dan perilaku yang teramati20.

3. Subjek

Untuk teknik pencarian Informan dalam penelitian ini menggunakan

teknik pemilihan sampel berdasarkan pertimbangan (Purposif Sampling),

merupakan tipe pemilihan sampel secara tidak acak yang informasinya diperoleh

dengan menggunakan pertimbangan tertentu21. Informan dalam penelitian ini

adalah mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah menyelesaikan

proses perkuliahan, yaitu semester 9, 10, 11, 12 13, dan 14. Dikarenakan mereka

sudah disosialisasikan tentang kajian-kajian keagamaan dalam religio-kultural

Islam, dan dianggap sudah banyak terlibat dalam diskusi-diskusi keagamaan di

UIN Syahid Jakarta.

4. Jenis Data

Penjelasan Pandangan keagamaan modernisme dan fundamentalisme

Islam, diperlukan data sebagai berikut; Pertama, data primer, data ini diperoleh

langsung dari sumbernya, terutama orang yang dipilih sebagai informan yang

akan diajak wawancara. Data primer yang dimaksud dalam penelitian ini

merupakan data mengenai unsur-unsur keagamaan modernisme dan

fundamentalisme Islamm. Kedua, data sekunder merupakan data yang diperoleh

secara tidak langsung, yaitu dengan cara mengutip atau mencatat dari buku-buku,

dokumen-dokumen berupa arsip UIN Syahid Jakarta (sejarah berdiri, Visi-misi

20

Febri Anwar, Kekuasaan Pemilik Modal Dan Resistensi Pemulung Dalam Hubungan

Kerja “Studi Kasus Pada Pemulung Di Pondok Pinang Jakarta selatan”, (Jakarta, FISIP UIN Jakarta, 2012), h 11.

21 Sanafiah Faisak, “Format

(26)

dan tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan

jaringan).

5. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data, yaitu wawancara,

dan telaah pustaka. Berikut adalah penjelasan teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini.

1. Wawancara merupakan proses memperoleh keterangan untuk

tujuan penelitian dengan cara tanya jawab. Jenis wawancara yang

digunakan penelitian adalah wawancara tak terstuktur, yaitu adalah

wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan

pedoman wawancaran yang telah disusun secara sistematis dan

lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang

digunakan hanya berupa garis-garis besar pemasalahan yang akan

ditanyakan22. Wawancara ini akan menggali informasi tentang

pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid Jakarta. Wawancara

menggunakan alat perekam elektronik. Infroman yang di

wawancarai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Nama Fakultas Jenis Kelamin Waktu Wawancara

SHI Ilmu Sosial dan Politik Laki-Laki 10- September-2012

IHN Dirasat Islamiyah Laki-Laki 11- September- 2012

DNU Syariah dan Hukum Laki-Laki 11-September- 2012

ISN Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Laki-Laki 12-September- 2012

IBL Ushuluddin dan Filasat Laki-Laki 13-September-2012

ROS Tarbiyah dan Keguruan Laki-Laki 14-September-2012

SPY Adab Laki-Laki 15-September-2012

IHM Tarbiyah dan Keguruan Laki-Laki 15-September-2012

22

(27)

2. Telaah pustaka yaitu dengan membaca, memahami, dan

menginterpretasikan buku-buku, jurnal-jurnal, laporan penelitian

yang berkaitan dengan pembahasan ini. Buku seperti, Modernisme

Dan Fundamentalisme Islam; “Perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jamâ'at-i-Islâmî (Pakistan)" Karya Yusril

Ihza Mahendra.

6. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan

berlangsung terus menerus sampai tuntas. Data dianalisis dengan menggunakan

tiga tahap yaitu: Pertama, reduksi data (data reduction), mereduksi data berarti

merangkum, memilih hal-hal pokok, dan memfokuskan pada hal-hal penting,

terhadap data yang terkait dengan perbedaan pemikiran keagamaan modernisme

dan fundamentalisme dalam masalah-masalah ijtihad, preseden tradisi zaman awal

Islam, ijma, pluralisme dan hikmah. Kedua, penyajian data (display data), dengan

mendisplay data, maka akan memudahkan untuk memahami kecenderungan

unsur-unsur, kedalaman dan arah pemikiran keagamaan mahasiswa UIN Syahid

Jakarta. Ketiga, penarikan kesimpulan (conclusion drawing/verification) dengan

melakukan penyimpulan terhadap data tentang ijtihad, preseden tradisi zaman

awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah, dan mengaitkannya dengan kerangka

teori sehingga dapat dipahami fenomena pemikiran keagamaan mahasiswa UIN

Syahid Jakarta dan juga menjawab pertanyaan penelitian.

7. Sistematika Penelitian

Dalam penulisan daftar pustaka literatur yang digunakan, peraturan

(28)

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: skripsi, tesis, dan disertasi UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang termuat dalam buku panduan akademik program strata

1 2011/2012. Adapun sistematika penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari pernyataan masalah, pertanyaan

penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian,

dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Pustaka. Bab ini berisi kajian modernisme dan

fundamentalisme Islam yang terdiri dari kontroversi istilah, landasan historis

modernisme dan fundamentalisme dan pandangan keagamaan modernisme dan

fundamentalisme Islam

Bab III Merupakan gambaran umum lokasi penelitian Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tinjau dari sejarah berdiri, Visi-misi dan

tujuan, motto dan arah pengembangan, kerja sama dan pengembangan jaringan.

Bab IV Merupakan hal yang beruhubungan dengan hasil penelitian

mengenai pernyataan pandangan keagamaan mahasiswa dalam hal, ijtihad,

preseden tradisi zaman awal Islam, ijma, pluralisme dan hikmah.

(29)

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Istilah Modernisme dan Fundamentalisme Islam

Membicarakan istilah modernisme dan fundamentalisme di dalam Islam

terasa lebih sulit daripada di dalam Protestan, apalagi kedua istilah ini memang

selalu dikaitkan dengan tradisi Kristen Protestan. Menurut Asep Syamsul M

Romli:

“Dalam tradisi Kristen, Fundamentalisme sering dilawankan dengan

“modernisme”, yakni aliran (pemikiran) yang mengutamakan setiap yang baru dari hal lama. Fundamentalisme merupakan oposan dari gerejawan ortodoks terhadap sains modern, manakala sains modern (dianggap) bertentangan dengan cerita atau ajaran bibble. Para aktivisnya menamakan

diri “fundamentalis”. Mereka adalah kaum oposisi yang menentang liberalisme dan modernisme. Pihak fundamentalis menuduh kaum modernis sebagai perusak agama Kristen dan mengorbankan bibble demi kepentingan sains modern23”.

Mengenai hal ini hemat penulis penting untuk menyimak pendapat dari

Yusril Ihza Mahendra:

“Modernisme dan fundamentalisme bukanlah istilah yang berasal dari perbendaharaan kata dalam bahasa masyarakat-masyarakat muslim. Kedua istilah itu dimunculkan oleh kalangan akademisi barat dalam konteks sejarah keagamaan dalam masyarakat mereka sendiri. Modernisme pada awalnya diartikan sebagai aliran keagamaan yang melakukan penafsiran terhadap doktrin agama kristen untuk menyesuaikannya dengan perkembangan modern. Fundamentalisme diartikan sebagai reaksi terhadap modernisme. Fundamentalisme dianggap sebagai aliran yang

23

Asep Syansul M. Romli, Demonologi Islam: Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam

(30)

berpegang teguh pada “fundamen” agama kristen melalui penafsiran terhadap kitab suci agama itu secara rigid dan literalis24”.

“Istilah modernisme dan fundamentalisme kemudian digunakan oleh sarjana-sarjana orientalis dan pakar ilmu sosial dan kemanusiaan barat untuk membedakam dua kecenderungan pemikiran yang hampir sama dengan apa yang dijumpai dalam agama kristen itu, di dalam masyarakat yang memeluk agama lain. Hal serupa juga mereka terapkan untuk mengamati pemikiran keagamaan dalam masyarakat-masyarakat muslim. Sungguhpun demikian dalam perkembangan ilmu sosial dan kemanusiaan masa kini, baik ilmuwan barat maupun ilmuwan muslim telah menggunakan istiah yang tidak sama dalam mengategorikan kedua aliran tersebut. Istilah modernisme sering juga di ganti dengan istilah- istilah

lain, seperti “reformism”, reawakening, renaissance, dan renewal.

Sedangkan istilah fundamentalisme sering pula di ganti dengan istilah-istilah revivalism, militancy, reassertion, resurgence, activism, dan reconstruvtionsm. Dalam diskursus teoritis, sebagaimana biasanya, para penulis bukan saja saling berbeda dalam menggunakan istilah, tetapi istilah yang sama, sering pula didefinisikan dengan maksud yang

berbeda”25 .

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa memang terdapat perbedaan

konteks dan aplikasi konsep modernisme dan fundamentalisme dalam Kristen dan

Islam. Meskipun demikian, harus juga diakui bahwa masalah modernisme dan

fundamentalisme dalam Islam telah menjadi konsep yang mapan dan diterima

masyarakat luas, terutama untuk memotret fenomena orientasi ideologis aliran

pemikiran dan gerakan Islam. Meski secara terminologi modernisme dan

fundamentalisme masih diperdebatkan karena konteks munculnya khas Kristen

Protestan, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, khususnya sosiologi agama, istilah

tersebut telah dianggap mapan dan diterima untuk menganalisis gejala

perkembangan aliran pemikiran dan gerakan agama26. Untuk itu penulis, akan

24

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1999), hal. 5-6

25

Ibid. 5-6 26

(31)

tetap mempergunakan istilah ini dalam penulisan kerangka teori penulisan ini.

Dan sedapat mungkin, kedua istilah itu akan di gunakan secara netral. Penulis

sadar bahwa pemilihan istilah tekhnis dalam suatu kajian ilmiah memang akan

dihadapkan pada resiko-resiko tertentu yang tidak seluruhnya dapat di hindari.

Penggunaan modernisme dan fudamentalisme sebagai istilah tekhnis dalam

kerangka teori ini akan di perinci secara lebih jelas dala pembahasan pandangan

keagamaannya.

B. Landasan Historis Modernisme dan Fundamentalisme Islam

Sebagaimana di ketahui Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya

sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang lahir pada

mulanya sebagai agama di Mekkah, tetapi kemudian tumbuh di Madinah menjadi

“negara-agama”, selanjutnya membesar pada masa khalifah, dan menjadi

kekuatan politik internasional yang tidak kecil pengaruhnya pada masa Dinasti

Umayah, dan Abasiyah. Dalam proses perkembangannya itu, Islam membuahkan

umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai

pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat

tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia sempurna

diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang

dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia dengan cemerlang,

sampai mencapai puncaknya di abad 12-13 M. Di masa inilah khususnya Dinasti

Abbasiyah, ilmu pengetahuan ke-Islam-an berkembang sampai puncaknya, baik

dalam bidang kajian agama, science, dan arsitektur. Di jaman itu pula para

(32)

pemikir muslim dihasilkan, sehingga menghasilkan apa yang disebut sebagai

kebudayaan Islam. Masa keemasan ini kemudian hancur, setelah jatuhnya Kota

Baghdad (Ibukota Dinasti Abbasiyah) pada tahun 1258 M, ke tangan bangsa

Mongol, yang bukan saja mengakhiri kekuasaan khilafah Abbasiyah, tapi juga

merupakan awal dari masa kemunduran politik dan peradaban Islam, karena

Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan perandaban Islam yang sangat kaya

dengan khazanah ilmu pengetahuan itu ikut pula lenyap dibumihanguskan oleh

pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan. Setelah Khilafah Abbasiyah

di Baghdad runtuh akibat serangan tentara mongol, kekuatan politik Islam

mengalami kemunduran secara drastis.

Setelah hancurnya Dinasti Abbasiyah, Islam menjadi statis atau dikatakan

mengalami kemunduran. Hancurnya tatanan masyarakat muslim itu semakin

terasa saat tiga kerajaan besar Islam pengganti Dinasti Abbasiyah yaitu Dinasti

Utsmani, Safawi, dan Mughal, yang merupakan simbol masyarakat muslim secara

ekonomi, politik dan militer mengalami kehancuran. Dijelaskan oleh Akber S.

Ahmed, bahwa luluh lantahnya kejayaan Islam disebabkan oleh ketidakberdayaan

dan ketidakharmonisan tiga kerajaan Islam terakhir yaitu Utsmani, Safawi, dan

Mughal, yang merupakan kelanjutan dari dinasti Islam sebelumnya yaitu

Umayyah dan Abasiyah, menurutnya :

“Tidak ada kesatuan simbolik baik dalam sikap keagamaan,

(33)

mereka. Maka wajar kalau hubungan antarketiga kerajaan tidak harmonis dan konflik internal di dalam wilayah masing-masing kerajaan sangat tajam. Ketika kekuatan Eropa masuk kedalam wilayah muslim, penguasa kerajaan-kerajaan tersebut tidak lagi bisa berbuat banyak.”27 Selain faktor yang disebutkan diatas, menurut Azyumardi Azra:

“Secara historis hal ini disebabkan karena, pada masa-masa kejayaan politik muslim, khususnya dimasa Dinasti Utsmani, perasaan

“kememadaian” (sufficiency) kaum muslim terhadap Islam begitu tinggi,

sehingga membawa mereka lalai mencermati perkembangan dan dinamika masyarakat non-muslim, dalam hal ini khususnya Eropa. Kaum muslim merasa tidak perlu mengamati – apalagi belajar – dari kaum kafir, karena Islam diyakini memadai untuk menjawab tantangan orang-orang kafir.”28 Dilain sisi lain masyarakat muslim mengalami kehancurannya,

Sementara itu di pihak lain, dunia Barat setelah belajar dari Timur

(muslim) dengan menterjemahkan buku-buku karya muslim dari bahasa arab ke

bahasa latin bangkit dan memasuki era Renaisance yang di warnai oleh

revolusi-revolusi: ketatanegaraan, gereja, ilmu pengetahuan, industri dan berlanjut ke

revolusi sosial. Arah bandul kebudayaan yang pada abad-abad sebelumnya,

berayun dari Timur ke Barat, kemudian beralih dari Barat ke Timur. Dunia

muslim pun karena kebekuaan dan kelemahnnya menjadi mangsa empuk bagi

dunia Barat sejak abad 1729. Di lukiskan oleh John L. Esposito pergeseran besar

dominasi Islam dalam bidang kekuasaan, sebagai akibat kemerosotan nasib

muslim, kemudian terjadilah hubungan yang sebaliknya antara pihak Islam dan

pihak Barat, yaitu dari gerakan ekspansif yang demikian meluas pada masa

27

Dalam Tarmizi Taher dkk, Radikalisme Agama, Peny, Bahtiar Effendy dan Hendro Prasetyo, h. 10

28

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme”, h. vi.

29

(34)

sebelumnya kepada posisi bertahan30. Menurut John L. Esposito, kemunduran dan

kehancuran tatanan masyarakat muslim ini, disebabkan oleh tiga hal yaitu

pemberontakan-pemberontakan dan kekalahan-kekalahan militer, merosotnya

otoritas pusat yang kuat, dan kemunduran ekonomi yang dipengaruhi oleh

kompetisi Eropa dalam perdagangan dan industri31. Selain faktor-faktor yang

sudah disebutkan diatas, menurut William Montgomery dalam bukunya

“Fundamentalisme Islam Dan Modernitas”:

“Kemunduran lembaga keagamaan di dunia muslim merupakan fakor yang penting. Menurutnya, pada permulaan abad ke 19 lembaga ini masih memiiki kekuasaan yang cukup besar di kesultanan Turki Utsmani (yang merupakan kawasan terbesar di dunia Islam) dan memiliki kekuasaan yang lumayan di berbagai dunia Islam lainnya, tetapi antara 1850 dan 1950 sebagian besar kekuasaan tersebut telah musnah, serta sejak 1950 peningkatan kekuasaan lembaga ini hanya bersifat pinggiran (terbatas). Menurutnya, hilangnya kekuasaan tersebut sebagian besar disebabkan ulama tidak ingin melakukan konsesi dalam bidang-bidang yang berada di bawah kendalinya-perumusan hukum, pengelolaan peradilan, pendidikan-untuk mengatasi hal-hal yang dipandang para negarawan sebagai sebagai masalah mendasar dewasa ini. Tanpa perlu secara resmi mengebiri kekuasaan ulama, para negarawan menciptakan lembaga-lembaga alternatif secara bertahap mengambil alih sebagian besar pekerjaan yang

sebelumnya dijalankan ulama.”32

Dan menurut Gazalba, dalam bukunya “Masyarakat Islam Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi ” bahwa:

“Akulturasi dua kebudayaan yang berbeda tingkatannya, akan

mengakibatkan pola akulturasi yang politis yaitu penguasaan terhadap kebudayaan yang tingkatannya rendah atau tradisional. Dan hal ini terjadi ketika Islam kontak dengan masyarakat Barat. Yang terjadi waktu itu menurutnya, adalah tumbuhnya nilai-nilai Barat dalam segi sosial,

30

John L. Esposito, Islam dan Politik, (Jakarta, Bulan Bintang, 1990), hal. 56 31

Lihat John L. Esposito, Islam Warna-Warni “Ragam Ekspresi Menuju Jalan Lurus (Al -Shirat Al-Mutaqim)”, (Jakarta, Paramadina, 1998), hal. 145.

32

(35)

ekonomi, poitik, seni, filsafat, disamping nilai-nilai modern (ilmu dan teknologi). Dalam masyarakat Islam menurut Gazalba hal ini bermakna bahwa pandangan, faham, ideologi yang lahir dalam kebudayaan Barat ikut tersemai dalam masyarakat Islam, antara lain: materialisme, individualisme, sekularisme, agnositisme, kapitalisme, ateisme, sosialisme, komunisme dan kristenisasi. Dan kalau Di pandang dari kacamata sosiologis, menurut Gazalba tantangan-tantangan dari luar inilah yang menghantam masyarakat Islam. Sedangkan tantangan dari dalam umat Islam sendiri, Gazalba merangkum ada 12 faktor yaitu: rusaknya perimbangan antara agama dan kebudayaan dalam addin, pembekuan itjihad, masjid kehilangan fungsi, keawaman terhadap Islam, kelemahan politik dan ekonomi, keterbelakangan sosial, ilmu, tekhnologi, pendidikan,

kesenian dan alam pikiran, dan tidak ujudnya masyarakat Islam.”33

Faktor-faktor diatas inilah yang kemudian, menurut Azyumardi Azra

menimbulkan apa yang disebut dengan “ketegangan teologis” diantara kaum

muslim yaitu antara keharusan memegangi doktrin dengan dengan keinginan

untuk memberikan pemahaman baru pada doktrin tersebut. ketegangan theologis

itu pada gilirannya tidak hanya menciptakan barrier psikologis bagi mereka yang

peduli terhadap posisi islam vis-avis realitas sosial-kultural, tetapi juga konflik

theologis, intelektual dan sosial di antara kaum muslim secara keseluruhan34.

Perubahan besar yang terjadi di masyarakat muslim pada akhirnya membuat tidak

ada satu sistem budaya Islam pun yang mampu melindungi diri dari persaingan

yang diperkenalkan oleh sistem dari luar “Barat”. Bahkan, Khilafah Utsmaniah,

yang paling prestisius dan merupakan dinasti paling kuat saat itu, selain Dinasti

Safawi dan Mughal, merombak semua sistem politik sosial dan budayanya dengan

cara “Barat”, dan cenderung kearah sekuler. Contoh dari masuknya pengaruh

Barat di dunia Islam sendiri, dimulai pada abad ke-19, dilaksanakan pertama kali

33Sidi Gazalba, Masyarakat Islam “Pengantar Sosiologi Dan Sosiografi”, (Jakarta, Bulan Bintang, 1976), hal. 302-309.

34

Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam “Dari Fundamentalisme, Modernisme

(36)

oleh kekhalifahan Utsmani di bawah Sultan Mahmud II (1808-1839). Menurut

Azyumardi Azra :

“Upaya modernisasi awal ini tidak meluas sampai seluruh bidang

kehidupan kaum muslim. Modernisasi model Barat dilakukan secara terbatas pada lembaga birokrasi-militer negara. Perubahan tersebut diadopsi negara dan implementasikan hanya oleh sekelompok elite. Dengan kata lain reformasi diprakarsai, dirumuskan, untuk kemudian dipaksakan dari atas, yakni dari elite penguasa. Mereka memberikan respon terhadap ancaman eksternal, yakni ekspansionisme Eropa, bukan terhadap tekanan internal yang datang dari masyarakat mereka sendiri

yang menghendaki perubahan”.35

Tetapi mulai paruh abad ke-19, modernisasi dengan cepat merambah

bidang-bidang kehidupan lain. Upaya-upaya yang dilakukan untuk memperkokoh

pertahanan miiter dengan segera diikuti oleh program modernisasi yang lebih luas

dalam wilayah kekhalifahan Utsmaniyah di bawah Sultan Abd al-Majid

(1839-1861) dan Abd al-Hamid II (1879-1909). Modernisasi bertahap yang dilakukan

oleh Sultan Mahmud II dikembangkan dan disistematisasi oleh anaknya, Abd

al-Majid, lewat serangkaian program reformasi ambisius yang disebut “Tanzimat” (reorganisasi)”36

. Puncak modernisasi Turki Utsmani, pada akhirnya mengarah

pada sekularisasi dibawah pimpinan Mustafa Kemal At Taturk. Ia adalah Bapak

Sekulerisme dalam dunia perpolitikkan di negeri-negeri Islam. Dialah yang

menghapuskan kekhilafahan dari Turki Ustmani atas bantuan Inggris.

Kecintaannya terhadap peradaban Barat modernlah yang menyebabkannya

melakukan modernisme diberbagai bidang kehidupan, dengan Barat sebagai

kiblatnya. Menurutnya, jika kemajuan ingin dicapai oleh kaum muslimin maka

35

Ibid, h. 8 36

(37)

tidak ada jalan lain selain mengambil keseluruhan nilai Barat tersebut37.

Pembaharuan besar-besaran yang dilakukan para elite penguasa pada abad-abad

XVIII-XIX khususnya yang memerintah Turki yang mengarah pada sekularisasi,

dan sikap menuding, kaum muslim yang bersifat tertutup dan menolak

perkembangan kebudayaan pada unsur ilmu pengetahuan dan teknologi,

kemudian menimbulkan reaksi keras dari banyak pihak. Keruntuhan supremasi

Islam dalam berbagai bidang seperti politik, sosial dan ekonomi, yang

menenggelamkan dunia Muslim sampai ke titik nadirnya, kemudian

memunculkan pemikiran dan gerakan-gerakan keagamaan yang mencoba

menegakkan dan mengembalikan kejayaan Islam. Menurut Mambaul Ngadimah:

“Pergumulan antara Islam dan modernitas merupakan salah satu

permasalahan paling krusial yang di hadapi oleh kaum muslim. Hal itu mengemuka terutama sejak otoritas Islam sebagai kekuatan politik merosot tajam pada abad 18. Persoalan ini telah menyita banyak energi kalangan intelektual Muslim untuk memecahkannya, namun hingga kini boleh dikatakan belum ada satu pembagasan yang tuntas baik dalam bentuk solusi maupun antsipasi mengenai persoalan Islam dan modernitas. Modernisme yang berangkat dari prinsip-prinsip dasar bahwa perjalanan waktu adalah linear; pandangan-dunia antroposentris; idea of progress; benar-benar bertolak belakang dengan prinsip-prinsip tradisional Islam yang memahami bahwa waktu berjalan siklikal; pandangan-dunia teosentris dan; nasib manusia selalu berada dalam kehendak tuhan (teisme). Uniknya, ketegangan teologis ini secara tidak terduga telah melahirkan reaksi intelektual dari kaum muslim berupa aliran-aliran keagamaan yang kemudian memperkaya pemikiran dan khazanah intelektual Islam. Diantaranya apa yang terkenal dengan sebutan modernisme Islam, Tradisionalisme Islam, Fundamentalisme Islam, neo-modernisme Islam, neo-fundamentalisme Islam38”.

37

Dhabith Tarki Sabiq, Ar Rajul as Shanam Kamal At Taturk, Terj. Abdullah Abdurrahman, (Jakarta: Senayan Publishing, 2008). Cet. 1, hlm. 11-24.

38

(38)

Dan menurut John L Esposito bahwa, maraknya perkembangan pemikiran

dan gerakan keagamaan dalam Islam merupakan merupakan salah satu bentuk

mekanisme pertahanan diri, dalam mempertahankan eksistensi agama dari

berbagai serangan baik dalam masyarakat agama tersebut maupun dari luar seperti

kolonialisme Eropa (Barat). Seperti yang digambarkannya:

“Sebagaimana halnya agama-agama besar dunia lainnya, Islam telah melewati sejumlah fase perkembangan. Lewat sejarahnya yang panjang, umat Islam harus merespon ancaman-ancaman internal dan eksternal demi mempertahankan kehidupan dan vitalitasnya. Sebagai akibatnya, Islam memiliki tradisi pembaharuan dan reformasi agama yang panjang, membentang dari zaman terawal sejarahnya sampai sekarang. Dan Abad ke 18 terbukti menjadi titik balik dalam sejarah Islam. Kekuatan, kemakmuran, dan ekspansi dinamis umat dan peradaban Islam harus berjuang mempertahankan hidupnya di hadapan kekuatan-kekuatan pribumi dan ancaman politik dan religio-kultural dari kolonialisme

Eropa”.39

Dari pemaparan singkat diatas kita melihat bahwa, secara teologis, Islam

adalah sistem nilai dan ajaran yang bersifat ilahiah – dan karena itu sekaligus bersifat transenden. Tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena

peradaban, kultural dan realitas dalam kehidupan manusia. Islam dalam realitas

sosial tidak sekedar sejumlah doktrin yang bersifat menjaman dan menjagatraya

(universal), tetapi juga mengejewantahkan diri dalam institusi-institusi sosial yang

dipengaruhi oleh situasi, dinamika ruang dan waktu.

C. Pandangan Keagamaan Modernisme dan Fundamentalisme Islam

Dalam menjelaskan ciri-ciri khusus pandangan keagamaan aliran modernis

dan fundamentalis Islam, penulis mendasarkannya pada buku Yusril Ihza

39

(39)

Mahendra “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”. Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Keduanya (modernisme dan fundamentalisme Islam) sama-sama berdasarkan kepada Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Dan bertujuan untuk membangun suatu tatanan masyarakat Islam, sesuai dengan maksud doktrin yang termaktub dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi itu”.40

Dari arti dan tujuan aliran pemikiran fundamentalis dan modernis, kita

dapat melihat bahwa keduanya bersepakat tentang bahwa Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi dapat digunakan sebagai basis dalam pengorganiasian dan perngembangan

masyarakat muslim. Namun demikian, menurut Yusril Ihza Mahendra meskipun

kedua aliran itu mempunyai tujuan yang sama, kecenderungan mereka dalam

menafsirkan doktrin menunjukkan adanya perbedaan yang cukup penting.

“Para modernis Islam cenderung menafsirkannya secara elastic dan fleksibel. Sementara para fundamentalis cenderung menafsirkannya secara rigid dan litieralis”.41

Senada dengan Yusril Ihza Mahendra, Akh. Minhaji dalam buku “Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme Dan Modernisme”, menggunakan

istilah yang berbeda namun mempunyai makna yang sama dengan yang

dituturkan Yusril Ihza Mahendra. Menurutnya ada dua model pendekatan dalam

menafsirkan doktrin agama dalam Islam, yaitu pertama, model normatif-deduktif

(ilahiyah, theocentris subjective theological transendentialism) dan kedua, empiris

deduktif (insaniyah, antropocentris, rational-empirical justification). Menurut

Akh. Minhaji:

40

Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam, hal. 29

41

(40)

“Pendekatan normatif-deduktif cenderung di dominasi oleh aristotelian yang bercirikan dichotomous logic atau dalam bahasa John Dewey in pairs of dichotomies, lebih bercirikan eternalistic-absolutistic-spiritualistic logic. Dengan model logika demikian maka kajian Islam cenderung mendekati masalah secara hitam-putih, benar-salah, halal-haram, dan yang semacamnya akibatnya pemikiran yang ada bersifat sempit, kaku dan menolak nuansa-nuansa yang berada di luar dua kubu ekstrim tersebut”.42

“Pendekatan empiris-deduktif menunjukkan gejala yang berbeda. Model ini bernuansa hegelian logic yang bercirikan dialectical logic. Berdasarkan

logika Hegel ini maka “every one of them was (and is) right within it‟s own field”. Artinya kebenaran itu bersifat relatif dan dipengaruhi oleh

asumsi-asumsi dasar yang di anut dan juga dialektika sosial yang terjadi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah temporalistic-relativisti materialistic logic dengan demikian hasil pemikiran ajaran Islam dengan pendekatan model yang demikian bersifat relativ dan diyakini bersifat luwes, fleksibel sekaligus di pandang mampu mengikutu denyut dan

perkembangan masyarkat”.43

Perbedaan kecenderungan corak penafsiran doktrin agama antara

modernisme dan fundamentalisme Islam, kemudian menghasilkan perbedaan pula

dalam memahami berbagai masalah, khususnya masalah-masalah yang

berhubungan dengan (a) ijtihad; (b) preseden zaman awal, serta sejarah dan tradisi

Islam; (c) ijma; (d) pluralisme (kemajemukan) dan (e) hikmah.”

1. Ijtihad

Ijtihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur‟an dan hadis. Namun, hasil ijtihad tetap tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan

hadis. Hadis yang menunjukkan bolehnya berijtihad adalah hadis nabi yang

mengisahkan tentang sahabat Mu‟adz bin Jabal ketika di utus ke Yaman44 .

42

Kamaruzzaman, Relasi Islam Dan Negara “Persfektif Fundamentalisme dan

Modernis), (Jakarta, Yayasan Indonesia Tera, 2001), hal. xvi-xvii 43

Ibid, h. xvi-xvii. 44

(41)

نع ن ح مَس ه ع هَ ا َص هَ ا س َّأ عم قف نم ا إ هثعب

ك

ع ّإ عن ت ف ك

م ّإف ق هَ ا تك ف مب ضقأ ق ء ضق

ن

هَ ا َص هَ ا س ةَنسبف ق هَ ا تك ف م ّإف ق مَس ه ع

هَ ا س ةَنس ف ن

آ أ تجأ ق مَس ه ع هَ ا َص ق

ص مَس ه ع هَ ا َص هَ ا س ضف َا هَ مح ا ق َمث

هَ ا س س قَف

هَ ا س ض م مَس ه ع هَ ا َص

َص مَس ه ع هَ ا

Artinya :“Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz

ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra‟yu ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah”

Ijtihad berasal dari kata ijtahada-yajtahidu-ijtihadan yang berarti

mengerahkan segala kemampuan untuk menanggung beban. Menurut bahasa,

ijtihad artinya bersungguh-sungguh dalam mencurahkan pikiran. Adapun menurut

istilah, al-ijtihad adalah usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang atau

beberapa orang ulama tertentu yang memiliki syarat-syarat tertentu, pada suatu

tempat dan waktu tertentu untuk merumuskan kepastian atau penilaian hukum

mengenai sesuatu atau beberapa perkara yang tidak terdapat kepastian hukumnya

secara eksplisit dan positif, baik dalam Al-Qur‟an maupun al-Hadis45. Dan secara terminologis, berijtihad berarti mencurahkan segenap kemampuan untuk mencari

syariat melalui metode tertentu.

45 Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam “Pokok

(42)

Menurut Yusril Ihza Mahendra dalam bukunya “Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam”, perbedaan kecenderungan penafsiran

dalam melihat doktrin agama aliran pemikiran modernisme Islam yang cenderung

elastic dan fleksibel dan fundamentalisme Islam yang cenderung rigid dan literalis

dalam melihat doktrin agama, menghasilkan perbedaan dalam memaknai masalah

ijtihad. Menurut Yusril Ihza Mahendra:

“Sesuai dengan kecenderungan penafsiran yang elastic dan fleksibel terhadap doktrin, modernisme Islam melihat bahwa dalam masalah-masalah mu‟amalah (kemasyarakatan), doktrin hanya memberi ketentuan umum yang bersifat un

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang memberi kenikmatan dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, untuk

Teknik Hibridisasi untuk menambah ragam genetik Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata ) ... Identifikasi hasil persilangan anggrek Coelogyne pandurata secara sitologi dan flow

Hasil uji aktivitas antibakteri dari ekstrak etanol buah mengkudu dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus Aureus dan Escherichia Coli memperlihatkan bahwa

Panitia Pengadaan Barang/Jasa Satuan Kerja Kantor Perpustakaan dan Arsip Kabupaten Aceh Tamiang Sumber Dana APBK Aceh Tamiang Tahun Anggaran 2011 mengundang Penyedia

Dalam pertanyaan ini, jawaban yang diberikan oleh informan dari kelompok bapak-bapak dari Kabupaten Gunung Kidul, sama halnya dengan yang diutarakan oleh kelompok mahasiswa dan

Permainan yang ditawarkan dalam Taman Bermain Anak di Balikpapan ini bersifat.. memberikan tantangan secara individu maupun kerjasama dalam suatu

Berdasarkan hasil survei dan analisis data yang telah dilakukan, Kota Jogja menjadi tujuan utama responden kecamatan Mlati dan Ngaglik dalam melakukan pergerakan tujuan

Program Hibah General Education (PHGE) ini diharapkan akan mendorong setiap perguruan tinggi untuk menyusun rencana pengembangan pendidikan intra atau ekstra kurikulernya