Pendahuluan Latar belakang
Ikan kurisi (Nemipterus sp.) merupakan salah satu ikan HTS sebagai bahan baku surimi karena jumlahnya yang melimpah sepanjang tahun di perairan tropis dengan harga jual yang murah (Rp 5.000-Rp 7.000/kg). Penelitian terkait pengolahan surimi dari ikan kurisi sudah dilakukan sejak 1978 (Wiriyaphan et al. 2015). Penelitian lainya sudah dilakukan oleh Zhu et al. (2015), Zhou et al.(2014) dan Ramalhosa et al. (2012). Proses produksi surimi menghasilkan hasil samping berupa air cucian yang masih mengandung lemak, enzim dan protein sarkoplasma (Eymard et al. 2009). Air pencucian surimi di Thailand mencapai 50.000-60.000 ton/tahun. Jumlah hasil samping berupa air pencucian surimi yang melimpah dalam proses pencucianya berpotensi tinggi sebagai sumber minyak ikan dan protein sarkoplasma. Penelitian Afonso et al. (2006) menyatakan bahwa air pencucian surimi mengandung 2-5 g/L-1 protein larut air dan 17,8% minyak ikan (Jayasinghe et al. 2013). Jumlah air pencucian surimi yang sangat tinggi jika dibuang langsung ke lingkungan dapat menimbulkan pencemaran tanah dan air yang ada disekitarnya. Penelitian pemanfaatan air pencucian surimi menjadi minyak ikan telah banyak dilakukan, akan tetapi masih menjadi produk pakan, pupuk, dan bioenergi dengan kualitas yang rendah.
Penelitian terkait pemisahan minyak ikan dari hasil samping industri sudah dilakukan diantaranya ekstraksi dengan suhu tinggi (FAO 1986), sentrifugasi dengan kecepatan 7.370-9.940 g suhu 8-15 ˚C (Toyoshima et al. 2009), 2.560 g selama 30 menit (Shativel et al. 2008), dan 7.250 g selama 30 menit pada suhu 23 ˚C. Penelitian Dumay et al. (2008) menyebutkan bahwa jumlah recovery protein dan lemak yang diperoleh dari air pencucian surimi masing masing antara 9,2-60,4 g/L dan 0,1-2,8 g/L yang potensial dijadikan sumber kosentrat protein dan asam lemak. Ikan herring sebagai by-product pada industri perikanan memiliki jumlah EPA dan DHA sekitar 99 dan 91 g/kg (Aidos 2002). Metode lainya adalah hidrolisis menggunakan enzim, rendering kering, penggunaan pelarut misalnya kloroform dan metanol serta penambahan asam (Slizyre et al. 2005). Ekstraksi minyak ikan dengan menggunakan pelarut telah digunakan untuk memproduksi minyak ikan, akan tetapi kurang ramah lingkungan karena sifat pelarut kimiawi yang sulit didegradasi oleh lingkungan. Penelitian lainya menyebutkan bahwa perlakuan fisik (pemanasan dan sentrifugasi) memiliki hasil yang lebih baik dari hidrolisis dengan enzim dan ekstraksi kimia dengan karakteristik minyak ikan memiliki rendemen yang lebih stabil (9%), FFA 1% dan PV 36 meq/kg (Shativel et al. 2009), namun menghasilkan warna minyak yang gelap dan viskositas yang tinggi.
Industri surimi menghasilkan limbah berupa air pencucian surimi sebesar 20.000 ton/tahun (Stine et al. 2011). Meningkatnya kekhawatiran pencemaran lingkungan akibat limbah surimi yang dihasilkan telah mendorong berbagai penelitian yang tidak hanya akan mengurangi dampak negatif dan biaya
18
pembuangan limbah surimi akan tetapi menemukan cara untuk menghasilkan keuntungan bagi industri surimi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode pemisahan yang tepat dengan perlakuan suhu dan waktu pemanasan yang berbeda sehingga diharapkan dapat memperoleh minyak ikan dengan kualitas, warna dan viskositas sesuai International Fish Oil Standar (IFOS).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode pemisahan terbaik untuk menghasilkan minyak dari hasil samping surimi ikan kurisi (Nemipterus sp).
Bahan dan Metode Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Januari 2015. Bertempat di Laboratorium Bahan Baku Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Pendidikan dan Diagnostik, Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Fisik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan alat penelitian
Bahan yang digunakan adalah air pencucian surimi ikan kurisi (Nemipterus sp) yang diperoleh dari salah satu pabrik surimi di Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Bahan pendukung lainnya digunakan untuk analisis kualitas minyak ikan berupa asam asetat glasial, kloroform, larutan kalium-iodin (KI) jenuh, larutan sodium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N, larutan KOH 0,1 N, indikator
phenolptalein (indikator PP), etanol 96%, indikator pati 1%, trimethylpentane, reagen p-anisidin, dan n-heksana.
Alat yang digunakan antara lain gelas erlenmeyer, timbangan digital, pipet tetes, penangas air, tabung reaksi, labu takar, spektrofotometer UV-Vis 2500 merk LaboMed, waterbath shaker dan high speed refrigerated centrifuge merk HITACHI himac CR 21G (diameter rotor 6 cm merk R12A-499), kromameter dan viscometer merk TV-10.
Metode penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu preparasi sampel, pemisahan minyak dari air pencucian surimi dan pengujian kualitas minyak ikan berupa penentuan FFA, AV, PV, AnV, totoks, viskositas, pengujian warna dan analisis profil asam lemak. Diagram alir penelitian tahap 2 disajikan dalam Gambar 1.
Preparasi sampel
Tahap penelitian dimulai dari pengambilan dan preparasi sampel serta persiapan bahan dan alat untuk berbagai pengujian yang akan dilakukan. Bahan penelitian berupa air pencucian surimi diperoleh dari pabrik surimi di Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Sampel dikemas menggunakan wadah dengan kapasitas 25 liter dan dikirimkan ke Bogor. Sampel dipindahkan ke dalam plastik ukuran 1 liter dan disimpan di kulkas untuk pengujian bahan baku dan ekstraksi minyak ikan.
Metode Analisis
Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat air pencucian surimi, analisis viskositas, warna, bilangan asam, bilangan peroksida, asam lemak bebas, dan p-anisidin.
Analisis Viskositas (O'Brien et al. 2000)
Viskositas diukur menggunakan alat brookfield viscometer. Sampel sebanyak 10 mL ditempatkan ke dalam alat gelas pada viskometer. Spindle 2 dan speed 30 rpm digunakan untuk pengukuran viskositas sampel. Pengukuran dilakukan selama 2 menit sampai memperoleh pembacaan jarum pada posisi yang stabil. Rotor berputar dan jarum akan bergerak sampai memperoleh viskositas sampel. Pembacaan nilai viskositas dilakukan setelah jarum stabil. Skala yang terbaca menunjukkan kekentalan sampel yang diperiksa dengan satuan cP (centiPoise).
Air pencucian surimi Ikan kurisi
Pemanasan pada waterbath shaker 20, 30, dan 40 menit
Sentrifugasi 450 g, 20 menit
Pemisahan fraksi minyak
Penambahan air panas 2:1 (minyak:air)
Sentrifugasi 2.900 g, 15 menit
Crude oil minyak ikan kurisi
-Perhitungan rendemen -Pengujian kualitas minyak ikan Minyak ikan
Padatan dan air Suhu ekstraksi yang
berbeda (50, 60,70,80, 90,100 ˚C)
20
Analisis warna (Melgosa et al. 2009)
Analisis warna dilakukan dengan Chromameter. Alat dikalibrasi dengan warna putih sampai monitor menunjukkan nilai L, a dan b sesuai dengan nilai yang tertera pada warna putih standar. Selanjutnya sampel diletakkan dalam tabung dengan ditutupi lensanya dan nilai reflektan (L, a dan b) terbaca pada alat pengukur.
Analisis bilangan asam/acid value (AOCS 1998)
Penentuan bilangan asam dilakukan dengan cara titrasi KOH terhadap sampel, yang menggunakan prinsip jumlah KOH yang diperlukan (mg) untuk menetralkan 1 g lemak. Berikut persamaan untuk mendapatkan bilangan asam (mg KOH/ g lipid)
V x N x 56,1 /
Keterangan :
Analisis bilangan peroksida/peroxide value (PV) (AOCS 1998)
Sampel 2 g dimasukkan labu erlenmeyer ukuran 250 mL, ditambahkan 30 mL larutan asam asetat dan kloroform (3:2) dan 0,5 mL larutan potassium iodide (KI) jenuh sambil diaduk, selanjutnya ditambahkan 30 mL akuades. Larutan diaduk hingga homogen kemudian ditambahkan 0,5 mL larutan indikator kanji 1% yang akan merubah warna larutan menjadi biru. Tahap akhir larutan dititrasi dengan 0,01 N sodium thisulfate (Na2S2O3) hingga larutan berubah warna
menjadi kuning, dengan terus mengocok larutan hingga berubah warna menjadi biru muda yang menandakan pelepasan iodine dari lapisan kloroform, titrasi dilanjutkan dengan hati-hati hingga warna biru pada larutan hilang. Perhitungan nilai peroksida dilakukan dengan persamaan berikut:
V x N x 1000 0
G
Keterangan : V : JumLah titrasi sodium thiosulfate (mL) N : Normalitas sodium thiosulfate (0,01) G : Berat sampel (gram)
Analisis nilai anisidin/anisidine value (AnV) (AOCS 1998)
Larutan uji 1 dibuat dengan cara melarutkan 2 g sampel ke dalam 25 mL trimethylpentane. Larutan uji 2 dibuat dengan cara menambahkan 1 mL larutan p-anisidine (2,5 g/l) ke dalam 5 mL larutan uji 1, kemudian dikocok dan dihindarkan dari cahaya. Larutan referensi dibuat dengan cara menambahkan 1 mL larutan p-anisidine (2,5 g/l) ke dalam 5 mL larutan trimethylpentane, kemudian dikocok dan dihindarkan dari cahaya. Larutan uji 1 diukur nilai absorbansinya pada 350 nm dengan menggunakan pelarut trimethylpentane sebagai larutan kompensasi. Larutan uji 2 diukur nilai absorbansi pada 350 nm tepat 10 menit setelah larutan disiapkan dengan menggunakan larutan referensi sebagai kompensasi. Nilai anisidin ditetapkan dengan persamaan berikut:
Nilai peroksida = G Bilangan asam =
V : JumLah titrasi KOH (mL) N : Normalitas KOH
56,1 : Bobot molekul KOH G : Berat sampel (gram)
25 x (1,2 A2– A1)
G
Keterangan : A1 : Absorbansi larutan uji 1
A2 : Absorbansi larutan uji 2
G : Berat sampel yang digunakan pada larutan uji 1 (gram)
Analisis nilai total oksidasi (AOCS 1998)
Penentuan nilai total oksidasi (Totoks) dilakukan dengan persamaan berikut :
Total oksidasi = (2PV + AnV) Keterangan :
Analisis asam lemak bebas/free fatty acid (FFA) (AOCS 1998)
Sampel 2 gram ditambahkan 25 mL alkohol 95% netral (erlenmeyer 200 mL), dipanaskan dengan penangas air selama 10 menit, kemudian campuran tersebut ditetesi indikator PP sebanyak 0,5 mL. Campuran tersebut dikocok dan dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga timbul warna merah muda yang tidak hilang dalam 10 detik.
Persentase FFA dihitung berdasarkan persamaan berikut: V x N x 283
10 G
Keterangan : V : Jumlah titrasi KOH (mL) N : Normalitas KOH
283 : Bobot molekul asam lemak palmitat G : Berat sampel (gram)
Rancangan penelitian
Semua data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata + standar deviasi (Mean + SD). Analisis data yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial)
Hipoteis Tahap 2:
H0 = Suhu dan waktu tidak mempengaruhi rendemen, parameter primer
sekunder, viskositas dan warna minyak ikan
H1 = Suhu dan waktu mempengaruhi rendemen, parameter primer sekunder,
viskositas dan warna minyak ikan
Yij = µ + αi + ∑ij Keterangan:
Yij = respon pengaruh perlakuan pada taraf i ulangan ke-j µ = pengaruh rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan pada taraf ke-i
∑ij = pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j j = 1,2, dan 3
PV : Nilai peroksida AnV : Nilai p-anisidin Nilai anisidin =
22
Hasil dan Pembahasan Analisis proksimat air pencucian surimi ikan HTS
Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama diperoleh ikan kurisi (Nemipterus sp.) sebagai salah satu ikan HTS yang prospektif menghasilkan minyak ikan. Proses produksi surimi dari ikan kurisi dilakukan di Rembang, Jawa Tengah. Hasil samping berupa air dan endapannya dipisahkan untuk analisis proksimat dan ekstraksi pemisahan minyak ikan. Hasil analisis proksimat hasil samping surimi (HS surimi) Ikan kurisi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Persentase kandungan gizi hasil samping air pencucian surimi ikan kurisi
Proksimat HS surimi* Ikan kurisi
Kadar air (%) 2,85±0,01 77,39±0,00 Kadar lemak (%) 68,33±0,02 2,34±0,01 Kadar Protein (%) 28,51±0,01 17,26±0,01 Kadar Abu (%) 0,11±0,00 1,38±0,00 Kadar Karbohidrat (%) 0,02±0,04 3,63±0,01
Keterangan: *Hasil samping surimi berupa padatan yang diambil dari air pencucian surimi
Analisis proksimat hasil samping air pencucian surimi menunjukkan bahwa kandungan tertinggi HS surimi adalah kadar lemak (68,33±0,02), tetapi rendah pada ikan kurisi (2,34±0,01). Hal ini disebabkan air pencucian surimi mengandung lemak yang tinggi, pigmen, dan protein sarkoplasma (Kartikeyan et al 2006). Kadar lemak pada penelitian ini lebih tinggi dari Toyoshima et al. (2004) sebesar 34-36% pada air pencucian surimi ikan Japanese Anchovy.
Penentuan rendemen minyak ikan
Kombinasi suhu dan waktu ekstraksi dilakukan untuk memperoleh nilai rendemen yang paling optimal. Rendemen merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk dapat memperkirakan bahan baku yang dibutuhkan dalam produksi, dan secara ekonomi mempengaruhi nilai jual akhir produk. Persentase rendemen minyak ikan dari air pencucian surimi ikan kurisi didapatkan dengan membandingkan antara minyak ikan yang diperoleh dengan bobot awal padatan. Persentase hasil perhitungan rendemen minyak ikan berdasarkan kombinasi suhu dan waktu disajikan Gambar 2.
Berdasarkan data pada Gambar 2 nilai rendemen terbesar senilai 17,62±0,03% didapatkan pada perlakuan suhu ekstraksi 60 °C selama 30 menit. Sementara ekstrasi pada suhu 50 °C dengan lama ekstraksi 30 menit menghasilkan jumlah rendemen yang tidak tidak berbeda nyata sebesar 17,43±0,10%. Uji ragam rendemen membuktikan bahwa suhu dan waktu yang berbeda mempengaruhi rendemen dari minyak ikan yang dihasilkan. Hasil yang didapatkan pada Gambar 2 memang masih belum optimal bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Jayasinghe et al. (2012) yang berhasil mendapatkan minyak ikan dengan rendemen sebesar 18,55±3,98% dari cairan limbah ikan salmon yang di ekstraksi pada suhu 80-85 °C selama 15 menit dan Norziah et al. (2009) sebesar 54,6±1,6% dari limbah industri surimi di Malaysia.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 2 Rendemen (%) minyak ikan pada suhu dan waktu yang berbeda ( 20 menit, 30 menit, 40 menit)
Hasil rendemen minyak ikan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi maka rendemen yang dihasilkan lebih besar, kecuali pada suhu 70 °C. Jumlah rendemen yang turun pada suhu 70 °C diduga sudah terjadi proses koagulasi protein pada hasil samping minyak ikan. Koagulasi protein biasanya terjadi pada suhu 75 °C. Suhu berpengaruh terhadap pecahnya dinding matriks dalam membran sel jaringan lipid, sehingga semakin tinggi suhu yang digunakan semakin besar rendemen yang diperoleh (Adeoti et al. 2014). Hasil ekstraksi minyak ikan pada suhu rendah (50-70 ˚C) pada penelitian lebih rendah dari hasil penelitian Ramalhosa et al. (2012) yang mengekstraksi total lipid sebesar 34% dengan metode microwave-assisted extraction (MAE) dengan suhu 104 ˚C selama 1 jam.
Nilai Bilangan Peroksida (PV)
Uji bilangan peroksida ditujukan untuk melihat berapa besar kandungan hidroperoksida pada minyak yang merupakan produk primer dari proses oksidasi. Semakin besar kandungan hidroperoksida pada minyak menunjukkan semakin banyak kerusakan yang terjadi pada minyak tersebut dan kecenderungan untuk minyak menjadi tengik. Hidroperoksida adalah produk dari oksidasi pada minyak ikan yang terjadi ketika reaksi otooksidasi terminasi. Aidos et al. (2002) menyatakan nilai peroksida sangat tergantung pada suhu saat ekstraksi. Perbandingan bilangan peroksida dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai oksidasi sangat penting sebagai indikator mutu minyak, semakin rendah nilai oksidasi primer dan sekunder, maka kualitas minyak akan semakin baik. Tahap pertama oksidasi adalah terbentuknya hidroperoksida yang pada umumnya diukur sebagai bilangan peroksida (Aidos et al. 2002).
16.05a 15.05a 15.85ab 17.43c 17.62 c 17.52ab 16.90b 16.15b 17.11c 14,00 14,50 15,00 15,50 16,00 16,50 17,00 17,50 18,00 50 60 70 Rendem en (%) Suhu (˚C)
24 24.55bc 27.55bc 14.05a 25.22ab 29.91d 23.16ab 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00 22,00 24,00 26,00 28,00 30,00 50 60 70 80 90 100 P V (m eq/k g ) Suhu (˚C)
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 3 Nilai bilangan peroksida (PV) pada suhu yang berbeda
Nilai peroksida terendah yang didapatkan dari Gambar 3 adalah sebesar 14,05±0,40 meq/kg pada perlakuan suhu ekstraksi 70 °C. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dari hasil penelitian Norziah et al. (2009) sebesar 9,9±0,1 meq/kg, dan Aidos (2002) sebesar 3,0±0,0 meq/kg. Menurut International Fish Oil Standard (IFOS) nilai bilangan peroksida harus dibawah 3,75 meq/kg untuk masuk ke dalam kategori minyak layak konsumsi. Toyoshima et al. (2009) melaporkan bahwa nilai PV tergantung dari umur simpan bahan baku yang digunakan, jika penyimpanan kurang dari satu bulan maka nilai PV bisa kurang dari 1 meq/kg. Hasil penelitian Aidos (2002) menyebutkan bahwa nilai PV cenderung naik seiring dengan menurunya kesegaran bahan baku dengan membandingkan minyak ikan dari by-product ikan segar, beku dan asin masing masing 0,65±0,17 meq/kg; 3,0±0,2 meq/kg dan 3,0±0,3 meq/kg.
Nilai Asam Lemak Bebas (FFA)
Asam lemak bebas sangat berkaitan dengan flavour yang kurang menarik pada
minyak. Pada industri pengolahan minyak ikan nilai FFA sangat berkaitan dengan jumlah alkali yang akan digunakan pada proses pemurnian (Sathivel et al. 2003). Asam lemak bebas (FFA) adalah produk dari reaksi hidrolisis triasilgliserida, dan sangat erat kaitannya dengan proses penyimpanan. Hasil uji FFA disajikan pada Gambar 4.
Berdasarkan data pada Gambar 4 nilai FFA terendah sebesar 6,08±0,27% didapatkan pada perlakuan suhu ekstraksi 60 °C dengan lama ekstraksi 30 menit. Hasil ini sesuai nilai rekomendasi minyak ikan layak konsumsi menurut Bimbo (1998) sebesar 1-7%, tetapi lebih tinggi dari hasil penelitian Aidos (2002) sebesar 3,1±0,4%. Sementara itu penelitian Norziah et al. (2009) menghasilkan nilai FFA sebesar 11,9±2,0% dari hasil samping surimi. Farmakope Indonesia menyarankan untuk minyak layak konsumsi sebaiknya nilai asam lemak bebasnya ≤2 % sedangkan IFOS merekomendasikan <1,13%. Secara umum perbedaan perlakuan suhu rendah (50-70 °C) tidak menunjukkan beda nyata, namun berbeda nyata
dengan perlakuan suhu tinggi (80-100 °C) disebabkan karena pada suhu tinggi reaksi hidrolisis menjadi lebih cepat sehingga menghasilkan triasilgliserida dan pengotor lainya.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 4 Nilai asam lemak bebas (FFA) pada suhu yang berbeda
Nilai p-anisidin (p-AV)
Analisis nilai p-anisidin (p-AV) dilakukan untuk mengukur produk sekunder hasil oksidasi (komponen karbon). Nilai p-anisidin dapat menentukan
keberadaan aldehid dalam minyak, karena menurut O’Brien (2009) aldehid
didalam minyak dan reagen p-anisidin bereaksi dalam kondisi asam dan ekspresi warna pada minyak sangat tergantung kepada jumlah aldehid dan strukturnya. Data hasil analisis nilai p-anisidin disajikan pada Gambar 5.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 5 Nilai p-anisidin (p-AV) pada suhu yang berbeda
6.21a 6.08a 6.27a 18.33b 19.28 c 19.60c - 5,00 10,00 15,00 20,00 50 60 70 80 90 100 F F A (%) Suhu (˚C) 4,94f 2,45c 3,81e 1,25a 1,96b 3,01d 0 1 2 3 4 5 6 50 60 70 80 90 100 p -AV (m eq/k g ) Suhu (˚C)
26
Nilai p-anisidin terendah yang didapatkan dari Gambar 5 adalah sebesar 1,25±0,00 meq/kg pada perlakuan suhu ekstraksi 80 °C. Hasil penelitian ini lebih rendah dari Aidos (2002) yang memperoleh nilai p-anisidin untuk minyak ikan
kasar dari by-product ikan segar, beku dan asin masing masing 0,36±0,06 meq/kg; 6,2±0,3 meq/kg dan 8,9±0,5 meq/kg. Hasil penelitian ini
lebih rendah dari standar IFOS (≤15 meq/kg). Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan suhu mempengaruhi nilai p-anisidin. Hal ini diduga karena suhu merupakan faktor utama dalam proses pemisahan minyak ikan dari komponen berlemak (HS surimi). Nilai anisidin berhubungan dengan produk sekunder oksidasi yang menggambarkan degradasi lanjutan dari minyak melalui proses inisiasi radikal bebas oleh hidroperoksida menghasilkan senyawa produk sekunder non volatil (Aidos et al. 2003).
Nilai Bilangan Asam (AV)
Nilai bilangan asam dilakukan untuk menentukan jumlah miligram basa yang digunakan untuk menetralkan 1 gram minyak. Bilangan asam sangat bergantung kepada komposisi minyak, metode ekstraksi dan kesegaran bahan mentah (Mohanarangan 2012). Menurut Rubio-Rodriguez et al. (2008) pengujian kualitas minyak ikan, terutama nilai acid value dan nilai total oksidasinya (totox) sangat penting untuk dilakukan, karena terkadang nilai uji yang lainnya seperti warna dan asam lemak bebas cenderung bernilai serupa walaupun menggunakan metode ekstraksi yang berbeda. Meningkatnya ketengikan minyak disebabkan perubahan triasilgliserida (TAG) menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Nilai bilangan asam yang didapatkan dari penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 6 Nilai bilangan asam (AV) pada suhu yang berbeda
Nilai bilangan asam terendah sebesar 12,10±0,54 mg KOH/kg didapatkan pada perlakuan suhu ekstraksi 60 °C. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Fuadi (2015) yang menghasilkan 7,95±0,61 mg KOH/g, Huang dan Shativel (2010) sebesar 2,35 ± 0,09 mg KOH/g dan jauh dari standar IFOS yang
12.35a 12.1a 12.48a 36.47b 38.36 c 39.04 c 10 15 20 25 30 35 40 50 60 70 80 90 100 AV (m g K O H /g ) Suhu (˚C)
menyatakan minyak layak konsumsi harus memiliki nilai bilangan asam dibawah 2,25 mg KOH/kg.
Total oksidasi (Totox)
Nilai totox adalah hubungan oksidasi primer dan sekunder yang didapatkan degan menjumlahkan dua kali nilai peroksida dengan nilai anisidin (Perrin 1996). Nilai total oksidasi yang didapatkan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 7.
Nilai total oksidasi terendah yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebesar 31,91±0,90 meq/kg yang dihasilkan pada perlakuan suhu ekstraksi 70 °C. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Fuadi (2015) yang mendapatkan nilai 23,65±1,42 meq/kg, namun masih sesuai dengan rekomendasi Bimbo (1998) yang menyatakan nilai totox untuk minyak layak konsumsi berkisar antara 10-60 meq/kg. Sementara IFOS menyatakan minyak layak konsumsi harus memiliki nilai totox dibawah 20 meq/kg.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 7 Nilai total oksidasi (totox) pada suhu yang berbeda
Viskositas Minyak Ikan
Analisis viskositas dilakukan untuk mengetahui kekentalan minyak ikan. Viskositas dalam bahan pangan akan menentukan tekstur dan stabilitas produk akhir. Viskositas minyak ikan juga dapat digunakan sebagai parameter efisiensi pemisahan asam lemak, mono dan diasilgliserida selama proses hidrogenasi dan interesterifikasi pada destilasi kolom (Whitaker et al. 1998). Viskositas juga merupakan parameter penting yang menunjukkan tingkat difusi beberapa komponen seperti asam lemak bebas dan karotenoid selama proses bleaching, winterisasi dan kristalisasi fraksional pada pemurnian minyak. Viskositas menurun secara eksponensial seiring dengan kenaikan suhu yang disebabkan adanya perubahan gaya antar molekul. Nilai viskositas minyak ikan dengan suhu yang berbeda disajikan pada Gambar 8.
54.03bcd 57.55cd 31.91a 51.69ab 61.78d 49.33abc 10 20 30 40 50 60 50 60 70 80 90 100 T o to x ( m eq/k g ) Suhu (˚C)
28
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 8 Nilai viskositas minyak ikan pada suhu yang berbeda
Nilai viskositas terendah yang didapatkan dalam penelitian adalah sebesar 1,24±0,30 yang dihasilkan pada perlakuan suhu ekstraksi 60 °C. Penelitian lain memperoleh nilai viskositas sebesar 0,03±0,00 Cp (Huang dan Sathivel 2008) dan 4-14 Cp (Jayasinghe dan Hawboltd 2013). Hasil analisis viskositas pada penelitian ini sesuai dengan standar EFSA (2010) yang menyebutkan bahwa viskositas minyak ikan yang baik kurang dari 10 Cp.
Warna Minyak Ikan
Warna merupakan salah satu atribut awal yang mempengaruhi kualitas suatu produk. Warna minyak ikan juga dipengaruhi oleh jenis ikan yang digunakan. Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ikan kurisi yang berwarna putih kemerahan hingga merah muda. Suhu ekstraksi yang berbeda secara nyata mempengaruhi warna minyak yang dihasilkan. Secara visual, perbedaan warna minyak ikan yang diekstraksi dengan suhu yang berbeda disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Warna minyak ikan dengan suhu ekstraksi yang berbeda
1.40a 1.24a 1.51a 1.65 b 1.66b 2.35c 0 0,5 1 1,5 2 2,5 50 60 70 80 90 100 Vis k o sit a s (C p) Suhu (˚C)
Uji ragam yang dilakukan menunjukkan perbedaan suhu ekstraksi memberikan pengaruh nyata terhadap warna minyak ikan. Hasil pengamatan nilai L*(lightness), a*(redness), dan b*(yellowness) dengan menggunakan Chromameter disajikan pada Gambar 10. Warna merupakan salah satu atribut awal yang mempengaruhi kualitas suatu produk. Gambar 10 menunjukkan nilai L*, a*, b* terbaik sebesar 60,24±0,05; 0,84±0,02; dan 32,84±0,06 diperoleh pada suhu ekstraksi 50 ˚C dengan warna minyak ikan yang dihasilkan berwarna cerah kekuningan. Pada penelitian ini semakin tinggi suhu, nilai L cenderung menurun atau warna minyak menjadi lebih gelap. Hasil penelitian ini lebih rendah dari García-Moreno et al. (2013) yang memperoleh nilai L*, a*, dan b* pada minyak ikan sarden sebesar 71,46; 16,39, dan 96,75.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 10 Pengaruh perlakuan suhu terhadap warna minyak ikan ( L*, a*, b*)
Rendemen minyak ikan pada waktu ekstraksi 30 menit
Rendemen merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk memperkirakan bahan baku yang dibutuhkan dalam proses dan biaya produksi. Uji ragam rendemen membuktikan bahwa suhu ekstraksi secara langsung mempengaruhi rendemen minyak ikan yang dihasilkan dari hasil samping air pencucian surimi