SAMPINGAN (HTS)
SEPTINA MUGI RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul ”Karakterisasi dan pemisahan minyak ikan dari air pencucian surimi ikan hasil tangkap sampingan (HTS)” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Air Pencucian Surimi Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS). Dibimbing oleh SUGENG HERI SUSENO dan BUSTAMI IBRAHIM.
Pemanfaatan ikan ekonomis rendah dan ikan hasil tangkap sampingan (HTS) di kalangan nelayan masih belum optimal karena jumlah tangkapan yang fluktuatif dan lokasinya tersebar. Permasalahan utama dalam industri penangkapan secara komersial adalah banyaknya ikan HTS yang tidak dimanfaatkan dan dibuang kembali ke laut hingga mencapai 65,56% dari total tangkapan ikan HTS setiap tahunnya. Permasalahan lainnya adalah kesegaran ikan yang rendah, ukuran dan spesies ikan HTS yang bervariasi sehingga pengolah memerlukan penanganan pendahuluan yang tepat. Penelitian dan kajian pemanfaatan ikan HTS telah banyak mengalami perkembangan misalnya untuk pakan, ikan asin, dan pangan bernilai tambah. Salah satu produk bernilai tambah adalah surimi. Di Indonesia penelitian pembuatan surimi dari ikan HTS sudah dilakukan sejak tahun 2002. Proses produksi surimi secara umum meliputi tahap pencacahan, pencucian, pengepresan dan penambahan cryoprotectant. Jumlah air pencucian yang tinggi hingga mencapai 6-9 L/kg dan kandungan lemaknya dapat memberikan dampak negatif berupa pencemaran jika dibuang langsung ke lingkungan. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah pemisahan lemak dalam air pencucian surimi menjadi minyak ikan. Kadar lemak dalam air pencucian surimi ikan HTS yang tinggi merupakan salah satu sumber yang potensial dijadikan minyak ikan kaya omega-3 dan meningkatkan nilai tambah produk hasil samping sebagai sumber pangan fungsional. Pemilihan metode ekstraksi yang tepat diharapkan mampu menghasilkan minyak ikan dengan jumlah dan kualitas yang baik.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan karakteristik ikan HTS dan jenis ikan HTS yang prospektif dalam menghasilkan minyak ikan, menentukan metode pemisahan terbaik, kualitas minyak ikan dari ikan HTS yang dipilih, serta konsentrasi penambahan adsorben dalam proses bleaching minyak ikan HTS dengan adsorben sintetis dan alami. Penelitian ini bermanfaat sebagai langkah awal pemanfaatan hasil samping dari industri surimi dengan bahan baku ikan HTS yang belum dimanfaatan secara optimal dan memberikan teknologi alternatif dalam pembuatan minyak ikan.
Hasil analisis pada tahap pertama dapat disimpulkan bahwa dari sebelas jenis ikan HTS yang diteliti (Hemirhampus spp., Trichiurus savala, Saurida tumbil, Stolephorus sp., Carangoides spp., Leiognathus lineolatus, Formio niger, Rastrelliger kanagurta, Selaroides leptolepis, Sardinella sp., dan Nemipterus sp.) memiliki kandungan protein 15,00-17,70%, lemak 0,4-2,78% , air 69,01-76,61%, abu 2,69-5,94%, dan karbohidrat 1,32-6,68%, dengan komposisi asam lemak meliputi asam lemak jenuh (SFA) 14,55-36,83%, asam lemak tidak jenuh tunggal (MUFA) 4,92-21,1% dan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA) 10,9-23,06%. Ikan HTS memiliki kadar lemak yang tidak berbeda nyata (p>0,05) sehingga dipilih ikan kurisi (Nemipterus sp.) sebagai bahan baku minyak ikan HTS. Tahap selanjutnya, ikan kurisi diproses untuk pembuatan surimi pada salah satu perusahaan di Rembang, Jawa Tengah. Air dari proses pencucian surimi diendapkan dan diambil padatanya berupa hasil samping surimi (HS Surimi). HS Surimi dipisahkan dengan metode sentrifugasi berlanjut dengan perlakuan kombinasi suhu dan waktu.
Proses pemisahan terbaik berdasarkan tahap dua diperoleh pada suhu ekstraksi 70 ˚C selama 30 menit dengan nilai asam lemak bebas (FFA) 6,27±0,72%; nilai peroksida (PV) 14,05±0,40 meq/kg; nilai p-anisidin (p-AV) 3,81±0,03 meq/kg; bilangan asam (AV) 12,48±0,01 mgKOH/g; total oksidasi (totox) 31,91±0,90 meq/kg dan rendemen 19,30±0,90%. Hasil penelitian tahap tiga menunjukkan bahwa perlakuan penambahan adsorben sintetis 3% dalam proses bleaching berhasil menurunkan nilai PV, AV, p-AV dan Totox sebesar 82,19%, 80,16%, 29,95% dan 77,42%.Perbandingan profil asam lemak dilakukan untuk mengetahui pengaruh proses pemisahan terhadap kadar PUFA. Persentase SFA tertinggi pada HS Surimi 33,74%, MUFA pada bleached oil 16,33%, dan PUFA pada suhu rendah (50-70 °C) sebesar 23,01%. Asam lemak dominan pada SFA adalah asam palmitat 14,92-20,31%, MUFA tertinggi adalah asam oleat 8,86-9,76%, PUFA dengan kandungan tertinggi pada asam eikosapentanoat (EPA) 3,05-4,55% dan asam dokosaheksanoat (DHA) 7,68-13,35%. Pemisahan minyak ikan dengan suhu rendah merupakan metode pemisahan terbaik yang berhasil mendapatkan total PUFA tertinggi dari metode lainnya.
by-catch surimi waste water. Supervised by SUGENG HERI SUSENO and BUSTAMI IBRAHIM.
Utilization of low economical fish and by-catch species were not optimal because fluctuation of total capture and scattered location. The main problem of commercial fishing industry is about the low utilization of by-catch fish, and most of them are thrown back to the sea reach 65,56% of the total fish every year. Other problem are fish freshness of the raw material, various of size and by-catch species therefore needed properly pretreatmen. By-products, by-catch, and some low economic fish are usually used as feed, salted fish (dry food), and another value-added food. One of the high value added products is surimi. In Indonesia, research of surimi manufacture from by-catch species has been conducted since 2002. Generally, surimi production process includes the step of grinding, washing, pressing and mixing with cryoprotectant in cold chain. The high amount of surimi washing water (6-9 L/kg) and fat content may cause pollution to environment. One solution offered is the fat separation on surimi wash water became fish oil. Fat content at the surimi wash water was one source of fish oil rich in omega-3 and increase value-added products as functional food. The best separation method is expected to produce good quality of fish oil.
The purpose of this study were to characterize by-catch species and to determine the type of fish that are potential on producing fish oil, selecting the best method separation and determination fish oil quality of selected by-catch, bleached fish oil with synthetic and natural adsorbent. This research is expected to be useful as initial step in surimi washing water utilization, also provide an alternative technology in the manufacture of fish oil.
sampling. The next step, threadfin bream processed in the surimi manufacture in Jepara, Central Java, Indonesia. Threadfin bream surimi wash water was deposited and the liquid separated by continues centrifugation method with treatment combination of temperature and time.
The best separation process in second step was obtained at 70 °C for 30 minutes with oxidation characteristic were free fatty acid (FFA), peroxide value (PV), p-anisidine value (p-AV), acid value (AV), total oxidation (Totox) and yield of 6,27±0,72%; 14,05±0,40 mEq/kg; 3,81±0,03 mEq/kg; 12,48±0,01 mgKOH/g; 31,91±0,90 mEq/kg and 19,30±0,90% respectively. The result in third step show that fish oil bleached with synthetic adsorbent 3% succeeded in lowering the value of PV, AV, p-AV and Totox amount to 82,19%, 80,16%, 29,95% and 77,42%. Comparison of fatty acids profile conducted to determine the effect separation process on PUFA content. The highest percentage of SFA was found at surimi wash water (33,74%), highest MUFA was found at bleached oil (16,33%) and highest PUFA was found at fish oil from low temperatures procecess (23,01%). Palmitic acid was predominant SFA (14,92 to 20,31%), oleic acid was predominant MUFA (8,86 to 9,76%), PUFA content was dominated by 3,05 to 4,55% EPA and 7,68 to 13,35% DHA. Separation fish oil at low temperatures was the best method that acquire highest PUFA from other methods .
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
AIR PENCUCIAN SURIMI IKAN HASIL TANGKAP
SAMPINGAN (HTS)
SEPTINA MUGI RAHAYU
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul “Karakterisasi dan pemisahan minyak ikan dari air pencucian surimi ikan
hasil tangkap sampingan (HTS)”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Kesuksesan penulis mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Penulis menyampaikan banyak terima kasih yang setulusnya kepada:
1. Dr Sugeng Heri Suseno, SPi, MSi selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak mencurahkan waktu dalam membimbing penulis dan banyak memberikan nasihat untuk lebih bijak dalam kehidupan.
2. Dr Ir Bustami Ibrahim, MSc sebagai anggota komisi pembimbing atas kesedian waktu untuk membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penyusunan tesis ini.
3. Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak memberikan saran dalam penyusunan tesis. 4. Dr Dra Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen penguji luar komisi yang telah
banyak memberikan saran dan perbaikan dalam penyelesaian tesis ini
5. Bapak dan Ibu staf pengajar, staf administrasi dan laboran Program Studi Teknologi Hasil Perairan FPIK IPB yang telah banyak membantu dan kerjasamanya yang baik selama penulis menempuh studi
6. Kementerian Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan yang telah memberikan beasiswa Unggulan DIKTI selama penulis menempuh pendidikan magister serta Kementerian Keuangan atas Beasiswa Penelitian yang diberikan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
7. Keluarga besar penulis Bapak Dakhilin, S.Pd SD, Ibu Narwati, ayah mertua M. Nova, Ibu mertua Sri Yuliati, suami tercinta Donnie Aqsha, SP, dan ananda Arfan Salim Abdulrasyid atas motivasi, doa, semangat dan dukungan baik moril maupun material selama penulis menempuh studi.
8. Teman-teman THP 43 dan S2 THP 2011, 2012 dan 2013 atas kerjasama yang baik selama studi.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih ada kekurangan. Semoga karya ilmiah ini membawa manfaat bagi seluruh civitas IPB khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.
Bogor, Desember 2015
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN Vii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Tujuan 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
2 KARAKTERISASI IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)
Pendahuluan 4
Bahan dan Metode 5
Hasil dan Pembahasan 9
Simpulan 14
3 PEMISAHAN DAN PENENTUAN KUALITAS MINYAK DARI AIR PENCUCIAN SURIMI IKAN HASIL TANGKAP
SAMPINGAN (HTS)
Pendahuluan 17
Bahan dan Metode 17
Hasil dan Pembahasan 21
Simpulan 30
4 BLEACHING MINYAK IKAN TERPILIH MENGGUNAKAN ADSORBEN SINTETIS DAN ZEOLIT ALAM
Pendahuluan 31
Bahan dan Metode 32
Hasil dan Pembahasan 34
Simpulan 41
5 PEMBAHASAN UMUM 42
6 SIMPULAN DAN SARAN 44
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 51
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 Diagram alir penelitian Tahap 2 19
2 Persentase rendemen minyak ikan pada suhu dan waktu yang berbeda ( 20 menit, 30 menit, 40 menit)
23
3 Nilai bilangan peroksida (PV) pada suhu yang berbeda 24 4 Nilai asam lemak bebas (FFA) pada suhu yang berbeda 25 5 Nilai p-anisidin (p-AV) pada suhu yang berbeda 25 6 Nilai bilangan asam (AV) pada suhu yang berbeda 26 7 Nilai total oksidasi (totox) pada suhu yang berbeda 27 8 Nilai viskositas minyak ikan pada suhu yang berbeda 28 9 Warna minyak ikan dengan suhu ekstraksi yang berbeda 28 10 Warna minyak ikan pada suhu yang berbeda ( L*, a*, b*) 29 11 Persentase rendemen minyak ikan pada waktu ekstraksi terbaik 30
12 Diagram alir penelitian tahap ke 3 33
13 Penampakan fisik dari adsorben yang digunakan untuk bleaching minyak ikan
34
14 Mikrostruktur adsorben 35
15 Perbandingan minyak ikan kasar (1) minyak ikan perlakuan penambahan adsorben sintetis (2) dan zeolit alam (3)
36
16 Nilai FFA (%) pada penambahan adsorben dengan konsentrasi yang berbeda ( Adsorben sintetis zeolit alam)
37
17 Nilai PV (meq/kg) pada penambahan adsorben dengan konsentrasi yang berbeda ( Adsorben sintetis zeolit alam)
37
18 Nilai p-anisidin (meq/kg) pada penambahan adsorben dengan konsentrasi yang berbeda ( Adsorben sintetis zeolit alam)
38
19 Nilai totox (meq/kg) pada penambahan adsorben dengan konsentrasi yang bebeda ( Adsorben sintetis zeolit alam)
39
2 Dokumentasi penelitian 51
1 Persentase kandungan zat gizi ikan HTS terpilih 10
2 Residu logam berat ikan HTS 13
3 Profil asam lemak 11 jenis ikan HTS 15
4 Persentase kandungan gizi hasil samping air pencucian surimi ikan kurisi
22
1 PENDAHULUAN Latar Belakang
Volume produksi perikanan tangkap tahun 2014 mengalami pertumbuhan sebesar 1,39% atau sebesar 6,2 juta ton dibandingkan tahun 2013. Tren volume produksi perikanan tangkap tahun 2009-2014 mengalami pertumbuhan 3,97% (KKP 2014). Jumlah hasil tangkapan yang terus meningkat akan menimbulkan masalah berupa ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) yang tinggi pula. Ikan HTS adalah ikan yang bukan menjadi tujuan utama penangkapan dengan nilai ekonomis rendah.
Menurut data dari FAO (2009) ikan hasil tangkap sampingan dan beberapa ikan ekonomis rendah dimanfaatkan sebagai sumber pakan, ikan asin, dan makanan bernilai tambah. Salah satu produk bernilai tambah tinggi adalah surimi. Di Indonesia penelitian pembuatan surimi dari ikan HTS sudah dilakukan sejak tahun 2002 (KKP 2010) dengan berbagai jenis ikan diantaranya alu-alu (Sphyraena sp.), beloso (Saurida tumbil), kurisi (Nemiphterus sp.), paperek (Leiognathus sp.), gulamah (Pseudociena anoyensis), pisang-pisang (Caesio chrysozomus), nomei (Harpodon sp.), layur (Trichiurus sp.), layang (Sardinella sp.), swanggi (Priacanthus tayenus), biji nangka (Upeneus sulphureus), tiga waja (Jonius dusscemieri), dan gerot-gerot (Pomadasys sp.). Penelitian Shahidi et al. (2006) menyebutkan bahwa di perairan tropis ditemukan sekitar 200 jenis ikan HTS yang masuk ke dalam famili Carangidae, Mullidae, Synodontidae, Gerreidae, dan Nemipteridae. Penelitian Murueta et. al (2007) menyebutkan bahwa sembilan jenis ikan HTS yang diteliti memiliki nilai bioavailabilitas protein dan asam lemak omega-3 yang lebih tinggi jika diekstraksi pada suhu rendah. Pengolahan surimi berbahan baku ikan HTS telah banyak dikaji, namun masih sangat jarang membahas komponen asam lemak yang dihasilkan.
Asam lemak pada minyak ikan memiliki keunggulan tersendiri dibandingkan asam lemak dari sumber lainya. Asam lemak memiliki fungsi yang sangat penting bagi tubuh manusia, terutama asam lemak tak jenuh ganda/polyunsaturated fatty acid (PUFA) diantaranya adalah asam linoleat (omega-6) dan linolenat (omega-3) yang digunakan untuk menjaga bagian-bagian struktural membran sel, dan mempunyai peranan penting dalam perkembangan otak. Beberapa keunggulan asam lemak omega-3 adalah dapat mencegah aterosklerosis, kanker, diabetes dan memperkuat sistem kekebalan tubuh (Imre dan Sahgk 1997). Asam lemak linolenat memiliki turunan yaitu EPA (Eikosapentaenoat Acid) dan DHA (Dokosaheksaenoat Acid) yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia karena memiliki beberapa manfaat, antara lain dapat mencerdaskan otak, membantu masa pertumbuhan dan menurunkan kadar trigliserida (Leblanc et al. 2008).
2
proses pencucian surimi merupakan hasil samping pada industri pengolahan surimi yang memiliki kandungan Total Suspended Solids (TSS), minyak dan lemak (Jayasinghe et al. 2013). Kandungan minyak dan lemak pada hasil samping industri perikanan berupa ikan herring, salmon dan demersal berturut turut sebesar 600-800 mg/L, 20-600 mg/L dan 200-1500 mg/L (Carawan et al. 2003). Minyak hasil samping industri perikanan dikenal dengan istilah bio-oils (Faaij et al. 2006), proses produksi bio-oils menggunakan ekstraksi dengan suhu yang tinggi (80-150 °C), ekstraksi mekanik dan biokimia (fermentasi, digesti, dan hidrolisis) (Jayasinghe et al. 2012).
Pemanfaatan hasil samping surimi menjadi minyak sudah banyak dilakukan, namun masih memiliki banyak kelemahan misalnya proses ektraksi dengan suhu yang tinggi akan menghasilkan minyak dengan kualitas yang rendah. Proses esktraksi dengan suhu yang rendah masih sangat jarang dilakukan. Produksi bio-oils dari minyak ikan sebagian besar dimanfaatkan sebagai sumber energi bukan untuk produk pangan (Jayasinghe dan Hawboltd 2012; 2013). Penelitian Toyoshima et al. (2004) berhasil mendapatkan minyak ikan dari air pencucian surimi dengan metode sentrifugasi berlanjut, akan tetapi metode lainnya belum banyak dikaji. Modifikasi proses pemisahan minyak ikan perlu diteliti lebih lanjut sehingga dapat mempertahankan mutu minyak ikan dengan teknologi yang mudah diaplikasikan dan ramah lingkungan.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengkarakterisasi ikan HTS dan menentukan jenis ikan yang prospektif dalam menghasilkan minyak ikan.
2. Menentukan metode pemisahan terbaik untuk menghasilkan minyak ikan dari ikan HTS terpilih.
3. Menentukan jenis dan konsentrasi adsorben terbaik pada proses bleaching minyak ikan.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini antara lain:
1. Mendapatkan informasi kandungan gizi, residu logam berat, dan profil asam lemak dari ikan HTS.
2. Mendapatkan informasi suhu dan waktu terbaik dalam proses pemisahan minyak ikan HTS.
3. Mendapatkan informasi jenis dan kosentrasi adsorben terbaik dalam bleaching minyak ikan HTS.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini antara lain:
1. Karakterisasi ikan HTS yang terdiri dari analisis proksimat, analisis kandungan logam berat dan analisis profil asam lemak.
2. Pemisahan minyak ikan HTS dengan perlakuan kombinasi suhu dan waktu pemanasan (50 oC, 60 oC, 70 oC, 80 oC, 90 oC, 100 oC) dengan waktu 20, 30, dan 40 menit.
3. Karakterisasi minyak ikan HTS yang terdiri dari pengukuran nilai peroksida, p-anisidin, asam lemak bebas, derajat keasaman, total oksidasi, warna dan viskositas.
4. Bleaching minyak ikan dengan menggunakan adsorben sintetis (0,5%, 1%, 1,5%, 2%, 2,5% dan 3%,) dan zeolit alam (0,5%, 1%, 1,5%, 2%, 2,5% dan 3%).
2 KARAKTERISASI IKAN HASIL TANGKAP
SAMPINGAN (HTS)
Pendahuluan
Latar belakang
Ikan Hasil Tangkap Sampingan (HTS) adalah hasil tangkapan ikan yang bukan menjadi tujuan penangkapan (Djazuli et al. 2009), sehingga kurang menguntungkan dan dibuang kembali ke laut. Menurut Shahidi (2007) ikan-ikan HTS pada armada pukat udang memiliki beberapa karakterisitik utama yaitu ikan-ikan tersebut berjumlah banyak, memiliki ukuran panjang kurang dari 20 cm, jenis ikan non ekonomis, dan beberapa ikan berasal dari famili sciaenidae, pomadasyidae, sparidae, mullidae, synodontidae, serranidae, bothidae, polynemidae dan nemipteridae.
Ikan HTS di Indonesia cenderung belum dimanfaatkan secara optimal, oleh karena itu perlu adanya suatu upaya pemanfaatan produksi perikanan di Indonesia yang mempertimbangkan faktor-faktor biologis (jenis dan ukuran ikan) dan nilai ekonomis, serta kendala-kendala dalam pengembangannya. Jenis ikan HTS pada pukat udang secara umum diklasifikasikan menjadi 8 jenis yaitu; Ikan bambangan (Lutjanus sp.), gulamah (Argyrosomus amoyensis), kurisi (Nemiptherus nematophorus), beloso (Saurida tumbil), lencam (Lethrinus sp.), biji nangka (Openeus sp), pisang-pisang (Caesio crysozonus) dan swanggi (Holocentridae sp.). Salah satu alternatif pemanfaatan ikan HTS tersebut adalah minyak ikan yang kaya akan omega-3. Ikan ekonomis rendah (low-value fish product) memiliki protein yang tinggi (47,9-58,8%) dan mikronutrien yang baik sebagai sumber makanan (Kabahenda et al. 2011). Ikan bentopelagis Diaphus watasei sebagai hasil tangkap sampingan memiliki kandungan MUFA 28-36,7%; SFA 33,3%; PUFA 25,5% dan omega-3 PUFA sekitar 70% dari total PUFA (Sebastine et al. 2011).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melakukan karakterisasi ikan HTS dan menentukan jenis ikan HTS yang prospektif dalam menghasilkan minyak ikan.
Bahan dan Metode
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2013-Januari 2014. Bertempat di Laboratorium Bahan Baku Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Laboratorium FMIPA Terpadu, dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan alat
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini ikan HTS dari Muara Angke, Jakarta. Alat-alat yang digunakan adalah untuk preparasi sampel antara lain, pisau, blender, plastik dan alat-alat yang digunakan untuk analisis proksimat antara lain oven, kjeldahl sistem, soxlet, alat titrasi, cawan porselen, gegep, tanur, destilator. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain alat destruksi, labu destruksi, spektrofotometer, Atomic Absorption Spectrofotometer (AAS) merk Buck Scientific, gaschromatograph (GC) merk Shimadzu GC 2010 plus 6.
Metode penelitian
Penelitian dilakukan dalam tiga tahap yaitu identifikasi, pereparasi serta analisis sampel yang meliputi analisis proksimat, uji kandungan logam berat, dan analisis profil asam lemak dari Ikan HTS.
Identifikasi dan preparasi sampel
Ikan HTS diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Muara Angke, Jakarta, Indonesia. Ikan HTS dibawa menuju laboratorium dengan menggunakan kotak sterofoam yang berisi es. Identifikasi bertujuan untuk mengetahui kelas dan spesies ikan yang digunakan. Proses identifikasi dimulai dengan mengamati morfologi dan morfometrik ikan, selanjutnya disesuaikan dengan taksonomi dan kunci identifikasi (Saanin 1968). Ikan dibersihkan, dipotong menjadi lebih kecil dan dihomogenisasi terpisah sesuai spesiesnya. Masing-masing sampel dilakukan analisis proksimat, logam berat dan profil asam lemak.
Metode analisis
Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat (kadar air, kadar protein, kadar abu, kadar lemak, kadar karbohidrat) logam berat dan profil asam lemak.
Analisis kadar air (AOAC 2005)
6
sampai dingin kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 oC selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan ditimbang kembali.
Perhitungan kadar air :
B - C B - A
Keterangan : A : Berat cawan kosong (gram)
B : Berat cawan yang diisi dengan sampel (gram)
C : Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (gram)
Analisis kadar protein (AOAC 2005)
Sampel ditimbang sebanyak 2 g dalam labu Kjeldahl kemudian ditambahkan 1,9±0,1 g K2O4, 40±10 mg HgO, 2,0 mL H2SO4. Larutan
dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Setelah larutan didinginkan dan diencerkan dengan akuades, sampel didestilasi dengan penambahan 8-10 mL larutan NaOH-Na2S2O3. Hasil destilasi ditampung dalam
erlenmeyer yang telah berisi 5 mL H3BO3 dan 2-4 tetes indikator (merah metil
dan alkohol) dengan perbandingan 2:1. Destilat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,1 N hingga terjadi perubahan warna dari hijau menjadi abu-abu. Hasil yang diperoleh adalah total N, yang kemudian dinyatakan dalam faktor konversi 6,25. Kadar protein yang dihitung berdasarkan rumus perhitungan:
Analisis kadar abu (AOAC 2005)
Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 °C selama 1 jam, kemudian ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Kadar abu ditentukan dengan rumus:
C - A B - A
Keterangan : A : Berat cawan porselen kosong (gram) B : Berat cawan dengan sampel (gram)
C : Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (gram)
%N = x 100%
% kadar air = x 100%
Analisis kadar lemak (AOAC 2005)
Prinsip penetapan kadar abu yaitu abu dalam bahan pangan ditetapkan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550-600 °C. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 °C selama 30 menit. Sampel sebanyak 5 g ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya. Contoh kemudian dikeringkan dalam oven dan diarangkan, selanjutnya diabukan dalam tanur pada suhu 600 °C selama 6-8 jam sampai pengabuan sempurna (abu berwarna putih). Sampel didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Untuk menghitung kadar abu digunakan rumus sebagai berikut:
Analisis karbohidrat dilakukan by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya.
Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan persamaan berikut:
% karbohidrat = 100% - (kadar air + kadar abu + kadar lemak + kadar protein)
Analisis logam berat Cd, Pb, Hg, Ni dan As (BSN 2009)
Analisis dilakukan menggunakan 1 gram contoh, dimasukkan ke dalam labu destruksi 100 mL, ditambahkan 15 mL HNO3 pekat dan 5 mL HClO4, dan
didiamkan 24 jam. Sampel didestruksi hingga jernih, didinginkan, dan ditambahkan 10-20 mL air bebas ion, dilakukan pemanasan ±10 menit, diangkat, dan didinginkan. Larutan tersebut dipindahkan ke dalam labu takar 100 mL (labu dekstruksi dibilas dengan air bebas ion dan dimasukkan ke dalam labu takar). Larutan ditambahkan air sampai batas tanda tera. Kemudian dikocok dan disaring dengan kertas saring Whatman no.4. Sampel dipreparasi dan dianalisis sesuai dengan pengujian logam berat (Cd, Pb, Hg, Ni, As) pada analisis air (APHA 3110 untuk logam Cd, Pb, dan Ni; metode 3114 untuk As; dan metode 3112 untuk Hg). Filtrat dianalisis menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS). Analisis kandungan logam dapat dihitung dengan persamaan berikut:
Konsentrasi logam dari kurva rendah (µg/mL)
Bobot sampel
Analisis profil asam lemak (AOAC 2005)
Metode analisis yang digunakan menggunakan prinsip mengubah asam lemak menjadi turunannya, yaitu metil ester sehingga dapat terdeteksi oleh alat kromatografi. Gas chromatography (GC) memiliki prinsip kerja pemisahan antara gas dan lapisan tipis cairan berdasarkan perbedaan jenis bahan. Hasil
% kadar lemak =
Kadar logam (ppm) = x V pelarutan
8
analisis akan terekam dalam suatu lembaran yang terhubung dengan rekorder dan ditunjukkan melalui beberapa puncak pada waktu retensi tertentu sesuai dengan karakter masing-masing asam lemak dan dibandingkan dengan standar. Sebelum melakukan injeksi metil ester, terlebih dahulu lemak diekstraksi dari bahan lalu dilakukan metilasi sehingga terbentuk metil ester dari masing-masing asam lemak yang didapat.
Pembentukan metil ester
Asam-asam lemak diubah menjadi ester-ester metil atau alkil yang lainnya sebelum disuntikkan ke dalam kromatografi gas. Metilasi dilakukan dengan merefluks lemak di atas penangas air dengan pereaksi berturut-turut NaOH-metanol 0,5 N, BF3 dan n-heksana. Sampel sebanyak 0,02 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 5 mL NaOH-metanol 0,5 N lalu dipanaskan dalam penangas air selama 20 menit pada suhu 80 °C. Larutan kemudian didinginkan. Sebanyak 5 mL BF3 ditambahkan ke dalam tabung lalu tabung dipanaskan kembali pada waterbath dengan suhu 80 °C selama 20 menit dan didinginkan. Larutan ditambahkan 2 mL NaCl jenuh dan dikocok. Selanjutnya, ditambahkan 5 mL heksana, kemudian dikocok dengan baik. Lapisan berupa larutan heksana dibagian atas dipindahkan dengan bantuan pipet tetes ke dalam tabung reaksi. Sebanyak 1 μL sampel lemak diinjeksikan ke dalam campuran standar eksternal FAME (Supelco 37 component FAME mix). Asam alat kromatografi gas Shimadzu GC 2010 Plus. Gas yang digunakan sebagai fase bergerak adalah gas nitrogen dengan laju alir 30 mL/menit dan sebagai gas pembakar adalah hidrogen dan oksigen, kolom yang digunakan adalah capilary column merk Quadrex dengan diameter dalam 0,25 mm.
a) Kolom : Cyanopropil methyl sil (capilary column)
b) Dimensi kolom : P = 60 m, Ø dalam = 0,25 mm, 0,25 μm film Thickness
Semua data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata + standar deviasi (Mean + SD). Analisis data menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL).
Hipoteis Tahap 1:
H0 = Spesies ikan HTS tidak mempengaruhi kandungan zat gizi, profil asam
H1 = Spesies ikan HTS mempengaruhi kandungan zat gizi, profil asam lemak,
dan kandungan logam berat minyak ikan Yij = µ + αi + ∑ij Keterangan:
Yij = respon pengaruh perlakuan pada taraf i ulangan ke-j µ = pengaruh rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan pada taraf ke-i
∑ij = pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j j = 1,2, dan 3
Jika terdapat perbedaan nyata diantara perlakuan maka analisis akan dilanjutkan dengan menggunakan Uji Beda Duncan.
Hasil dan Pembahasan Kandungan gizi ikan HTS
Penentuan kandungan gizi dilakukan dengan analisis proksimat. Analisis proksimat merupakan suatu analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk didalamnya kandungan air, lemak, protein, abu dan karbohidrat dari ikan HTS. Hasil penentuan kandungan zat gizi ikan HTS disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1 Persentase kandungan zat gizi ikan HTS terpilih
Spesies Air (%) Abu (%) Lemak (%) Protein (%) Karbohidrat (%)
Hemirhampus spp 74,57±0,66de 4,34±0,61d 0,52±0,38a 16,41±0,17bc 4,16 ±1,82bc
Trichiurus savala 73,79±0,27cd 2,74±0,09b 2,58±0,49ef 16,04±0,15b 4,86±0,81bdc
Saurida tumbil 73,81±0,23cd 4,27±0,05d 1,40±0,08c 16,05±0,40b 4,48± 0,14bcd
Stolephorus sp. 76,61±0,02fg 3,15±0,28bc 0,63±0,40ab 16,89±0,04cd 2,72±0,73ab
Carangoides spp 69,01±0,05a 5,85±0,47e 2,78±0,10ef 16,90±0,03cd 5,46±0,49cd
Leiognathus lineolatus 75,57±1,32ef 5,18±0,13e 1,26±0,03bc 16,67±0,23bc 1,32±1,38a
Formio niger 76,02±0,01f 2,69±0,29b 1,44±0,34c 15,00 ±0,37a 4,86±0,33bcd
Rastrelliger kanagurta 72,97±0,08c 3,62 ±0,40cd 1,46±0,01de 17,70±0,13e 4,26±0,45bc
Selaroides leptolepis 71,18±0,04b 5,94±0,20e 2,00±0,55cd 15,91±0,45b 4,98±0,84bcd
Sardinella sp. 71,87±0,08b 3,91±0,52cd 0,44±0,16a 17,11±0,32de 6,68±1,08d
Nemipterus sp. 77,39±0,20g 1,38 ±0,14a 2,46±0,27ef 17,26±1,03e 3,63±1,03bc
Keterangan : Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukan berbeda nyata (p<0,05)
10
Prinsip analisis kadar air adalah mengukur berat air yang teruapkan dan tidak terikat kuat dalam jaringan bahan dengan bantuan panas. Air merupakan komposisi kimia penting untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. Kadungan air yang tinggi pada ikan HTS menyebabkan ikan mudah sekali mengalami kerusakan (highly perishable) apabila tidak ditangani dengan benar. Hal ini karena air dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan juga reaksi kimiawi dalam jaringan yang diduga melibatkan enzim, salah satunya enzim protease misalnya katepsin (Winarno 2008).
Lemak merupakan komponen kimia yang dibentuk dari unit struktural yang bersifat hidrofobik. Lemak umumnya bersifat larut dalam pelarut organik yang bersifat non polar, dan sulit larut dalam air yang bersifat polar. Kandungan zat gizi ikan HTS yang ditampilkan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa kadar lemak tertinggi terdapat pada spesies Carangoides spp sebesar 2,78% . Ikan HTS dalam penelitian ini termasuk ke dalam kategori lemak rendah. Ikan dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori sesuai kandungan lemaknya yaitu ikan lemak sangat rendah (<2%), lemak rendah (2-4%), lemak sedang (4-8%), dan lemak tinggi (>8%) (Ackman 1989). Ikan dengan kandungan lemak sangat rendah meliputi spesies Hemirhampus spp, Saurida tumbil, Stolephorus sp., Leiognathus lineolatus, Formio niger, Rastrelliger kanagurta, Sardinella sp. dan Nemipterus sp. Ikan dengan kandungan lemak rendah adalah Trichiurus savala, Carangoides spp, dan Selaroides leptolepis. Kadar lemak pada penelitian ini (0,44%-2,78%) lebih rendah dari penelitian yang telah dilakukan oleh Kumar et al. (2014) yaitu sebesar 2,5-3,3% dan Eid et al. (1992) sebesar 7-30% yang meneliti ikan HTS di Teluk Arab. Kadar lipid dan komposisi asam lemak akan bervariasi tergantung pada spesies, umur, jenis kelamin, musim, salinitas, suhu air, dan ketersediaan makanan (Stansby 1981). Kadar lemak ikan HTS berbanding terbalik dengan kadar airnya, hal ini sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak (Yunizal et al. 1998). Hubungan tersebut mengakibatkan rendahnya kadar lemak, apabila kadar air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi.
Protein merupakan makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Protein berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh, serta berperan sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat. Molekul protein juga mengandung unsur logam misalnya besi dan tembaga (Winarno 2008). Hasil pengukuran kadar protein pada penelitian sebesar 15,00-17,70%, lebih rendah dari penelitian Eid et al. (1992) yang memperoleh kadar protein sebesar18,00-20,50%. Usydus et al. (2012) meneliti kadar protein ikan HTS di India sebesar 16,86%. Hasil pengukuran protein pada ikan HTS menunjukkan kadar protein tertinggi terdapat pada spesies Rastreliger kanagurta (17,70%). Kadar protein dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain habitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme, laju pergerakan dan tingkat kematangan gonad.
itulah disebut sebagai kadar abu (Winarno 2008). Hasil pengukuran kadar abu penelitian ini berkisar 1,38-5,85%, lebih rendah dari penelitian Eid et al (1992) 12,90-21 % dan Murueta et al. (2007) sebesar 8,15-20,27%. Hasil pengukuran kadar abu pada ikan HTS menunjukkan kadar abu tertinggi terdapat pada spesies Selaroides leptolepis (5,94%). Kadar abu yang bervariasi dapat disebabkan karena perbedaan habitat dan lingkungan. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup didalamnya. Masing-masing organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda dalam meregulasi dan menyerap mineral, sehingga akan mempengaruhi nilai kadar abu dalam organisme (Kabahenda et al. 2011).
Karbohidrat merupakan salah satu nutrisi dasar dan paling banyak digunakan sebagai sumber energi utama. Energi yang disumbangkan dari karbohidrat sebesar 4 kkal. Karbohidrat juga mempunyai peran penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, seperti rasa, warna, tekstur dan lain-lain (Winarno 2008). Hasil perhitungan kadar karbohidrat dengan metode by difference menunjukkan bahwa Ikan HTS berkisar antara 1,32-6,68%. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode by difference ini merupakan metode penentuan kadar karbohidrat dalam bahan pangan secara kasar, sehingga kadar karbohidrat yang terhitung ini diduga berupa glikogen dan serat kasar. Secara umum karbohidrat yang terdapat pada hewan berbentuk glikogen (Winarno 2008).
Residu logam berat
Hasil penentuan residu logam berat yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan sebagian besar kandungan logam berat masih dalam ambang batas yang ditetapkan BSN (2009) kecuali pada Pb dan Cd yang ditemukan pada spesies Formio niger. Logam berat dapat menimbulkan efek-efek khusus pada makhluk hidup. Semua logam berat dapat menjadi bahan beracun yang akan meracuni tubuh makhluk hidup, akan tetapi logam tersebut tetap dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh makhluk hidup. Logam timbal (Pb) bersifat toksik pada manusia dan dapat menyebabkan keracunan akut dan kronis. Keracunan akut ditandai dengan mulut terasa terbakar, diare sedangkan untuk gejala kronis ditandai dengan mual, anemia, sakit disekitar mulut dan dapat meyebabkan kelumpuhan (Darmono 1995).
Kandungan Pb berkisar antara 0,16 ppm sampai 0,71 ppm. Kandungan Pb yang melebihi ambang batas ditemukan pada spesies Trichiurus savala, Carangoides spp., Leiognathus lineolatus, Formio niger, Rastrelliger kanagurta, Selaroides leptolepis dan Sardinella sp. Bae dan Lim (2012) menyatakan bahwa kandungan logam berat Pb yang tinggi dipengaruhi daerah penangkapan, musim, pakan, suhu dan salinitas perairan. Kadar logam berat merkuri pada ikan HTS di perairan muara Angke Indonesia memiliki nilai yang lebih rendah dengan penelitian di Teluk Benggala, India (Mukherjee dan Bupander 2011) dan Nigeria (Ekaete 2012).
12
(Effendi 2003). Keracunan yang disebabkan oleh Cd umumnya berupa kerusakan pada fisiologis tubuh antara lain ginjal, pernafasan, sistem sirkulasi, dan jantung (Syakti et al. 2012)
Hasil penelitian menunjukkan kadar logam berat kadmium (Cd) masih berada dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh BSN (2009) kecuali pada spesies formio niger sebesar 0,31±0,00 ppm. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil penelitian Mukherjee dan Bhupander (2011) yang menyatakan kandungan Cd ikan HTS yang dikonsumsi masyarakat Teluk Bengal, India sebesar 0,33±0,01 ppm serta Agoes dan Hamami (2007) sebesar 0,30 ppm pada perairan di Gresik, Indonesia.
Merkuri merupakan salah satu logam berat yang terdapat dalam bentuk Hg murni, anorganik dan organik. Merkuri organik dalam bentuk metil merkuri, mempunyai daya racun yang tinggi dan susah diurai dibandingkan Hg murni. Hasil penelitian menunjukkan kadar logam berat merkuri (Hg) pada ikan HTS masih dibawah ambang batas aman BSN (2009) yaitu 0,5 ppm. Kadar logam berat merkuri pada ikan HTS di Perairan Muara Angke Indonesia memiliki nilai yang lebih rendah dengan penelitian di teluk Benggala, India sebesar 0,35 ppm (Mukherjee dan Bupander 2011).
Nikel (Ni) merupakan salah satu kelompok logam berat. Logam ini bersifat mudah ditempa dan dibentuk serta berwarna mengkilat. Keracunan nikel (Ni) dapat menyebabkan gangguan syaraf, kerusakan hati, dan kerusakan paru-paru. Penelitian ini menunjukkan kandungan logam berat jenis nikel (Ni) yang terdapat pada ikan HTS dibawah ambang batas yang ditetapkan oleh BSN (2009) yaitu 1 ppm. Hasil penelitian ini menunjukkan kadar logam berat Arsen (As) masih jauh dibawah batas ambang yang ditetapkan BSN (2009) yaitu 1 ppm. Arsen tidak rusak oleh lingkungan, hanya berpindah menuju air atau tanah yang dibawa oleh debu, hujan atau awan. Beberapa senyawa arsen tidak bisa larut di perairan dan akhirnya akan mengendap di sedimen (Effendi 2003)
Tabel 2 Residu logam berat ikan HTS
Spesies Logam (ppm)
Pb Cd Ni Hg As
Hemirhampus spp 0,26±0,09ab 0,05±0,00c 0,02±0,00 0,01±0,00a TD
Trichiurus savala 0,39±0,11bc 0,04±0,00c 0,03±0,00 0,03±0,00a TD
Saurida tumbil 0,16±0,10a 0,02±0,00a 0,04±0,00 0,18±0,00ab TD
Stolephorus sp 0,27±0,02ab 0,02±0,00a 0,01±0,00 0,02±0,00a TD
Carangoides spp 0,53±0,17cd 0,10±0,00f TD 0,01±0,00a TD
Leiognathus lineolatus 0,64±0,13d 0,05±0,00d TD 0,25±0,00b TD
Formio niger 0,39±0,09cd 0,31±0,00g 0,02±0,00 0,03±0,00a TD
Rastrelliger kanagurta 0,57±0,12cd 0,05±0,00c TD 0,01±0,00a TD
Selaroides leptolepis 0,71±0,07d 0,09±0,00e TD 0,28±0,00b TD
Sardinella sp. 0,67±0,07d 0,03±0,00b 0,01±0,00 0,24±0,00b TD
Nemipterus sp. 0,19±0,10ab 0,02±0,00a TD 0,027±0,30c TD
Batas ambang (SNI 2009) 0,3 0,1 1 0,5 1
Penentuan profil asam lemak ikan HTS
Penentuan profil asam lemak dilakukan untuk menentukan kandungan asam lemak baik itu asam lemak jenuh/Saturated Fatty Acid (SFA), asam lemak tak jenuh tunggal/Monounsaturated Fatty Acid (MUFA), dan asam lemak tak jenuh majemuk/Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA). Data profil asam lemak ikan HTS disajikan dalam Tabel 3.
Hasil analisis profil asam lemak menunjukkan bahwa SFA, MUFA, dan PUFA dari sebelas sampel yang diamati masing masing berkisar 14,55-36,83%, 4,92-21,11%, dan 10,90-23,06%. Kandungan SFA tertinggi ditemukan pada Leiognathus lineoatus, sedangkan nilai terendah dapat ditemukan pada Selaroides leptolepis. Asam lemak jenuh yang dominan adalah asam palmitat (C16:0), dengan kandungan asam palmitat tertinggi pada Leiognathus lineoatus (24,19%). MUFA semua sampel didominasi oleh asam oleat (C18:1nc). Kandungan MUFA tertinggi adalah asam oleat ditemukan pada sesies Leiognathus lineoatus (8,89±0,02%). Kandungan tertinggi PUFA ditemukan pada Rastrelliger kanagurta, sedangkan nilai terendah dapat ditemukan pada Selaroides leptolepis. Asam lemak tidak jenuh rantai panjang yang terdeteksi adalah EPA (C20:5) dan DHA (C22:6). Kandungan tertinggi EPA dan DHA dapat ditemukan pada Carangoides sp. dengan kandungan EPA 3,30±0,02% dan DHA 12,02±0,01%. Semua sampel dikategorikan ke dalam ikan pelagis. Penelitian yang telah dilakukan Edirisinghe et al. (1998) menunjukkan bahwa beberapa jenis ikan pelagis dari perairan Sri Lanka misalnya ikan layang kuning, makarel, dan herring memiliki kandungan dominan SFA dan diikuti oleh PUFA. Asam eikosapentanoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA) merupakan jenis asam lemak omega-3 yang dominan dalam ikan laut. Jumlah rasio n-6/n-3 ikan laut lebih tinggi dari ikan air tawar.
Ozogul dan Ozogul (2005) menganalisis komposisi asam lemak dan lipid dari delapan ikan komersial yang berasal dari Turki. Delapan sampel yang diamati memiliki kandungan SFA berkisar 25,5-38,7%, MUFA berkisar 13,2-27,0%, dan PUFA berkisar 24,8-46,4%. Jenis asam lemak SFA yang dominan adalah asam miristat (C14:0) sebesar 1,70-10,9% asam palmitat (C16:0) sebesar 15,5-20,5%, asam palmitoleat (C16:1) sebesar 2,86-17,0%, asam stearat (C18:0) sebesar 3,32-8,18% asam oleat (C18: 1n9c) sebesar 6,11-20,8%, asam linoleat (C18:2n6) sebesar 0,93-4,03% asam oktadekatetranoat (C18: 4n3) sebesar 0,02-4,55%, EPA (C20:5n3) sebesar 4,74-11,7% dan DHA (C22 : 6n3) sebesar 7,69-36,2%.
14
Penelitian lainnya menunjukkan bahwa komposisi asam lemak akan bervariasi tergantung pada pengaruh iklim, diet, usia, kematangan gonad, kondisi lingkungan, dan spesies. Suhu air dapat mempengaruhi komposisi asam lemak dalam lipid ikan. Proporsi asam lemak tak jenuh dalam fosfolipid dan lipid netral akan meningkat seiring dengan penurunan suhu air (Farkas et al. 1980). Ikan daerah tropis cenderung memiliki total lipid yang lebih rendah dari ikan daerah subtropis (Ackman 1967).
Simpulan
16
Struktur asam lemak
Spesies
Hemiramph us spp.
Trichiurus savala
Saurida tumbil
Stolephorus sp.
Carangoides spp.
Leiognathus lineoatus
Formio niger
Rastrelliger kanagurta
Selaroides leptolepis
Sardinella sp.
Nemipterus
sp. C18:2n6c 0.59 ±0.00 0.48 ±0.01 0.35 ±0.00 0.36 ±0.00 0.88 ±0.01 0.62 ±0.02 0.54 ±0.00 0.60±0.01 0.41 ±0.01 0.77 ±0.02 0.74±0.00
C18:3n6 0.04 ±0.01 0.04 ±0.01 0.26 ±0.01 0.24 ±0.02 0.09 ±0.01 0.06 ±0.01 0.04 ±0.00 0.07 ±0.03 0.03 ±0.01 0.09 ±0.03 0.1±0.00 C20:2 0.09 ±0.02 0.14 ±0.01 0.33 ±0.00 0.32 ±0.01 0.20 ±0.01 0.12 ±0.01 0.18 ±0.02 0.10±0.02 0.07 ±0.00 0.12 ±0.00 0.29±0.00
C20:3n6 0.09 ±0.02 0.11 ±0.00 0.07 ±0.02 0.04 ±0.00 0.15 ±0.01 0.08 ±0.02 0.14 ±0.03 0.09 ±0.00 0.05 ±0.00 0.10±0.00 0.13±0.00 C20:3n3 0.04 ±0.03 0.08 ±0.00 1.68 ±0.00 1.35 ±0.00 0.09 ±0.01 0.08 ±0.01 0.08 ±0.01 0.07 ±0.00 0.04 ±0.00 0.05 ±0.00 0.11±0.00
C20:4n6 1.03 ±0.03 1.30±0.02 n.d 0.02 ±0.01 0.07 ±0.01 n.d 3.42 ±0.02 1.74 ±0.00 0.72 ±0.00 1.64 ±0.00 2.58±0.00
C22:2 - - - 0.05 ±0.02 0.02 ±0.00 - - 0.02±0.00
C20:5n3 0.97 ±0.00 2.49 ±0.00 2.30±0.00 3.08 ±0.02 3.3 ±0.02 2.65 ±0.01 3.22 ±0.03 3.10±0.00 1.63 ±0.02 3.07 ±0.02 3.38±0.00
C22:6n3 10.67 ±0.01 9.0±0.01 6.37 ±0.00 11.63 ±0.03 12.02 ±0.01 11.39 ±0.03 3.59 ±0.02 11.04 ±0.01 7.76 ±0.03
13.77
±0.03 10.56±0.00
Total
PUFA 13.76 14.62 11.92 17.91 17.34 15.65 11.45 23.06 10.9 20.08 18.22
3 PEMISAHAN DAN PENENTUAN KUALITAS MINYAK
DARI AIR PENCUCIAN SURIMI
IKAN HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS)
Pendahuluan Latar belakang
Ikan kurisi (Nemipterus sp.) merupakan salah satu ikan HTS sebagai bahan baku surimi karena jumlahnya yang melimpah sepanjang tahun di perairan tropis dengan harga jual yang murah (Rp 5.000-Rp 7.000/kg). Penelitian terkait pengolahan surimi dari ikan kurisi sudah dilakukan sejak 1978 (Wiriyaphan et al. 2015). Penelitian lainya sudah dilakukan oleh Zhu et al. (2015), Zhou et al.(2014) dan Ramalhosa et al. (2012). Proses produksi surimi menghasilkan hasil samping berupa air cucian yang masih mengandung lemak, enzim dan protein sarkoplasma (Eymard et al. 2009). Air pencucian surimi di Thailand mencapai 50.000-60.000 ton/tahun. Jumlah hasil samping berupa air pencucian surimi yang melimpah dalam proses pencucianya berpotensi tinggi sebagai sumber minyak ikan dan protein sarkoplasma. Penelitian Afonso et al. (2006) menyatakan bahwa air pencucian surimi mengandung 2-5 g/L-1 protein larut air dan 17,8% minyak ikan (Jayasinghe et al. 2013). Jumlah air pencucian surimi yang sangat tinggi jika dibuang langsung ke lingkungan dapat menimbulkan pencemaran tanah dan air yang ada disekitarnya. Penelitian pemanfaatan air pencucian surimi menjadi minyak ikan telah banyak dilakukan, akan tetapi masih menjadi produk pakan, pupuk, dan bioenergi dengan kualitas yang rendah.
Penelitian terkait pemisahan minyak ikan dari hasil samping industri sudah dilakukan diantaranya ekstraksi dengan suhu tinggi (FAO 1986), sentrifugasi dengan kecepatan 7.370-9.940 g suhu 8-15 ˚C (Toyoshima et al. 2009), 2.560 g selama 30 menit (Shativel et al. 2008), dan 7.250 g selama 30 menit pada suhu 23 ˚C. Penelitian Dumay et al. (2008) menyebutkan bahwa jumlah recovery protein dan lemak yang diperoleh dari air pencucian surimi masing masing antara 9,2-60,4 g/L dan 0,1-2,8 g/L yang potensial dijadikan sumber kosentrat protein dan asam lemak. Ikan herring sebagai by-product pada industri perikanan memiliki jumlah EPA dan DHA sekitar 99 dan 91 g/kg (Aidos 2002). Metode lainya adalah hidrolisis menggunakan enzim, rendering kering, penggunaan pelarut misalnya kloroform dan metanol serta penambahan asam (Slizyre et al. 2005). Ekstraksi minyak ikan dengan menggunakan pelarut telah digunakan untuk memproduksi minyak ikan, akan tetapi kurang ramah lingkungan karena sifat pelarut kimiawi yang sulit didegradasi oleh lingkungan. Penelitian lainya menyebutkan bahwa perlakuan fisik (pemanasan dan sentrifugasi) memiliki hasil yang lebih baik dari hidrolisis dengan enzim dan ekstraksi kimia dengan karakteristik minyak ikan memiliki rendemen yang lebih stabil (9%), FFA 1% dan PV 36 meq/kg (Shativel et al. 2009), namun menghasilkan warna minyak yang gelap dan viskositas yang tinggi.
18
pembuangan limbah surimi akan tetapi menemukan cara untuk menghasilkan keuntungan bagi industri surimi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode pemisahan yang tepat dengan perlakuan suhu dan waktu pemanasan yang berbeda sehingga diharapkan dapat memperoleh minyak ikan dengan kualitas, warna dan viskositas sesuai International Fish Oil Standar (IFOS).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan metode pemisahan terbaik untuk menghasilkan minyak dari hasil samping surimi ikan kurisi (Nemipterus sp).
Bahan dan Metode
Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2014 sampai Januari 2015. Bertempat di Laboratorium Bahan Baku Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Laboratorium Terpadu Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Pendidikan dan Diagnostik, Fakultas Kedokteran Hewan, Laboratorium Kimia Fisik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan alat penelitian
Bahan yang digunakan adalah air pencucian surimi ikan kurisi (Nemipterus sp) yang diperoleh dari salah satu pabrik surimi di Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Bahan pendukung lainnya digunakan untuk analisis kualitas minyak ikan berupa asam asetat glasial, kloroform, larutan kalium-iodin (KI) jenuh, larutan sodium tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N, larutan KOH 0,1 N, indikator
phenolptalein (indikator PP), etanol 96%, indikator pati 1%, trimethylpentane, reagen p-anisidin, dan n-heksana.
Alat yang digunakan antara lain gelas erlenmeyer, timbangan digital, pipet tetes, penangas air, tabung reaksi, labu takar, spektrofotometer UV-Vis 2500 merk LaboMed, waterbath shaker dan high speed refrigerated centrifuge merk HITACHI himac CR 21G (diameter rotor 6 cm merk R12A-499), kromameter dan viscometer merk TV-10.
Metode penelitian
Preparasi sampel
Tahap penelitian dimulai dari pengambilan dan preparasi sampel serta persiapan bahan dan alat untuk berbagai pengujian yang akan dilakukan. Bahan penelitian berupa air pencucian surimi diperoleh dari pabrik surimi di Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Sampel dikemas menggunakan wadah dengan kapasitas 25 liter dan dikirimkan ke Bogor. Sampel dipindahkan ke dalam plastik ukuran 1 liter dan disimpan di kulkas untuk pengujian bahan baku dan ekstraksi minyak ikan.
Metode Analisis
Analisis yang dilakukan meliputi analisis proksimat air pencucian surimi, analisis viskositas, warna, bilangan asam, bilangan peroksida, asam lemak bebas, dan p-anisidin.
Analisis Viskositas (O'Brien et al. 2000)
Viskositas diukur menggunakan alat brookfield viscometer. Sampel sebanyak 10 mL ditempatkan ke dalam alat gelas pada viskometer. Spindle 2 dan speed 30 rpm digunakan untuk pengukuran viskositas sampel. Pengukuran dilakukan selama 2 menit sampai memperoleh pembacaan jarum pada posisi yang stabil. Rotor berputar dan jarum akan bergerak sampai memperoleh viskositas sampel. Pembacaan nilai viskositas dilakukan setelah jarum stabil. Skala yang terbaca menunjukkan kekentalan sampel yang diperiksa dengan satuan cP (centiPoise).
Air pencucian surimi Ikan kurisi
Pemanasan pada waterbath shaker 20, 30, dan 40 menit
Sentrifugasi 450 g, 20 menit
Pemisahan fraksi minyak
Penambahan air panas 2:1 (minyak:air)
Sentrifugasi 2.900 g, 15 menit
Crude oil minyak ikan kurisi
-Perhitungan rendemen -Pengujian kualitas minyak ikan Minyak ikan
Padatan dan air Suhu ekstraksi yang
berbeda (50, 60,70,80, 90,100 ˚C)
20
Analisis warna (Melgosa et al. 2009)
Analisis warna dilakukan dengan Chromameter. Alat dikalibrasi dengan warna putih sampai monitor menunjukkan nilai L, a dan b sesuai dengan nilai yang tertera pada warna putih standar. Selanjutnya sampel diletakkan dalam tabung dengan ditutupi lensanya dan nilai reflektan (L, a dan b) terbaca pada alat pengukur.
Analisis bilangan asam/acid value (AOCS 1998)
Penentuan bilangan asam dilakukan dengan cara titrasi KOH terhadap sampel, yang menggunakan prinsip jumlah KOH yang diperlukan (mg) untuk menetralkan 1 g lemak. Berikut persamaan untuk mendapatkan bilangan asam (mg KOH/ g lipid)
V x N x 56,1 /
Keterangan :
Analisis bilangan peroksida/peroxide value (PV) (AOCS 1998)
Sampel 2 g dimasukkan labu erlenmeyer ukuran 250 mL, ditambahkan 30 mL larutan asam asetat dan kloroform (3:2) dan 0,5 mL larutan potassium iodide (KI) jenuh sambil diaduk, selanjutnya ditambahkan 30 mL akuades. Larutan diaduk hingga homogen kemudian ditambahkan 0,5 mL larutan indikator kanji 1% yang akan merubah warna larutan menjadi biru. Tahap akhir larutan dititrasi dengan 0,01 N sodium thisulfate (Na2S2O3) hingga larutan berubah warna
menjadi kuning, dengan terus mengocok larutan hingga berubah warna menjadi biru muda yang menandakan pelepasan iodine dari lapisan kloroform, titrasi dilanjutkan dengan hati-hati hingga warna biru pada larutan hilang. Perhitungan nilai peroksida dilakukan dengan persamaan berikut:
V x N x 1000 0
G
Keterangan : V : JumLah titrasi sodium thiosulfate (mL) N : Normalitas sodium thiosulfate (0,01) G : Berat sampel (gram)
Analisis nilai anisidin/anisidine value (AnV) (AOCS 1998)
Larutan uji 1 dibuat dengan cara melarutkan 2 g sampel ke dalam 25 mL trimethylpentane. Larutan uji 2 dibuat dengan cara menambahkan 1 mL larutan p-anisidine (2,5 g/l) ke dalam 5 mL larutan uji 1, kemudian dikocok dan dihindarkan dari cahaya. Larutan referensi dibuat dengan cara menambahkan 1 mL larutan p-anisidine (2,5 g/l) ke dalam 5 mL larutan trimethylpentane, kemudian dikocok dan dihindarkan dari cahaya. Larutan uji 1 diukur nilai absorbansinya pada 350 nm dengan menggunakan pelarut trimethylpentane sebagai larutan kompensasi. Larutan uji 2 diukur nilai absorbansi pada 350 nm tepat 10 menit setelah larutan disiapkan dengan menggunakan larutan referensi sebagai kompensasi. Nilai anisidin ditetapkan dengan persamaan berikut:
25 x (1,2 A2– A1)
G
Keterangan : A1 : Absorbansi larutan uji 1
A2 : Absorbansi larutan uji 2
G : Berat sampel yang digunakan pada larutan uji 1 (gram)
Analisis nilai total oksidasi (AOCS 1998)
Penentuan nilai total oksidasi (Totoks) dilakukan dengan persamaan berikut :
Total oksidasi = (2PV + AnV) Keterangan :
Analisis asam lemak bebas/free fatty acid (FFA) (AOCS 1998)
Sampel 2 gram ditambahkan 25 mL alkohol 95% netral (erlenmeyer 200 mL), dipanaskan dengan penangas air selama 10 menit, kemudian campuran tersebut ditetesi indikator PP sebanyak 0,5 mL. Campuran tersebut dikocok dan dititrasi dengan KOH 0,1 N hingga timbul warna merah muda yang tidak hilang dalam 10 detik.
Persentase FFA dihitung berdasarkan persamaan berikut: V x N x 283
10 G
Keterangan : V : Jumlah titrasi KOH (mL) N : Normalitas KOH
283 : Bobot molekul asam lemak palmitat G : Berat sampel (gram)
Rancangan penelitian
Semua data yang diperoleh ditampilkan dalam bentuk nilai rerata + standar deviasi (Mean + SD). Analisis data yang dilakukan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial)
Hipoteis Tahap 2:
H0 = Suhu dan waktu tidak mempengaruhi rendemen, parameter primer
sekunder, viskositas dan warna minyak ikan
H1 = Suhu dan waktu mempengaruhi rendemen, parameter primer sekunder,
viskositas dan warna minyak ikan
Yij = µ + αi + ∑ij Keterangan:
Yij = respon pengaruh perlakuan pada taraf i ulangan ke-j µ = pengaruh rata-rata umum
αi = pengaruh perlakuan pada taraf ke-i
∑ij = pengaruh acak (galat percobaan) pada konsentrasi taraf i ulangan ke-j j = 1,2, dan 3
PV : Nilai peroksida AnV : Nilai p-anisidin Nilai anisidin =
22
Hasil dan Pembahasan Analisis proksimat air pencucian surimi ikan HTS
Berdasarkan hasil penelitian tahap pertama diperoleh ikan kurisi (Nemipterus sp.) sebagai salah satu ikan HTS yang prospektif menghasilkan minyak ikan. Proses produksi surimi dari ikan kurisi dilakukan di Rembang, Jawa Tengah. Hasil samping berupa air dan endapannya dipisahkan untuk analisis proksimat dan ekstraksi pemisahan minyak ikan. Hasil analisis proksimat hasil samping surimi (HS surimi) Ikan kurisi disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Persentase kandungan gizi hasil samping air pencucian surimi ikan kurisi
Proksimat HS surimi* Ikan kurisi
Kadar air (%) 2,85±0,01 77,39±0,00 Kadar lemak (%) 68,33±0,02 2,34±0,01 Kadar Protein (%) 28,51±0,01 17,26±0,01 Kadar Abu (%) 0,11±0,00 1,38±0,00 Kadar Karbohidrat (%) 0,02±0,04 3,63±0,01
Keterangan: *Hasil samping surimi berupa padatan yang diambil dari air pencucian surimi
Analisis proksimat hasil samping air pencucian surimi menunjukkan bahwa kandungan tertinggi HS surimi adalah kadar lemak (68,33±0,02), tetapi rendah pada ikan kurisi (2,34±0,01). Hal ini disebabkan air pencucian surimi mengandung lemak yang tinggi, pigmen, dan protein sarkoplasma (Kartikeyan et al 2006). Kadar lemak pada penelitian ini lebih tinggi dari Toyoshima et al. (2004) sebesar 34-36% pada air pencucian surimi ikan Japanese Anchovy.
Penentuan rendemen minyak ikan
Kombinasi suhu dan waktu ekstraksi dilakukan untuk memperoleh nilai rendemen yang paling optimal. Rendemen merupakan hal yang perlu diperhatikan untuk dapat memperkirakan bahan baku yang dibutuhkan dalam produksi, dan secara ekonomi mempengaruhi nilai jual akhir produk. Persentase rendemen minyak ikan dari air pencucian surimi ikan kurisi didapatkan dengan membandingkan antara minyak ikan yang diperoleh dengan bobot awal padatan. Persentase hasil perhitungan rendemen minyak ikan berdasarkan kombinasi suhu dan waktu disajikan Gambar 2.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 2 Rendemen (%) minyak ikan pada suhu dan waktu yang berbeda ( 20 menit, 30 menit, 40 menit)
Hasil rendemen minyak ikan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi maka rendemen yang dihasilkan lebih besar, kecuali pada suhu 70 °C. Jumlah rendemen yang turun pada suhu 70 °C diduga sudah terjadi proses koagulasi protein pada hasil samping minyak ikan. Koagulasi protein biasanya terjadi pada suhu 75 °C. Suhu berpengaruh terhadap pecahnya dinding matriks dalam membran sel jaringan lipid, sehingga semakin tinggi suhu yang digunakan semakin besar rendemen yang diperoleh (Adeoti et al. 2014). Hasil ekstraksi minyak ikan pada suhu rendah (50-70 ˚C) pada penelitian lebih rendah dari hasil penelitian Ramalhosa et al. (2012) yang mengekstraksi total lipid sebesar 34% dengan metode microwave-assisted extraction (MAE) dengan suhu 104 ˚C selama 1 jam.
Nilai Bilangan Peroksida (PV)
Uji bilangan peroksida ditujukan untuk melihat berapa besar kandungan hidroperoksida pada minyak yang merupakan produk primer dari proses oksidasi. Semakin besar kandungan hidroperoksida pada minyak menunjukkan semakin banyak kerusakan yang terjadi pada minyak tersebut dan kecenderungan untuk minyak menjadi tengik. Hidroperoksida adalah produk dari oksidasi pada minyak ikan yang terjadi ketika reaksi otooksidasi terminasi. Aidos et al. (2002) menyatakan nilai peroksida sangat tergantung pada suhu saat ekstraksi. Perbandingan bilangan peroksida dapat dilihat pada Gambar 3. Nilai oksidasi sangat penting sebagai indikator mutu minyak, semakin rendah nilai oksidasi primer dan sekunder, maka kualitas minyak akan semakin baik. Tahap pertama oksidasi adalah terbentuknya hidroperoksida yang pada umumnya diukur sebagai bilangan peroksida (Aidos et al. 2002).
24
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 3 Nilai bilangan peroksida (PV) pada suhu yang berbeda
Nilai peroksida terendah yang didapatkan dari Gambar 3 adalah sebesar 14,05±0,40 meq/kg pada perlakuan suhu ekstraksi 70 °C. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini lebih besar dari hasil penelitian Norziah et al. (2009) sebesar 9,9±0,1 meq/kg, dan Aidos (2002) sebesar 3,0±0,0 meq/kg. Menurut International Fish Oil Standard (IFOS) nilai bilangan peroksida harus dibawah 3,75 meq/kg untuk masuk ke dalam kategori minyak layak konsumsi. Toyoshima et al. (2009) melaporkan bahwa nilai PV tergantung dari umur simpan bahan baku yang digunakan, jika penyimpanan kurang dari satu bulan maka nilai PV bisa kurang dari 1 meq/kg. Hasil penelitian Aidos (2002) menyebutkan bahwa nilai PV cenderung naik seiring dengan menurunya kesegaran bahan baku dengan membandingkan minyak ikan dari by-product ikan segar, beku dan asin masing masing 0,65±0,17 meq/kg; 3,0±0,2 meq/kg dan 3,0±0,3 meq/kg.
Nilai Asam Lemak Bebas (FFA)
Asam lemak bebas sangat berkaitan dengan flavour yang kurang menarik pada
minyak. Pada industri pengolahan minyak ikan nilai FFA sangat berkaitan dengan jumlah alkali yang akan digunakan pada proses pemurnian (Sathivel et al. 2003). Asam lemak bebas (FFA) adalah produk dari reaksi hidrolisis triasilgliserida, dan sangat erat kaitannya dengan proses penyimpanan. Hasil uji FFA disajikan pada Gambar 4.
dengan perlakuan suhu tinggi (80-100 °C) disebabkan karena pada suhu tinggi reaksi hidrolisis menjadi lebih cepat sehingga menghasilkan triasilgliserida dan pengotor lainya.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 4 Nilai asam lemak bebas (FFA) pada suhu yang berbeda
Nilai p-anisidin (p-AV)
Analisis nilai p-anisidin (p-AV) dilakukan untuk mengukur produk sekunder hasil oksidasi (komponen karbon). Nilai p-anisidin dapat menentukan
keberadaan aldehid dalam minyak, karena menurut O’Brien (2009) aldehid
didalam minyak dan reagen p-anisidin bereaksi dalam kondisi asam dan ekspresi warna pada minyak sangat tergantung kepada jumlah aldehid dan strukturnya. Data hasil analisis nilai p-anisidin disajikan pada Gambar 5.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 5 Nilai p-anisidin (p-AV) pada suhu yang berbeda
26
Nilai p-anisidin terendah yang didapatkan dari Gambar 5 adalah sebesar 1,25±0,00 meq/kg pada perlakuan suhu ekstraksi 80 °C. Hasil penelitian ini lebih rendah dari Aidos (2002) yang memperoleh nilai p-anisidin untuk minyak ikan
kasar dari by-product ikan segar, beku dan asin masing masing 0,36±0,06 meq/kg; 6,2±0,3 meq/kg dan 8,9±0,5 meq/kg. Hasil penelitian ini
lebih rendah dari standar IFOS (≤15 meq/kg). Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan suhu mempengaruhi nilai p-anisidin. Hal ini diduga karena suhu merupakan faktor utama dalam proses pemisahan minyak ikan dari komponen berlemak (HS surimi). Nilai anisidin berhubungan dengan produk sekunder oksidasi yang menggambarkan degradasi lanjutan dari minyak melalui proses inisiasi radikal bebas oleh hidroperoksida menghasilkan senyawa produk sekunder non volatil (Aidos et al. 2003).
Nilai Bilangan Asam (AV)
Nilai bilangan asam dilakukan untuk menentukan jumlah miligram basa yang digunakan untuk menetralkan 1 gram minyak. Bilangan asam sangat bergantung kepada komposisi minyak, metode ekstraksi dan kesegaran bahan mentah (Mohanarangan 2012). Menurut Rubio-Rodriguez et al. (2008) pengujian kualitas minyak ikan, terutama nilai acid value dan nilai total oksidasinya (totox) sangat penting untuk dilakukan, karena terkadang nilai uji yang lainnya seperti warna dan asam lemak bebas cenderung bernilai serupa walaupun menggunakan metode ekstraksi yang berbeda. Meningkatnya ketengikan minyak disebabkan perubahan triasilgliserida (TAG) menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Nilai bilangan asam yang didapatkan dari penelitian ini disajikan pada Gambar 6.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 6 Nilai bilangan asam (AV) pada suhu yang berbeda
Nilai bilangan asam terendah sebesar 12,10±0,54 mg KOH/kg didapatkan pada perlakuan suhu ekstraksi 60 °C. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Fuadi (2015) yang menghasilkan 7,95±0,61 mg KOH/g, Huang dan Shativel (2010) sebesar 2,35 ± 0,09 mg KOH/g dan jauh dari standar IFOS yang
menyatakan minyak layak konsumsi harus memiliki nilai bilangan asam dibawah 2,25 mg KOH/kg.
Total oksidasi (Totox)
Nilai totox adalah hubungan oksidasi primer dan sekunder yang didapatkan degan menjumlahkan dua kali nilai peroksida dengan nilai anisidin (Perrin 1996). Nilai total oksidasi yang didapatkan pada penelitian ini disajikan pada Gambar 7.
Nilai total oksidasi terendah yang didapatkan pada penelitian ini adalah sebesar 31,91±0,90 meq/kg yang dihasilkan pada perlakuan suhu ekstraksi 70 °C. Hasil penelitian ini lebih tinggi dari penelitian Fuadi (2015) yang mendapatkan nilai 23,65±1,42 meq/kg, namun masih sesuai dengan rekomendasi Bimbo (1998) yang menyatakan nilai totox untuk minyak layak konsumsi berkisar antara 10-60 meq/kg. Sementara IFOS menyatakan minyak layak konsumsi harus memiliki nilai totox dibawah 20 meq/kg.
Nilai dengan huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 7 Nilai total oksidasi (totox) pada suhu yang berbeda
Viskositas Minyak Ikan
Analisis viskositas dilakukan untuk mengetahui kekentalan minyak ikan. Viskositas dalam bahan pangan akan menentukan tekstur dan stabilitas produk akhir. Viskositas minyak ikan juga dapat digunakan sebagai parameter efisiensi pemisahan asam lemak, mono dan diasilgliserida selama proses hidrogenasi dan interesterifikasi pada destilasi kolom (Whitaker et al. 1998). Viskositas juga merupakan parameter penting yang menunjukkan tingkat difusi beberapa komponen seperti asam lemak bebas dan karotenoid selama proses bleaching, winterisasi dan kristalisasi fraksional pada pemurnian minyak. Viskositas menurun secara eksponensial seiring dengan kenaikan suhu yang disebabkan adanya perubahan gaya antar molekul. Nilai viskositas minyak ikan dengan suhu yang berbeda disajikan pada Gambar 8.