BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN DAN
B. Iklan dan Brosur
1. Pengertian dan bagian-bagian iklan dan brosur
Iklan adalah segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan lewat media dan dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sedangkan periklanan adalah keseluruhan proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, dan penyampaian iklan.
Dari definisi diatas terlihat melibatkan empat hal yang menjadi unsur iklan, yaitu :
a. Pemrakarsa b. Pesan c. Media d. Masyarakat
Selain unsur diatas ada juga beberapa unsur lain dari iklan yaitu :
1) Adanya pesan yang disampaikan tentang suatu produk barang atau jasa termasuk ide-ide atau gagasan
2) Penyampaian bersifat non personal artinya antara pemasang iklan dengan pihak yang dituju atau pihak yang menjadi sasaran iklan tidak bertatap muka atau bertemu secara langsung
3) Disampaikan melaui media. Karena bersifat non personal dari iklan maka iklan harus menggunakan media dalam menyampaikan, baik media cetak, elektronik maupun media luar ruang.
4) Dibiayai oleh pemrakarsa. Pemrakarsa iklan dapat berupa perorangan, perusahaan atau lembaga non laba.
5) Ditujukan untuk sebagian atau masyarakat.
Dengan demikian jelas iklan merupakan suatu komunikasi. Iklan melibatkan produsen sebagai komunikator. Fisik iklan itu sendiri sebegai unsu pesan. Media sebagai saluran dan khalayak sebagai publik yang ditujunya.
Sedangkan brosur adalah terbitan tidak berkala yang dapat terdiri satu hingga sejumlah kecil halaman, tidak terkait dengan terbitan lain dan selesai dalam sekali terbit. Halamannya sering dijadikan satu (antara lain dengan strapler, benang, atau kawat) biasanya menggunakan sampul, tapi tidak menggunakan jilid keras.21
Brosur atau pamflet memuat informasi atau penjelasan tentang suatu produk, layanan, fasilitas umum, profil perusahaan, sekolah, atau dimaksudkan sebagai sarana beriklan. Informasi dalam brosur ditulis dalam bahasa yang ringkas, dan dimaksudkan mudah dipahami dalam waktu singkat. Brosur juga didesain agar menarik perhatian, dan dicetak di atas kertas yang baik dalam usaha membangun citra yang baik terhadap layanan atau produk tersebut.
Dari penjelasan diatas dapat dijelaskan bahwa brosur adalah salah satu jenis dari iklan. Karena brosur digunakan juga sebagai sarana beriklan dalam menyampaikan informasi dari suatu barang dan jasa itu. Selain itu brosur mempunyai unsur yang sama dengan iklan. Atau brosur dapat disebut juga dengan iklan.
Secara umum bagian-bagian iklan terdiri atas: a) Headline
Ialah : judul naskah/elemen iklan yang paling penting
Fungsi : untuk segera menarik perhatian pembaca. Umumnya headline
menampilkan selling idea, mencoba menarik prospek konsumen untuk membaca iklan tersebut.
Ada 2 syarat dalam headline :
- Singkat, padat,Mewakili (representatif) b) Sub headline
Menjelaskan/menguraikan kata demi kata pada headline. Beberapa baris kalimat yang ingin disampaikan secara cepat kepada konsumen, dituliskan dibawah headline
c) Ilustrasi
Ilustrasi Juga memegang peranan sangat penting dalam menarik perhatian, juga sebagai Eye chatcer (penarik pandang yang pertama dalam iklan itu), ilustrasi berupa gambar maupun grafis.
d) body cop/body text
Adalah pesan utama dari iklan kita. Body copy, bila ditulis dengan baik, akan menjadi perluasan ide yang disampaikan oleh headline dan ilustrasi. e) Caption.
Atau keterangan gambar, memegang peranan penting dan dapat dianggap sebagai body apabila pesan komunikasi disampaikan melalui ilustrasi-ilustrasi dengan penjelasan dibawahnya.
f) Splash/flash.
Biasanya diupayakan untuk menonjol, bahkan lebih menonjol disbanding
headline.22
2. Sifat, Tujuan, dan Fungsi iklan
Iklan memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
a. Memungkinkan setiap orang menerima pesan yang sama tentang produk iklan yang diklankan.
b. Pesan iklan yang sama dapat diulang-ulang untuk memantapkan informasi.
c. Mampu mendramatisir perusahaan dan produknya melalui gambar dan suara untuk menggoyangkan perasaan audience.
d. Tidak memaksa audience untuk memperhatikan dan menanggapinya karena merupakan komunikasi yang monolog.
Sedangkan tujuan periklanan apapun jenis dari iklannya adalah sama yaitu untuk membantu penjualan suatu barang atau jasa dengan jalan si pengusaha atau sipemasang iklan menyampaikan pesan-pesan dan mengadakan suatu komunikasi dangan para konsumen melalui iklan. Adapun tujuan periklanan secara langsung adalah mengadakan atau memperluas barang atau jasa.
Bagaimana bentuk tujuan langsung dari periklanan terjadi:
22 Arief Kurniawan, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Akibat Iklan Media Cetak
1) Menarik perhatian untuk barang atau jasa yang dijual (Capture attention).
2) Mempertahankan perhatian yang telah ada (Hold attention)
3) Memakai atau menggunakan perhatian yang telah ada untuk menggerakan calon konsumen untuk bertindak (Make useful lasting impressions)
Adapun fungsi dari periklanan yaitu: a) Fungsi Pemasaran
Sebagai pemasaran iklan berfungsi sebagai
1. Mengidentifikasi produk dan menjelaskan perbedaan dengan produk lainnya.
2. Mengkomunikasikan informasi mengenai produk. 3. Menganjurkan percobaan produk secara bertahap
4. Merangsang penyebaran dan akhirnya berakibat peningkatan penggunaan produk.
5. Membangun rasa cinta dan dekat pada produk b) Fungsi Komunikasi
Memberikan penerangan dan informasi tentang suatu barang, jasa, dan gagasan yaitu:
1. Memberikan pesan yang berbau pendidikan.
2. Berusaha menciptakan pesan-pesan yang bersifat menghibur agar dinikmati khalayak
3. Mempengaruhi khalayak untuk dekat, rasa selalu membeli dan memakai produk secara tetap dalam waktu lama.
c) Fungsi Pendidikan
Iklan dimaksudkan menumbuhkan sikap positif dan manakala seorang memiliki pengetahuan dan pandangan tertentu dan mempunyai intesitas perasaan dan mengambil keputusan secara rasional untuk menerima atau menolak terhadap pilihan yang ditawarkan.
d) Fungsi Ekonomi
Keuntungan dari segi ekonomis konsumen adalah melalui iklan dapat diberitahu tempat-tempat penjualan produk yang dibutuhkan oleh konsumen.
e) Fungsi Sosial
Melalui publikasi iklan mampu menggugah pandangan orang tentang suatu peristiwa, kemudian meningkatkan sikap, afeksi yang positif dan diikuti tindakan pelaksanaan nyata atau tindakan sosial.23
C. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Terhadap Iklan dan Brosur 1. Tinjauan tentang iklan yang menyesatkan
Belum terdapatnya undang-undang yang secara khusus mengatur periklanan, menyebabkan pengertian iklan yang bersifat baku dan mencakup semua aspek periklanan belum dapat ditentukan dengan tegas, sehingga untuk mengetahui pengertian tentang iklan harus dilihat pada berbagai pendapat sarjana
yang masing-masing memiliki tinjauan yang berbeda, serta dalam rancangan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan, maupun berbagai peraturan lainnya yang berkaitan dengan kegiatan periklanan
Iklan dianggap sebagai kegiatan bisnis yang bertujuan untuk menarik perhatian masyarakat (konsumen) terhadap produk yang dipromosikan. Sehingga pada saat bertransaksi, masyarakat cenderung untuk memimilih produk yang diingatnya melaui iklan tersebut.
Dalam kenyataannya banyak dari pihak periklanan dan pengusaha juga tidak jujur dalam memberikan infomasi dari barang yang diklankan atau memberikan informasi bohong (fraudulent misrepresentation) merupakan pemberian informasi atau keterangan yang tidak benar atau bohong dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara yang bertentangan dengan hukum atau peraturan perundang-undangan. Tentunya, hal tersebut akan berdampak menimbulkan kerugian kepada konsumen.
Menurut Milton Handler, iklan yang menyesatkan (false advertising) adalah jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan.
Sri Handayani menjelaskan iklan menyesatkan tersebut meliputi :
a. Iklan yang mengelabui konsumen tentang barang dari kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga, serta tariff, ketetapan waktu dan jaminan, garansi dari jasa.
b. Iklan yang memuat informasi secara keliru, salah, dan tidak tepat tentang barang atau jasa.
c. Iklan yang tidak memuat informasi tentang resiko pemakaian barang. d. Iklan yang mengeksploitasi tanpa izin tentang suatu kejadian atau
kegiatan seseorang.
e. Iklan yang melanggar etika periklanan.
f. Iklan yang melanggar peraturan tentang periklanan. g. Iklan yang melanggar etika dan peraturan periklanan.24
Dalam praktik bisnis, kerap akan timbul pernyataan palsu yang tidak sesuai dengan kondisi produk yang sebenarnya, yang menyesatkan (misleadstatement) atas suatu produk yang dijual atau iklan yang membohongi konsumen dengan cara mengungkapkan hal-hal yang tidak benar (false statement), serta mempergunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (puffery).
Adapun bentuk-bentuk praktik penyesatan dan penipuan menurut Russell G.Smith, pada umumnya terbagi dalam empat kategori, yaitu :
1) Menawarkan untuk menjual sesuatu yang tidak dimiliki oleh konsumen dengan terlebih dahulu meminta pembayaran di depan (advanced payment);
2) Menyerahkan barang dan/atau jasa dengan kualitas yang lebih rendah daripada barang dan/atau jasa yang telah dibayar oleh konsumen;
3) Mempengaruhi konsumen untuk membeli barang dan/atau jasa yang sebenarnya tidak dibutuhkan konsumen dengan mempergunakan tehnik pemasaran yang agresif
4) Menyembunyikan identitas pelaku usaha untuk menimbulkan kekacauan.25
Merujuk dari beberapa pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa informasi yang disampaikan pelaku usaha kepada konsumen bukan hanya bertujuan untuk kepentingan promosi penjualan semata, tetapi lebih dari itu informasi tersebut harus mengandung muatan yang dikemas secara jujur dan menyesatkan konsumen.
2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Perlindungan terhadap kepentingan konsumen pada dasarnya sudah diakomodasi oleh banyak perangkat hukum sejak lama. Secara sporadis berbagai kepentingan konsumen sudah dimuat dalam berbagai undang-undang, antara lain sebagai berikut:
a. Undang-Undang No.3 Tahun 1982 tentang wajib Daftar Perusahaan. b. Undang-Undang No.5 Tahun 1985 tentang Perindustrian.
c. Undang-Undang No.5 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.
d. Undang-Undang No.14 Tahun 1993 tentang Lalu Lintas dan angkutan jalan.
e. Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang Perasuransian.
25 Ibid.
f. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
g. Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup.
Kehadiran Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi tonggak sejarah perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Diakui, bahwa undang-undang tesebut bukanlah yang pertama dan yang terakhir, karena sebelumnya telah ada beberapa rumusan hukum yang melindungi konsumen tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Disamping UUPK masih terdapat sejumlah perangkat hukum lain yang bisa dijadikan sebagai sumber atau dasar hukum, seperti:
1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2011 tentang Badan Perlindungan Konsumen Nasional. 2) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2001
tanggal 21 Juli 2011 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen.
3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2011 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat.
4) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 90 Tahun 2001 tanggal 21 Juli 2001 tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pemerintah Kota Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Yogyakarta dan Makassar.
Kemudian ada lagi beberapa contoh kasus yang dapat dijadikan dasar hukum perlindungan konsumen seperti kasus dibawah ini:
Kasus Perda DKI tentang Parkir, Pengacara publik David ML Tobing menggugat Perda DKI Jakarta No 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran dengan mengajukan permohonan pengujian ke Mahkamah Agung karena dinilai bertentangan dengan UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. "Kami telah mengajukan permohonan uji materil Pasal 36 ayat (2) Perda No. 5 Tahun 1999 tentang Perparkiran ke MA terhadap UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen," kata David, usai mendaftarkan uji materi Perda Perparkiran di Jakarta, Kamis. Pasal 36 ayat (2) Perda DKI No. 5 Tahun 1999 menyebutkan: "Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di dalam petak parkir
merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir. David menilai Pasal 36 ayat (2) itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan konsumen.
Pasal 18 ayat (1) huruf a menyebutkan: "Pelaku Usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha".
Menurut dia, isi Pasal 36 ayat (2) Perda DKI itu merupakan klausula baku yang mengalihkan tanggung jawab pelaku usaha kepada konsumen apabila terjadi kehilangan.
"Aturan pencantuman klausula itu bertentangan dengan Pasal 18 ayat (2) huruf a UU PK," katanya.
David mengatakan, dua tahun sejak berlakunya UU Perlindungan Konsumen, Gubernur DKI Jakarta tidak menyesuaikan Perda Perparkiran itu dengan UU Perlindungan Konsumen. Padahal, lanjutnya, aturan klausula baku dalam UU Perlindungan Konsumen telah menjadi yurisprudensi tetap MA salah satunya lewat putusan PK No. 124 PK/Pdt/2007 jo Putusan Kasasi No. 1264 K/Pdt/2005. "Ini menyangkut gugatan Anny R Gultom kepada PT Securindo Packatama di PN Jakarta Pusat pada tahun 2000 karena pernah kehilangan mobil di areal parkir yang kebetulan saya yang menanganinya," katanya.
Pencantuman klausula baku dalam tiket parkir dikatakan kesepakatan cacat hukum yang berat sebelah karena mengandung ketidakbebasan pihak yang menerima klausula, kesepakatan itu diterima dalam keadaan terpaksa, katanya mengutip pertimbangan majelis.
Karena itu, advokat yang kerap menangani kasus-kasus perlindungan konsumen ini meminta majelis MA mencabut atau membatalkan Pasal 36 ayat (2) Perda DKI No. 5 Tahun 1999 itu karena masih mengandung pencantuman klausula baku dalam bentuk pengalihan tanggung jawab. "Pasal 36 ayat (2) Perda No. 5 Tahun 1999 bertentangan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Perlindungan Konsumen dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya memerintahkan termohon (Gubernur DKI) untuk mencabut Pasal 36 ayat (2) itu atau setidaknya menyesuaikan dengan UU Perlindungan Konsumen," katanya. Mahkamah Agung (MA) menetapkan tanggung jawab ganti kerugian dari pengelola jasa perparkiran bagi konsumen yang kehilangan kendaraan di tempat parkir. Diketahui, permohonan peninjauan kembali (PK) secure parking PT Securindo Packatama Indonesia ditolak terkait gugatan Anny R Gultom dan
Hontas Tambunan yang kehilangan mobil Kijang Super tahun 1994 pada 1 Maret 2000, di Plaza Cempaka Mas.26
Dimana dari kasus tersebut lahir sebuah yurisprudensi tetap MA salah satunya lewat Putusan PK No. 124 PK/Pdt/2007 jo Putusan Kasasi No. 1264 K/Pdt/2005. Dari kasus diatas dapat dilihat telah ada sebuah dasar hukum yang dapat dipakai oleh konsumen dalam menggugat pihak pengusaha yang tidak bertanggung jawab atas produk yang dibuatnya.
Beberapa pakar menyebutkan bahwa hukum perlindungan konsumen merupakan cabang dari hukum ekonomi. Alasannya, permasalahan yang diatur dalam hukum konsumen berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan barang/jasa. Ada pula yang mengatakan bahwa hukum konsumen digolongkan dalam hukum bisnis atau hukum dagang karena dalam rangkaian pemenuhan kebutuhan barang/jasa selalu berhubungan dengan aspek bisnis atau transaksi perdagangan.27
Dengan diundangkannya masalah perlindungan konsumen dimungkinkan dilakukannya pembuktian terbalik jika terjadi sengketa antara konsumen dan pelaku usaha. Konsumen yang merasa haknya dilanggar bias mengadukan dan memproses perkaranya secara hukum di badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) yang ada di Tanah Air.
26 Sumber http://adhiebkenz.blogspot.com diakses pada 12 Oktober 2014. 27 Happy Susanto, op.cit., hal 19.
BAB IV
TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN KEPADA
KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP IKLAN DAN
BROSUR
A. Bentuk Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Perumahan Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah
Hubungan hukum dan atau masalah antara konsumen dengan penyedia barang atau peyelenggara jasa, umumnya terjadi melalui suatu perkaitan, baik karena perjanjian atau karena undang-undang. Perikatan dapat terjadi secara tertulis maupun tidak tertulis, tergantung bagaimana suasana hukum dimana terjadinya perikatan itu, dalam suasana hukum adat atau suasana dengan pengaruh hukum perdata. Banyak sedikitnya pengaruh dari suasana hukum itu akan terlihat pada perlaksanaan perikatan yang terjadi.
Seperti yang dibahas sebelumnya di Bab I tentang Perjanjian, bahwa perjanjian yang terjadi karena undang dapat timbul karena undang-undang, baik karena undang-undang maupun sebagai akibat dari perbuatan seseorang. Perbuatan itu dapat perbuatan yang diperbolehkan atau perbuatan yang melanggar hukum. Dalam perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi
atau dilanggarnya butir-butir perjanjian itu, setelah dipenuhinya syarat-syarat tertentu, dapat mengakibakan terjadinya cidera janji (wanprestasi). Perbuatan cidera janji itu memberikan hak pada pihak yang dicedarai itu untuk menggugat ganti rugi berupa biaya, kerugian, bunga, dan seterusnya.
Konsumen sebagai pemakai manfaat barang dan/atau jasa berhak mendapatkan perlindungan dari bahaya yang mungkin timbul akibat dari pemakaian barang dan/atau jasa tersebut. Saat ini hubungan yang sering terjadi antara pelaku usaha dengan konsumen hanya sekedar kesepakatan lisan mengenai harga dan barang dan/atau jasa, tanpa diikuti atau ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.
Pasal 5 UUPK mengatur tentang masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen. Saat ini perjanjian yang sering dilakukan oleh para pihak adalah perjanjian baku yaitu, perjanjian ataupun klausula tersebut tidak bisa dan tidak dapat dinegosiasikan atau ditawar pihak lainnya. Perjanjian baku ini cenderung merugikan pihak yang kurang dominan. Secara sederhana, perjanjian baku mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Perjanjian dibuat secara sepihak oleh produsen yang posisinya relatif lebih kuat dari konsumen.
2. Konsumen sama sekali tidak dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian. 3. Dibuat dalam bentuk tertulis dan missal.
4. Konsumen terpaksa menerima isi perjanjian karena didorong oleh kebutuhan.
Pihak produsen beralasan, selain praktis dan efisien, penerapan perjanjian baku dalam praktek perdagangan sehari-hari, juga masih dalam koridor perundang-undangan yang ada. Justifikasi yang dipakai produsen adalah Pasal 1338 KUH Perdata tentang asas kebebasan berkontrak. 28 Perjanjian yang dilakukan oleh para pihak seharusnya bisa seimbang bagi kedua belah pihak, namun sering kali konsumen merasa dirugikan akibat dari penggunaan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi dan ketika diminta pertanggung jawaban kepada pihak penjual, sering merasa dikecewakan. Sebagai konsekuensi hukum dari pelarangan yang diberikan oleh undang-undang perlindungan konsumen dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku usaha dan konsumen, maka demi hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang dirugikannya, serta menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen.29
Dalam membuktikan kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha, maka konsumen harus dapat membuktikan kesalahan bahwa:
a. Konsumen secara aktual telah mengalami kerugian.
b. Konsumen juga harus dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut terjadi sebagai akibat dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian barang dan/atau jasa tertentu yang tidak layak.
c. Bahwa ketidak layakan dari penggunaan, pemanfaatan, atau pemakaian dari barang dan/atau jasa tersebut merupakan tanggung jawab dari pelaku usaha tertentu.
d. Konsumen tidak berkontribusi secara langsung atau tidak langsung atas kerugian yang dideritanya tersebut.30
28 Sudaryatmoko, Hukum dan Advokasi Konsumen, Ctk II, Citra Aditya Bakti Bandung, 1999, hal. 93.
29 Ibid
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut Pasal 1243 KUHPerdata berupa:
1) Kosten, yaitu biaya yang sungguh-sungguh dikeluarkan.
2) Schaden, yaitu kerugian yang sungguh-sungguh menimpa harta bendanya. 3) Interessen, yaitu keuntungan yang akan diperoleh seandainya debitur tidak
lalai.31
Untuk menentukan besarnya jumlah ganti rugi undang-undang memberikan beberapa pedoman, yaitu besarnya jumlah ganti rugi itu ditentukan sendiri oleh undang-undang, misalnya pasal 1250 KUH Perdata antara lain mengatakan bahwa “dalam tiap-tiap perikatan yang semata-mata berhubungan dengan pembayaran sejumlah uang, penggantian biaya, rugi, dan bunga sekadar disebabkan karena terlambatnya pelaksanaan oleh undang-undang, dengan tidak mengurangi peraturan-peraturan undang-undang khusus.”32
Ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dimulai dari Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan. Sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya.33
Kasus perumahan legenda bekasi dapat memberikan gambaran. Didalam kasusnya PT Putra alvita Pratama, sebuah pengmbang kota legenda, Bekasi, dihukum pengadilan untuk membayar ganti rugi atas gugatan Ir.Dra. Devi widjajanti, konsumen yang dikecewakannya. Melalui putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.103/Pdt.G/1997/PN Jak.Sel tanggal 2 oktober 1997, pengembang dihukum untuk mengembalikan seluruh uang muka (down Payment) yamg telah dilunasi konsumen sebesar Rp. 18.425.100 ( delapan belas juta empat
31 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan Ke- 25, Intermasa, Jakarta, 1993, hal. 147.
32 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan Dalam Rangka
Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001,
hal. 24.
33 Salim HS., Hukum Kontrak (Teori dan Teknik Penyusunan Kontak), Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal. 100.
ratus dua puluh lima ribu rupiah) ditambah bunga 3% dari Rp 18.425.100 ( delapan belas juta empat ratus dua puluh lima ribu rupiah) setiap bulannya. Dalam amar putusannya majelis hakim menyatakan bahwa pengembang telah melakukan perbuatan hukum, karena tidak memberikan pelayanan yang berikan kepada konsumennya, antara lain yaitu: lalai mengurus Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dibank, sesuai substansi yang dikemukakan pengembang dalam brosurnya, tidak memberikan bukti kuitansi pembayaran dan Perjnajian Pengikatan Jual Beli (PPJB).
Didalam brosurnya pengembang menyatakan bahwa untuk pembelian kavling/tanah, pengurusan KPR menjadi tanggung jawab konsumen. Sedangkan untuk pembelian rumah berikut tanah tidak ada keterangan apa-apa. Hal itu berarti pengurusan KPRnya menjadi tanggung jawab pengembang. Tak ada salah tafsir konsumen atas brosur itu. Tetapi justru informasi yang disajikan pengembang itu