• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV. Surya Abadi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tanggung Jawab Developer Perumahan Kepada Konsumen Perumahan Terhadap Iklan dan Brosur Perumahan yang Menyesatkan Konsumen Perumahan Dikaitkan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (Studi pada CV. Surya Abadi)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN KEPADA KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP IKLAN DAN BROSUR

PERUMAHAN YANG MENYESATKAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

(Studi Pada CV.Surya Mas Abadi)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JAMES RAYMOND NICHOLAS PURBA 090200468

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN KEPADA KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP IKLAN DAN BROSUR

PERUMAHAN YANG MENYESATKAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN

KONSUMEN

(Studi Pada CV.Surya Mas Abadi)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

JAMES RAYMOND NICHOLAS PURBA 090200468

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

Disetujui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

DR.H.Hasim Purba, S.H., M.Hum NIP.196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

M.Hayat, S.H., MH Zulkifli Sembiring, S.H., MH NIP. 195008081980021001 NIP.196101181988031010

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : James Raymond Nicholas Purba

Nim : 090200468

DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN BW

JUDUL SKRIPSI :

Dengan ini menyatakan:

1. Bahwa ini skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, Oktober 2014

James Raymond N Purba 090200468

(4)

ABSTRAK

JAMES RAYMOND NICHOLAS PURBA *)

M.HAYAT **)

ZULKIFLI SEMBIRING ***)

Rumah pada dasarnya adalah sebuah tempat untuk bertahan diri bagi manusia dari perubahan iklim atau cuaca. Tetapi dalam perkembangannya fungsi rumahpun mengalami perubahan. Rumah sudah dianggap sebagai sebuah kebutuhan pokok. Pada saat ini kebutuhan akan rumah semakin meningkat tetapi hal ini tidak diikuti dengan persediaan lahan yang memadai. Hal inilah yang mendorong pihak pemerintah dan pihak swasta yaitu pihak developer atau pengembang perumahan untuk membangun rumah di sebuah perumahan nasional (PERUMNAS) oleh pemerintah atau komplek perumahan atau cluster-cluster

oleh pihak swasta dimana dalam hal ini disebut developer perumahan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder dan data tersier. Kemudian seluruh data dikumpulkan menggunakan teknik studi kepustakaan dan studi lapangan.

Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa bentuk perlindungan konsumen dalam perjanjian seharusnya diberikan sebelum perikatan itu terjadi seperti hal-hal yang termuat dalam iklan dan brosur yang diperjanjikan oleh developer dimana menghindari kerugian yang didapat konsumen akibat berita yang menyesatkan atau tidak benar, kemudian setelah perikatan didalam perjanjian yang dibuat oleh

developer harus ada jaminan yang diberikan kepada konsumen mengenai kondisi bangunan atau Syarat batal tertentu, misalnya jika ternyata pembangunannya tidak selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan oleh developer maka calon pembeli berhak membatalkannnya dan menerima kembali uang muka. Pelaku usaha (developer) bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen apabila konsumen menderita atau mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dibeli dari pelaku usaha.Saran dari skripsi ini adalah sebaiknya konsumen mencari informasi mengenai reputasi pengembang dari rumah yang ingin dibelinya, agar dapat terhindar dari penjualan perumahan fiktif. Kemudian konsumen juga harus memperhatikan baik-baik draft perjanjian yang diajukan pengembang.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Developer, Iklan Dan Brosur Yang Menyesatkan, Perlindungan Konsumen

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2009 **) Dosen Pembimbing I

(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat, kasih, dan anugrah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan perkuliahaan hingga penyusunan skripsi ini.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada program Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul yang penulis ajukan adalah “TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN KEPADA KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP IKLAN DAN BROSUR PERUMAHAN YANG MENYESATKAN KONSUMEN PERUMAHAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (Studi Pada CV.Surya Mas Abadi)”.

Penulis menyadari adanya keterbatasan dalam pengerjaan skripsi ini dan Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak dukungan, semangat, saran, maupun motivasi, dan doa dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, M.Hum, DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr.Ok.Saidin S.H, M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Hasim Purba, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(6)

7. Bapak Zulkifli Sembiring, S.H, MH, selaku Dosen Pembimbing II yang telah sabar memberikan arahan, bimbingan dandukungan dalam penyusunan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membekali ilmu pengetahuan dan pengajaran selama masa perkuliahan kepada penulis.

9. Teristimewa persembahan penulis untuk kedua orang tua Papa dan Mama : Jenti Panus Purba dan Sondang Uli Nahampun. Terima kasih telah banyak memberikan motivasi, semangat, doa, didikan, dan nasihat serta melimpahkan segenap kasih sayangnya kepada penulis. Walaupun jauh tapi tetap memberikan dorongan yang dapat mendukung penulis dalam studi maupun kehidupan. Skripsi ini aku persembahkan untuk kalian. 10.Untuk saudara-saudara ku tersayang, kakakku Jessy Elda Prestisi Purba,

dan kedua adekku Jesopin Ferdinan Purba, dan Josya Ryan Alexandro Purba terima kasih atas dukungan kalian dan selalu menghibur penulis. 11.Buat Kedua Opung ku yang ada di Sei Rokan dan Sei Simare terima kasih

atas nasihat, dan semangat yang kalian berikan kepada penulis. Juga buat Tulang, Uda, Tante, bou, amangboru, nantulang, dan sepupu-sepupuku semua yang ada di siantar, batam, medan, dan jakarta terimakasih atas doa dan semua pengalaman yang di bagi.

12.Kepada sahabatku dari Sibolga Oloni dan sahabat karibku selama kuliah Reza dan Wahyu terimakasih untuk bantuan, motivasi, hiburan, dan doa yang diberikan selama perkuliahan hingga skripsi ini selesai.

13.Kepada sahabatku di Fakultas Hukum Universitas Sumatera utara Andi, Ilham, Sayyid, Ivansyah, Ipur, Bedul, Bangun, Jean, Frans, Yogi, Samtar, OB, Maulana, kel-kel kudan semua teman –temen satu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara terima kasih atas semua dukungan dan kenangan yang kalian berikan.

(7)

15.Kepada S2 elektro Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Ir. Usman S. Baafai, Dipl. Ing., kak Eva, kak Nur, bang Martin, dan bang Dian bacoekx, terima kasih atas semua bantuan yang diberikan dan semua nasihatnya kepada penulis. Dan juga teman-teman lab eldas bang Pane, bang Arthur, bang Lou, bang Annes, bang Sandi, Eko, Agus gua ia, Samuel, Dea, Kevin, si bat Nuzul, dan Josiah.

16.Para Pegawai di Fakultas Hukum yang telah membantu selama pengurusan akademik penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu mohon kritik dan sarannya agar skripsi ini bisa menjadi sempurna.Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Oktober 2014 Penulis,

(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………i

KATA PENGANTAR ………ii

DAFTAR ISI………v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang...……….1

B. Rumusan Masalah………...4

C. Tujuan Penulisan...………...5

D. Manfaat Penulisan...6

E. Metode Penulisan………...7

F. Keaslian Penulisan………..9

G. Sistematika Penulisan……….9

BAB II TINJAUAN TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH A. Pengertian Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Azas-Azas Perjanjian dan Jenis-Jenis Perjanjian………11

1. Pengertian Perjanjian………..11

2. Syarat-Syarat Sah Perjanjian………..13

3. Azas-Azas Perjanjian………..16

(9)

B. Pelaksanaan Perjanjian……….…21

1. Prestasi………21

2. Wanprestasi……….23

3. Pembelaan Pihak Yang dituduh Wanprestasi……….25

C. Perjanjian Jual Beli Rumah.……….27

1. Jual Beli………..27

2. Resiko Jual Beli………..……29

3. Kewajiban Penjual dan Pembeli……….…....30

4. Pengikatan Perjanjian Jual Beli (PJPB)………..33

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN DAN BROSUR A. Ketentuan Umum Perlindungan Konsumen……….36

1. Pengertian Konsumen………..………..36

2. Hak Konsumen………..39

3. Kewajiban Konsumen ………..41

4. Pengertian Kewajiban dan Hak Pelaku Usaha…………..43

5. Pengertian, Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen………..46

6. Tanggung Jawab Produk/Produsen………...49

(10)

1. Pengertian dan Bagian-bagian Iklan dan Brosur………...48 2. Sifat, Tujuan, dan Fungsi Iklan……….55 C. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen Terhadapa Iklan dan

Brosur………...57 1. Tinjauan Tentang Iklan Yang Menyesatkan………..57 2. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen………60

BAB IV TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN KEPADA KONSUMEN PERUMAHAN TERHADAP IKLAN DAN BROSUR

A. Bentuk Perlindungan Pembeli Perumahan Dalam Perjanjian Jual Beli Rumah………64 B. Tanggung Jawab Developer Perumahan Terhadap Iklan dan

Brosur Yang Tidak Benar……….70 C. Upaya Hukum Yang Dapat dilakukan Oleh Pembeli Yang

Merasa Dirugikan Oleh Iklan dan Brosur Perumahan Yang Tidak benar………...78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………...85

B. Saran……….87

DAFTAR PUSTAKA

(11)

ABSTRAK

JAMES RAYMOND NICHOLAS PURBA *)

M.HAYAT **)

ZULKIFLI SEMBIRING ***)

Rumah pada dasarnya adalah sebuah tempat untuk bertahan diri bagi manusia dari perubahan iklim atau cuaca. Tetapi dalam perkembangannya fungsi rumahpun mengalami perubahan. Rumah sudah dianggap sebagai sebuah kebutuhan pokok. Pada saat ini kebutuhan akan rumah semakin meningkat tetapi hal ini tidak diikuti dengan persediaan lahan yang memadai. Hal inilah yang mendorong pihak pemerintah dan pihak swasta yaitu pihak developer atau pengembang perumahan untuk membangun rumah di sebuah perumahan nasional (PERUMNAS) oleh pemerintah atau komplek perumahan atau cluster-cluster

oleh pihak swasta dimana dalam hal ini disebut developer perumahan

Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, data sekunder dan data tersier. Kemudian seluruh data dikumpulkan menggunakan teknik studi kepustakaan dan studi lapangan.

Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa bentuk perlindungan konsumen dalam perjanjian seharusnya diberikan sebelum perikatan itu terjadi seperti hal-hal yang termuat dalam iklan dan brosur yang diperjanjikan oleh developer dimana menghindari kerugian yang didapat konsumen akibat berita yang menyesatkan atau tidak benar, kemudian setelah perikatan didalam perjanjian yang dibuat oleh

developer harus ada jaminan yang diberikan kepada konsumen mengenai kondisi bangunan atau Syarat batal tertentu, misalnya jika ternyata pembangunannya tidak selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan oleh developer maka calon pembeli berhak membatalkannnya dan menerima kembali uang muka. Pelaku usaha (developer) bertanggung jawab untuk memberikan ganti rugi kepada konsumen apabila konsumen menderita atau mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan akibat mengkonsumsi barang dan atau jasa yang dibeli dari pelaku usaha.Saran dari skripsi ini adalah sebaiknya konsumen mencari informasi mengenai reputasi pengembang dari rumah yang ingin dibelinya, agar dapat terhindar dari penjualan perumahan fiktif. Kemudian konsumen juga harus memperhatikan baik-baik draft perjanjian yang diajukan pengembang.

Kata Kunci: Tanggung Jawab Developer, Iklan Dan Brosur Yang Menyesatkan, Perlindungan Konsumen

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2009 **) Dosen Pembimbing I

(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. latar Belakang

Rumah pada dasarnya adalah sebuah tempat untuk bertahan diri bagi manusia dari perubahan iklim atau cuaca. Tetapi dalam perkembangannya fungsi rumahpun mengalami perubahan. Rumah sudah dianggap sebagai sebuah kebutuhan pokok. Pada saat ini kebutuhan akan rumah semakin meningkat tetapi hal ini tidak diikuti dengan persediaan lahan yang memadai. Hal inilah yang mendorong pihak pemerintah dan pihak swasta yaitu pihak developer atau pengembang perumahan untuk membangun rumah di sebuah perumahan nasional (PERUMNAS) oleh pemerintah atau komplek perumahan atau cluster-cluster

oleh pihak swasta dimana dalam hal ini disebut developer perumahan.

(13)

mulai membangun rumah atau perumahan yang sesuai dengan standar lingkungan hidup.

Seiring dengan perkembangannya para pihak developer perumahan memerlukan sebuah media dalam memasarkan rumah yang telah mereka buat. Dimana media ini menggunakan sebuah iklan atau brosur yang menampilkan sebuah contoh rumah yang mereka buat dan kelebihan dari rumah atau perumahan yang telah dibangun tersebut.Karena iklan dan brosur dainggap sebagai sebuah sarana bagi masyarakat untuk memperoleh sebuah informasi dan dalam peredarannya iklan dan brosur sangat mudah untuk didapat. Tetapi dalam perkembangannya banyak dari pihak developer perumahan atau pengembang perumahan yang menyalahgunakan media iklan dan brosur tersebut. Dimana para pihak pengembang tidak memberikan informasi yang sebenarnya didalam mengiklankan rumah atau perumahan yang mereka buat tersebut.

(14)

atau perumahan tersebut tidak sesuai dengan fakta yang tertera dalam iklan dan brosur tersebut.

Menyadari bahwa posisi konsumen untuk memperoleh informasi yang jujur dan benar dari pelaku usaha sangat lemah, maka pemerintah telah memberikan sebuah perlindungan terhadap konsumen dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang secara jelas juga tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) yang dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang atau jasa secara tidak benar.Kemudian, dalam Pasal 9 ayat (2) dan (3) dinyatakan agar barang dan atau jasa sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan serta dilarang untuk dilanjutkan proses penawaran, promosi dan pengiklananannya.

Memperhatikan substansi ketentuan Pasal 9 UUPK ini, pada intinya merupakan bentuk larangan yang tertuju pada perilaku pelaku usaha khususnya

(15)

261.120.000,- (Dua Ratus Enam Puluh satu Juta Seratus Dua Puluh Ribu Rupiah) sebagai kompensasi biaya akibat tak dipenuhinya biaya rekreasi dan fasilitas pemancingandilokasi perumahan. Pengembang digugat karena tidak konsisten dengan brosur yang diterbitkannya.

Dalam kasus lainnya, PT Putra Alvita Pramata, sebuah pengembang kota legenda Bekasi digugat orleh Ir.Dra. Devi Widjajanti, konsumen yang dikecewakannya.Di dalam brosurnya pengembang menyatakan bahwa untuk pembelian kavling/tanah, pengurusan Kredit Perumahan(KPR) menjadi tanggung jawab konsumen. Sedangkan untuk pembelian rumah dan tanah tidak ada keterangan apa-apa. Hal itu berarti pengurusan KPRnya menjadi tanggung jawab pengembang. Tak ada salah tafsir konsumen atas brosur itu. Tetapi justru informasi yang disajikan pengembang itu diduga menyesatkan konsumen.

Maka berdasarkan latar belakang diatas penulis mengangkat skripsi yang berjudul “TANGGUNG JAWAB DEVELOPER PERUMAHAN KEPADA KOSUMEN PERUMAHAN TERHADAP IKLAN DAN BROSUR YANG MENYESATKAN KONSUMEN DIKAITKAN DENGAN UU NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN (CV.SURYA MAS ABADI)”.

B. Rumusan Masalah

(16)

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan pembeli perumahan dalam perjanjian jual beli rumah?

2. Bagaimanakah bentuk tanggung jawab developer perumahan kepada pembeli perumahan yang merasa dirugikan dengan adanya iklan dan brosur perumahan yang tidak benar dilihat dari undang-undang No.8 tahun 1999 sebagai upaya perlindungan konsumen?

3. Bagaimanakah bentuk tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen perumahan yang merasa telah dirugikan akibat dari iklan dan brosur perumahan yang tidak benar?

C. Tujuanpenulisan

Sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum bagi pembeli perumahan akibat iklan dan brosur yang menyesatkan pembeli perumahan.

2. Untuk mengetahui bagaimana tanggung jawab developer perumahan terhadap pembeli perumahan akibat dari iklan dan brosur yang menyesatkan pembeli perumahan.

(17)

D. Manfaat penulisan

Manfaat penulisan dapat dibagi dua yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis disebut juga manfaat akademis artinya hasil penelitian bermanfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan obyek penelitian.Secara teoretis penelitian bermanfaat bagi pernkembangan Ilmu Hukum, khususnya ilmu hukum perlindungan konsumen lebih khusus lagi terkait dengan penerapan teori-teori hukum terkait pelaksanaan tanggung jawab developer perumahan kepada konsumen perumahan terhadap iklan dan brosur perumahan yang menyesatkan.

Manfaat praktis yakni bermanfaat bagi pihak yang memerlukannya. Secara praktis, penelitian ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:

1. Bagi masyarakat yang terlibat iklan dan brosur perumahan yang menyesatkan yang berkaitan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK)

2. Bagi masyarakat agar mengetahui bentuk tanggung jawab developer

perumahan terhadap konsumen perumahan yang merasa dirugikan akibat dari iklan dan brosur yang menyesatkan.

(18)

E.Metode penulisan

1.Metode dan sifat penulisan

Dalam penulisan ini metode penulisan yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Metode penulisan yuridis normatif adalah suatu pendekatan terhadap hubungan antara factor-faktor yuridis (hukum positif) dan faktor normatif (asas-asas hukum).Dalam penulisan ini, penulis bekerja secara

analitis induktif. Prosesnya bertolak dari premis-premis yang berupa norma-norma hukum positif yang diketahui, dan berakhir pada penemuan asas-asas hukum, yang menjadi pangkal tolak pencarian asas adalah norma hukum positif. 1

Sifat penulisan dari skripsi ini adalah deskriptif analitis yaitu suatu penulisan yang menggambarkan dan, menelaah, menjelaskan dan menganilis suatu peraturan hukum. Dalam hal ini menelaah dan mengkaji berbagai benuk peraturan yang tentunya terkait dengan penulisan ini.

2. Jenis data dan sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah data sekunder yang diperoleh dari:

a. Bahan hukum primer, bahan-bahan hukum yang mempunyai otoritas, dan terdiri dari:

1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945

      

(19)

2) Peraturan dasar, yaitu batang tubuh UUD 1945 dan Ketetapan MPR(S).

3) Peraturan Perundang-undangan.

4) Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, misalnya hukum adat.

5) Yurisprudensi. 6) Traktat.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku, makalah dalam seminar, hasil penelitian hukum, dan sebagainya yang berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder contohnya kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.

3.Metode pengumpulan data

Dalam menyusun skripsi prnulis menggunakan metode-metode ilmiah dalam pengumpulan data, antara lain :

a. Penelitian kepustakaan (Library Research)

(20)

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Metode pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengunjungi langsung objek penelitian. Penelitian ini dilakukan di CV.Surya Mas Abadi.

F. Keaslian penulisan

Penulisan skripsi mengenai perlindungan hukum bagi konsumen sudah pernah dibahas seperti :

1. Tanggung jawab PT.Unitwin Indonesia medan sebagai developer kepada konsumen dalam perjanjian Jual beli perumahan (studi kasus perumahan cemara hijau Medan). Oleh : Adi Suryadi Tarigan.

2. Perlindungan Hukum Konsumen dalam Perjanjian Jual Beli Perumahan ditinjau dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999. Oleh : Anna Doreba Tampubolon.

(21)

G. Sistematika Penulisan

Secara garis besar skripsi ini dibagi dalam 5 (lima) Bab dan masing-masing bab dibagi lagi dalam beberapa sub bagian sesuai dengan kepentingan penulisan :

Bab I: Dalam bab ini menerangkan secara ringkas mengenai latar belakang, perumusan masalah, tinjauan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II: Dalam bab ini membahas tentang pengertian, syarat-syarat, azas-azas, dan jenis perjanjian, pelaksanaan perjanjian dan perjanjian jual beli rumah

Bab III: Dalam bab ini menguraikan tentang ketentuan umum perlindungan konsumen, iklan dan brosur, dan dasar hukum perlindungan konsumen terhadap iklan dan brosur

BabIV: Menguraikan secara jelas mengenai bentuk perlindungan pembeli perumahan dalam perjanjian jual beli rumah, tanggung jawab developer perumahan terhadap iklan dan brosur yang tidak benar Bab V: Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas

(22)

BAB II

TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI RUMAH

A. Pengertian perjanjian,syarat-syarat perjanjian, azas-azas perjanjian, dan jenis-jenis perjanjian

1.Pengertian perjanjian

Pengertian Perjanjian diatur di dalam Bab II Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang “Perikatan-Perikatan yang DilahirkanDariKontrak atau Perjanjian, mulai Pasal 1313 sampai dengan Pasal1351, dimana ketentuan dalam Pasal 1313 merumuskan pengertianperjanjian yang menyatakanSuatu perjanjian adalah suatu perbuatandengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satuorang lain atau lebihMenurut para ahli ketentuan dari pengertian perjanjian diatas memiliki beberapa kelemahan yaitu:

a. Hanya menyangkut sepihak saja b. Tidak tampak asas konsensualisme c. Bersifat dualisme.

(23)

Kata “perbuatan” yang terdapat dalam pasal tersebut mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Dalam pasal ini juga tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa. R. Setiawan mengusulkan untuk menambah kata-kata dalam perjanjian itu sebagai berikut : “perbuatan itu harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambah perkataan atau “saling mengikatkan dirinya”. 2 Perumusan pengertian perjanjian menurut R Setiawan menjadi, perjanjian adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.3

Berdasarkan kelemahan yang terdapat dalam ketentuan pasal 1313 KUH Perdata, maka beberapa ahli hukum mencoba memberi beberapa pengertian dari sudut pandang mereka masing masing. Beberapa pengertian menurut mereka yaitu

1) R. SubektiSuatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.4

2) Wirjono ProdjodikoroPerjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak

      

  2R.Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan,Bina Cipta, Bandung, 1987, hal 89.

  3Ibid

(24)

melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.5

3) Abdul Kadir MuhammadPerjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.6

Dari beberapa pendapat para sarjana tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian adalah hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih berdasarkan suatu persetujuan, untuk melaksanakan suatu hak, dimana pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.

2.Syarat-syarat sah perjanjian

Suatu perjanjian atau kontrak dianggap sah apabila telah memenuhi empat syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Syarat pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Pasal 1321 KUH Perdata menyatakan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Paksaan itu terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya. Paksaan itu berwujud kekerasan jasmani atau

      

  5Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 1986, hal 9 

  6Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,

(25)

ancaman (akan membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga ia membuat perjanjian Pasal 1323-1327 KUH Perdata. Penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat Pasal 1328 KUH Perdata. Jika dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau penipuan maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan

b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian

Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yangoleh undang-undang dinyatakan tidak cakap. Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni Orang yang belum dewasa.Menurut Pasal 330 KUH Perdata Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3 Tahun 1963 yang menyatakan seorang istri tetap cakap berbuat sesuatu mencabut Pasal 108 dan 110 KUH Perdata.

(26)

tertentu itu telah diatu dalam KUH Perdata yaitu, Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok perjanjian. Pasal .1333 menyatakan suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Kemudian Pasal 1334 menyatakan bahwa barang-barang yang baru akan dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian.

d. Suatu sebab yang halal

Setiap perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa kausa atau sebab yang halal adalah apabila keadaan tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian dan isi perjanjian. Dengan dilakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa kedua pihak haruslah mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacatbagi perwujudan kehendak tersebut.

(27)

Asas hukum bukan merupakan hukum konkrit, melainkan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan konkrit yang terjelma dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif. Asas hukum dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan konkrit tersebut.7

Dalam hukum perjanjian atau kontrak sendiri dikenal banyak asas, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Asas konsesualisme

Asas konsesualisme berarti kesepakatan. Yaitu pada dasarnya perjanjian sudah lahir sejak detik tercapainya kata sepakat. Perjanjian telah mengikat begitu kata sepakat dinyatakan dan diucapkan, sehingga sebenarnya tidak perlu lagi formalitas tertentu. Pengecualian terhadap prinsip itu adalah dalam undang-undang memberikan syarat formalitas tertentu terhadap sesuatu perjanjian, misalnya syarat harus tertulis. Contoh: Jual beli tanah yang merupakan kesepakatan yang harus dibuat secara tertulis dengan akta otentik Notaris.

b. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)

Setiap orang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338

      

(28)

ayat 1 KUH Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Jika dilihat dalam Pasal 1381 memberikan batasan yang sangat jelas bagi janji yang bersifat mengikat tersebut, yaitu daya ikat perjanjian tersebut hanya berlaku diantar pihak yang membuatnya. Dengan kata lain pemaksaan berlakunya dan pelaksanaan kewajiban dari isi perjanjian hanya dapat dilakuikan oleh salah satu pihak atau lebih pihak terhadap pihak lain yang wanprestasi yang merupakan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.

c. Asas kepatutan

(29)

Asas iktikad baik merupakan salah satu asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Asas iktikad baik terbagi menjadi dua macam yakni iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Iktikad baik nisbi adalah orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan menurut norma-norma yang objektif.

e. Asas kepribadian

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seorang yang akan melakukan kontrak hanya untuk kepentingan perorangan hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan 1340 KUH Perdata. Pasal 1315 menyatakan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri. Pasal 1340 menyatakan suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Jika dibandingkan kedua pasal tersebut, maka dalam pasal 1317 KUH Perdata mengatur perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam pasal 1318 KUH Perdata mengatur tentang kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya, atau orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

(30)

Perjanjian dapat dibedakan menurut berbagai cara. Perbedaan. Berikut ini akan diuraikan beberapa jenis perjanjian:

a. Perjanjian timbal balik

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak. Misalnya perjanjian jual beli.

b. Perjanjian Cuma-Cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian dengan Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja. Misalnya Hibah. Perjanjian atas beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu terdapat selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.

c. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian itu diatur dan diberi nama oleh pembentuk undang-undang. Diluar perjanjian bernama tumbuh perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak tumbuh didalam KUH Perdata, tetapi terdapat didalam masyarakat. lahirnya perjanjian ini didalam praktek adalah berdasarkan asas kebebasan mengadakan perjanjian yang berlaku didalam hukum perjanjian.

(31)

Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, misalnya pemilik hotel yang menyewakan kamar (sewa-menyewa) tapi pula menyajikan makanan (jual-beli) dan juga memberikan pelayanan.

e. Perjanjian obligatoir

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang dimana pihak-pihak mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang menimbulkan perikatan). Menurut KUH Perdata perjanjian jual beli saja belum lagi mengakibatkan beralihnya hak milik dari penjual kepada pembeli. Untuk beralihnya hak milik atas bendanya masih tetap diperlukan satu lembaga lain yaitu penyerahan. Perjanjian jual belinya sendiri itu dinamakan perjanjian obligatoir.

f. Perjanjian kebendaan

Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dimana hak atas benda diahlikan/diserahkan (transfer of title)kepada pihak lain.

g. perjanjian konsensual dan perjanjian riil

(32)

penitipan barang (Pasal 1649 KUH Perdata), pnjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). Perjanjian yang terakhir ini dinamakan perjanjian riil yang merupakan sisa dari hukum Romawi.

B.Pelaksanaan pejanjian

Pada tahap pelaksanaan perjanjian, para pihak harus melaksanakan apa yang telah dijanjikan atau apa yang telah menjadi kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Kewajiban memenuhi apa yang dijanjikan itulah yang disebut sebagai prestasi, sedangkan apabila salah satu pihak atau bahkan kedua pihak tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah dibuatnya, itulah yang disebut dengan wanprestasi.

Pihak yang wanprestasi dalam perjanjian dapat dituntut oleh pihak lain yang merasa dirugikan, namun pihak yang dituduh melakukan wanprestasi tersebut masih dapat melakukan pembelaan-pembelaan tertentu agar dapat terbebas dari pembayaran ganti rugi

Berdasarkan alasan tersebut, pada bagian ini akan dibahas tiga hal pokok yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian, yaitu prestasi, wanpretasi, dan pembelaan debitur yang dituduh wanprestasi.

1.Prestasi

Menurut KUH Perdata Pasal 1234 prestasi dibagi dalam tiga macam yakni a. Menyerahkan sesuatu .

(33)

c. Tidak berbuat sesuatu.

Namun Ahmadi Miru tidak sependapat dengan pembagian tersebut karena menurutnya, apa yang disebut sebagai macam-macam prestasi tersebut bukan wujud prestasi tetapi hanya cara-cara melakukan prestasi, yakni:

1) Prestasi yang berupa barang, cara melaksanakannya adalah menyerahkan sesuatu (barang).

2) Prestasi yang berupa jasa cara melaksanakannya adalah dengan berbuat sesuatu.

3) Prestasi yang berupa tidak berbuat sesuatu, cara pelaksanaannya adalah dengan bersikap pasif yaitu tidak berbuat sesuatu yang dilarang dalam perjanjian.8

Walaupun pada umumnya prestasi para pihak secara tegas ditentukan dalam kontrak, prestasi tersebut juga dapat lahir karena diharuskan oleh kebiasaan, kepatutan, atau undang-undang sesuai dengan Pasal 1339 KUH Perdata. Menurut M.Yahya Harahap dalam bukunya segi-segi hukum perjanjian dalam Pasal 1339 tidak ada disinggung dalam pasal itu soal persiapan (voorbreiding). Demikian juga ditegaskan dalam Pasal 1235 KUH Perdata, perjanjian untuk memberikan sesuatu meliputi kewajiban menyerahkan, menjaga keselamatan barang sampai pada saat penyerahan.9

Setiap pihak yang membuat perjanjian, terutama pihak kreditur sangat menghendaki agar pelaksanaan perjanjian diusahakan dengan sempurna secara sukarela sesuai dengan isi ketentuan perjanjian. Akan tetapi tentu tidak semua

      

  8Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 69-70.

(34)

berjalan sebagaimana mestinya. Boleh jadi debitur ingkar secara sukarela menempati pelaksanaannya.Keingkaran debitur inilah yang memberi hak kepada kreditur untuk memaksa debitur melaksanakan prestasi. Tentu tidak denganegenrichingatau main hakim sendiri. Ini hanya bisa dalam keadaan tertentu seperti pada gadai yang memberi hak kepada kreditur untuk menjual sendiri barang agunan benda bergerak.

2.Wanprestasi

Wanprestasi adalah pelaksanaan kewaiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan menurut selayaknya. Kalau begitu seorang dikatakan berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalaam melakukan pelaksanaan pretasi telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakannya prestasi tidak menurut selayaknya.

Menurut Pasal 1238 KUH Perdata bentuk pernyataan lalai yaitu:

a. Berbentuk surat perintah (bevel) atau akta lain yang sejenis (of andre soorgelijke akte).

(35)

c. Jika tegoran atau kelalaian sudah dilakukan barulah menyusul peringatan atau aanmaningn dan bisa juga disebut somasi. Somasi berati peringatan agar debitur melaksanakan kewajibannya sesuai dengan teguran/pernyataan kelalaian yang telah disampaikan kreditur kepadanya. Dalam somasi ini kreditur menyatakan kehendaknya, perjanjian harus dilaksankan dalam batas waktu tertentu.

Adapun wanprestasi dapat berupa : 1) Sama sekali tidak memenuhi prestasi; 2) Prestasi yang dilakukan tidak sempurna; 3) Terlambat memenuhi prestasi;

4) Melakukan apa yang dalam perjanjian dilarang untuk dilakukan.10 Terjadinya wanpretasi mengakibatkan pihak lain (lawan dari pihak yang wanprestasi) dirugikan, apalagi kalau pihak lain tersebut adalah pedagang maka bisa kehilangan keuntungan yang diharapkan.Oleh karena pihak lain dirugikan akibat wanprestasi tersebut, pihak wanprestasi harus menanggung akibat dari tuntutan pihak lawan yang dapat berupa tuntutan:

a) Pembatalan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi}; b) Pemenuhan kontrak (disertai atau tidak disertai ganti rugi).

Dengan demikian, ada dua kemungkinan pokok yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, yaitu pembatalan atau pemenuhan kontrak. Namun, jika dua kemungkinan pokok tersebut diuraikan lebih lanjut, kemungkinan tersebut dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

(36)

a) Pembatalan kontrak saja;

b) Pembatalan kontrak disertai tuntutan ganti rugi; c) Pemenuhan kontrak saja;

d) Pemenuhan kontrak disertai tuntutan ganti rugi.

Tuntutan apa yang harus ditanggung oleh pihak yang wanprestasi tersebut tergantung pada jenis tuntutan yang dipilih oleh pihak yang dirugikan. Bahkan apabila tuntutan itu dilakukan dalam bentuk gugatan di pengadilan, pihak yang wanprestasi terebut juga dibebani biaya perkara.

3.Pembelaan Pihak yang dituduh wanprestasi

Pihak yang dituduh wanprestasi (yang pada umumnya adalah debitur), dapat mengajukan tangkisan-tangkisan untuk membebaskan diri dari akibat buruk dari wanpretasi tersebut.

Tangkisan atau pembelaan tersebut dapat berupa :

a. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena keadaan terpaksa (overmacht);

b. Tidak dipenuhinya kontrak (wanpretasi) terjadi karena pihak lain juga wanprestasi (exceptio non adimpleti contractus);

c. Tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) terjadi karena pihak lawan telah melepaskan haknya atas pemenuhan pretasi11

Pada dasarnya kontrak dibuat untuk saling mneguntungkan dan bukan untuk saling merugikan atau untuk merugikan pihak lain. Oleh karena itu,

(37)

walaupun undang-undang memungkinkan pihak yang dirugikan untuk membatalkan kontrak, selayaknya wanprestasi-wanprestasi kecil atau tidak esensial tidak dijadikan alasan untuk pembatalan kontrak. Melainkan hanya pemenuhan kontrak baik yang disertai tuntutan ganti rugi maupun tidak. Hal ini penting untuk dipertimbangkan karena dalam kasus-kasu tertentu pihak yang wanprestasi dapat mengalami kerugian besar jika kontrak dibatalkan.

Dengan demikian, walaupun pihak yang wanpretasi tidak dapat mengajukan salah satu pembelaan atau tangkisan sebagaimana disebut diatas, pihak lawan tidak selamanya dapat menuntut pembatalan kontrak apabila prestasi yang dilakukan terlambat atau tidak sempurna.

Keadaan terpaksa (overmacht) tidak memenuhi kontrak sebagaimana dimaksud diatas dapat merupakan keadaan terpaksa yang mutlak, dapat pula yang bersifat relatif.

Pembelaan yang berupa tidak dipenuhinya kontrak (wanprestasi) oleh debitur yang terjadi karena pihak lain atau kreditor juga wanprestasi (exceptio non adimpleti contractus) dapat digunakan bilamana kreditur juga belum memenuhi apa yang dijanjikan atau belum memenuhi sepenuhnya tentang apa yang dijanjikan.

Pembelaan debitur yang berupa pelepasan hak dapat diajukan jika si kreditor sendirir telah melepaskan haknya untuk menuntut kepada si debitur.

(38)

Perjanjian jual beli merupakan perjanjian penting yang dilakukan sehari-hari, namun terkadang tidak menyadari bahwa apa yang dilakukan merupakan suatu perbuatan hukum yang tentu saja memiliki akibat-akibat hokum tertentu.

Menurut Pasal 1457 KUH Perdata jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak pernjual berjanji menyerahkan sesuatu barang atau benda (zaak), dari pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Dari pernyataan Pasal 1457 KUH Perdata tersebut jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu:

a. Kewajiban pihak penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban pihak pembeli membayar harga barang yang diberi kepada penjual.

Tentang persetujuan jual beli, dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan benda dan harga barang tersebut sekalipun barangnya belum diserahkan dan harganya belum dibayarkan (Pasal 1458 KUH Perdata). Jual beli tiada lain dari pada persesuaian kehendak (wiils overeenstemming) antara penjual dan pembeli mengenai barang dan harga.

(39)

Disamping benda/barang, harga merupakan salah satu unsur essensialia persetujuan jual beli. Harga berarti sesuatu jumla yang harus dibayar dalam bentuk uang. Pembayaran harga dengan uanglah yang bisa dikategorikan kedalam jual beli. Harga yang berbentuk lain diluar uang, berada diluar jangkauan persetujuan jual beli. Kalau harga barang yang dibeli tadi dibayar dengan benda lain yang bukan berbentuk uang, jelas persetujuan itu bukan jual beli. Yang terjadi adalah persetujuan tukar menukar (ruil overeenkomst).

Perjanjian jual beli yang dilakukan dengan sederhana tentu saja tidak banyak menimbulkan masalah, terutama jika barang yang diperjualbelikan tersebut hanya satu macam barang dan barang tersebut dapat dilihat atau diamati langsung oleh pembeli, denikian pula pembayaran harga barang tersebut dilakukan secara tunai dengan menggunakan uang tunai.Akan tetapi, perjanjian jual beli yang berlangsung antara penjual dan pembeli tidak selamanya merupakan perjanjian jual beli yang sederhana bahkan tidak jarang menimbulkan masalah, diperlukan antara hukum yang mengatur tentang berbagai kemungkinan yang dapat timbul dalam perjanjian jual beli.

2.Risiko jual beli

(40)

bagi pihak lawannya untuk mengganti kerugian itu, dinamakan pihak yang mmemikul risiko atas barang tersebut.

Persoalaan tentang risiko itu berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “keadaan memaksa” (“overmacht”, “force majeur”). Dengan demikian maka persoalaan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalaan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga.

Risiko atas barang objek jual beli tidak sama, terdapat perbedaan sesuai dengan sifat keadaan barang yang jadi objek jual beli.

a. Objek jual beli terdiri dari barang tertentu, resiko atas barang berada pada

“pihak pembeli”, terhitung sejak saat terjadinya persetujuuan pembelian. Sekalipun penyerahan barang terjadi, penjual berhak menuntut pembayaran harga seandainya barang musnah (Pasal 1460 KUH Perdata). Dari ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata, jual beli mengenai barang tertentu; sekejap setelah penjualan berlangsung, resiko berpindah kepada pembeli. Seandainya barang yang hendak dilevering lenyap, pembeli tetap wajib membayar harga.

(41)

Akan tetapi oleh karena Pasal 1460 merupakan lex spesialis, ketentuan Pasal 1237 KUHPerdata sebagai lex generalis, dengan sendirinya tersingkir

b. Objek jual beli terdiri dari barang yang dijual dengan timbangan, “bilangan atau ukuran” resiko atas barang”, tetap berada dipihak penjual, sampai saat barang itu ditimbang, diukur atau dihitung (Pasal 1461 KUH Perdata)

Sedangkan resiko jual beli dalam KUH Perdata ada tiga peraturan yaitu: 1) Mengenai barang tertentu (Pasal 1460);

2) Mengenai barang yang dijual menurut berat, jumlah atau ukuran (Pasal 1461); dan

3) Mengenai barang-barang yang dijual menurut tumpukan (Pasal 1462).

3. Kewajiban penjual dan pembeli

Tentang kewajiban penjual, pengaturannya dimulai dari Pasal 1473KUH Perdata Penjual wajib menegaskan dengan jelas untuk apa ia mengikat diri dalam persetujuan jual beli. Lantas, lebih lanjut pasal tersebut memberikan suatu

“interpretasi”. Segala sesuatu yang kurang jelas dalam persetujuan jual beli, atau yang mengandung pengertian kembar harus diartikan sebagai maksud yang

(42)

a. Kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli.

b. Kewajiban penjual memberi pertanggungan atau jaminan (vrijwaring), bahwa barang yang dijual tidak mempunyai sangkutan apapun, baik yang berupa tuntutan maupun pembebanan.

Selain kewajiban diatas masih ada kewajiban lain dari pernjual yaitu, seperti:

1) Menjamin bahwa barang yang dijual baik kondisi maupun jenis dan jumlahnya sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian jual-beli. 2) Penjual juga bertanggung jawab terhadap cacat-cacat tersembunyi yang

membuat barang tersebut tidak dapat dipakai atau dapat mengurangi pemakaian itu, sehingga seandainya sipembeli tahu keadaan tersebut, ia tidak akan membeli barang tersebut atau membelinya dengan harga yang kurang dari harga yang telah disepakati.

Adapun yang menjadi tanggung jawab pembeli, ialah:

a) Membayar harga barang yang telah disepakati. Jika ternyata pembeli tidak membayar harga barang yang telah disepakati, maka penjual dapat menuntut ganti rugi atau pembatalan, karena hal yang demikian itu merupakan wanprestasi.

(43)

c) Menanggung biaya akta jual-beli, jika tidak diatur sebaliknya dalam perjanjian.

Sedangkan kewajiban utama sipembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian.

Harga tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalam pengertian jual beli oleh karena bila tidak, umpamanya harga itu berupa barang makan itu akan merubah perjanjiannya menjadi “tukar-menukar”, atau kalau harga itu berupa suatu jasa perjanjiannya akan menjadi suatu perjanjian kerja, dan begitu seterusnya

Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun adalah diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan soal pihak ketiga. Dalam hal yang demikian maka jika pihak ketiga ini tidak suka atau tidak mampu mebuat perkiraan tersebut atau menentukannya , maka tidaklah terjadi suatu pembelian.

4. Pengikatan Perjanjian Jual-Beli (PPJB)

Bila membeli rumah atau rusun, seorang konsumen pasti akan menjumpai dokumen-dokumen hukum (legal documents) yang penting, yaitu:

(44)

b. Akta jual beli yang dibuat dan ditandatangani dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) untuk mengalihkan atau memecah pemilikan tanah dan rumah/sarusan dari pengembang kepada setiap konsumen;

c. Perjanjian kredit pemilikan rumah/apartemen/sarusun.

Dokumen yang pertama merupakan dokumen yang membuktikan adanya hubungan hukum (hubungan kontraktual) antara pengembang dan konsumen, dimana pengembang mengikatkan diri untuk menjual rumah/sarusun dan tanah kepada konsumen, sedangkan konsumen membeli rumah dari pengembang dengan kewajiban membayar harga jualnya dalam bentuk: angsuran uang muka (down payment) dan sisanya diselesaikan dengan fasilitas kredit pemilikan rumah/apartemen (KPR/KPA)

Sedangkan dokumen yang ketiga menunjukan adanya hubungan hukum antara konsumen dengan bank pemberi KPR/KPA. Di dalamnya, antara lain diatur jumlah pinjaman, jangka waktu pelunasan KPR/KPA, besarnya atau sistem perhitungan bunga pinjaman. Keberadaan dokumen-dokumen itu sangat penting untuk mengupayakan sejauhmana perlindungan konsumen diakomodasikan dalam instrument hukum perdata ini

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam PPJB yaitu :

1) Uraian mengenai obyek tanah dan bangunan harus jelas, antara lain ukuran luas tanah dan bangunan, sertifikat dan pemegang haknya, dan perizinan-perizinan pada obyek tanah dan bangunan tersebut.

(45)

bertahap yang pelunasannya dapat dilakukan pada saat penandatanganan Akta Jual beli atau AJB.

3) Syarat batal tertentu misalnya, misalnya jika ternyata pembangunannya tidak selesai dalam jangka waktu yang telah dijanjikan oleh

developermaka calon pembeli berhak membatalkannnya dan menerima kembali uang muka.

4) Penegasan pembayarn pajak yang menjadi kewajiban masing-masing pihak dan biaya-biaya lain yang diperlukan, misalnya biaya pengukuran tanah dan biaya notaris/PPAT.12

Adanya praktek jual beli rumah atau sarusun/apartemen yang masih dalam tahap pembangunan atau dalam tahap perencanaan ditampung atau diakomodasikan dengan dokumen hukum perjanjian pengikatan jual beli (PPJB). Dasar pemikiran hukumnya, PPJB bukanlah perbuatan hukum jual beli yang bersifat riil dan tunai. PPJB merupakan kesepaktan dua pihak untuk melaksanakan prestasi masing-masing di kemudian hari yakni pelaksanaan jual beli dihadapan PPAT, bila bangunan telah selesai bersertifikat dan layak huni.

Menurut Maria Sumardjono, masalah PPJB itu termasuk dalam lingkup hukum perjanjian, sedangkan jual belinya termasuk dalam lingkup hukum tanah nasional yang tunduk pada Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang agraria (UUPA) dan peraturan-peraturan pelaksanaannya.13

      

12www.legalakses.com di akses pada 12 Oktober 2014.

  13Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen Dan Instrumen-Instrumen Hukumnya, Citra

(46)

BAB III

PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP IKLAN DAN

BROSUR

A. Ketentuan umum perlindungan konsumen 1. Pengertian konsumen

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai definisi ditemukan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK). UUPK menyatakan konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Az.Nasution, dalam bukunya hukum perlindungan konsumen memberi batasan tentang konsumen yaitu:

a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

b. Konsumen-antara, adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).

(47)

hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan tidak diperdagangkan kembali (non-komersial).14

Orang, kecuali disebut khusus, dalam batasan ini terdiri dari orang alami atau orang yang diciptakan oleh hukum (perusahaan dengan bentuk PT atau sejenis, baik privat atau public.

Unsur mendapatkan barang atau jasa, tidak terbatas karena suatu hubungan hukum berdasarkan perjanjian (jual-beli, sewa menyewa, beli-angsuran, dan sebagainya), tetapi juga karena suatu hubungan hukum atas dasar undang-undang (Pasal 1233 jo. 1234 KUH Perdata).

Sedang unsur-unsur dari definsi konsumen tersebut adalah : 1) Setiap orang

Subjek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hokum (rechtpersoon).

2) Pemakai

Sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 2 UUPK, kata “pemakai” menekankan konsumen adalah konsumen akhir (ultimate consumer). Istilah pemakai dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligius menunjukan, barang dan atau jasa yang dipakai tidak serta mertahasil dari transaksi jual beli. Artinya,

      

  14 Az.Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, diadit media,

(48)

yang diartikan sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hokum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).

3) Barang dan atau jasa

UUPK mengartikan barang dan/atau jasa sebagai setiap benda, barang berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipergunakan, dipakai, atau dimanfaatkan konsumen. Sedangkan jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

4) Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan jasa yang ditawarkan kepada masyarakat tersebut harus tersedia dalam masyarakat atau pasaran. Dalam perkembangannya, hal ini bukan merupakan syarat mutlak lagi. Transaksi sudah bisa dilakukan sebelum barang tersedia, misalnya developer perumahan. 5) Bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, mahluk hidup

lain

(49)

untuk dikomersialkan lagi, walaupun dalam pelaksanaannya, batasan yang ada sulit untuk ditentukan.

6) Barang dan atau jasa itu tidak untuk diperdagangkan

Pengertian konsumen dalam UUPK ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan itu sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun dalam kenyataannya, sulit menetapkan batasan-batasan seperti itu. 15

2. Hak Konsumen

Hak-hak konsumen dalam sejarahnya, pada tahun 1962 telah dicestukan oleh Presiden Amerika Serikat John F.Kennedy, yang disampaikan dalam kongres gabungan Negara-negara bagian di Amerika Serikat, dimana hak-hak konsumen meliputi :

a. Hak untuk memperoleh keamanan, b. Hak memilih,

c. Hak mendapat informasi, d. Hak untuk didengar.16

      

15 Shirdarta, Hukum perlindungan Konsumen Suatu pengantar, Grasindo, Jakarta, 2000, hal 4-8.

16 Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang

(50)

Kemudian pada tahun 1975, hak-hak konsumen yang dicetuskan oleh John F.Kennedy, dimasukkan dalam program konsumen European Economic Community (EEC) yang meliputi :

1) Hak perlindungan kesehatan dan keamanan. 2) Hak perlindungan kepentingan ekonomi. 3) Hak untuk memperoleh ganti rugi. 4) Hak atas penerangan.

5) Hak untuk didengar.17

Di Indonesia sendiri hak-hak konsumen tersebut diatur UUPK, yakni

a) Hak atas kenyamanan, keamanan, dam keselamatan dalam mengkosumsi barang dan/atau jasa.

b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.

c) Hak atas informasi yang benar dan jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa.

d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan jas yang digunakan.

e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

f) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen

      

  17 Happy Susanto, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Yogyakarta, Visimedia, 2008 hal

(51)

g) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif

h) Hak untuk mendapatkan dispensasi, ganti rugi dan/atau penggantian jika barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya

i) Hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Kewajiban Konsumen

Sedangkan yang menjadi kewajiban konsumen seperti yang terdapat dalam Pasal 5 UUPK yaitu :

a. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan

b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa

c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati

d. Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen secara patut

Selain kewajiban diatas Menurut YLKI ada beberapa kewajiban lain yang harus dipenuhi konsumen yaitu :

(52)

Konsumen harus mempunyai sifat kritis dalam mengkosumsi barang dan/atau jasa, baik terhadap kualitas, kuantitas, harga dan efek samping atau akibatnya. Konsumen harus bersikap kritis dan cermat supaya tidak mendapatkan kerugian karena kesalahan sendiri.

2) Berani bertindak atas kesadaran sendiri

Konsumen harus mempunyai keberanian untuk melindungi diri dan kelompoknya dari perlakuan yang tidak adil dan melanggar haknya. Hal ini terutama diperlakukan ketika konsumen memperjuangkan haknya ketika dirugikan.

3) Memiliki kepedulian sosial

Konsumen harus memperhatikan dan mempertimbangkan akibat yang akan ditimbulkan oleh sikap, perilaku dan pola kosumsinya bagi orang lain. Konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa jangan sampai merugikan orang lain karena pola konsumsi yang tidak bertanggung jawab.

4) Bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup

(53)

5) Memiliki rasa setia kawan

YLKI menegaskan, konsumen harus mempunyai rasa tanggung jawab dan kesetiakawanan social. Konsumen diharapkan dapat menggalang kekuatan untuk memperjuangkan kepentingan umum terutama dalam hal perlindungan konsumen. Salah satu caranya adalah dengan memperjuangkan haknya jika dilanggar oleh pelaku usaha.

4. Pengertian, kewajiban dan hak Pelaku Usaha

Jika dilihat dalam UUPK perngertian pelaku usaha terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Pelaku usaha yang termasuk dalam penjelasan Pasal 1 ayat 3 tersebut adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam UUPK tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat Eropa terutama negara Belanda.

(54)

tersebut memberikan rincian sebagaimana dalam directive, sehingga konsumen dapat lebih mudah lagi untuk menentukan kepada siapa ia akan mengajukan tuntutan jika ia dirugikan akibat penggunaan produk Setelah mengetahui apa definisi pelaku usaha harus diketahui juga apa yang menjadi hak dan kewajiban pelaku usaha. Hak dan kewajiban pelaku usaha sendiri sudah diatur didalam Pasal 6 dan Pasal 7 UUPK.

Di dalam pasal 6 UUPK hak pelaku usaha adalah :

a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.

b. Hak untuk mendapat perlindungan hokum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad tidak baik.

c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hokum sengketa perlindungan konsumen. ra hokum bahwa keugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang.

d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti seca dan/atau jasa yang diperdagangkan.

e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undang lainnya.

Sedangkan yang menjadi kewajiban konsumen terdapat dalam Pasal 7 UUPK, yaitu :

(55)

2) Memberikan informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi barang dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.

3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku.

5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan.

6) Member kompensasi, ganti rugi dan/ atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

7) Memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

(56)

5. Pengertian, asas dan tujuan hukum perlindungan konsumen

Pada umumnya masyarakat telah menyebut tentang hukum konsumen, terutama hukum perlindungan konsumen. Tetapi dalam tata hukum Indonesia, hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan konsumen tersebut belum dikenal.

Begitu pula dikalangan ahli hukum, bahkan tentang eksistensinya pun belum ada kesepakatan. Keadaan agak berubah setelah hadirnya undang-undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Tetapi dalam UUPK sendiri tidak banyak diuraikan tentang perlindungan konsumen itu.

UUPK memberikan pengertian perlindungan konsumen dalam pasal 1 angka (1), yaitu segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untukk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Az.Nasution, berpendapat hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah kaidah bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen.18

Perlindungan konsumen yang dijamin oleh undang-undang ini adalah adanya kepastian hukum terhadap segala perolehan kebutuhan konsumen, yang bermula dari “benih hidup dalam rahim ibu sampai dengan tempat pemakaman dan segala kebutuhan di antara keduanya”.

Kepastian hukum itu meliputi segala upaya berdasarkan hukum untuk memberdayakan konsumen memperoleh atau menentukan pilihannya atas barang

(57)

dan/atau jasa serta mempertahankan atau membela hak-haknya apabila dirugikan oleh perilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan konsumen tersebut.

Adapun yang menjadi asas-asas perlindungan konsumen sesuai dengan Pasal 2 UUPK yaitu perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

Jika diuraikan berdasarkan penjelasan diatas maka, perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan Lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu :

a. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.

b. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil

c. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual.

(58)

e. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan kosumen, serta Negara menjamin kepastian hukum.19

Dan yang menjadi tujuan perlindungan konsumen terdapat di Pasal 3 UUPK tentang perlindungan kosumen yaitu:

1) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;

6) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

      

(59)

Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sangat penting untuk dapat melindungi konsumen dari berbagai hal yang dapat mendatangkan kerugian bagi mereka. Konsumen perlu dilindungi, karena konsumen dianggap memiliki suatu “kedudukan” yang tidak seimbang dengan pelaku usaha.

6. Tanggung jawab Produk/Produsen

Berbicara tentang perlindungan konsumen sama halnya dengan membicarakan tanggung jawab produsen/tanggung jawab produk, karena pada dasarnya tanggung jawab produsen dimaksudkan utuk memberikan perlindungan kepada konsumen.

Tanggung jawab produk adalah terjemahan dari istilah asing, yaitu:

product (s) liability; produkt(en) aansprakelijkheid; sekalipun ada yang lebih tepat diterjemahkan sebagai “tanggung jawab produsen”, yakni istilah jerman yang sering disebut dalam kepustakaan, yakni produzenten-haftung.

Pengertian tanggung jawab produk sendiri adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Agnes M.toar, Tanggung jawab produksi adalah tanggung jawab para produsen untuk produk yang telah dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan/menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk terebut.

(60)

a. Tanggung jawab meliputi baik tanggung jawab kontraktual/berdasarkan suatu perjanjian, maupun tanggung jawab perundang-undangan berdasarkan perbuatan melawan hukum.

b. Para produsen; termasuk ini adalah, produsen/pembuat, grossir (whole-saler), leveransir dan pengecer (detailer) profesional.

c. Produk; semua benda bergerak atau tidak bergerak/tetap.

d. Yang telah dibawa produsen ke dalam peredaran; yang telah ada dalam peredaran karena tindakan produsen.

e. Menimbulkan kerugian; segala kerugian yang ditimbulkan/disebabkan oleh produk dan kerusakan atau musnahnya produk.

f. Cacat yang melekat pada produk, kekurangan pada produk yang menjadi penyebab timbulnya kerugian.20

Di dalam UUPK sendiri bentuk tanggung jawab produsen dterangkan dalam Pasal 19 yaitu :

1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.

2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

      

(61)

3) Pemberian ganti rugi yang dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana pada dimaksud pada ayat 1 dan 2 tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebuh lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.

5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.

Selain itu didalam Pasal 20 UUPK tentang perlindungan konsumen dijelaskan pula, Pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut.

Pertanggungjawaban yang diberikan oleh pelaku usaha terhadap produk-produk yang dihasilkan harus sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban produk-produk yang dikenal dalam dunia hukum. Khususnya bisnis, yaitu sebagai berikut :

a) Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan, b) Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab, c) Prinsip praduga untuk selalu tidak bertanggung jawab, d) Prinsip tanggung jawab mutlak.

Referensi

Dokumen terkait

Lihat Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosio%gi Hukum, (Jakarta : PT.. 3) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, dilarang

Hal ini diatur di dalam Pasal 28 UUPK yang menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi dalam Pasal 19

Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh seorang

Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indnoesia , cetakan ke-2 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm.. yang didirikan dan berkedudukan atau

Dalam kalangan periklanan, terdapat beberapa istilah pelaku usaha periklanan antara lain sebagai berikut (Nasution, 1999; 241): 1) Pengiklan: yaitu badan usaha

Keadaan demikian disebut dengan wanprestasi atau ingkar janji.15 Konsumen @booming_market dapat menggugat pelaku usaha berdasarkan Bab X Pasal 45 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Pasal 25 ayat 1 UUPK menyatakan ” pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 satu tahun wajib menyediakan suku

Tanggung jawab pelaku usaha telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 08 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen atau UUPK, Pasal 19 sampai dengan 28, yang meliputi prinsip tanggung